Firqah MUJASSIMAH ciptakan istilah JENIS kalam Allah dan MATERI kalam Allah karena ingkari perbedaan Al Qur’an sifat kalam Allah bukan makhluk dengan bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab adalah makhluk
Firqah MUJASSIMAH mengingkari perbedaan Al Qur’an sifat kalam Allah bukan makhluk dengan bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab adalah makhluk
Sedangkan ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) sebelum bertaubat “membedakan” antara Al Qur’an sifat kalam Allah BUKAN MAKHLUK (QADIM) dan bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab adalah makhluk dengan MENCIPTAKAN istilah yakni JINSU Kalaamillah Qaddimun dan AFRAADU Kalaamillah Haditsun
Ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang berjudul Risalah Fi Shifat al-Kalam h.51 mengatakan
***** awal kutipan *****
“Dengan demikian maka Kalam Allah Qadim (tidak bermula), padahal Dia berbicara dengan kehendak-Nya dan kuasa-Nya. Dan ketika dikatakan bahwa Dia menyeru dan berbicara dengan suara, namun itu TIDAK melazimkan atau TIDAK mengharuskan bahwa MATERI suara itu Qadim. (Materi suara TIDAK QADIM atau MAKHLUK)
Karena itu, ketika dikatakan bahwa Dia berbicara dengan (lafazh-lafazh) Taurat, al-Qur’an, dan Injil dengan kehendak-Nya dan kuasa-Nya maka tidak tercegah (artinya boleh jadi) bahwa Dia Allah berbicara dengan huruf ba’ sebelum huruf sin. Dan ketika dikatakan bahwa ba’ dan sin itu Qadim (tidak bermula) namun itu tidak melazimkan (mengharuskan) bahwa MATERI huruf ba dan sin itu sebagai sesuatu yang Qadim, oleh karena telah jelas adanya perbedaan antara JENIS dan MATERI (Kalam Allah)”
***** akhir kutipan *****
BerIkut kutipan contoh penjelasan dan “penerapan” oleh penerus KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah sebagaimana yang disampaikan oleh mereka pada https://muslim.or.id/50520-dua-pengertian-sifat-kalam-allah-menurut-aqidah-ahlus-sunnah-bag-1.html
***** awal kutipan *****
Aqidah Ahlus Sunnah dalam masalah kalam Allah adalah bahwa kalam Allah itu “qadiimun nau’; haaditsul ahaad”.
Yang dimaksud dengan qadiimun nau’ (qadiim artinya dulu tanpa awal; dan nau’ artinya JENIS) artinya, Allah Ta’ala itu Maha berbicara dalam arti tidak bisu, dan Allah Ta’ala sejak dahulu tanpa awal itu Maha berbicara. Dan seterusnya tanpa akhir, Allah Ta’ala tidak bisu.
Sifat kalam Allah (JENIS kalam Allah) bukanlah sifat yang baru bagi Allah Ta’ala, tidak sebagaimana sifat berbicara makhluk (manusia), yang baru bisa berbicara setelah usia tertentu dan sebelumnya tidak bisa berbicara. Tidak pernah ada suatu fase di mana Allah Ta’ala itu menjadi Dzat yang bisu.
Sehingga dalam aqidah Ahlus Sunnah terdapat istilah, “Jinsu kalaamillah qaddimun.” (JENIS kalam Allah – lawan dari bisu adalah qadiim.)
Sedangkan yang dimaksud dengan haaditsul ahaad (haadits artinya perkara baru; ahaad kurang lebih artinya MATERI atau SATUAN kalam) adalah masing-masing firman (kalimat) yang diucapkan atau difirmankan oleh Allah Ta’ala adalah perkara yang baru. Karena Allah Ta’ala itu baru berbicara (tidak diam) setelah Allah Ta’ala menghendaki untuk berbicara dengan topik tertentu dan dengan siapa saja yang Allah Ta’ala kehendaki dari makhluk-Nya. Apakah Allah Ta’ala hendak berbicara langsung dengan makhluk-Nya seperti peristiwa dengan Nabi Musa ‘alahis salaam atau melalui perantaraan Jibril ‘alahis salaam, semua tergantung pada kehendak Allah Ta’ala.
Untuk lebih memudahkan pemahaman, kami contohkan dengan firman Allah Ta’ala kepada Musa ‘alahis salaam,
وَإِذْ نَادَىٰ رَبُّكَ مُوسَىٰ أَنِ ائْتِ الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya), “Datangilah kaum yang zalim itu.” (QS. Asy-Syu’ara’ [25]: 10)
Berdasarkan ayat di atas, kapankah Allah Ta’ala mengucapkan kepada Musa (yang artinya), “Datangilah kaum yang zalim itu?”
Allah Ta’ala baru mengatakan (yang artinya) “Datangilah kaum yang zalim itu?” tentu setelah ADA Musa.
Sebelum ADA Musa atau SEBELUM Musa diciptakan, Allah Ta’ala tidak mengatakannya. Dan SETELAH itu, Allah Ta’ala pun tidak mengatakannya.
Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Datangilah kaum yang zalim itu?” inilah yang kami maksud dengan AFRAADUL kalaam atau AHAADUL kalaam. Dan dalam aqidah Ahlus Sunnah AFRAADUL kalaam (MATERI atau SATUAN kalam) adalah perkara yang baru (muhdats), tidak qadim.
Kesimpulannya, “AFRAADUL kalaamillah haditsun.” (MATERI atau SATUAN kalam Allah adalah perkara yang baru), yang dimaksud dengan “baru” adalah MATERI atau SATUAN kalam Allah itu dulu tidak ada, sekarang ada, dan setelahnya tidak ada.
Dengan kata lain, sifat kalam dengan pengertian semacam ini termasuk sifat FI’LIYAH, karena perbuatan Allah Ta’ala berupa berbicara tersebut tergantung dengan kehendak (masyi’ah) Allah Ta’ala.
Jika Allah Ta’ala berkehendak, Allah Ta’ala berbicara. Dan jika Allah Ta’ala tidak berkehendak, maka Allah Ta’ala tidak berbicara.
***** akhir kutipan *****
Kesimpulannya, JINSU Kalaamillah Qaddimun adalah Kalam Allah yang QADDIIMUN NAU yakni JENIS Kalam Allah yang QADIM atau BUKAN MAKHLUK
Sedangkan AHAADUL atau AFRAADU Kalaamillah Haditsun adalah kalam Allah yang HAADITSUL AHAD yakni MATERI atau SATUAN Kalam Allah yang TIDAK QADIM atau MAKHLUK
Jadi menurut Ibnu Taimiyyah (W 728H) pengertian Al Qur’an bukan makhluk dikarenakan JENIS Kalamullah dengan huruf seperti JENIS atau SIFAT ba dan sin dan suara yang QADIM atau BUKAN MAKHLUK sedangkan MATERI Kalamullah seperti MATERI huruf ba dan sin yang berurutan, ada awal dan akhirnya itu MAKHLUK atau TIDAK QADIM
Begitupula sebagaimana tangkapan layar (screenshot) di atas, para penerus KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah mengatakan
وإثبات الكلام بالحرف، والصوت، وباللغات، والكلمات، والسور
“Dan menetapkan sifat kalam (JENIS kalam) dengan huruf, suara, dengan bahasa, kalimat dan surat-surat.” (Ibnu Qoyyim Al Jauziah (W 751 H) dalam Ijtima’ Al-Juyuusy Al-Islamiyyah, hal. 174)
Lalu mereka. mengatakan,
***** awal kutipan *****
Setiap atribut yang melekat pada Allah yaa tentu qadim….. Sifat suara, sifat huruf, sifat kalimat, sifat surat jika dilekatkan pada Allah tentu tidak baharu
***** akhir kutipan *****
Jadi mereka menetapkan JENIS atau SIFAT huruf, sifat suara, sifat kalimat bahkan sifat surat bagi Allah Ta’ala
Bagi mereka JENIS atau SIFAT huruf, sifat suara, sifat kalimat, sifat surat dilekatkan kepada Allah Ta’ala adalah BUKAN MAKHUK atau Qadim yakni tidak baharu.
Sedangkan MATERI huruf, suara, kalimat, surat adalah MAKHLUK atau tidak qadim yakni baharu.
Allah Ta’ala sendiri yang berfirman dalam surat Az Zukhruf ayat 3 dan 4 bahwa “Al Qur’an dalam bahasa Arab dalam Lauh Mahfuzh” dan tentulah bahasa Arab dan Lauh Mahfuzh adalah MAKHLUK
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya (bacaan) Al-Qur’an (dalam bahasa Arab) itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 3-4)
Begitupula Kalam al-Lafdzi (al-Lafzh al-Munazzal) yakni BACAAN Al-Qur’an dalam bahasa Arab dalam pengertian lafazh-lafazh yang diturunkan, yang ditulis dengan tinta di antara lebaran-lembaran kertas (al-Maktub Bain al-Masha-hif), yang dibaca dengan lisan (al-Maqru’ Bi al-Lisan), dan dihafalkan di dalam hati (al-Mahfuzh Fi ash-Shudur) yang tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca maka tentulah huruf, suara maupun bahasa adalah MAKHLUK.
Begitupula dari surat Az-Zukhruf [43] ayat 3 dapat diketahui bahwa Allah Ta’ala menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab SUPAYA dapat DIPAHAMI oleh ciptaan-Nya.
Jadi Kalam Allah dengan berbagai bahasa, seperti BAHASA ARAB yang diterima oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan BAHASA NON-Arab yang diterima oleh nabi-nabi Bani Israil adalah IBARAT atau SIMBOL daripada al-Kalam adz-Dzati yakni sifat kalam Allah yang qadim / kekal yang bukan huruf-huruf, bukan suara dan bukan bahasa SUPAYA dapat DIPAHAMI oleh ciptaan-Nya.
Pokok permasalahan fiirqah MUJASSIMAH adalah mereka BELUM dapat MEMBEDAKAN antara
Al Qur’an itu Kalamullah bukan Makhluk yakni Sifat kalam Allah yang qadim / kekal (al-Kalam adz-Dzati) yang bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa
DENGAN
Bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) dalam bahasa Arab.
Jika TIDAK DIBEDAKAN, lalu apakah setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an akan mendapatkan gelar “Kalimullah” sebagaimana Nabi Musa alaihi salam yang telah mendapat gelar “Kalimullah”.
Tentu hal ini menjadi rancu dan tidak dapat diterima.
Padahal, Nabi Musa mendapat gelar “Kalimullah” adalah karena beliau pernah mendengar dan memahami al-Kalam adz-Dzati yang bukan berupa huruf, bukan suara dan bukan bahasa.
Seandainya setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an mendapat gelar “Kalimullah” seperti gelar Nabi Musa alaihi salam maka berarti tidak ada keistimewaan sama sekali bagi Nabi Musa alaihi salam yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah” tersebut.
Begitupula dalam al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan apa bila seseorang dari orang-orang musyrik meminta perlidungan darimu (wahai Muhammad) maka lindungilah ia hingga ia mendengar Kalam Allah”. (QS. at-Taubah [9] : 6).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam untuk memberikan perlidungan kepada seorang kafir musyrik yang diburu oleh kaumnya, jika memang orang musyrik ini meminta perlindungan darinya.
Artinya, Orang musyrik ini diberi keamanan untuk hidup di kalangan orang-orang Islam hingga ia mendengar Kalam Allah.
Setelah orang musyrik tersebut diberi keamanan dan mendengar Kalam Allah, namun ternyata ia tidak mau masuk Islam, maka ia dikembalikan ke wilayah tempat tinggalnya.
Dalam ayat ini, yang dimaksud bahwa orang musyrik tersebut “mendengar Kalam Allah” adalah mendengar bacaan kitab al-Qur’an yang berupa lafazh-lafazh dalam bentuk bahasa Arab (al-Lafzh al-Munazzal), bukan dalam pengertian mendengar al-Kalam adz-Dzati.
Sebab jika yang dimaksud mendengar al-Kalam adz-Dzati maka berarti sama saja antara orang musyrik tersebut dengan Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah”.
Dan bila demikian maka berarti orang musyrik tersebut juga mendapatkan gelar “Kalimullah”, persis seperti Nabi Musa. Tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan.
Pengertian Nabi Musa berbicara dan mendengar langsung adalah Nabi Musa MUKASYAFAH yakni dibukakan tabir oleh Allah sehingga dapat memahami kalam Allah yang qadim yakni yang bukan huruf-huruf dan suara
Para Malaikat atau Nabi Musa alaihissalam atau SIAPAPUN yang dikehendaki Allah dapat MENDENGAR kalam Allah secara LANGSUNG bukan berarti Allah Ta’ala mengawali kalam-Nya setelah Dia DIAM dan lalu setelah berkalam lalu DIAM lagi karena Allah Ta’ala Qadim, tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
Pada saat mendengar kalam Allah maka terjadi PERUBAHAN yakni TERSINGKAP dan TERTUTUP tabir adalah pada diri makhluk yang dipengaruhi oleh RUANG dan WAKTU bukan pada diri Allah Ta’ala yang SENANTIASA berkalam
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Asy Syura [42] ayat 51 bahwa Kalam Allah sampai kepada makhluk melalui TIGA CARA atau TIGA KEMUNGKINAN yakni PERTAMA melalui wahyu termasuk ilham dan firasat, KEDUA dengan mengutus utusan-Nya seperti malaikat Jibril, dan KETIGA pembicaraan-Nya LANGSUNG seperti dengan Nabi Musa alaihissalam adalah pembicaraan di BALIK TABIR.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan TIDAK MUNGKIN bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia KECUALI dengan perantaraan WAHYU (termasuk ilham dan firasat) atau di belakang TABIR atau dengan mengutus seorang UTUSAN (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana” (QS Asy Syura [42]:51)
Imam Suyuthi (W. 911 H) dalam tafsir Jalalain ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala
من وراء حجاب
yang artinya “di balik tabir” (QS Asy Syura [42]:51) adalah,
بأن يسمعه كلامه ولا يراه كما وقع لموسى عليه السلام
Seperti Allah memperdengarkan kalam-Nya kepadanya, tetapi dia tidak dapat melihat-Nya, sebagaimana yang telah terjadi pada Nabi Musa alaihissalam.
Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-asy-syura-dengan-terjemahan-dan-tafsir/6
TIDAK BOLEH mengatakan dan meyakini bahwa Allah kadang berbicara dan kadang diam atau mengatakan dan meyakini Allah Ta’ala dahulu berbicara dengan Nabi Musa dan sekarang diam atau mengatakan dan meyakini kalam Allah telah tersampaikan dalam Al Qur’an dan sekarang diam karena Allah Ta’ala bersifat Qadim yakni Allah Ta’ala tidak terikat dengan ruang dan waktu, tidak berlaku bagi-Nya apakah itu masa lalu, kini atau akan datang
Allah SENANTIASA berkalam tidak pernah diam karena Kalam Allah kekal dan tidak pernah terputus sebagaimana contoh yang dijelaskan oleh Syeikh Nawawi al – Bantani dalam kitab Nur adz – Dzolam yakni kitab syarah dari kitab Aqidatul Awam, Syeikh Ahmad Marzuki Al Maliki (W 1281H)
***** awal kutipan *****
وقوله استمر أى دام كلامه تعالى ولا ينقطع
Kalam Allah Ta’ala adalah KEKAL dan TIDAK akan pernah TERPUTUS .
وليس معنى وكلم الله موسى تكليما انه ابتدأ الكلام له بعد ان كان ساكتا فبعد ما كلمه انقطع كلامه وسكت تنزه الله ذلك تنزها عظيما
Adapun makna Firman Allah, dan Allah telah berfirman kepada Musa dengan sebenar – benarnya berfirman maka BUKAN berarti bahwa Allah mengawali Firman-Nya kepada Musa setelah Dia DIAM, kemudian setelah Dia mengfirmankan Firman-Nya kepadanya maka Firman-Nya TERPUTUS dan DIAM lagi. Maha Suci Allah dari demikian itu .
وإنما المعنى أنه تعالى بفضله أزال المانع عن موسى عليه السلام وخلق له سمعا وقوة حتى أدرك به كلامه القديم ثم منعه بعد وروده إلى ما كان عليه قبل سماع كلامه
Adapun makna firman-Nya itu adalah bahwa sesungguhnya Allah telah MENYINGKAPKAN TABIR dari Musa ‘alaihis salam dan telah menciptakan sifat mendengar dan mampu baginya (TAJALLI Allah pada kemampuan pendengaran Nabi Musa) sehingga ia dapat memahami Firman-Nya yang qadim, kemudian Dia menjadikan TABIR lagi setelah Firman-Nya tersampaikan sebelum Musa mendengar Firman-Nya.
وهذا معنى كلامه تعالى لأهل الجنة
Demikian ini adalah makna serupa Kalam Allah Ta’ala kepada para PENDUDUK SURGA (Penduduk Langit).
***** akhir kutipan *****
Jadi makna
“Allah Ta’ala telah berfirman kepada Nabi Musa dengan sebenar – benarnya berfirman”
adalah
Nabi Musa ‘alaihis salam MUKASYAFAH yakni dibukakan tabir oleh Allah Ta’ala dan Allah Ta’ala telah menciptakan sifat mendengar dan mampu baginya (TAJALLI Allah pada kemampuan pendengaran Nabi Musa) sehingga ia dapat memahami kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf-huruf, bukan suara dan bukan bahasa.
Kitab Aqidatul Awam karya Syeikh Ahmad Marzuki Al Maliki (W 1281H) adalah contoh kitab yang menjelaskan tentang akidah – akidah yang wajib diketahui bagi setiap mukallaf yang beragama Islam, baligh dan berakal sebagaimana yang dikabarkan pada https://palontaraq.id/2021/07/08/mengenal-pengarang-isi-dan-terjemah-aqidatul-awwam/
Begitupula kelak Allah Ta’ala akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia dan jin.
Allah Ta’ala akan memperdengarkan Kalam-Nya kepada setiap dari mereka.
Mereka yang akan dihisab MUKASYAFAH yakni dibukakan tabir oleh Allah Ta’ala dan dapat memahami dari kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf-huruf, bukan suara dan bukan bahasa. sehingga TIDAK DIPERLUKAN PENTERJEMAH
Rasulullah bersabda: “Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada PENTERJEMAH antara dia dengan Allah”. (HR. Bukhari 6058 atau Fathul Bari 6539, 6540)
Begitupula Allah Azza wa Jalla akan menghisab seluruh hamba-Nya dalam waktu yang sangat singkat sebagaimana firmanNya yang artinya “dan Dia Allah yang menghisab paling cepat (QS Al An’am [6]:62]
Seandainya Allah menghisab mereka dengan suara, susunan huruf, dan dengan bahasa, maka Allah akan membutuhkan waktu beratus-ratus ribu tahun untuk menyelesaikan hisab tersebut, karena makhluk Allah sangat banyak.
Jelaslah seandainya Kalam Allah berupa suara, huruf, dan bahasa maka dalam menghisab semua makhluk tersebut Allah akan membutuhkan kepada waktu yang sangat panjang. Karena dalam penggunaan huruf-huruf dan bahasa jelas membutuhkan kepada waktu.
Huruf berganti huruf, kemudian kata menyusul kata, dan demikian seterusnya. Dan bila demikian maka maka berarti Allah bukan sebagai Asra’ al-Hasibin (Penghisab yang paling cepat), tapi sebaliknya; Abtha’ al-Hasibin (Penghisab yang paling lambat).
Tentunya hal ini mustahil bagi Allah.
Begitupula Allah Ta’ala berfirman: “Inama Amruhu Idza Arada Sya’ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun” (QS. Yasin: 82).
Makna ayat ini bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia berkata: “Kun”, dengan huruf “Kaf” dan “Nun” yang artinya “Jadilah…!”.
Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata “Kun”, maka dalam setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: “kun, kun, kun…”.
Hal ini tentu mustahil atas Allah. Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah Maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya.
Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi’il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan “di masa lampau”, “di masa sekarang”, atau “di masa mendatang”. Sebab perbuatan Allah itu azali, tidak seperti perbuatan makhluk yang baharu.
Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka berarti sebelum Allah menciptakan bahasa Dia diam; tidak memiliki sifat Kalam, dan Allah baru memiliki sifat Kalam setelah Dia menciptakan bahasa-bahasa tersebut. Bila seperti ini maka berarti Allah baharu, persis seperti makhluk-Nya, karena Dia berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Tentu hal seperti ini mustahil atas Allah.
Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 diatas adalah sebagai ungkapan bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya.
Contoh Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara sampai kepada manusia DIPERLIHATKAN atau DIVISUALISASIKAN dalam bentuk ar-ru’ya ash-shadiqah (mimpi yang benar) dan ini merupakan permulaan turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ketika bertahanuts (perenungan/kontemplas dirii) di gua hira dan tentulah MIMPI itu MAKHLUK atau BUKAN QADIM.
Contoh lainnya Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS ash Shaffat/[37] : 102).
Begitupula mimpi yang baik yang merupakan bagian dari kenabian dan diterima oleh para kekasih Allah adalah VISUALISASI dari Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara.
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Mimpi baik yang berasal dari seorang yang shalih adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.” (HR Bukhari 6468)
Contoh lain Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara sampai kepada manusia dalam bentuk firasah al sadiqah (firasat yang benar) dan tentulah FIRASAT itu MAKHLUK atau BUKAN QADIM.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abi Sa’id al Khudri radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
اتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ
Takutlah kalian terhadap firasat orang mukmin, karena sesungguhnya mereka melihat dengan cahaya Allah
ثُمَّ قَرَأَ
kemudian Beliau menbaca ayat
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ
sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda (Jalalain : bagi orang-orang yang mau memperhatikannya kemudian mau mengambilnya sebagai pelajaran) (QS Al Hijr [15]:75)
(HR. Tirmidzi dalam sunannya no.3052 atau versi Maktabatu al Ma’arif no. 3127)
Contoh lain Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara sampai kepada manusia dalam bentuk ILHAM yang diberikan kepada para Nabi maupun kepada orang-orang yang dikehendakiNya dan tentu ILHAM itu MAKHLUK atau BUKAN QADIM.
Allah Ta’ala mengilhamkan suatu makna tertentu ke dalam jiwa (hati) para Nabi dan orang-orang yang dikehendakiNya yang merupakan UNGKAPAN (IBARAT) dari Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa (hati) itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91] : 8 )
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10)
Contohnya Allah Ta’ala mengungkapkan (ibarat) Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara dalam bentuk suatu makna tertentu ke dalam hatinya ibundanya Nabi Musa Alaihissalam
Allah Ta’ala berfirman artinya, “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul” (QS Al Qashash [28] : 7)
Begitupula pada hakikatnya sampainya kalam Allah kepada manusia bukanlah secara TAJAFI (perpindahan) namun TAJALLI yakni tersingkapnya TABIR atau HIJAB (mukasyafah) sehingga manusia dengan bahasanya masing-masing dapat mendengar dan memahami kalam Allah yang SENANTIASA berkalam karena Dzat Allah “tidak melahirkan” atau “tidak mengeluarkan” sesuatu.
Imam al-Sanusi mengatakan adalah sebuah kemustahilan bila Dzat Allah melahirkan makhluk karena dalam surat al-Ikhlas [112] ayat 3 dinyatakan bahwa Allah Ta’ala “tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan”
Beliau menjelaskan bahwa kalimat “tidak melahirkan” dalam surat tersebut maksudnya adalah Dzat Allah yang Maha Mulia tidak mengeluarkan eksistensi apa pun dari diri-Nya. (Abu Abdillah al-Sanusi, Syarh Umm al-Barahin, 24).
Jadi Nabi Musa dan para kekasih Allah lainnya dengan bahasanya mereka masing-masing dapat mendengar dan memahami kalam Allah yang SENANTIASA berkalam karena kalam Allah sampai kepada manusia bukanlah secara TAJAFI (perpindahan) namun TAJALLI.
Begitupula segala sesuatu dari sisi Allah Ta’ala namun terjadinya secara TAJALLI bukan secara TAJAFI yakni bukan secara perpindahan
TAJAFI adalah perpindahan yakni transformasi satu wujud ke wujud lain dengan mengurangi atau menyebabkan hilangnya wujud asli.
Sedangkan, TAJALLI adalah transformasi satu wujud ke wujud lain tanpa mengubah atau mereduksi keaslian wujud pertama.
Di dalam Al Qur’an, proses TAJAFI dicontohkan di dalam ayat,
تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
“TATAJAFA junubuhum ‘an al-madhaji’ yad’una Rabbahum khaufan wa thama’an wa mimma razaqnahum yunfiqun”
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka” (QS as-Sajadah [32]:16).
Maksud ayat ini ialah orang yang sedang meninggalkan tempat tidurnya menuju ke tempat lain untuk berdoa. Setelah pindah (tajafi) dari tempat semula ke tempat lain, maka tempat semula menjadi kosong.
Sedangkan, proses TAJALLI dicontohkan di dalam ayat,
فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحَٰنَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Falamma TAJALLA Rabahu lil jabali ja’alahu dakkan wa kharra Musa sha’iqan. Falamma afaqa qala subhanaka tubtu ilaika wa ana awwalul mu’minin
“Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman” (QS al-A’raf [7]:143).
Maksud ayat ini ialah ketika Allah Ta’ala menampakkan (TAJALLI) di atas gunung, bukan berarti Allah berpindah ke suatu tempat.
Begitupula proses penciptaan makhluk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala terjadi secara TAJALLI meskipun segala sesuatu diciptakan Allah dari diri-Nya sendiri, tetapi tidak akan pernah KEBERADAAN makhluk mereduksi, membebani atau mempengaruhi diri-Nya karena KEBERADAAN makhluk-Nya melalui proses TAJALLI.
Jika diibaratkan seribu cermin di depan suatu benda, benda itu akan terlihat sebanyak seribu tanpa ada reduksi atau pengurangan sedikit pun dari benda asli.
Para ulama terdahulu telah menjelaskan bahwa sifat KALAM Allah SERUPA dengan sifat Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Kuasa adalah sifat DZATIYAH bukan sifat FI’LIYAH.
Contohnya Imam Abu Hanifah (W 150H) dalam kitab Al Fiqhul Akbar hal. 16 mengatakan
اﻣﺎ اﻟﺬاﺗﻴﺔ ﻓﺎﻟﺤﻴﺎﺓ ﻭاﻟﻘﺪﺭﺓ ﻭاﻟﻌﻠﻢ ﻭاﻟﻜﻼﻡ ﻭاﻟﺴﻤﻊ ﻭاﻟﺒﺼﺮ ﻭاﻻﺭاﺩﺓ
Adapun sifat DZATIYAH diantaranya : Hidup, kuasa, ilmu, KALAM, mendengar, melihat dan berkehendak.
Sifat Kalam Allah adalah sifat dzatiyah yakni tidak terkait ruang dan waktu
Imam Ahmad bin Hanbal (W 241H) terkait sifat Kalam Allah berkata,
ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺇﻥ ﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻛﻼﻣﺎ ﻫﻮ ﺑﻪ ﻣﺘﻜﻠﻢ ﻭﺫﻟﻚ ﺻﻔﺔ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺫاﺗﻪ
Sesungguhnya Allah azza wa jalla memiliki SIFAT KALAM. Dia dengan sifat itu adalah yang berkalam dan yang demikian adalah SIFAT bagi-Nya di dalam Dzat Nya. (al-Khallal, al-‘Aqîdah, 105).
Imam Ahmad bin Hanbal di atas menjelaskan bahwa sifat Kalam Allah adalah
صفة لَهُ فِي ذَاته
SIFAT bagi-Nya dalam Dzat-Nya atau Sifat DZATIYAH.
Sifat DZATIYAH adalah QADIM yakni tidak berlaku zaman atau tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu
Para ulama menjelaskan bahwa
الصفات الذاتية هي التي لم يزل ولا يزال متصفاً بها
Sifat DZATIYAH adalah sifat yang MELEKAT atau TIDAK TERPISAH dari diri-Nya sebagaimana yang telah Dia sifatkan.
Sedangkan sifat FI’LIYAH adalah sifat yang dinisbatkan pada Allah Ta’ala tetapi ia MELEKAT pada MAKHLUK dalam arti PERUBAHAN terjadi pada diri makhluk, bukan pada diri Allah Ta’ala.
Para ulama menjelaskan lebih lanjut bahwa perbedaan antara sifat DZATIYAH dan sifat FI’LIYAH adalah kelazimannya.
Dikatakan sifat DZATIYAH itu jika melazimkan Allah tidak boleh disifati dengan sifat lawannya.
Contoh sifat DZATIYAH hayyun (hidup), lawannya adalah mati, maka Allah tidak boleh disifati dengan sifat mati.
Dikatakan sifat FI’LIYAH itu jika melazimkan Allah boleh disifati dengan lawannya,
Contoh sifat FI’LIYAH Allah menghidupkan mahluk, lawannya adalah mematikan mahluk. Allah boleh dikatakan mematikan mahluk. Maka menghidupkan mahluk adalah sifat FI’LIYAH.
Begitupula sifat kalam Allah adalah sifat DZATIYAH bukan FI’LIYAH karena Allah tidak boleh disifati dengan sifat lawan dari kalam (berbicara), yaitu As Sukut (DIAM dari BICARA)
Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari berkata di dalam kitab Al Ibanah hal 66 juz 1 :
ﻳﺴﺘﺤﻴﻞ ﺃﻥ ﻳﻮﺻﻒ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻜﻼﻡ ﻣﻦ اﻟﺴﻜﻮﺕ ﻭاﻵﻓﺎﺕ،
MUSTAHIL Rabb kita disifati dengan sifat yang menyalahi kalam seperti DIAM dari BICARA dan penyakit bisu.
Jadi KERUSAKAN dalam PERKARA I’TIQOD atau AKIDAH adalah AKIBAT mereka MENERUSKAN dan menyebarluaskan KEBID’AHAN ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) yang sebelum bertaubat berkata dan meyakini bahwa Allah berbicara dengan huruf dan suara dan Allah KADANG BERBICARA dan KADANG DIAM. (lihat Risalah fi Shifat al-Kalam 51, 54, Majmu’ al-Fatawa 6/160, 234, 5/556-557)
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dalam fatwa nomor 09 tahun 2014 dalam bidang aqidah poin C menetapkan,
C. Mengimani bahwa kalamullah itu berhuruf dan bersuara adalah sesat dan menyesatkan
Fatwa tersebut dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/02/fatwa-mpu-aceh-nomor-9-tahun-2014-tentang-pemahaman-pemikiran-pengamalan-dan-penyiaran-agama-islam-di-aceh.pdf
AKIDAH firqah MUJASSIMAH yang meyakini kalam Allah bukan makhluk dengan huruf dan suara adalah AKIDAH yang SESAT dan MENYESATKAN karena mereka terjerumus MENGINGKARI Kalam Allah BERBEDA atau TIDAK SERUPA dengan kalam makhluk.
Allah Ta’ala BERBEDA atau TIDAK SERUPA dari makhluk-Nya dari sisi apapun sebagaimana firman Allah Ta’ala “Laisa Kamitslihi Syaiun” (QS. Asy Syura [42] : 11).
Sifat kalam pada makhluk berupa huruf-huruf, suara dan bahasa.
Sedangkan Kalam Allah bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa.
Jadi pengertian Al Qur’an itu Kalamullah bukan Makhluk adalah mengacu pada al-Kalam adz-Dzati yakni sifat kalam Allah yang qadim/kekal yang bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa.
Sifat kalam Allah yakni al-Kalam adz-Dzati adalah qadim, tidak terpengaruh ruang dan waktu, tanpa permulaan dan tanpa penghabisan serta tidak menyerupai sifat kalam yang ada pada makhluk.
Sedangkan huruf, suara maupun bahasa adalah makhluk dan terpengaruh atau diliputi oleh ruang dan waktu.
Imam Abu Hanifah (W 150 H) mengatakan,
ونحن نتكلم بالآلات والحروف والله تعالى يتكلم بلا ءالة ولا حروف والحروف مخلوقة وكلام الله تعالى غير مخلوق
“Kami berbicara dengan alat dan huruf sedangkan Allah Ta’ala berbicara tanpa alat dan huruf, sedangkan huruf itu makhluk dan kalamullah bukanlah makhluk “. (Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Akbar,al-Washiyyah, al-Alim w al-Muta’allim dan lainnya)
Jika dikatakan kalam Allah itu dengan huruf dan suara maka akan dipengaruhi oleh waktu yakni akan terjadi pendahuluan dan pengakhiran seperti contohnya lafadz BISMILLAH maka huruf SIN didahului sekian milidetik oleh huruf BA dan huruf MIM didahului sekian milidetik oleh huruf SIN dan seterusnya sampai huruf terakhir.
Al-Imam al-Isfiraini (W. 418 H) mengatakan,
وأن تعلم أن كلام الله تعالى ليسى بحرف ولا صوت لأن الحرف والصوت يتضمنان جواز التقدم والتأخر، وذلك مستحيل على القديم سبحانه
“Dan hendaknya kamu mengetahui bahwa sesungguhnya kalam Allah itu tidaklah dengan huruf dan suara karena huruf dan suara mengandung bolehnya pendahuluan dan pengakhiran, yang demikian itu mustahil bagi Allah yang Maha Qadim “. (at-Tafsir fiddin : 102)
Firqah MUJASSIMAH serupakan kalam Allah seperti SUARA gemerincing lonceng atau SUARA diseretnya rantai di atas batu AKIBAT mereka berhujjah atau berdalil dengan hadits-hadits yang redaksinya TIDAK LENGKAP
Firqah MUJASSIMAH mengklaim Imam Bukhari maupun Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan kalam Allah dengan SUARA (shout) AKIBAT mereka berhujjah atau berdalil dengan hadits-hadits yang matannya atau redaksinya TIDAK LENGKAP sehingga mereka terjerumus durhaka (‘Aashin) kepada Allah Ta’ala karena mereka mengatakan SUARA kalam Allah seperti SUARA gemerincing lonceng atau SUARA diseretnya rantai di atas batu.
Contohnya mereka berhujjah atau berdalil hadits-hadits yang matannya (redaksinya) TIDAK LENGKAP seperti dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu dengan lafadz SHOUT (suara) yakni
وقال أبي رحمه الله حديث ابن مسعود رضي الله عنه إذا تكلم الله عز وجل سمع له صوت كجر السلسلة على الصفوان
Dan berkata bapakku (Imam Ahmad bin Hanbal) semoga Allah merahmatinya, hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, ketika Allah Azza wa Jalla berkalam, ……. TERDENGAR suara gemerincing seperti diseretnya rantai di atas batu.
Hadits riwayat sahabat Ibnu Mas’ud lainnya diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Hibban, juga Ibnu Khuzaimah TETAPI dengan MATAN (redaksi) yang BERBEDA yakni TANPA penyebutan lafadz SHOUT (SUARA) sebagai berikut:
إذا تكلم الله بالوحي سمع أهل السماء للسماء صلصلة كجر السلسلة على الصفا.
“Ketika Allah berkalam dengan wahyu, penduduk langit MENDENGAR dentingan (gemerincing) langit seperti diseretnya rantai di atas bebatuan”
Pada riwayat ini yang terdengar adalah suara dentingan atau gemerincing langit seperti diseretnya rantai di atas bebatuan”
Al Harits bin Hisyam radhiyallahu anhu pernah bertanya kepada Rasulullah tanyanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana wahyu turun kepada engkau?”
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَلُ لِي الْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ
Maka Rasulullah menjawab, “Terkadang datang kepadaku seperti suara GEMERINCING LONCENG dan cara ini yang paling berat buatku, lalu TERHENTI sehingga aku dapat mengerti apa yang disampaikan. Dan terkadang datang malaikat menyerupai seorang laki-laki lalu berbicara kepadaku, lalu aku dapat memahami apa yang diucapkannya.” (HR Bukhari kitab 1, wahyu no. 2).
Pada riwayat ini yang terdengar adalah suara GEMERINCING LONCENG.
atau redaksi lainnya, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu dengan lafadz SHOUT (suara) yakni
اذا تكلم الله بالوحي سمع صوته أهل السماء فيخرون حتى فرغ عن قلوبهم قال سكن عن قلوبهم نادي أهل السماء ماذا قال ربكم قالوا الحق قال كذا وكذا.
‘Ketika Allah berkalam dengan wahyu maka penduduk langit mendengar suaranya maka merekapun pingsan…..
Imam Bukhari juga meriwayatkan dengan redaksi:
إذا تكلم الله بالوحي سمع أهل السموات شيئا
“Apabila Allah berbicara dengan wahyu maka semua penduduk langit MENDENGAR SESUATU”.
Padahal Imam Bukhari meriwayatkan dengan matan (redaksi) yang LENGKAP bahwa sesuatu yang DIDENGAR oleh penduduk langit adalah kepakan sayap malaikat dan menurut Imam Ath Thabari yang pertama kali adalah kepakan sayap malaikat Jibril alaihissalam
َ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَضَى اللَّهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتْ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ
dari Abu Hurairah yang Nabi shallallahu alaihi wasallam menyampaikan kepadanya, Beliau bersabda, “Jika Allah menetapkan perintah di langit, maka malaikat akan mengepak-ngepakkan sayapnya karena tunduk kepada titah-Nya, seolah-olah kepakan sayapnya seperti rantai (diseret) di atas batu licin.” (HR Bukhari 6927 atau versi Fathul Bari 7481)
Imam Ath-Thabari dengan mengutip hadits yang diriwayatkan secara marfu, Nabi bersabda: “Jikalau Allah berfirman tentang wahyu, maka seluruh langit dan bumi akan bergetar karena ketakutan, jikalau terdengar penduduk langit, maka seluruhnya tunduk dalam keadaan bersujud, kemudian yang pertama kali mengangkat kepalanya adalah malaikat Jibril alahissalam Kemudian Allah firmankan wahyu-Nya.”
Jadi kesimpulannya suara gemerincing seperti diseretnya rantai di atas batu adalah kepakan sayap malaikat Jibril alaihissalam.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar