Rasulullah yang menafikan Arsy sebagai tempat bagi Allah Ta’ala
Rasulullah menafikan Arsy sebagai tempat bagi Allah dengan sabdanya
فلَيس دونك شيء
“Tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu”
Sabda Rasulullah selengkapnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
وأنت الظاهر فليس فوقك شيء وأنت الباطن فليس دونك شيء
Engkau Adz Dzahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu dan Engkau Al Bathin tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR Muslim 4888)
Berikut kutipan penjelasan Al-Hafizh al Baihaqi (w 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash Shifat, hlm. 506 yang menetapkan hadits tersebut sebagai salah satu dalil untuk menafikan arah dan tempat bagi Allah. Maha Suci Allah Subhanahu wa Ta’ala dari arah dan tempat.
***** awal kutipan ******
والذي روي في اخر هذا الحديث إشارة إلى نفي المكان عن الله تعالى, وأن العبد أينما كان فهو في القرب والبعد من الله تعالى سواء, وأنه الظاهر فيصح إدراكه بالأدلة, الباطن فلا يصح إدراكه بالكون في مكان. واستدل بعض أصحابنا في نفي المكان عنه بقول النبي صلى الله عليه و سلم أنت الظاهر فليس فوقك شىء, وأنت الباطن فليس دونك شىء, وإذا لم يكن فوقه شىء ولا دونه شىء لم يكن في مكان
“….dan yang disebutkan di akhir hadits adalah indikasi penafian tempat bagi Allah Ta’ala dan seorang hamba di mana pun berada maka jauh dan dekatnya ia kepada Allah Ta’ala itu sama saja.
Allah Ta’ala, adalah Adz-Dzahir – maka Dia bisa diketahui dengan bukti-bukti (dalil) , Allah Ta’ala adalah Al-Bathin -. maka Dia tidak bisa diketahui dengan tempat.
Dan telah berdalil sebagian sahabat kami (ahlus sunnah) dalam menafikan tempat bagi Allah dengan sabda Rasululullah shallallahu alaihi wasallam,
Engkau Adz Dzahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu dan Engkau Al Bathin, tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu.
“jika tidak ada sesuatu di atas dan di bawahNya itu artinya Allah tidak ada pada tempat”.
***** akhir kutipan *****
Begitupula Rasulullah menafikan Arsy sebagai tempat bagi Allah dengan sabdanya
قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ
“Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya. Di atasNya tidak ada sesuatu dan di bawahNya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arsy di atas air.” .
قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ
Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, (makna) Ama` adalah (Allah ada) tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya (Sunan at Tirmidzi, 3109)
Sedangkan sabda Rasulullah yang ARTINYA “Lalu Allah menciptakan Arsy di atas air.” MAKNANYA BUKANLAH Allah Ta’ala BERUBAH menjadi di atas ‘Arsy karena Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan berubah.
Rasulullah sekedar memberitakan bahwa Allah Ta’ala menciptakan Arsy di atas air.
Rasulullah tidak pernah bersabda bahwa Allah Ta’ala menciptakan Arsy berada di bawahNya
Imam al-Qadli Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab berjudul Idlah ad-Dalil Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, hlm. 106-107 menuliskan
***** awal kutipan *****
Kemudian kata “tsumma” dalam firman-Nya: “Tsumma Istawa” bukan dalam pengertian “tertib atau berkesinambungan” dalam perbuatan-Nya, tetapi untuk memberikan paham tertib atau kesinambungan dalam pemberitaan, bukan dalam perbuatan-Nya.
**** akhir kutipan ***
Begitupula firman Allah Ta’ala yang ARTINYA , “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57] : 3)
MAKNANYA adalah Allah Ta’ala ada, sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya.
Allah Ta’ala ada, sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya.
Allah Ta’ala ada, sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ’Arsy
Rasulullah bersabda
قَالَ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ – رواه البخاري
“Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR Bukhari)
Rasulullah bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىءٌ غَيْـرُهُ – رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود
“Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (HR. al Bukhari, al Baihaqi dan Ibn al Jarud)
Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata “Allah ada dan belum ada tempat dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula ada tanpa tempat”
Syaikh Ibnu Athoilah berkata “Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya. Dia kini adalah tetap sebagaimana adanya”
Berdalillkan firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah beserta penjelasan dari para ulama terdahulu di atas maka dapat kita simpulkan bahwa,
“Allah Ta’ala ada, tidak ada sesuatu apapun selain-Nya dan Dia sekarang TIDAK BERUBAH, Dia ada sebagaimana awalnya”.
Allah Ta’ala mustahil atau tidak boleh disifatkan berubah !!!
Al-Imam al-Qurthubi menuliskan:
والله جل ثناؤه لا يوصف بالتحول من مكان إلى مكان، وأنَّى له التحول والانتقال ولا مكان له ولا أوان، ولا يجري عليه وقت ولا زمان، لأن في جريان الوقت على الشىء فوت الأوقات، ومن فاته شىء فهو عاجز
“Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22)
Imam Syafi’i berkata
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia ada sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. (Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin ditulis oleh al-‘Allamah Muhammad ibn Muhammad al-Husaini al-Murtadha al-Zabidi (1791M) – Jilid 2-halaman 36)
Oleh karena Rasulullah menafikan Arsy sebagai tempat bagi Allah Ta’ala maka tidak ada umat Islam yang mempunyai aqidah (i’tiqod) atau keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bertempat di mana – mana.
Sunnah Rasulullah untuk meyakini keberadaan Allah adalah dengan memikirkan nikmat-nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah“.
Oleh karenanya ungkapan-ungkapan seperti,
“Allah wujud (ada) di mana mana”
atau
“apa yang terlihat di mana mana adalah wujud (keberadaan) Allah”
BUKAN BERARTI Allah Ta’ala bertempat di mana mana NAMUN MAKNANYA adalah bahwa kita bisa mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Ta’ala serta mengenal Allah (makrifatullah) adalah dengan memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya atau disebut juga ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos).
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53)
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS Yunus [10] : 101).
Begitupula Rasulullah sendiri yang menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Malik rahimahullah yakni
لا تفضلوني على يونس بن متى
“La Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta”
Imam Malik menjelaskan bahwa
****** awal kutipan *****
Rasulullah secara khusus menyebut Nabi Yunus dalam sabdanya, tidak menyebut Nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman aqidah tanzih (Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat).
Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah arsy (ketika peristiwa Mi’raj), sementara nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam (ketika Beliau ditelan oleh ikan besar), dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah Ta’ala sama saja.
Artinya satu dari lainnya tidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan melarang melebih-lebihkan Beliau atas nabi Yunus ibn Matta”.
****** akhir kutipan ******
Penjelasan Imam Malik tersebut disampaikan oleh
1. Al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki (seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah), dalam karyanya berjudul “al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa
2. Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil.
3. Al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadahal-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin.
dan lain lainnya.
Begitupula Al-Imam al-Qurthubi menuliskan
***** awal kutipan *****
وقال أبو المعالي: قوله صلى الله عليه وسلم لا تفضلوني على يونس بن متّى
“Abu al-Ma’ali berkata: Sabda Rasulullah berbunyi “La Tufadl-dlilunî ‘Ala Yunus Ibn Matta”
المعنى فإني لم أكن وأنا في سدرة المنتهى بأقرب إلى الله منه وهو في قعر البحر في بطن الحوت. وهذا يدل على أن البارىء سبحانه وتعالى ليس في جهة
memberikan pemahaman bahwa Nabi Muhammad yang diangkat hingga ke Sidrah al-Muntaha tidak boleh dikatakan lebih dekat kepada Allah dibanding Nabi Yunus yang berada di dalam perut ikan besar yang kemudian dibawa hingga ke kedalaman lautan. Ini menunjukan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 11, h. 333-334, QS. al-Anbiya’: 87)
***** akhir kutipan *****
Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Asy-Syafi’i Al-Bantani Al-Jawi dalam kitabnya ” Nur Adh-Dhalam” syarah ‘Aqidatul ‘Awam halaman 42 baris 3-6 mengatakan:
***** awal kutipan *****
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berada di suatu tempat maupun arah , Maha suci Allah dari yang demikian (bertempat atau berarah) , tempat hanya dinisbatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
لا تفضلوني على يونس بن متّى
“La Tufadl-dlilunî ‘Ala Yunus Ibn Matta”
maksudnya : Janganlah kamu berprasangka bahwa aku lebih dekat kepada Allah daripada Nabi Yunus hanya karena Allah mengangkat aku ke atas langit yang tujuh sedangkan Nabi Yunus berada didasar lautan didalam ikan , masing-masing dari kami berdua nisbat kedekatan dari Allah ada pada batasan yang sama.
***** akhir kutipan *****
Begitupula Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki dalam kitab karyanya yang berjudul “Wahuwa bi al’ufuq al-a’la” dan telah diterjemahkan oleh penerbit Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam” menjelaskan
***** awal kutipan *****
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Meskipun Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi Beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah Ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maha suci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada Rasulullah, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu”.
Jadi kembalinya Rasulullah kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
***** akhir kutipan *****
Jadi Rasulullah Mi’raj ke Sidratul Muntaha adalah ke tempat Beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya dan sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi
Begitupula umat Islam bermunajat ke Baitullah maupun ke Masjid bukan ke tempat atau ke rumah Allah Ta’ala atau bukan Allah Ta’ala berada atau bertempat di tempat hambaNya bermunajat.
Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat.
Mereka yang mengaku-ngaku TANPA TAKWIL namun pada kenyataannya terhadap ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM, mereka TAKWILKAN dengan ISTAQARRA yang artinya BERADA, BERTEMPAT, MENETAP TINGGI di atas Arsy atau di lain waktu mereka mengatakan di langit ( FIS SAMA’ ) atau bahkan ada yang mengatakan di Sidratul Muntaha sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/07/19/istiwa-ditakwil-istaqarra/
Ustadz Abdul Somad menjelaskan bahwa ada dua cara memaknai ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM yakni
1. Tafwid yakni membiarkan khabar-khabar tersebut sebagaimana datangnya maksudnya membiarkan sebagaimana LAFAZnya dan menyerahkan MAKNANYA kepada Allah Ta’ala
2. Ta’wil dengan MAKNA MAJAZ (makna kiasan) yakni berkuasa karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3)
Ustadz Abdul Somad mencontohkan “Bapak Drs H M. Abdullah Msc duduk di singgasana Walikota selama dua periode” bukan bermakna dia duduk di singgasana sepanjang dua periode namun maknanya dia berkuasa selama dua periode.
Saksikan penjelasan beliau selangkapnya dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=r5MTZUZneBw
Para ahli tafsir (mufassir) telah sepakat menterjemahkan atau mengartikan ISTAWA adalah BERSEMAYAM namun kita harus dapat membedakan antara ARTI dengan MAKNA.
Kata ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM mempunyai dua makna yakni MAKNA DZAHIR dan MAKNA MAJAZ (makna kiasan)
MAKNA DZAHIR dari kata ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM adalah DUDUK atau BERTEMPAT dan tentu MAKNA seperti ini tidak patut atau tidak layak disifatkan bagi Allah Ta’ala karena akan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod (akidah).
Makna kata ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM yang patut atau layak disifatkan bagi Allah Ta’ala adalah dalam MAKNA MAJAZ (makna kiasan) atau makna yang tersirat (makna di balik yang tertulis) yakni MENGUASAI karena Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata,
إنَّ اللهَ خلَقالْعرشإظْهارا لقُدرتهولم يتخذْهمكَانا لذَات
(رواه أبو منصور البغدادي في الفرق بين الفرق/ ص : ٣٣٣)
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya” , diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi (W 429 H) dalam kitab al Farq bayna al Firaq (perbedaan di antara Aliran-aliran), hal. 333)
Oleh karenanya para ulama terdahulu membolehkan memaknai ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM dengan makna majaz (makna kiasan) seperti ISTAWLA yang artinya menguasai karena tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh.
Contohnya Imam al-Hafizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam kitabnya, Ithaf as-Sadah al-Muttaqîn menyebutkan bahwa seorang yang menafsirkan Istawa dengan Istawla tidak berbuat kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh. Menurut Imam az-Zabidi penafsiran semacam ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah.
Ibn Battal mengatakan, “pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau “Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah berkuasa (Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21).
Dalam Shubah al-Tashbih hal:23 , Ibn al Jawzi juga membolehkan menafsirkan istiwa sebagai “al-qahr”, menguasai.
Al-Qushayri dalam Lata’if al-Isharat, telah menyebutkan : Adapun mengenai singgasana Qalbu, “Kami angkut mereka di daratan dan di lautan” . telah disimpulkan pula bahwasanya : “Dia (Allah) Yang Maha Rahman menetapkan Dirinya sendiri atasnya (`alaihi istawa); sedang mengenai arsy di hati: Yang Maha Rahman menguasainya (`alaihi istawla). Arsy di langit adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk, sedang arsy di hati adalah tempat melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Sehingga, ada ada perbedaan besar antara kedua arsy itu” (Lata’if al-Isharat jilid 4 hal:118)”
Imam al-Qâdlî Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab berjudul Idlâh ad-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, hlm. 106-107, menuliskan sebagai berikut:
***** awal kutipan ******
Kemudian jika ia berkata: ”Bukankah Allah menguasai seluruh makhluk-Nya, lantas untuk apa penyebutan arsy secara khusus yang dikuasai oleh Allah?”, kita jawab: Asry disebut secara khusus karena ia adalah makhluk Allah yang paling besar bentuknya, sebagaimana telah disepakati ulama.
Ini seperti penyebutan arsy secara khusus dalam firman-Nya: ”Wa Huwa Rabb al-arsy al-‘Azhîm” (QS. At-Taubah: 129), artinya bahwa Allah adalah Tuhan arsy yang agung, padahal Allah adalah Tuhan bagi seluruh alam ini.
Dengan demikian dapat dipahami jika Allah menguasai makhluk yang paling besar bentuknya, yaitu arsy, maka sudah pasti demikian adanya terhadap makhluk-makhluk yang bentuknya lebih kecil dari pada arsy itu sendiri”.
******* akhir kutipan ******
Para ulama terdahulu ada yang mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyyah, salah satunya karena Ibnu Taimiyyah memaknai kata ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM DITAKWIL dengan ISTAQARRA yang artinya berada, bertempat, menetap tinggi sehingga terjerumus MENGHINA atau DURHAKA kepada Allah sebagaimana contoh kabar dari Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami ‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj menuliskan,
***** awal kutipan *****
Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan.
Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji.
Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”
***** akhir kutipan *****
Berdasarkan pernyataan Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan yakni ditetapkan kufur dalam i’tiqod oleh banyak ulama maka perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Beliau.
Contohnya ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’
Para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan kekhawatiran atas fatwa para ulama terdahulu ada yang mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyyah sebagaimana contoh tulisan mereka pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/12/ibnu-taimiyah-dikafirkan-ibnu-hajar.html
Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana contoh tulisan mereka pada http://abul-harits.blogspot.co.id/2013/03/pembelaan-al-hafidz-ibnu-hajar-terhadap.html
Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab yang mereka kutip sendiri.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah MENGINGATKAN bahwa AMBIL YANG BAIK dan TINGGALKAN YANG BURUK dari Ibnu Taimiyyah
*** awal kutipan ***
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه
“Meskipun demikian, beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
*** akhir kutipan ****
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah mengingatkan HAL YANG BURUK atau MENCONTOHKAN KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah beristiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya sebagaimana yang diinformasikan pada http://www.aswj-rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html
**** awal kutipan ****
Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah,
Ada sebagian kelompok yang menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-akidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya.
Di antaranya : Ibnu Taimiyyah mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah beristiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya.
Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “Aku tidak setuju batasan dan bagian termasuk kekhususan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan batasan bagi Dzat Allah.
**** akhir kutipan ****
Jadi pada kenyataannya mereka yang merasa atau mengaku-ngaku mengikuti manhaj atau mazhab Salaf namun hidup di zaman khalaf yakni di atas 300 H adalah PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah.
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Jadi paham Wahabisme yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab adalah PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah.
Berikut kutipan contoh tulisan mereka yang berdalilkan pendapat atau fatwa Ibnu Taimiyyah yang mereka publikasikan pada http://ajaranislamyanghaq.wordpress.com/2013/02/04/bagaimanakah-bentuk-allah-swt-itu/
Tulisan tersebut terproteksi untuk kalangan mereka sendiri namun kami sempat mengarsipnya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf
Berikut kutipannya,
***** awal kutipan *****
– Allah Ta’ala memiliki pembatas yaitu langit!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Rahimahumullah- berkata: “Semua manusia, baik dari orang-orang kafir maupun orang-orang mukmin telah sepakat bahwa Allah Ta’ala bertempat di langit, dan bahwa Dia diliputi dan dibatasi oleh langit tersebut, kecuali pendapat al-Marisi dan para pengikutnya yang sesat. Bahkan anak-anak kecil yang belum mencapai umur baligh apabila mereka bersedih karena tertimpa sesuatu maka mereka akan mengangkat tangan ke arah atas berdoa kepada Tuhan mereka yang berada di langit, tidak kepada apapun selain langit tersebut. Setiap orang lebih tahu tentang Allah dan tempat-Nya dibanding orang-orang Jahmiyyah”. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhm didalam Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, j. 2, h. 29-30).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhm berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala memiliki batasan (bentuk) dan tidak ada yang mengetahui bentuk-Nya kecuali Dia sendiri. Demikian pula tempatNya memiliki batasan (bentuk), yaitu bahwa Allah Ta’ala berada di atas ‘arsy (Singgasana Allah yang terletak di atas langit yang ketujuh) di atas seluruh lapisan langit. Maka keduanya ini (Allah dan tempat-Nya) memiliki bentuk dan batasan!”. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhm di dalam Muwafaqat Sharih Al-Ma’qul, j. 2, h. 29).
***** akhir kutipan ******
Dari tulisan mereka dapat kita ketahui bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah menjismkan Dzat Allah yakni mensifatkan Allah dengan sifat benda seperti berbatas dengan ciptaanNya.
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi mudah–mudahan Allah meridlainya ( 227-321 H) mengatakan :
“تعالـى (يعني الله) عن الحدود والغايات والأركان والأعضاء والأدوات لا تحويه الجهات الست كسائر المبتدعات”.
“Maha suci Allah dari batas-batas (ukuran dan bentuk kecil maupun besar), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Jumhur ulama dari sejak dahulu kala telah sepakat bahwa sesungguhnya angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap Ka’bah dalam shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.
Imam Nawawi berkata: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” [Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal :22]
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Jika dipertanyakan, ketika adalah kebenaran itu maha suci Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud mengangkat tangan dalam doa ke arah langit ? maka jawaban nya
**** awal kutipan ****
Manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada penduduk bumi,
dan begitu juga tentang diangkat nya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-perkara mulia tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit, dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5, hal 244]
**** akhir kutipan *****
Ibnu Taimiyyah beri’tiqod (aqidah) atau berkeyakinan bahwa Tuhan berbatas dengan ciptaanNya serupa dengan yang disampaikan salah seorang ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah) sebagaimana contoh yang termuat pada http://mahadilmi.wordpress.com/2011/04/18/allah-turun-ke-langit-dunia/
**** awal kutipan ****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara akal kita terbatas untuk melliputi ilmu Allah Ta’ala”
**** akhir kutipan ****
Perkataan atau pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah yakni “Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” adalah sebuah KEBID’AHAN karena TIDAK PERNAH disabdakan oleh Rasulullah maupun dikatakan oleh Salafush Sholeh.
Perkataan atau pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah bahwa “Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” tentu bukanlah pemahaman para Sahabat atau Salafush Sholeh namun pemahaman ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan menjelaskan hadits shahih berikut
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Tidak ada satupun ulama yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa hadits nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/03/23/yanzilu-rabbuna/
Begitupula salah satu pokok perbedaan umat Islam pada umumnya dengan para pengikut paham Wahabisme yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah ADALAH dalam cara mereka memahami hadits panjang yang terdiri dari beberapa bagian yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami.
Imam Muslimpun tidak menganggap hadits yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami tersebut sebagai landasan i’tiqod (aqidah) bagi kaum muslim.
Oleh karenanya imam Muslim tidak meletakkan hadits tersebut pada bab aqidah atau keimanan.
Hal pokok yang shahih dan tidak diperselisihkan adalah pada bagian sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”
Pertanyaan di mana Allah adalah redaksi pribadi Muawiyah yang baru masuk Islam sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/07/20/redaksi-pribadi-muawiyah/
Jadi pada kenyataannya timbulnya perselisihan adalah dari orang-orang yang melarang taqlid kepada Imam Mazhab yang empat namun mereka taqlid kepada ulama yang mengingkari makna majaz.
Berikut kutipan contoh informasi tentang ulama panutan mereka dari http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
***** awal kutipan *****
Sekilas tentang keberadaan majaz dalam bahasa, khususnya bahasa Arab, adalah suatu perkara yang diperselisihkan oleh para ulama.
Ada ulama yang mengingkari keberadaan majaz secara mutlak. Para ulama yang berpendapat demikian, mengingkari keberadaan majaz, baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah rahimahumallahu. (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115).
Bahkan Ibnul Qayim mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)
***** akhir kutipan ******
Makna dzahir disebut juga makna tersurat, makna dari apa yang tertulis, makna hakikat, makna harfiah, makna indrawi. Terkait dengan makna literal atau makna leksikal yakni makna dasar yang terdapat pada setiap kata atau kalimat atau makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lain dalam sebuah susunan kata atau kalimat.
Sedangkan makna majaz disebut juga makna tersirat, makna dibalik yang tertulis, makna kiasan, makna metaforis. Tekait dengan makna kontekstual, makna struktural atau makna yang terkait dengan makna gramatikal yakni makna turunan atau makna kata yang terbentuk karena penggunaan kata tersebut dalam kaitannya dengan tata bahasa. Makna gramatikal muncul karena kaidah tata bahasa, seperti afiksasi, pembentukan kata majemuk, penggunaan atau susunan kata dalam kalimat dan lain lain.
Contoh tangan makna dzahir atau makna kata secara lepas adalah bagian dari anggota tubuh manusia namun ketika bersusunan seperti buah tangan, tangan kanan, tangan besi, ringan tangan mempunyai makna yang berlainan.
Makna hakikat merupakan makna yang dzahir dari satu lafaz.
Sedangkan makna majaz merupakan makna muawwal
Lafaz dipalingkan dari maknanya yang dzahir maka lafaz tersebut dinamakan lafaz muawwal.
Kapankah suatu lafaz boleh dipalingkan dari makna dzahir dan ditakwil atau dimaknai dengan makna majaz ?
Suatu lafaz BARU BOLEH diberi makna majaz APABILA ada satu indikasi yang yang menyebabkan tidak mungkin diterapkan makna dzahir atau makna hakikat, misalnya dalam kalam tersebut makna dzahir atau makna hakikat merupakan makna yang mustahil diterapkan dalam kalam tersebut.
Ulama Hambali, Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi memberikan pedoman cara menghadapi AYAT-AYAT MUTASYABIHAT yakni AYAT-AYAT YANG MEMPUNYAI BANYAK MAKNA terkait sifat Allah yang ditetapkanNya.
Beliau berkata, “Sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maksudnya jika dipahami dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak (tidak patut) bagiNya maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan)”.
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan makna majaz (makna kiasan) adalah serupa dengan mereka yang berpendapat tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar