Bacaan Al Qur’an adalah ibarah atau ungkapan dari pada sifat kalam Allah yang kekal
Ustadz panutan mereka, Firanda Andirja memvonis Asyariyah sesat karena melakukan takwil terhadap sifat-sifat Allah sebagaimana yang kita saksikan dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=Q3vBvrlIdn8
Mereka menuduh Asyariyah sesat karena berkeyakinan bahwa al-Qur’an bukan kalamullah dan menyamakannya dengan Mu’tazilah
Mereka menuduh Asyariyah sesat karena berkeyakinan bahwa al-Qur’an yang kita baca sekarang adalah ibarat dan karangan Nabi Muhammad
Mereka tampaknya belum dapat membedakan antara Sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah ad-Dzati) dengan bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal)
Hal yang dimaksud Al Qur’an bukan makhluk adalah mengacu pada sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah ad-Dzati) yang bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa karena huruf, suara maupun bahasa adalah makhluk (diciptakan)
Sedangkan Bacaan Al-Qur’an adalah lafazh-lafazh yang diturunkan (al-Lafzh al-Munazzal), yang ditulis dengan tinta di antara lebaran-lembaran kertas (al-Maktub Bain al-Masha-hif), yang dibaca dengan lisan (al-Maqru’ Bi al-Lisan), dan dihafalkan di dalam hati (al-Mahfuzh Fi ash-Shudur) adalah berupa bahasa Arab, tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca.
Tentulah huruf, suara maupun bahasa adalah makhluk (diciptakan) sehingga bacaan Al-Qur’an dalam pengertian al-Lafzh al-Munazzal maka ia adalah makhluk (diciptakan).
Bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) adalah ibarah atau ungkapan dari pada sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah al-Dzati) yang bukan suara, bukan huruf-huruf, dan bukan bahasa.
Sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah ad-Dzati) adalah qadim, tanpa permulaan dan tanpa penghabisan serta tidak menyerupai sifat kalam yang ada pada makhluk.
Sifat kalam pada makhluk berupa huruf-huruf, suara dan bahasa.
Oleh sebab itu kita tidak percaya bahwa kalam Allah ada permulaannya, atau kalamNya itu adalah suatu tindakan seperti pembicaraan kita, karena dengan hal itu berarti Allah butuh kepada selainNya untuk menciptakan kalamNya supaya menjadi sempurna.
Suatu ketidaksempurnaan jika kalamNya untuk mengungkapkan apa yang diketahuiNya itu berupa serial (kata-kata berurutan, perkataan satu demi satu, atau perkataan dengan huruf atau suara), karena kalam yang terdiri dari ekspresi serial itu pasti memiliki awal dan akan ada penundaan (dimensi waktu) dalam menginformasikan semua yang diketahuiNya.
Contoh dalam “Bismillah”, misalnya “i” ada setelah datang “b”, sehingga ketika anda mengatakan Bismillah, suara “i” hanya menjadi ada setelah ketidak adaan “b”
Pada hakikatnya kita tidak boleh mengimani sifat Allah yang dipengaruhi atau dibatasi oleh ciptaanNya seperti dimensi ruang dan waktu.
Allah Azza wa Jalla dengan sifat kalamNya tidak membutuhkan atau tidak dipengaruhi atau dibatasi kepada ciptaanNya seperti dimensi ruang dan waktu.
Kalam yang terdiri dari suara dan huruf adalah kalam ciptaan, karena alasan ini seseorang tidak boleh mengatakan bahwa sifat kalam Allah yang kekal adalah huruf dan suara, karena Allah berfirman yang artinya: “tidak ada sesuatu yang menyerupai Dia” (QS Asy Syuura [53]:11)
Imam Abu Hanifah (150 H) mengatakan “Kami berbicara dengan alat dan huruf sedangkan Allah Ta’ala berbicara tanpa alat dan huruf, sedangkan huruf itu makhluk dan kalamullah bukanlah makhluk “. (Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Akbar,al-Washiyyah, al-Alim w al-Muta’allim dan lainnya)
Al-Imam al-Isfiraini (w 418 H) mengatakan : “Dan hendaknya kamu mengetahui bahwa sesungguhnya kalam Allah itu tidaklah dengan huruf dan suara karena huruf dan suara mengandung bolehnya pendahuluan dan pengakhiran, yang demikian itu mustahil bagi Allah yang Maha Qadim “. (at-Tafsir fiddin : 102)
Imam Al-Qurthubi mengatakan : “ Fasal. Hadits “ Maka diserukan dengan suara “, dijadikan hujjah oleh orang yang berkata Allah berbicara dengan huruf dan suara, sungguh Maha Suci Allah sesuci-sucinya dari apa yang diucapkan kaum mujassimah dan pengingkar, sesungguhnya nida (seruan) yang dinisbatkan kepada Allah diartikan seruan sebagian malaikat muqarrabin Allah dengan izin dan perintah-Nya “. (at-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah : 338)
Begitupula pada hari kiamat kelak, Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia dan jin.
Allah akan memperdengarkan Kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka.
Mereka akan memahami dari kalam Allah tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan segala apa yang mereka yakini ketika mereka hidup di dunia.
Mereka akan memahami dari kalam Allah yang bukan huruf dan suara sehingga tidak diperlukan penterjemah
Rasulullah bersabda: “Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada penterjemah antara dia dengan Allah”. (HR. al-Bukhari)
Mereka akan memahami dari kalam Allah yang bukan huruf dan suara, tanpa penterjemah, dan yang tidak dipengaruhi dimensi ruang dan waktu.
Allah Azza wa Jalla akan menghisab seluruh hamba-Nya dalam waktu yang sangat singkat sebagaimana firmanNya yang artinya “dan Dia Allah yang menghisab paling cepat (QS Al An’am [6]:62]
Seandainya Allah menghisab mereka dengan suara, susunan huruf, dan dengan bahasa, maka Allah akan membutuhkan waktu beratus-ratus ribu tahun untuk menyelesaikan hisab tersebut, karena makhluk Allah sangat banyak.
Jelaslah seandainya Kalam Allah berupa suara, huruf, dan bahasa maka dalam menghisab semua makhluk tersebut Allah akan membutuhkan kepada waktu yang sangat panjang. Karena dalam penggunaan huruf-huruf dan bahasa jelas membutuhkan kepada waktu.
Huruf berganti huruf, kemudian kata menyusul kata, dan demikian seterusnya. Dan bila demikian maka maka berarti Allah bukan sebagai Asra’ al-Hasibin (Penghisab yang paling cepat), tapi sebaliknya; Abtha’ al-Hasibin (Penghisab yang paling lambat). Tentunya hal ini mustahil bagi Allah.
Al-Imam al-Mutakallim Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi menuliskan sebagai berikut:
“Asy-Syaikh al-Imam Abu Ali al-Hasan ibn Atha’ pada tahun 481 H ketika ditanya sebuah permasalahan berkata: Sesungguhnya huruf-huruf itu dalam penggunaannya saling mendahuli satu atas lainnya. Pergantian saling mandahului antara huruf seperti ini tidak dapat diterima oleh akal jika terjadi pada Allah yang maha Qadim. Sebab pengertian bahwa Allah maha Qadim adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan, sementara pergantian huruf-huruf dan suara adalah sesuatu yang baharu (huduts) yang memiliki permulaan; tidak Qadim.
Kemudian seluruh sifat-sifat Allah itu Qadim; tanpa permulaan, termasuk sifat Kalam-Nya. Seandainya Kalam Allah tersebut berupa huruf-huruf dan suara maka berarti pada kalam-Nya tersebut terjadi pergantian antara satu huruf dengan lainnya, antara satu suara dengan suara lainnya, dan bila demikian maka Dia akan disibukan oleh perkara tersebut. Padahal Allah tidak disibukan oleh satu perkara atas perkara yang lain.
Dengan demikian harus dibedakan antara bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) dan Sifat kalam Allah yang kekal (al-Kalam adz-Dzati). Sebab apa bila tidak dibedakan antara dua perkara ini, maka setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an akan mendapatkan gelar “Kalimullah” sebagaimana Nabi Musa alaihi salam yang telah mendapat gelar “Kalimullah”.
Tentu hal ini menjadi rancu dan tidak dapat diterima. Padahal, Nabi Musa mendapat gelar “Kalimullah” adalah karena beliau pernah mendengar dan memahami al-Kalam adz-Dzati yang bukan berupa huruf, bukan suara dan bukan bahasa.
Seandainya setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an mendapat gelar “Kalimullah” seperti gelar Nabi Musa alaihi salam maka berarti tidak ada keistimewaan sama sekali bagi Nabi Musa alaihi salam yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah” tersebut.
Dalam al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan apa bila seseorang dari orang-orang musyrik meminta perlidungan darimu (wahai Muhammad) maka lindungilah ia hingga ia mendengar Kalam Allah”. (QS. at-Taubah: 6).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam untuk memberikan perlidungan kepada seorang kafir musyrik yang diburu oleh kaumnya, jika memang orang musyrik ini meminta perlindungan darinya. Artinya, Orang musyrik ini diberi keamanan untuk hidup di kalangan orang-orang Islam hingga ia mendengar Kalam Allah. Setelah orang musyrik tersebut diberi keamanan dan mendengar Kalam Allah, namun ternyata ia tidak mau masuk Islam, maka ia dikembalikan ke wilayah tempat tinggalnya.
Dalam ayat ini, yang dimaksud bahwa orang musyrik tersebut “mendengar Kalam Allah” adalah mendengar bacaan kitab al-Qur’an yang berupa lafazh-lafazh dalam bentuk bahasa Arab (al-Lafzh al-Munazzal), bukan dalam pengertian mendengar al-Kalam adz-Dzati. Sebab jika yang dimaksud mendengar al-Kalam adz-Dzati maka berarti sama saja antara orang musyrik tersebut dengan Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah”. Dan bila demikian maka berarti orang musyrik tersebut juga mendapatkan gelar “Kalimullah”, persis seperti Nabi Musa. Tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan.
Begitupula firman Allah: “Kun Fayakun” (QS. Yasin: 82).
Dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Inama Amruhu Idza Arada Sya’ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun” (QS. Yasin: 82).
Makna ayat ini bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia berkata: “Kun”, dengan huruf “Kaf” dan “Nun” yang artinya “Jadilah…!”.
Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata “Kun”, maka dalam setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: “kun, kun, kun…”.
Hal ini tentu mustahil atas Allah. Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya.
Deburan ombak di lautan, rontoknya dedaunan, tetesan air hujan, tumbuhnya tunas-tunas, kelahiran bayi manusia, kelahiran anak hewan dari induknya, letusan gunung, sakitnya manusia dan kematiannya, serta berbagai peristiwa lainnya, semua itu adalah hal-hal yang telah dikehendaki Allah dan merupakan ciptaan-Nya. Semua perkara tersebut bagi kita terjadi dalam hitungan yang sangat singkat, bisa terjadi secara beruntun bahkan bersamaan.
Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi’il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan “di masa lampau”, “di masa sekarang”, atau “di masa mendatang”. Sebab perbuatan Allah itu azali, tidak seperti perbuatan makhluk yang baharu.
Perbuatan Allah tidak terikat oleh waktu, dan tidak dengan mempergunakan alat-alat. Benar, segala kejadian yang terjadi pada alam ini semuanya baharu, semuanya diciptakan oleh Allah, namun sifat perbuatan Allah atau sifat menciptakan Allah (Shifat al-Fi’il) tidak boleh dikatakan baharu.
Kemudian dari pada itu, kata “Kun” adalah bahasa Arab yang merupakan ciptaan Allah (al-Makhluk). Sedangkan Allah adalah Pencipta (Khaliq) bagi segala bahasa. Maka bagaimana mungkin Allah sebagai al-Khaliq membutuhkan kepada ciptaan-Nya sendiri (al-Makhluq)?!
Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka berarti sebelum Allah menciptakan bahasa Dia diam; tidak memiliki sifat Kalam, dan Allah baru memiliki sifat Kalam setelah Dia menciptakan bahasa-bahasa tersebut. Bila seperti ini maka berarti Allah baharu, persis seperti makhluk-Nya, karena Dia berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Tentu hal seperti ini mustahil atas Allah.
Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 diatas adalah sebagai ungkapan bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya.
Salah satu hal yang membuat orang-orang terjerumus mengikuti aqidah Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah adalah syubhat, propaganda atau fitnah yang mengatakan bahwa Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah bertaubat dua kali alias melalui tiga fase pemikiran
Apakah benar tuduhan mereka bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari melalui tiga fase pemikiran dan fase terakhir adalah Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan berpindah ke metodologi Salaf serupa yang dipahami oleh ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah ?
Contoh jawabannya dapat ditemukan pada http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/05/benarkah-imam-abu-hasan-al-asyari-melalui-3-fase-pemikiran/
Sejarawan terkemuka, Ibn Khaldun berkata: “Hingga akhirnya tampil Syaikh Abu al-Hassan al-Asy`ari dan berdebat dengan sebagian tokoh Muktazilah tentang masalah-masalah shalah dan aslah, lalu dia membantah metodologi mereka (Muktazilah) dan mengikut pendapat Abdullah bin Said bin Kullab, Abu al-Abbas al-Qalanisi dan al-Harits al-Muhasibi dari kalangan pengikut Salaf dan Ahl al-Sunnah”. (Ibn Khaldum(2001), al-Muqaddimah, Dar al-Fikr, Beirut, ed. Khalil Syahadah, hal. 853)
Fakta yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun tersebut menyimpulkan bahwa setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar daripada faham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin Sa`id bin Kullab, al-Qalanisi dan al-Muhasibi yang merupakan pengikut ulama’ Salaf alias Ahlussunnah wal Jama`ah.
Dalam Muktamar Internasional Ahlussunnah wal Jama’ah di Chechnya, bulan Agustus 2016, dimana salah satu hal yang dibahas adalah adanya pihak yang menganggap (menuduh) Asyariyah dan Maturidiyah bukan Ahlusssunnah wal Jama’ah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/07/hasil-muktamar-di-chechnya/
Mereka menganggap Asyariyah bukan pengikut Imam Abu al Hasan al Asy’ari, salah satunya karena mereka berpegang pada kitab Al Ibanah yang telah dipalsukan sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/09/21/bi-la-kayf/
Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti pemahaman seorang ulama sebelum bertaubat.
Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul “Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan) dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/07/12/taubatkah-ibnu-taimiyyah/
Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir
Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html
Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala menerima taubat Beliau.
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat) dengannya sebagaimana informasi yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-ibnu-taimiyyah.pdf
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
Berikut kutipan tulisan ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dari tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah) sebagaimana contoh yang termuat pada http://mahadilmi.wordpress.com/2011/04/18/allah-turun-ke-langit-dunia/
**** awal kutipan ****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara akal kita terbatas untuk melliputi ilmu Allah Ta’ala”
**** akhir kutipan ****
Pemahaman “tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” tentu bukanlah pemahaman para Sahabat atau Salafush Sholeh namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan menjelaskan hadits shahih berikut
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah tersebut, mereka mengatakan bahwa walaupun Tuhan mereka berada atau bertempat atau menetap tinggi atau bahkan melayang tinggi di atas ‘Arsy (karena menafikan menempel di atas ‘Arsy) dan setiap sepertiga malam terakhir turun ke langit dunia namun ‘Arsy tidak kosong sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/10/27/akibat-bermazhab-otodidak/
Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam (Q.S. Al Imran [3] : 7), mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/10/02/mengikuti-ayat-mutasyabih
Contoh fitnah yang lain mereka mengatakan bahwa Rasulullah yang mengatakan Tuhan punya tangan dan kedua-duanya kanan.
Lalu mereka menyampaikan dalilnya,
Dari Abdullah bin ‘Amr رضي الله عنه ia berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah عزوجل (pada hari kiamat) di atas mimbar-mimbar dari nur (cahaya) di sebelah kanan Ar Rahman عزوجل dan KEDUA TANGAN-Nya adalah KANAN. Yaitu orang-orang yang berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada kelaurga mereka, dan pada apa yang mereka pimpin”. (Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379 dan yang selain dari keduanya.
Fitnah mereka dengan mengatasnamakan Rasulullah maupun Salafush Sholeh sebagai perawi hadits akibat mereka menemukan, membaca, menterjemahkan dan memahami sebuah hadits shahih secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri dan salah memahaminya sehingga mereka bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala.
Mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu berpegang pada nash atau dalil secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka sendiri terhadap nash atau dalil yang mereka baca.
Silahkan periksa tulisannya pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan.
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat sebagaimana yang dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan, khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sependapat dengan mereka.
***** akhir kutipan ******
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.
7. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
8. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.
9. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam Rasulullah.
Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar