Terlarang men-jism-kan Dzat Allah
Sebagaimana yang terungkap dalam gambar di atas, dari sebuah diskusi di media atau jejaring sosial Facebook, salah seorang dari mereka bertanya , “Pak Kyai Yulizon, bid’ah apa yang dilakukan Ibnu Taimiyah ?”
Sebaiknya janganlah panggil kami dengan panggilan kyai ataupun ustadz karena kami hanyalah pengamat firqah dalam Islam khususnya firqah Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.
Periksalah tulisan kami dipenuhi dengan *** awal kutipan *** dan *** akhir kutipan ***, sebagai bukti kami sekedar menyampaikan pendapat atau penjelasan para ulama terdahulu dan sekaligus sebagai bukti kami tidak mau mengikuti orang-orang yang secara terang-terangan melanggar larangan Rasulullah yakni mereka memahami atau “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri sehingga mereka TERJERUMUS KESOMBONGAN
Rasulullah bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Begitupula silahkan periksa di setiap status atau tulisan maupun komentar atau tanggapan, kami telah berupaya untuk tidak pernah mencantumkan kata-kata bersifat celaan maupun makian sebagai bukti kami tidak membenci mereka.
Kami tidak khawatir atau tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela karena kami berprinsip bahwa apapun yang ditebar di muka bumi maka tentu akan dipanen di akhirat kelak.
Jika menebar celaan di muka bumi maka tentu akan memanen keburukan di akhirat kelak.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya berjudul Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap permasalahan pokok (bukan furu’iyah) yakni dalam perkara i’tiqod (akidah).
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani mencontohkan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan atau MEN-JISM-KAN Dzat Allah. Di antaranya : Ibnu Taimiyyah mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah beristiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya sebagaimana yang diinformasikan pada http://www.aswj-rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html
****** awal kutipan ******
Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah,
فمنهم من نسبه إلى التجسيم لما ذكر في العقيدة الحموية والواسطية وغيرهما من ذلك كقوله: إن اليد والقدم والساق والوجه صفات حقيقية لله، وأنه مستو على العرش بذاته، فقيل له: يلزم من ذلك التحيز والانقسام. فقال: أنا لا أسلم أن التحيز والانقسام من خواص الأجسام. فالذم بأنه يقول بتحيز في ذات الله.
Ada sebagian kelompok yang menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-akidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya.
Di antaranya : Ibnu Taimiyyah mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah beristiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya.
Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “Aku tidak setuju batasan dan bagian termasuk kekhususan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan batasan bagi Dzat Allah.
****** akhir kutipan ******
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah oleh karena ketidaksetujuannya terhadap i’tiqod Ibnu Taimiyyah DIANGGAP SESAT oleh para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/06/08/asqalanipun-dianggap-sesat/
Jadi berdasarkan penjelasan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani maka dapat kita ketahui bahwa kebid’ahan ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah adalah pengikut firqah musyabbihah atau mujassimah.
Pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 4 menyampaikan bahwa Imam Ibnu Abdis Salam sebagaimana Al Imam Al Hafizh An Nawawi juga membagi perkara-perkara yang baru (BID’AH) itu ke dalam hukum taklifi yang lima.
Imam Ibnu Abdis Salam mencontohkan BID’AH yang HARAM diantaranya: golongan (firqah) Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, dan Mujassimah (musyabbihah). Menolak terhadap mereka termasuk BID’AH yang WAJIB.
Firqah Musyabbihah adalah firqah yang sama sekali tidak mentakwilkan ayat dan hadits mutasyabihat tetapi mereka menafsirkannya dengan makna hakikat atau makna dzahirnya sebagaimana dijelaskan oleh Imam Zarkasyi dalam al-Burhan fi Ulum al-Quran, Jilid 4 Hal 78, Beirut, Dar Ma’rifah th 1391 H
***** awal kutipan ****
وقد اختلف الناس فى الوارد منها – يعنى المتشابهات – فى الآيات والأحاديث على ثلاث فرق :
أحدها : أنه لامدخل للتأويل فيها, بل تجرى على ظاهرها ولانؤول شيئا منها وهم المشبهة
الثانية : أن لها تأويلا ولكنا نمسك عنه مع تنزيه اعتقادنا عن الشبه والتعطيل ونقول لايعلمه إلا الله وهو قول السلف
والثالثة : أنها مؤولة وأولوها على ما يليق به
والأول باطل يعني مذهب المشبهة والأخران منقولان عن الصحبة
Artinya : Sungguh berbedalah pendapat para ulama tentang ayat dan hadits mutasyabihat mejadi tiga pendapat :
1.Tidak ada takwil sama sekali pada ayat tersebut, tetapi diberlakukan sebagaimana makna dzahirnya (makna hakikat) dan tidak ditakwilkan sama sekali, mereka adalah kaum MUSYABIHAH (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk)
2.Ada takwil tetapi kami menahan diri darinya (tidak menentukan makna yang dimaksudkan) serta meyakini bersihnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dari serupa dan ta’thil (meniadakan sifat bagi Allah) dan kami berkata hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahui maknanya, ini pendapat Salaf
3.Ayat dan hadits tersebut ditakwil dan para ulama mentakwilnya (diberi makna) berdasarkan makna yang layak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala
Yang pertama BATHIL yaitu mazhab MUSYABIHAH sedangkan dua pendapat yang akhir juga di riwayatkan dari Sahabat.
***** akhir kutipan ******
Takwil merupakan derivasi (turunan) dari kata أوّل yang secara etimologi artinya رجع (kembali) dan secara terminologi Takwil adalah :
صرف اللفظ عن الظاهر بقرينة تقتضيه ذلك
memalingkan makna satu lafaz dari makna dzahirnya dengan disertai indikasi yang menghendaki demikian.
Lafaz dipalingkan dari maknanya yang dzahir maka lafaz tersebut dinamakan lafaz muawwal.
Makna hakikat merupakan makna yang dzahir dari satu lafaz.
Sedangkan makna majaz merupakan makna muawwal.
Satu lafaz baru boleh diberi makna majaz apabila ada satu indikasi yang yang menyebabkan tidak mungkin diterapkan makna dzahir atau makna hakikat, misalnya dalam kalam tersebut makna dzahir atau makna hakikat merupakan makna yang mustahil diterapkan dalam kalam tersebut.
Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi memberikan pedoman cara menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil” maksudnya jika dipahami dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak (tidak patut) bagiNya maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan makna majaz (makna kiasan) adalah serupa dengan mereka yang berpendapat tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah dalam perkara akidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Habib Rizieq menyampaikan bahwa perbedaan antara kaum muslim pada umumnya dengan para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah bukanlah dalam masalah furu’iyah namun dalam masalah pokok yakni perkara akidah atau i’tiqod sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/06/01/bukan-perkara-furuiyah/
Contoh perbedaan mereka dengan kaum muslim pada umumnya adalah dalam cara mereka memahami Tauhid Asma wa Sifat atau memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya SELALU DENGAN MAKNA DZAHIR sehingga mereka terjerumus MENGHINA atau DURHAKA kepada Allah karena mereka mensifatkan atau MEN-JISM-KAN Dzat Allah dengan angota-angota badan walaupun dikatakan tidak serupa dengan anggota badan makhlukNya sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin”
***** awal kutipan *****
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (bentuk seperti tangan, kaki) sebagaimana jisim-jisim (bentuk tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (bentuk seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (bentuk tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat DURHAKA kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
– I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
***** akhir kutipan *****
Contoh “kedurhakaan”, mereka mengatakan bahwa Tuhan mereka memiliki dua buah tangan dan keduanya adalah kanan sebagaimana contoh tulisan ulama panutan yang dipublikasikan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/
Ironisnya tulisan ulama panutan mereka tersebut dinisbatkan sebagai pemahaman para Sahabat atau pemahaman Salafush Sholeh.
Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan BUKAN akidah atau BUKAN PEMAHAMAN para Sahabat (Salafush Sholeh) melainkan akidah atau PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI menurut akal pikiran mereka sendiri terhadap nash atau dalil yang mereka baca.
Jadi akibat mereka memahami nash atau dalil selalu dengan makna dzahir sehingga mereka terjerumus dalam kesyirikan karena mereka bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala namun bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan.
Ada pula mereka yang durhaka yakni mengatakan bahwa Tuhan mereka memiliki dua buah kaki yang ditempatkan di Kursi dan terkadang dibenamkan di neraka jahannam sebagaimana yang telah disampaikan pada pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/04/15/hanya-makna-dzahir/
Mereka salah memahami hadits seperti,
Rasulullah bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan penghuninya) ia (Jahannam) senantiasa mengatakan, “Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul ‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam) berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)
Al-Imam al-Hafizh Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ قدم ” (makna dzahirnya kaki) dalam hadits di atas adalah orang-orang yang didatangkan (dimasukkan) oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam neraka Jahanam”.
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.”
Ulama Hambali, Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi terkait riwayat tersebut menjelaskan sebagai berikut,
***** awal kutipan ****
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawquf dari sahabat Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfu’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa hadits ini marfu’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawquf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang yang duduk di atas ranjang
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.
***** akhir kutipan *****
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.
Ironisnya mereka justru mengkafirkan umat Islam yang tidak mau mengikuti pemahaman mereka yang “tanpa (perlu) takwil” yakni memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir karena dianggap telah mengingkari sifat-sifat Allah sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://almanhaj.or.id/content/794/slash/0/mengingkari-tauhid-asma-wa-sifat/
***** awal kutipan ****
Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetahui hal tersebut tanpa perlu takwil-nya.
***** akhir kutipan *****
Umat Islam tentu bukanlah mengingkari sifat-sifat Allah.
Umat Islam tentu mengakui sifat perbuatan (sifat fi’il) bagi Allah Ta’ala seperti Maha Melihat, Maha Mendengar namun TERLARANG mensifatkan atau MEN-JISM-KAN Dzat Allah seperti Tuhan memiliki dua tangan dan kedua-duanya kanan atau Tuhan memiliki dua kaki yang ditempatkan di kursi dan terkadang ditempatkan di neraka jahannam karena tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah kecuali Dia.
Firqah atau kaum yang mengikuti orang-orang yang MENSIFATKAN atau MEN-JISM-KAN Dzat Allah disebut firqah mujassimah atau musyabbihah
Firqah yang MEN-JISM-KAN Dzat Allah termasuk orang-orang yang secara terang-terangan melanggar larangan Rasulullah untuk memikirkan Dzat Allah
Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah“.
Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa janganlah memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan MAKNA DZAHIR karena akan terjerumus kekufuran dalam perkara i’tiqod.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah akidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu mengingatkan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah orang-orang yang MENGINGKARI Allah Ta’ala
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Akibat pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sehingga mereka belum dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya (QS Az Zumar [39]:67) terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Yahudi.
Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Al-Imam al-Hafiz Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره ” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Mereka yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya sehingga dapat berakibat amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.
Al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata: “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
Imam Sayyidina Ali berkata ”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud (terbatas) maka ia telah jahil, tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.”
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-akidah/
Oleh karenanya untuk menangkal paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebaiknya sejak dini disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh akidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana untuk mengenal Allah Ta’ala
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Aqidatul khomsin (lima puluh akidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah adalah merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang mengikuti Imam mazhab yang empat yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits.
Para ulama terdahulu menetapkan 20 sifat yang wajib bagi Allah BUKANLAH membatasi jumlah sifat Allah namun dengan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Mereka yang merasa atau mengaku-ngaku mengikuti Salafush Sholeh mengklaim bahwa Salafush Sholeh bermanhaj ISBAT MAKNA DZAHIR yakni mengisbatkan atau menetapkan semua sifat-sifat Allah berdasarkan makna dzahir.
Padahal Salafush Sholeh bermanhaj ISBAT LAFAZ yakni mengisbatkan atau menetapkan berdasarkan lafaznya dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa dan menyerahkan maknanya kepada Allah.
Salafush Sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Salafush Sholeh justru melarang menterjemahkan, menafsirkan atau memaknai apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya ke selain daripada bahasa Arab harus membiarkan sebagaimana lafaznya.
Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
Ibn Suraij berkata : “Tidak boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada bahasa Arab”.
Para ulama terdahulu menjelaskan bahwa ada dua cara dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya yakni
1. Takwil Ijmali
Takwil ijmali adalah beriman kepada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain namun memalingkan lafaz-lafaz tersebut dari makna dzahir atau makna hakikatnya dan tidak juga memberikan, menentukan atau menetapkan makna murad (makna yang dimaksud) namun membiarkan sebagaimana lafaznya dan tafwidh yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala. Jadi tafwidh setelah takwil ijmali (memalingkan dari makna dzahir)
2. Takwil Tafsili
Takwil tafsili adalah beriman kepada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain namun memalingkan lafaz-lafaz tersebut dari makna dzahir atau makna hakikatnya dan memberikan, menentukan atau menetapkan makna menggunakan ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3)
Berikut contoh cara memahami TAKWIL IJMALI dan TAFSILI,
Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.
Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah yang mengetahuinya
Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.
Jadi dalam memahami sifat Allah yang ditetapkanNya boleh menggunakan takwil ijmali atau takwil tafsili karena takwil ijmali dengan takwil tafsili adalah sejalan atau tidak bertentangan yakni sama-sama memalingkan dari makna dzahir.
Takwil ijmali adalah metode takwil sebagian Salaf maupun sebagian ulama khalaf.
Sedangkan Takwil Tafsili adalah metode takwil mayoritas ulama khalaf dan sebagian ulama Salaf seperti Sahabat Ibnu Abbas, Sahabat Mu’awiyah, Imam Sayyidina ‘Ali dan lain lainnya
Ketika sebagian Salaf menerapkan metode takwil ijmali pada nash mutasyabihat, nash tersebut dipalingkan dari makna dzahirnya karena makna dzahir tersebut merupakan satu hal yang mustahil bagi Allah, seperti kata أيد , dipalingkan dari makna dzahirnya yaitu bermakna tangan tetapi tidak diberi makna yang dimaksudkan dan hanya menyerahkan kepada Allah bagaimana maksud dengan makna yad tersebut dengan tetap meyakini bahwa di sisi Allah ada satu makna yang shahih dan layak dengan kebesaranNya sedangkan makna dzahir (tangan/jisim) dari yad tersebut merupakan makna yang mustahil bagi Allah .
Hal yang seperti demikian dikenal dengan tafwidh ba’da ta’wil ijmaly atau tafwidh setelah takwil ijmali (memalingkan dari makna dzahir)
Ketika seluruh ulama Khalaf dan sebagian Salaf menerapkan metode takwil tafsili pada nash mutasyabihat seperti ayat diatas maka hasilnya adalah kata أيد bukan bermakna tangan tapi maknanya Quwwah ( kekuasaan ).
Ulama salaf dan khalaf sepakat untuk memalingkan lafaz mutasyabihat tersebut dari makna dhahirnya, ini merupakan keyakinan bahwa Allah bersih dari sifat-sifat yang khusus pada makhluk (tanzih).
Perbedaan keduanya hanya terjadi pada masalah apakah diberikan makna maksudnya ataupun tidak diberi makna tetapi diserahkan maksudnya kepada Allah Ta`ala sendiri.
Ulama salaf lebih memilih untuk tidak menentukan salah satu dari beberapa makna yang mungkin di terapkan pada nash tersebut.
Sedangkan para ulama khalaf, dikarenakan pada masa mereka sudah berkembang ahli bid’ah yang mensifati Allah dengan sifat makhluk, maka mereka menafsirkan nash mutasyabihat tersebut dengan makna yang layak bagi Allah yang sesuai dengan qaedah bahasa Arab sendiri.
Sikap yang dilakukan oleh para ulama khalaf ini bukanlah satu perkara bid’ah yang sesat, karena kenyataannya takwil tafsili juga pernah dilakukan oleh sebagian ulama salaf seperti Sahabat Ibnu Abbas, Sahabat Mu’awwiyah , Imam Sayyidina Ali dan lain-lain sebagaimana di sebutkan oleh Imam ath-Thabari dalam tafsir beliau ketika menafsirkan ayat 47 surat az-Zariyat :
يقول تعالى ذكره: والسماء رفعناها سقفا بقوة. وبنحو الذي قلنا في ذلك قال أهل التأويل. ذكر من قال ذلك : حدثني عليّ، قال: ثنا أبو صالح، قال: ثني معاوية، عن عليّ، عن ابن عباس، قوله (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ) يقول: بقوة.
حدثني محمد بن عمرو، قال: ثنا أبو عاصم، قال: ثنا عيسى; وحدثني الحارث، قال: ثنا الحسن، قال: ثنا ورقاء جميعا، عن ابن أبي نجيح، عن مجاهد، قوله (بِأَيْدٍ) قال: بقوة.
حدثنا بشر، قال: ثنا يزيد، قال: ثنا سعيد، عن قتادة (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ) : أي بقوّة.
حدثنا ابن المثنى، قال: ثنا محمد بن جعفر، قال: ثنا شعبة، عن منصور أنه قال في هذه الآية (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ) قال: بقوة.
حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: قال ابن زيد، في قوله (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ) قال: بقوة.
حدثنا ابن حُمَيد، قال: ثنا مهران، عن سفيان (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ) قال: بقوة.
Artinya: Berkatalah Allah Ta`ala yang Maha Tinggilah perkataanNya; demi langit yang kami tinggikan atapnya dengan kekuatan (kami). penafsiran seumpama ini disebutkan oleh ahli takwil.
Golongan yang berpendapat demikian meriwayatkan; memberi hadits padaku oleh Ali, …memberi hadits oleh Mu`awwiyah dari Sayyidina Ali dari Sayyidina Ibnu Abbas, firman Allah وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ, beliau berkata; maksudnya bi quwwah (dengan kekuatan).
memberi hadits akan kami oleh Muhammad bin Umar, … dari Mujahid, firman Allah bi aydi, beliau mengatakan maksudnya bi quwwah (dengan kekuatan).
memberi hadits oleh basyar, …dari Qatadah, firman Allah وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ maksudnya bi quwwah (dengan kekuatan). Memberi hadits akan kami oleh Ibnu Mutsanna …dari Manshur … (Tafsir Thabari, Jilid 22 Hal 438, Muassis ar-Risalah th 2000)
Dari nash Imam ath-Thabari tersebut jelas bahwa Sahabat Ibnu Abbas juga melakukan Takwil Tafsili.
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”
Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Sedangkan menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafaz dari artinya yang dzahir kepada makna yang lain, tetapi bukan dzahirnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173].
Alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni
1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.
2.Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Quran.
Contoh ulama Hambali, Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi menjelaskan
**** awal kutipan *****
Kata al-yad ”ﺪﻴﻟﺍ” dalam bahasa Arab memiliki makna yang sangat banyak, di antaranya,
dalam makna an-Ni’mah wa al-Ihsân ”ﻥﺎﺴﺣﻹﺍﻭ ﺔﻤﻌﻨﻟﺍ”, artinya; ”Karunia (nikmat) dan kebaikan”.
Adapun makna perkataan orang-orang Yahudi dalam firman Allah
يد الله مغلولة
Yadullah Maghlulah
dalam makna
محبوسة عن النفقة
mahbusah ‘an an-nafaqah
artinya menurut orang Yahudi, Allah tidak memberikan karunia dan nikmat (bukan artinya bahwa Allah memiliki tangan terbelenggu)
Makna lainnya, kata al-yad dalam pengertian ”al-Quwwah”, ”ﺓﻮﻘﻟﺍ” ; artinya “kekuatan atau kekuasaan”
Orang-orang Arab biasa berkata
له بهذا الأمر يد
”Lahu Bi Hadza al-Amr Yad”
artinya, orang itu memiliki kekuatan (kekuasaan) dalam urusan ini
Firman Allah yang dimaksud adalah dalam pengerti ini
بل يداه مبسوطتان
artinya bahwa nikmat dan kekuasaan Allah sangat luas (bukan artinya bahwa Allah memiliki dua tangan yang sangat lebar)
Demikian pula firman Allah tentang penciptaan nabi Adam
لما خلقت بيدي
Juga dalam pengertian bahwa Allah menciptakan Nabi Adam dengan kekuasaanNya dan dengan karunia dari-Nya
Kemudian pula diriwayatkan dari Imam Al-Ahsan dalam tafsir firman Allah
يد الله فوق أيديهم
Beliau berkata, kata يد di sini yang dimaksud adalah karunia dan nikmat Allah
***** akhir kutipan *****
Hal yang perlu dipertanyakan adalah SIAPAKAH yang menyodorkan kitab-kitab Ibnu Taimiyyah kepada ulama panutan mereka, Muhammad bin Abdul Wahhab sehingga dijuluki “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyyah” alias penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang akidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
DITENGARAI atau DIDUGA kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi berupaya untuk menyesatkan umat Islam dengan menyodorkan kitab-kitab Ibnu Taimiyyah kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab KARENA justru para ulama terdahulu telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya
Contohnya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjadikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah : 203)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 116)
Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari meneruskan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri firqah Wahabi dan penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6
******* awal kutipan *******
ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا، ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي، وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن القيم وعبد الهادي
Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي في رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الإعتقاد: وهذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا وخلفا، فكانوا وصمة وثلمة في المسلمين وعضوا فاسدا
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”
يجب قطعه حتى لا يعدى الباقي، فهو كالمجذوم يجب الفرار منهم، فإنهم فريق يلعبون بدينهم يذمون العلماء سلفا وخلفا
Maka wajib menanggalkan/menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
****** akhir kutipan *******
Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah selengkapnya dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/08/risalah-aswaja.pdf
Begitupula Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia menegaskan bahwa pengharaman penyebarluasan ajaran Wahabi (wahabiyyah) yang dipelopori oleh Majlis Agama Islam Negeri Sembilan tidak akan menjejaskan (mempengaruhi) hubungan negara dengan Arab Saudi sebagaimana kabar yang telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/28/tak-sesuai-di-malaysia/
Dalam kabar tersebut Pengerusi Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan, Prof Emeritus Tan Sri Dr Abdul Shukor Husin menyampaikan
****** awal kutipan *****
“Hak mengeluarkan fatwa adalah hak negeri masing-masing. Contoh seperti apa dilakukan Majlis Agama Islam Negeri Sembilan yang mengeluarkan fatwa mengharamkan penyebaran Wahabi di negeri itu, sememangnya ia tidak bertentangan.
“Saya fikir, negeri tersebut mengharamkan Wahabi kerana tidak mahu berlaku kacau bilau dalam masyarakat Islam negeri itu,” katanya.
Dalam pada itu, Abdul Shukor berkata, tindakan negeri tersebut juga tidak akan menjejaskan hubungan negara dan Arab Saudi kerana sememangnya itu hak negeri tersebut.
“Jika perkara itu akan menjejaskan hubungan, maknanya tiada hak kepada negeri untuk membuat keputusan sendiri.
“Malahan Jakim dan Majlis Fatwa Kebangsaan telah membincangkan perkara tersebut lebih awal sebelum isu ini kembali disensasikan,” katanya.
****** akhir kutipan *******
Sejak tahun 2012, mufti Negeri Perak Darul Ridzuan telah memelopori mengeluarkan fatwa pelarangan ajaran (paham) Wahabisme sebagaimana informasi pada http://www.e-fatwa.gov.my/fatwa-negeri/fatwa-mengenai-penegahan-menyebarkan-aliran-dan-dakyah-wahabiah dan fatwa dalam bentuk brosur pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/08/fatwa-negeri-perak-tentang-penegahan-wahabiah.jpg
Berikut daftar link arsip fatwa para fuqaha dari negara tetanga terhadap paham Wahabisme yang disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi
Fatwa Pehin Datu Seri Maharaja Dato Seri Utama Dr Ustaz Awang Haji Ismail bin Omar Abdul Aziz , Mufti Kerajaan Brunei Darussalam silahkan baca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/25/fuqaha-negeri-tetangga/
***** awal kutipan *****
Fatwa Pehin Datu Seri Maharaja Dato Seri Utama Dr Ustaz Awang Haji Ismail bin Omar Abdul Aziz , Mufti Kerajaan Brunei Darussalam yang dibukukan dan diterbitkan oleh Pusat Da’wah Islamiah, Kementerian Hal Ehwal Ugama, Negara Brunei Darussalam
Dalam mukasurat 155-156 di mana Pehin Mufti menulis:-
Adalah mazhab as-Salafiyah yang dihidupkan oleh al-Allamah Ibnu Taimiyah dan yang dipakai serta diamalkan oleh al-Wahhabiyah itu bukan mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah dan ia keluar dari mazhab yang empat. Mazhab as-Salafiyah berdasarkan Allah berjisim dan menyerupai makhluk.
Fikiran Ibnu Taimiyah dan mazhab as-Salafiyah yang dibawanya itu dan yang diamalkan sekarang oleh al-Wahhabiyah di tanah Arab, telah diperangi oleh ulama Islam pada kurun keempat Hijriah, dan dilawan oleh ulama Islam sepanjang kurun Islam…………..
***** akhir kutipan *****
Mufti Haji Said bin Haji Ibrahim, mantan mufti Sabah silahkan baca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/25/fatwa-mufti-sabah/
Berhubung dengan fahaman Ibnu Taimiyyah, beliau menulis mengenai penyelewengannya secara khusus dalam Fasal ke-18, Fasal ke -19 dan Fasal ke-20. Mufti Haji Said adalah antara ulama yang tegas dalam pernyataannya bahawa fahaman Ibnu Taimiyyah adalah menyeleweng daripada Ahlus Sunnah wal Jama`ah.
Wasiat ulama Kelantan, Syaikh ‘Utsman Jalaluddin bin Muhammad bin ‘Abdus Shamad al-Kelantani atau lebih dikenali sebagai Syaikh Utsman Jalaluddin Penanti silahkan baca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/25/wasiat-ulama-kelantan/
Berikut kutipan Syaikh Abdullah bin Ibrahim yang terkenal dengan gelaran Syaikh Abdullah Fahim merupakan ulama terkenal Tanah Melayu dan mufti pertama Pulau Pinang memasukkan mazhab atau pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya yang bertemu langsung seperti Ibnu Qoyyim Al Jauziyah maupun yang tidak bertemu langsung seperti Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai mazhab khawarij artinya mazhab yang menyempal keluar (kharaja) dari mazhab Imam Mazhab yang empat.
***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendak mengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
Silahkan baca kutipan selengkapnya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/25/mufti-pulau-pinang/
Dalam Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang dikeluarkan pada 27 Sya’ban 1435 H/ 25 Juni 2014 menyebutkan bahwa pengajian Kelompok Salafi Wahabi di Gampong Pulo Raya Kecamatan Titeu Kabupaten Pidie dan ditempat lainnya adalah sesat dan meminta pemerintah untuk segera menutup pengajian, penyiaran dan ceramah serta melarang aktivitas mereka sebagaimana contoh berita dari http://www.muslimedianews.com/2014/08/fatwa-ulama-aceh-aqidah-salafi-itu.html
Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti pemahaman seorang ulama sebelum bertaubat.
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat) dengannya sebagaimana informasi yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-ibnu-taimiyyah.pdf.
Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul “Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam akidah Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan) dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/07/12/taubatkah-ibnu-taimiyyah/
Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir
Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html
Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala menerima taubat Beliau.
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah maupun kitab muridnya yakni Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab akidah Wasithiyah yang merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab akidah Wasithiyah masih ada penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-akidah_Al-Wasithiyah
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab akidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Habib Rizieq Shihab menjelaskan bahwa sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H hingga wafat di tahun 728 H.
Berikut kutipan penjelasannya
***** awal kutipan ****
Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
***** akhir kutipan ******
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.
7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:
– Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar
– Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah
– Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al Anam
– An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi ath-Thalaq al Mu’allaq
– Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi Masa-il alAyman wa ath-Thalaq
– at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq
– Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.
8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti dijelaskan dalam:
– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali (W 762 H).
11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.
12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam Rasulullah.
13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.
15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.
16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua risalahnya:
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalahath-Thalaq.
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah az-Ziyarah.
17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-Radd ‘Ala ibn Taimiyah..
18. Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)
19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk memenjarakannya.
20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam dua risalahnya : – Bayan Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab. – An-Nashihah adz-Dzahabiyyah
Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar