Secara tidak langsung mereka mengatakan ada sunnah Rasulullah yang sayyiah
Mereka yang mengaku mengikuti Salafush Sholeh dan menamakannya sebagai Salafi, pada kenyataannya mereka mengikuti ajaran (pemahaman) Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/09/20/salafi-alias-wahabi/
Permasalahannya mereka mengatakan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat adalah manhaj (mazhab) salaf sehingga akan menyesatkan orang banyak dan fitnah terhadap Salafush Sholeh
Sedangkan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat menurut keputusan Qodhi Empat Mazhab dan merupakan ijma para ulama dan umara sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Taqiyuddin As-Subki rhm adalah sesat dan menyesatkan sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/09/30/pemahaman-menyesatkan/
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pengikut yang tidak pernah bertemu muka yakni mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih.
Begitupula mereka sendiri yang menyatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab pada akhirnya beliau mendalami ilmu agama bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (belajar sendiri) atau shahafi dengan akal pikirannya sendiri seperti yang dikabarkan mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Mereka sendiri yang menyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah yang menjadi ulama panutan bagi Muhammad bin Abdul Wahhab juga termasuk kalangan otodidak (shahafi) seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Begitupula mereka sendiri yang menyatakan bahwa ulama panutan mereka yakni Al Albani sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan sebagaimana contoh informasi pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html atau pada http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nashiruddin_Al-Albani
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
Jadi kesimpulannya mereka yang mengaku berada di atas manhaj (mazhab) salaf atau mengaku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh atau mengaku sebagai Salafi adalah orang-orang yang kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri dan pemahaman mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Contohnya dalam sebuah tulisan seorang rekan menyampaikan bahwa Imam Nawawi menerangkan hadits “Kullu bid’atin dhollah adalah aam makhsus dengan membandingkan pada “Kullu Safinah Ghoshbaa” sebagaimana tulisannya pada http://www.facebook.com/aminfauzi.guse/posts/909385329143424
Dalam diskusi tersebut, mereka yang merasa lebih pandai dari Imam Nawawi mengatakan sebagai berikut
“beda kasusnya.. ,,dalam teks nabi khidir ada kelanjutannya, yang berperan menjadi takhusus keumuman lafadz, sementara dalam teks hadits tidak ada satupun takhsisnya, sehingga tetap dalam keumumannya..
Ada pula mereka yang mengatakan bahwa “kalau umum sudah jelas keumumannya yakni memang semua, sebagian, besar maupun kecil namun yang pasti dari hadits itu tidak didapati ILLA malah setelahnya ada ancaman yang berat yakni semua kesesatan akan bertempat di neraka”.
Hal yang perlu kita ingat bahwa takhsis (pengecualian) maupun kata ILLA tidak selalu harus tercantum dalam satu hadits dalam satu kesatuan namun bisa terkait dengan hadits yang lain yang mengecualikannya atau mentakhsisnya
Imam Nawawi menjelaskan amm makhshush (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya) dengan firman Allah,
“wakaana waraa’ahum malikun ya’khudzu kulla safiinatin ghashbaan”
“karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap kapal” (QS Al Kahfi [18]:79)
Dalam ayat tersebut sifat kapal yang baik tidak tercantum namun dijelaskan oleh Nabi Khidir alaihisalam bahwa Beliau mengetahui dihadapan mereka kelak akan ada seorang raja yang suka merampas setiap kapal yang baik sehingga kapal kepunyaan beberapa orang miskin perlu dirusak sedikit agar kelak mudah diperbaiki sehingga bilapun raja melihatnya maka ia menduga kapal itu adalah kapal yang buruk dan membiarkannya.
Dalam ilmu balaghah dikatakan
حدف الصفة على الموصوف
“membuang sifat dari benda yang bersifat”
Begitupula dengan hadits “Kullu bid’ah dholalah” jika ditulis lengkap dengan sifat dari bid’ah kemungkinannya adalah
a. Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
Setiap “bid’ah yang baik” itu sesat (dholalah), dan setiap yang sesat (dholalah) masuk neraka
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat (dholalah) berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.
b. Kemungkinan kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِىالنَّاِر
Setiap “bid’ah yang jelek” itu sesat (dholalah), dan setiap yang sesat (dholalah) masuk neraka
Jadi kesimpulannya bid’ah yang sesat masuk neraka adalah bid’ah yang jelek (sayyiah) pengecualiannya adalah bid’ah yang baik (hasanah)
Para ahli tata bahasa Arab atau para ahli nahwu dan sharaf mengatakan bahwa “KULLU” dalam bahasa Indonesia arti yang tepatnya adalah “SETIAP” karena kata SETIAP dapat menerima pengecualian sedangkan kata SEMUA tidak dapat menerima pengecualian
Kullu dapat sebagai kullu ba’din maksudnya ”setiap dalam arti sebagian” dan dapat pula sebagai kullu jam’in maksudnya “setiap dalam arti semua”
Kullu dalam “kullu bid’ah dholalah” adalah kullu ba’din (kullu dalam arti sebagian) di mana kata bid’ah belum menunjukkan sifatnya.
Sedangkan kullu pada “setiap kesesatan akan bertempat di neraka” adalah kullu jam’in (kullu dalam arti semua) di mana “kesesatan” sudah jelas (lugas) sifat jelek (sayyiah).
Imam Nawawi juga berkata
قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .
“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dholalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Begitupula Imam Suyuthi berkata: “mengenai hadits “bid’ah dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf [46]:25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, atau firman Allah “sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama” (QS As Sajdah [32]:13) dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, (ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Para ulama telah sepakat bahwa hadits “sunnah sayyiah” dan “sunnah hasanah” adalah hadits yang mentakhsis hadit “kullu bida’atin dholalah”
Di dalam kitab hadits “Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi” jilid 4 halaman 104-105, cetakan “Darul Fikr” Beirut Libanon (lihat pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/shohih-muslim-bi-syarhi-an-nawawi.jpg
Al Imam Al Hafizh An Nawawi menerangkan bahwa hadits tentang sunnah hasanah (contoh yang baik) dan sunnah sayyiah (contoh yang buruk) adalah hadits yang mentakhsis hadits “kullu bid’atin dholalah” dan sebagai sumber atau dasar pembagian bid’ah.
Berikut kutipannya
******* awal kutipan *******
Pembagian bid’ah bersumber dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu:
“Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari dosanya”.
Hadits ini mentakhsis hadits Nabi yang berbunyi:
كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة
“Setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Adapun yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara-perkara baru yang bersifat bathil dan bid’ah-bid’ah yang bersifat tercela.
Dengan demikian, bid’ah dibagi kepada lima bagian, yaitu:
1. Bid’ah wajib,
2. Bid’ah sunnah,
3. Bid’ah haram,
4. Bid’ah makruh, dan
5. Bid’ah mubah.
****** akhir kutipan ******
Silahkan download atau baca secara online pada http://archive.org/details/SahihMuslimSharhNawawi
Begitupula Al Imam Al Hafiz Al-Qurthubi mengatakan: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi : “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan setiap bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wasallam, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
Berikut adalah hadits yang telah disepakati oleh para ulama untuk mentakhsis hadits “Kullu bid’atin dholalah”
Rasulullah alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)
Asbabul wurud dari hadits tersebut adalah adanya seorang Sahabat yang memelopori atau mencontohkan atau meneladankan bersedekah sesuatu yang dibungkus dengan daun.
Jarir (Jarir bin ‘Abdul Hamid) berkata; ‘Tak lama kemudian seorang Sahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang Sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang Sahabat yang turut serta menyumbangkan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-orang Arab badui tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Berikut adalah pendapat mereka yang mengikuti ajaran (pemahaman) Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat sebagaimana yang mereka publikasikan pada pada http://muslim.or.id/manhaj/sunnah-hasanah-atau-bidah-hasanah.html
Sunnah hasanah menurut mereka terbagi dua yakni
1. Sunnah Rasulullah yang sebelumnya ditinggalkan kemudian dibangkitkan kembali seperti qiyam Ramadhan bersama imam (sholat tarawih)
2. Sunnah Rasulullah yang segera dilakukan oleh seseorang, seperti yang dilakukan oleh seorang Anshar dengan shadaqahnya
Jadi dengan kata lain mereka mengatakan “barangsiapa yang menghidupkan suatu sunnah Rasulullah yang telah mati atau menyegerakan sunnah Rasulullah, maka baginya pahala dan pahala orang yang beramal karena meneladani perbuatannya”
Namun konsep pemahaman mereka terhadap “Sunnah hasanah” tidak konsisten diterapkan pada “Sunnah sayyiah” karena kalau mereka konsisten maka arti “Sunnah sayyiah” adalah sunnah Rasulullah yang buruk sedangkan kita tahu bahwa mustahil ada sunnah Rasulullah yang buruk atau mustahil ada contoh (teladan) dari Rasulullah yang buruk
Dengan konsep pemahaman mereka terhadap sunnah hasanah maka sama saja mereka mengatakan ada sunnah Rasulullah yang sayyiah.
Kata sunnah dalam “sunnah hasanah” dan “sunnah sayyiah” artinya contoh (teladan) atau kebiasaan baru yakni kebiasaan yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya.
Contoh (teladan) atau kebiasaan baru tersebut bisa baik (hasanah) dan bisa pula buruk (sayyiah)
Jadi sunnah hasanah adalah contoh (teladan) atau kebiasaan baru yang baik yakni kebiasaan baru yang tidak menyalahi laranganNya atau kebiasaan baru yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Sebaliknya sunnah sayyiah adalah contoh (teladan) atau kebiasaan baru yang buruk yakni kebiasaan baru yang menyalahi laranganNya atau kebiasaan baru yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Di sisi yang lain ada pula mereka mengatakan bahwa tidak semua bid’ah adalah perkara terlarang yakni bid’ah dalam urusan dunia
Mereka terpaksa menciptakan jalan untuk memecahkan problem-problem yang mereka hadapi dan kondisi zaman yang mereka hadapi yang juga menekan mereka.
Mereka terpaksa menciptakan perantara lain, yang jika tanpa perantara ini mereka tidak dapat melakukan aktifitas yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarkan oleh mereka seperti:
Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua yakni
1) bid’ah diniyah (urusan agama)
2) bid’ah duniawiyyah (urusan dunia)
Mereka yang suka bermain-main ini membolehkan menciptakan klasifikasi tersebut atau minimal telah membuat nama tersebut.
Pembagian atau klasifikasi bid’ah tersebut tidak pernah disebutkan oleh para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat
Mereka yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke yang baik (hasanah) dan buruk (sayyiah) itu tidak bersumber dari syari’, maka pembagian bid’ah menjadi bid’ah diniyyah yang tidak boleh dan bid’ah duniawiyyah yang boleh, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ada yang sebenarnya.
Mereka yang berpendapat terbaginya bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawiyyah tidak mampu menggunakan ekspresi bahasa dengan cermat.
Hal ini disebabkan ketika mereka berpendapat bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum.
Sebab dengan sikap ini mereka memvonis bahwa semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulkan fitnah dan bencana.
Urusan agama maupun urusan dunia kita harus mempergunakan dasar hukum bagi umat Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan ada lima yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Begitupula sebagaimana Imam Nawawi di atas membagi bid’ah kepada lima bagian mengikuti hukum taklifi yang lima, pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 4 (selengkapnya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/08/risalah-aswaja.pdf) menjelaskan
****** awal kutipan *******
Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima.
Beliau berkata: “Bid‟ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (Bid‟ah tersebut adakalanya):
1. Bid‟ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari‟ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.
2. Bid‟ah Muharramah: seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.
3. Bid‟ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.
4. Bid‟ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain sebagainya.
5. Bid‟ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.”
Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim bahwa berikut ini adalah bid‟ah, seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika bersedekah setelah kematian dengan catatan tidak adanya perkara yang mencegah untuk bersedekah tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid‟ah.
Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar-pasar malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk-buruknya bid‟ah.
****** akhir kutipan *****
Mereka yang mengatakan bahwa bid’ah diniyah (urusan agama) adalah terlarang kecuali bid’ah duniawiyyah (urusan dunia) salah satunya berpegang pada pendapat Ibnu Taimiyyah yang mendefinisikan bid’ah adalah:
البدعة ما خالفت الكتاب والسنة أو إجماع سلف الأمة من الا عتقادات والعبادات.
Bid’ah adalah apa yang menyelisihi al-Kitab dan sunnah atau as-Sunnah atau ijmak (kesepakatan) Salaful Ummah dari i’tiqod (keyakinan) dan ibadah. [Majmu’ al-Fatawa 18/346]
Definisi tersebut adalah definisi bid’ah karena tidak pernah dikatakan oleh Rasulullah
Bid’ah adalah perkara baru atau muhdats atau perkara yang tidak ada pada masa Rasulullah
Bid’ah yang menyelisihi atau bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah bid’ah sayyiah alias bid’ah dholalah dan Rasulullah mengatakannya dengan sunnah Sayyiah.
Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah dan Rasulullah mengatakannya dengan sunnah hasanah
Contohnya mereka mengakui bahwa pembagian tauhid menjadi tiga adalah perkara baru (muhdats) atau perkara bid’ah karena pembagian tersebut tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa Sahabat, Tabi’in maupun Tabi’it Taabi’in sebagaimana pengakuan mereka pada http://almanhaj.or.id/content/2333/slash/0/pembagian-tauhid/
Bid’ah pembagian tauhid jadi tiga tersebut termasuk bid’ah sayyiah alias bid’ah dholalah karena bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana yang telah diuraikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/08/07/tauhid-trinitas/
Contoh bid’ah hasanah adalah sholawat yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah namun matan atau syairnya tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Contoh pujian bagi Rasulullah atau sholawat bid’ah dari para Sahabat
Telah menceritakan kepada kami Musaddad Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al Mufadldlal Telah menceritakan kepada kami Khalid bin Dzakwan ia berkata; Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afran berkata; suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan masuk saat aku membangun mahligai rumah tangga (menikah). Lalu beliau duduk di atas kasurku, sebagaimana posisi dudukmu dariku. Kemudian para budak-budak wanita pun memukul rebana dan mengenang keistimewaan-keistimewaan prajurit yang gugur pada saat perang Badar. Lalu salah seorang dari mereka pun berkata, “Dan di tengah-tengah kita ada seorang Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.” Maka beliau bersabda: “Tinggalkanlah ungkapan ini, dan katakanlah apa yang ingin kamu katakan.” (HR Bukhari 4750)
Dalam riwayat di atas , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanya mengkoreksi syair yang berbunyi “Dan di tengah-tengah kita ada seorang Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari” dan oleh karena Beliau mengetahui sebatas apa yang diwahyukanNya sehingga Beliau memerintahkan untuk meninggalkan syair atau ungkapan tersebut saja dan membolehkan mengungkapkan kecintaan kita kepada Rasulullah dengan ungkapan yang lain yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana mana anjuran nya dalam riwayat di atas dengan sabdamya “dan katakanlah apa yang ingin kamu katakan.”
Jadi orang-orang yang sering mengatakan “sholawat-sholawat bid’ah” adalah mereka yang gagal paham tentang bid’ah akibat mereka memahami Al Qur’an dan As Sunnah secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Jadi pengikut syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu atau kekerasan berdasarkan kesalapahamannya dalam memahami Al Qur’an dan Hadits
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha
Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha.
Piihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat (teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) atau ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/02/radikal-al-qaeda-dan-isis/
Contoh pengikut syaitan sehingga hati mereka merasa terbakar mendengarkan sholawat-sholawat yang dianggap mereka bid’ah dholalah karena mereka gagal paham tentang bid’ah.
Ada pula yang mengatakannya sebagai “nyanyi-nyanyi rame” sebagaimana yang dapat kita saksikan pada http://www.youtube.com/watch?v=KqhPoioZZxU
Secara tidak langsung mereka menghina para Sahabat sebagaimana riwayat di atas yang menerangkan bahwa pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti pada resepsi pernikahan adalah hal yang umum diisi dengan hiburan berupa melantunkan syair pujian atau sholawat yang diiringi alat musik seperti rebana.
Pengikut syaitan lainnya karena terjerumus kemusyrikan adalah mereka yang gagal paham tentang bid’ah sehingga mereka dapat terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Nasrani yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang yang tidak dilarangNya atau mengharamkan yang tidak diharamkanNya dan sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkanNya sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/08/21/gagal-paham-bidah/
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31)
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Begitupula para Imam Mujtahid telah mengingatkan untuk berhati-hati dalam berijtihad dan beristinbat (menetapkan hukum perkara), hindarilah mengharamkan (melarang) sesuatu tanpa dalil karena perbuatan mengharamkan (melarang) sesuatu tanpa dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah termasuk perbuatan menyekutukan Allah
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkanpadaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Para ulama mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah, perkara yang dibolehkan.
Jadi selama kebiasaan, adat atau budaya tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka hukum asalnya adalah mubah (boleh) sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/15/amrun-mubah/
Begitupula mereka yang melarang atau mengharamkan qasidah burdah adalah mereka yang gagal paham tentang bid’ah.
Salah satu poin seruan pada Raja Ibnu Sa’ud adalah “tidak mengganggu orang yang menjalankan wirid zikir yang benar atau wirid membaca Dalail al-Khairat atau Burdah atau mengaji kitab fiqh mazhab Syafi’i, seperti Tuhfah, Nihayah, Bajah.” sebagaimana contoh informasi dari http://chaerolriezal.blogspot.co.id/2013/06/nahdhatul-ulama-nu_12.html
Mereka yang melarang atau mengharamkan qasidah burdah karena menganggap sebagai pujian berlebihan bagi Rasulullah adalah karena salah memahami sabda Rasulullah, “Jangan memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Hal ini timbul dikarenakan mereka mencoba memahami hadits secara sepotong-potong.
Kadang mereka memotong sebatas
“Jangan memujiku secara berlebihan ”
atau
“Jangan memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam”
Mereka tidak memperhatikan apa fungsi bagian akhir dari sabda Rasulullah tersebut yakni “Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Hadits tersebut sudah secara jelas meberikan batasan pujian yang berlebihan yakni “seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam” yang mempunyai makna majaz (kiasan) yang maknanya adalah “seperti kaum Nasrani yang menjadikan Nabi Isa a.s sebagai putera Tuhan”
Apa yang dilakukan oleh kaum Nasrani diingkari dengan “Isa putera Maryam” dan “Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Dan sejak larangan Nabi itu disampaikan hingga saat ini, tidak pernah ada seorangpun dari kalangan umat Islam yang memuji Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melebihi batasannya sebagai manusia.
Sehingga benarlah apa yang disampaikan Imam Bushiri di dalam syair Burdahnya:
“Tinggalkan pengakuan orang Nasrani atas Nabi mereka… Pujilah beliau (shallallahu alaihi wasallam) sesukamu dengan sempurna… Sandarkanlah segala kemuliaan untuk dirinya… Dan nisbahkanlah sesukamu segala keagungan untuk kemuliaannya…”
Begitupula mereka menganggap syair dalam qasidah burdah mengandung kemusyrikan serupa pula dengan mereka menganggap kaum muslim yang mengamalkan sholawat Nariyah akan bertempat di Neraka karena pemahaman tauhid mereka adalah tauhid ala firqah Wahabi.
Terkait sholawat Nariyah, mereka mengatakan bahwa
“Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang diserunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah)”
Tampaknya mereka memahami secara dzahir atau dengan makna dzahir terhadap kalimat yang artinya,
“yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik”
Kalimat tersebut seharusnya dipahami dengan makna majaz (makna metaforis , makna kiasan) bahwa Beliau shallallahu alaihi wasallam pembawa Al Qur’an, pembawa hidayah, pembawa risalah, yang dengan itu semualah terurai segala ikatan dosa dan sihir, hilang segala kesedihan yaitu dengan sakinah, khusyu dan selamat dari siksa neraka, dipenuhi segala kebutuhan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik yaitu husnul khatimah dan sorga,
Ini adalah kiasan saja dari sastra balaghah Arab dari cinta, sebagaimana pujian Abbas bin Abdulmuttalib ra kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dihadapan Beliau shallallahu alaihi wasallam :
“… dan engkau (wahai Nabi shallallahu aalaihi wasallam) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417), tentunya bumi dan langit tidak bercahaya terang yang terlihat mata, namun kiasan tentang kebangkitan risalah.
Sebagaimana ucapan Abu Hurairah ra : “Wahai Rasulullah, bila kami dihadapanmu maka jiwa kami khusyu” (shahih Ibn Hibban hadits no.7387), “Wahai Rasulullah, bila kami melihat wajahmu maka jiwa kami khusyu” (Musnad Ahmad hadits no.8030)
Semua orang yang mengerti bahasa arab memahami ini, Cuma kalau mereka tak faham bahasa maka langsung memvonis musyrik, tentunya dari dangkalnya pemahaman atas tauhid.
Demikianlah penjelasan ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yakni Habib Munzir Al Musawa yang bersumber dari http://www.majelisrasulullah.org/forums/topic/keutamaan-shalawat-nariyyah-fiqhaqidah/
Memang salah satu ciri khas mereka yang mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat adalah dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi dalam kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahannya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf menjelaskan bahwa,
“sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (makna dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)”
Kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah seperti makna majaz timbul contohnya jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Jadi kesimpulannya orang-orang yang sesat dan menyesatkan dapat dikarenakan kurang mendalami atau bahkan melarang (mengharamkan) mendalami ilmu balaghah.
Oleh karenanya lebih baik mensyaratkan bagi pondok pesantren, majelis tafsir, ormas-ormas yang mengaku Islam, lembaga kajian Islam maupun lembaga-lembaga Islam lainnya termasuk lembaga Bahtsul Masail untuk dapat memahami dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) dalam implementasi agama dan menghadapi permasalahan kehidupan dunia sampai akhir zaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, wajib menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/30/bacalah-dan-istinbath/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar