Ulama NAJED dari bani Tamim MENUDUH mayoritas atau kebanyakan umat Islam syirik dan kufur karena KELIRU memahami firman Allah Ta’ala seperti contohnya surat Yunus [10] ayat 18 dan surat Az Zumar [39] ayat 3
Ulama rujukan bagi firqah Wahabi yakni Ulama NAJED dari bani Tamim Muhammad bin Abdul Wahhab (W. 1206H) dikabarkan TIDAK MENGAKU sebagai Nabi NAMUN Beliau MENGAKU mendapatkan ILHAM LANGSUNG dari Allah Ta’ala sebagaimana contoh muridnya Husain ibn Ghannam dalam Tarikh Najd hal. 310 yang mengatakan bahwa ulama rujukan mereka, Muhammad bin Abdul Wahhab berkata,
***** awal kutipan *****
أَعْرِفُ مَعْنَى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ أَعْرِفُ دِيْنَ اْلإِسْلاَمِ، قَبْلَ هَذَا الْخَيْرِ الَّذِيْ مَنَّ اللهُ بِهِ
Aku pada waktu itu tidak mengerti makna la ilaha illallah dan tidak mengerti agama Islam, sebelum kebaikan (ilham) yang dianugerahkan oleh Allah.
وَكَذَلِكَ مَشَايِخِيْ، مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ عَرَفَ ذَلِكَ
Demikian pula guru-guruku, tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui hal tersebut.
فَمَنْ زَعَمَ مِنْ عُلَمَاءِ الْعَارِضِ: أَنَّهُ عَرَفَ مَعْنَى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، أَوْ عَرَفَ مَعْنَى اْلإِسْلاَمِ قَبْلَ هَذَا الْوَقْتِ
Barangsiapa yang meng-klaim (mengaku) di antara ulama Al Aridh (Riyadh) bahwa ia mengetahui makna la ilaha illallah atau mengetahui makna Islam sebelum waktu ini,
أَوْ زَعَمَ مِنْ مَشَايِخِهِ أَنَّ أَحَدًا عَرَفَ ذَلِكَ، فَقَدْ كَذِبَ وَافْتَرَى، وَلَبَّسَ عَلَى النَّاسِ، وَمَدَحَ نَفْسَهُ بِمَا لَيْسَ فِيْهِ
atau meng-klaim (mengaku) bahwa di antara guru-gurunya ada yang mengetahui hal tersebut, berarti ia telah berdusta, mereka-reka (kebohongan), menipu manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak dimilikinya
***** akhir kutipan *****
Pengakuan tersebut dituliskan pula oleh ulama mereka, Abdurrahman bin Muhammad Al Ashimi An Najdi dalam kitabnya berjudul Ad Durar as Saniyah fil Ajwibah an Najdiyyah Cet. Attiba’ah Assuudiyah 1996 Juz 10 hlm 51.
Begitupula ulama NAJED dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab MENGANGGAP atau MENUDUH guru-gurunya dan mayoritas atau kebanyakan umat Islam MUSYRIK semua KECUALI Beliau yang mendapatkan ILHAM LANGSUNG dari Allah Ta’ala SEPERTI Nabi Khidir alaihissalam sebagaimana yang termuat dalam Kitab An Nushush Al Islamiyah karya KH.Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar Al-Maskumambani Cet. Maktabah At-Tarmasi Lit Turats Hal.20
***** awal kutipan *****
و قال له رجل آخر مرة ؛ هذا الدين الذى جئت به متصل أم منفصل ؟؟؟
Seorang lelaki pernah bertanya kepada Muhammad bin Abdul Wahhab : “Apakah ajaran agama yang kamu bawa ini MUTTASHIL (bersambung sampai ke Rasulullah) atau MUNFASHIL (terputus) ??”.
فقال له ؛ حتى مشايخى و مشايخهم إلى ستمائة سنة كلهم مشركون
Muhammad bin Abdul Wahhab menjawab : “Bahkan guru-guruku dan semua gurunya guruku sampai 600 tahun lalu adalah MUSYRIK SEMUANYA”.
فقال له الرجل ؛ إذن دينك منفصل لا متصل ، فَعَمَّنْ أخذتَه ؟؟؟
Lelaki tadi bertanya lagi: “Kalau begitu, ajaranmu ini munfashil (terputus) dan tidak muttashil hingga Rasulullah!!! Lalu dari siapa kamu mengambil ajaranmu?”
فقال ؛ وَحْيٌ إلْهَامُ كَالْخَضْرِ
Muhammad bin Abdul Wahhab menjawab: “Aku mendapatkannya dari ilham seperti Nabi Khidir”.
***** akhir kutipan *****
CONTOHNYA ulama rujukan bagi firqah Wahabi yakni ulama NAJED dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206H) berpendapat bahwa umat Islam berdoa kepada Allah diawali bertawassul dengan Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah) yang telah wafat adalah SYIRIK AKBAR sebagaimana yang disampaikan oleh ustadz mereka dalam video yang dapat disaksikan pada https://bit.ly/3oT1PjM
Begitupula ulama mereka, DR Shalih Al Fauzan dalam kitab penjelasan atau syarah Qawa’idul ‘Arba (Empat kaidah Tauhid) karya ulama NAJED dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab pada hal 36, mereka menuduh musyrik dan BAHKAN MENGHALALKAN darah umat Islam yang berdoa kepada Allah Ta’ala diawali bertawassul dengan Rasulullah maupun para Wali Allah (kekasih Allah) yang telah wafat.
***** awal kutipan *****
Kami katakan: “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak membedakan mereka, bahkan menganggap mereka seluruhnya musyrik, sehingga halal darah serta harta mereka.
***** akhir kutipan *****
Pada hal 44 tampak jelas ulama NAJED dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab KELIRU ketika BERHUJJAH dengan Al Qur’an yakni contohnya surat Az Zumar [39] ayat 3 dan surat Yunus [10] ayat 18 sehingga berpendapat atau berfatwa bahwa tawassul dengan makhluk kepada Allah adalah wasilah yang dilarang dan syirik, dan menurut Beliau itulah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik dahulu sebagaimana yang dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/03/pemahaman-tauhid-maw.pdf
awal kutipan
Adapun tawassul dengan makhluk kepada Allah, maka hal ini adalah wasilah yang dilarang dan syirik, dan itulah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik dahulu
***** akhir kutipan *****
Dari cara mereka BERHUJJAH mengingatkan kepada CIRI KHAS dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk NAJED dari bani Tamim atau kaum KHAWARIJ yakni, mereka MENYERANG dan MENGKAFIRKAN yakni MEMBATALKAN KEISLAMAN dan MENGHALALKAN DARAH umat Islam dengan MENYALAHGUNAKAN ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir.
Dari Bakir bin Abdullah bin Al Asyaj, bahwa dia bertanya kepada Nafi, tentang bagaimana Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) radhiyallahu ‘anhu dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan,
وكان ابن عمر يراهم شرار خلق الله وقل إنهم انطلقو إلى آيات نزلت فى الكفار فجعلوها على
المؤمنين
“Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman” (Fathul Bari, 12/286)
Jadi ulama NAJED dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab menganggap atau MENUDUH mayoritas atau kebanyakan umat Islam syirik dan kufur karena KELIRU memahami firman Allah Ta’ala yang diturunkan bagi orang-orang kafir seperti contohnya surat Yunus [10] ayat 18 dan surat Az Zumar [39] ayat 3.
Berikut kutipan Imam Fakhrurrazi (W. 606 H) ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan MEREKA (kaum musyrik) BERKATA: “Mereka itu adalah pemberi SYAFAAT kepada kami di sisi Allah” (QS Yunus [10]:18)
***** awal kutipan *****
أَنَّهُمْ وَضَعُوا هَذِهِ الْأَصْنَامَ وَالْأَوْثَانَ عَلَى صُوَرِ أَنْبِيَائِهِمْ, وَأَكَابِرِهِمْ، وَزَعَمُوا أَنَّهُمْ مَتَى اشْتَغَلُوا بِعِبَادَةِ هَذِهِ التَّمَاثِيلِ، فَإِنَّ أُولَئِكَ الْأَكَابِرَ تَكُونُ شُفَعَاءَ لَهُمْ عِنْدَ اللَّه تَعَالَى
Mereka MEMBUAT BERHALA tersebut dalam BENTUK para Nabi atau orang-orang besar (orang-orang sholeh) mereka, mereka mengira ketika mereka melakukan IBADAH dengan BERHALA – BERHALA tersebut, maka (berhala-berhala) orang-orang sholeh tersebut akan MEMBERI SYAFAAT bagi mereka di hadapan Allah,
***** akhir kutipan *****
Dari penjelasan Imam Fakhrurrazi yakni
أَنَّهُمْ وَضَعُوا هَذِهِ الْأَصْنَامَ وَالْأَوْثَانَ عَلَى صُوَرِ أَنْبِيَائِهِمْ
Mereka MEMBUAT BERHALA tersebut dalam BENTUK para Nabi.
MENEGASKAN atau MENUNJUKKAN BUKAN mayoritas atau kebanyakan umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam NAMUN umat para Nabi terdahulu (bentuk jamak) yang MEMBUAT BERHALA dalam BENTUK para Nabi.
Begitupula Imam Suyuthi (W. 911H) dalam kitab tafsir Jalalain menjelaskan bahwa ORANG-ORANG yang BERKATA dalam firman Allah Ta’ala surat Az Yunus [10] ayat 18 adalah
***** awal kutipan *****
ولا ينفعهم
dan tidak pula kemanfaatan
إن عبدوه وهو الأصنام
jika mereka menyembahnya, yang DIMAKSUD adalah BERHALA-BERHALA yang MEREKA SEMBAH itu
***** akhir kutipan *****
Sedangkan firman Allah Ta’ala yang artinya “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” (QS Az Zumar [39]:3), Imam Suyuthi dalam kitab tafsir Jalalain menjelaskan bahwa,
***** awal kutipan *****
والذين اتخذوا من دونه
Dan orang-orang yang mengambil selain-Nya
الأصنام
yang mengambil BERHALA-BERHALA
أولياء
sebagai PELINDUNG
***** akhir kutipan *****
Jadi dari penjelasan Imam Fakhrurrazi dan Imam Suyuthi dapat diketahui bahwa yang dimaksud mayoritas atau orang kebanyakan syirik dan kufur BUKAN umat Islam NAMUN orang-orang yang BERKATA yakni kaum musyrik yang bertawassul DENGAN MENYEMBAH BERHALA yang diyakini (dianggap) oleh mereka akan memperoleh SYAFAAT di sisi Allah Ta’ala.
Begitupula orang-orang yang BERKATA yakni kaum musyrik yang bertawassul DENGAN MENYEMBAH BERHALA yang diyakini (dianggap) oleh mereka akan MENDEKATKAN mereka kepada Allah Ta’ala.
KESIMPULANNYA, kaum musyrik yakni kaum atau umat para Nabi terdahulu BERTAWASSUL dengan SESUATU YANG DIBENCI oleh Allah Ta’ala yakni BERTAWASUL dengan MENYEMBAH BERHALA
Sedangkan umat Islam BERTAWASSUL dengan SESUATU YANG DICINTAI oleh Allah Ta’ala yakni BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN dalam bentuk atau wujud rasa cinta kepada Rasulullah dan para wali Allah (kekasih Allah) walaupun mereka telah wafat dan rasa cinta tidak dibatasi oleh kewafatan seseorang.
Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani dalam kitabnya yang berjudul Mafahim Yajibu An Tushahhah (Pemahaman-pemahaman yang harus diluruskan) menjelaskan bahwa pada hakikatnya berdoa kepada Allah diawali bertawassul dengan Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah) yang telah wafat ADALAH termasuk BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni rasa cinta kepada Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah) yang diwujudkan dengan ucapan salam atau dengan syair ungkapan kecintaan kepada yang dicintainya.
Berikut kutipan penjelasannya,
***** awal kutipan *****
Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang berjihad di jalan Allah atau karena ia meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai orang yang dijadikan tawassul.
Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintai-Mu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridlo terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan seperti ini dan itu.
Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemaha-tahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, itu sama dengan orang yang mengatakan : Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan rasa cintaku kepada Nabi-Mu. Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
***** akhir kutipan *****
Contoh berdoa kepada Allah meminta kesembuhan, bertawassul dengan menyebut nama orang yang kita cintai dan diyakini dicintai oleh Allah pula
Hadits mauquf dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه أَنَّهُ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقِيْلَ لَهُ: اُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallaahu ‘anhu, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang paling Anda cintai!”Lalu Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu kaki beliau sembuh
Hal serupa disampaikan oleh Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani dalam kitabnya yang berjudul Mafahim Yajibu An Tushahhah (Pemahaman-pemahaman yang harus diluruskan) ketika mencontohkan tawasul dalam bentuk nida’ (panggilan)
***** awal kutipan *****
عن الهيثم بن خنس قال : كنا عند عبد الله بن عمر رضي الله عنهما فخدرت رجله فقال له رجل : أذكر أحب الناس إليك ، فقال : يا محمد ، فكأنما نشط من عقال
Dari Al Haitsam ibn Khanas, ia berkata, “Saya berada bersama Abdullah Ibn Umar. Lalu kaki Abdullah mengalami kram. “Sebutlah orang yang paling kamu cintai !,” saran seorang lelaki kepadanya. “Yaa Muhammad,” ucap Abdullah. Maka seolah-olah ia terlepas dari ikatan.
وعن مجاهد قال : خدرت رِجْل رَجُل عند ابن عباس رضي الله عنهما ،فقال له ابن عباس : أذكر أحب الناس إليك ، فقال : محمد ، فذهب خدره.
Dari Mujahid, ia berkata, “Seorang lelaki yang berada dekat Ibnu Abbas mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan nama orang yang paling kamu cintai,” kata Ibnu Abbas kepadanya.Lalu lelaki itu menyebut nama Muhammad dan akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada kakinya.
***** akhir kutipan *****
Jadi menyebut nama seseorang yang dicintai oleh Allah Ta’ala atau kekasih Allah (wali Allah) ketika berdoa kepada Allah Ta’ala termasuk tawasul dengan amal kebaikan.
Hadits riwayat Imam Dailami :
ذكر الأنبياء من العبادة وذكر الصالحين كفارة، وذكر الموت صدقة، وذكر القبر يقربكم إلى الجنة.
“Menyebut-nyebut para Nabi itu termasuk ibadah, menyebut-nyebut para shalihin itu bisa menghapus dosa, mengingat kematian itu pahalanya seperti bersedekah dan mengingat alam kubur itu bisa mendekatkan kamu dari surga”. (HR. Dailami)
Jadi pada kenyataannya ulama rujukan bagi firqah Wahabi yakni ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab BUKAN ahli tauhid namun terjerumus murtad dari agamanya karena tuduhan musyrik kembali kepada si penuduh.
Bahkan dikabarkan letak makam atau kuburannya “dilupakan” orang mungkin tidak layak untuk diziarahi karena tidak ada keberkahan di sana akibat amal kebaikannya tidak lagi bermanfaat di alam barzakh.
Berbeda dengan ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah yang dikabarkan masih sempat bertaubat sebelum wafat sehingga masih ada yang menziarahi makam atau kuburannya karena amal kebaikannya masih bermanfaat di alam barzakh.
Rasulullah telah menubuatkan dalam sabdanya bahwa kelak akan bermunculan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni orang-orang yang GEMAR MEN-TA’RIF artinya men-“definisi”-kan alias MENGANGGAP atau MENUDUH SYIRIK namun mereka terjerumus MURTAD dari AGAMANYA karena TUDUHAN musyrik kembali kepada si PENUDUH akibat mereka KELIRU BERHUJJAH dengan Al Qur’an dan Hadits.
Berikut contoh riwayat yang menujukkan bahwa Dzul Khuwaishirah adalah PENDUDUK NAJED.
Dari Abu Sa’id berkata; Orang-orang Quraisy marah dengan adanya pembagian itu. kata mereka, “Kenapa pemimpin-pemimpin NAJED yang diberi pembagian oleh Rasulullah, dan kita tidak dibaginya?” maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun menjawab, “Sesungguhnya aku lakukan yang demikian itu, untuk membujuk hati mereka.”
Sementara itu, datanglah laki-laki BERJENGGOT tebal, pelipis menonjol, mata cekung, dahi menjorok dan kepalanya DIGUNDUL. Ia berkata, “Wahai Muhammad! Takutlah Anda kepada Allah!”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Siapa pulakah lagi yang akan menaati Allah, jika aku sendiri telah mendurhakai-Nya? Allah memberikan ketenangan bagiku atas semua penduduk bumi, maka apakah kamu tidak mau memberikan ketenangan bagiku?” (HR Muslim 1762 atau Syarh Shahih Muslim 1064)
Berikut contoh riwayat yang menujukkan bahwa Dzul Khuwaishirah PENDUDUK NAJED adalah dari BANI TAMIM
Dari Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari BANI TAMIM, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil.
Lalu Rasulullah menubuatkan CIRI KHAS dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ
Mereka membaca Al-Qur’an namun tidak sampai melewati tenggorokan mereka. (HR Bukhari 3341 atau Fathul Bari 3610)
“Tidak sampai melewati tenggorokan mereka” yakni tidak sampai ke hatinya MAKNANYA tidak mempengaruhi hati mereka sehingga mereka berakhlak buruk seperti gemar menyalahkan, menganggap sesat dan TAKFIRI yakni mengkafirkan atau MENUDUH musyrik NAMUN mereka KELIRU ketika BERHUJJAH dengan Al Qur’an maka “Al Qur’an menjadi bencana” bagi mereka karena tuduhan akan kembali kepada si penuduh sehingga mereka terjerumus MURTAD yakni keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسِبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِمْ
Mereka membaca Al-Qur’an dan mereka menyangka bahwa Al-Qur’an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al-Qur’an itu adalah (bencana) atas mereka.
يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ
Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya. (HR Muslim 1773 atau Syarh Shahih Muslim 1066)
Dari Hudzaifah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إنَّ أخوفَ ما أخاف عليكم رجل قرأ القرآن، حتى إذا رُئيت بهجته عليه وكان ردءاً للإسلام، انسلخ منه ونبذه وراء ظهره، وسعى على جاره بالسيف ورماه بالشرك، قلت: يا نبيَّ الله! أيُّهما أولى بالشرك: الرامي أو المرمي؟ قال: بل الرامي
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”. (HR. Al-Bukhari dalam At-Tarikh, Abu Ya’la, Ibnu Hibban dan Al-Bazzar)
Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’ (menuduh musyrik) maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun apabila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya (si penuduh).” (HR Muslim 92 atau Syarh Shahih Muslim 60)
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim adalah CONTOH orang-orang yang MENGASINGKAN DIRI yakni MENYEMPAL KELUAR dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) PADA zaman Salafus Sholeh sehingga mereka disebut FIRQAH atau KAUM KHAWARIJ.
KHAWARIJ adalah bentuk jamak, dan mufradnya adalah dari kata KHARIJ yang berasal dari kata KHARAJA yang artinya KELUAR.
Sebutan KHAWARIJ berlaku tidak sebatas pemberontak NAMUN berlaku bagi siapa saja yang menganggap sesat, menuduh musyrik dan bahkan menghalalkan darah dan membunuh umat Islam karena mereka KELIRU BERHUJJAH atau KELIRU MEMAHAMI Al Qur’an dan Hadits SEHINGGA mereka MENGASINGKAN DIRI atau MENYEMPAL KELUAR dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham).
Mereka MENGASINGKAN DIRI atau MENYEMPAL KELUAR karena mereka menganggap atau menuduh mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) telah rusak padahal mereka sendirilah yang rusak
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Aku membaca Hadits Malik dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila ada seseorang yang berkata; ‘Celakalah (rusaklah) manusia’, maka sebenarnya ia sendiri yang lebih celaka (rusak) dari mereka. (HR Muslim 4755 atau Syarh Shahih Muslim 2623)
Jadi masuk akallah (logislah) kalau orang-orang pada ZAMAN NOW (masa sekarang) yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sehingga TERJERUMUS KESOMBONGAN MENOLAK KEBENARAN dan menyalahkan, menganggap sesat atau bahkan mengkafirkan, menghalalkan darah dan membunuh umat Islam karena “nenek moyang mereka” yakni Dzul Khuwaishirah penduduk NAJED dari bani Tamim MENYALAHKAN Rasulullah.
Begitupula TERBUKTI ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab TIDAK MENGIKUTI Salafus Sholeh sehingga TERTOLAKLAH penisbatan para pengikut firqah Wahabi SEBAGAI SALAFI karena para Sahabat bertawasul dengan menyebut nama-nama orang sholeh yang telah wafat yakni para Sahabat mencontohkan BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN dalam bentuk ucapan salam, ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN (Semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan yang telah wafat dan menjadi PENDUDUK LANGIT)
Namun kemudian Rasulullah menyederhanakan dan menggabungkan ucapan tawassulnya dengan ucapan :
“ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN”
(Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang sholeh).
Kemudian Rasulullah menjelaskan,
فَإِنَّهُ إِذَا قَالَ ذَلِكَ أَصَابَ كُلَّ عَبْدٍ صَالِحٍ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang sholeh baik di langit maupun di bumi“. (HR Bukhari 5762 atau Fathul Bari 6230).
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/bukhari/5762
Hamba-hamba yang sholeh di langit termasuk PENDUDUK LANGIT yakni orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah Ta’ala seperti para Nabi yang ditemui oleh Rasulullah ketika Isra Mi’raj, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang sholeh yang TELAH wafat.
Oleh karenanya berdoa setelah sholat lebih mustajab karena sholat berisi pujian kepada Allah, bertawassul dengan bershalawat kepada Rasulullah, bertawasul dengan para Malaikat dan bertawasul dengan hamba-hamba yang sholeh baik di langit maupun di bumi.
Begitupula dalam susunan doa setelah sholat, sebelum doa inti kita panjatkan kepada Allah Ta’ala, kita menjaga ADAB dalam BERDOA diawali bertawasul dengan amal kebaikan yakni memohonkan ampunan kepada PENDUDUK LANGIT termasuk kaum mukmin yang telah wafat.
“Astaghfirullahalazim li wali waa lidaiya wali jami il muslimina wal muslimat wal mukminina wal mukminat al ahya immin hum wal amwat”
“Ampunilah aku ya Allah yang Maha Besar, kedua ibu bapaku, semua muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat yang masih hidup dan yang telah mati.”
Sebaliknya PENDUDUK LANGIT yakni para kekasih Allah (Wali Allah) yang telah wafat, jika mereka menginginkan dapat mendoakan kepada Allah Ta’ala bagi penduduk dunia yang menjalin tali silaturahmi dengan mereka
Rasulullah bersabda, “Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).
Rasulullah bersabda bahwa ahli kubur dapat mendengar namun mereka tidak dapat menjawab secara langsung.
Dari Tsabit Al Bunani dari Anas bin Malik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meninggalkan jenazah perang Badar tiga kali, setelah itu beliau mendatangi mereka, beliau berdiri dan memanggil-manggil mereka, beliau bersabda: Hai Abu Jahal bin Hisyam, hai Umaiyah bin Khalaf, hai Utbah bin Rabi’ah, hai Syaibah bin Rabi’ah, bukankah kalian telah menemukan kebenaran janji Rabb kalian, sesungguhnya aku telah menemukan kebenaran janji Rabbku yang dijanjikan padaku. Umar mendengar ucapan nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, ia berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana mereka mendengar dan bagaimana mereka menjawab, mereka telah menjadi bangkai? Beliau bersabda: Demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNya, kalian tidak lebih mendengar ucapanku melebihi mereka, hanya saja mereka tidak bisa menjawab (secara langsung) (HR Muslim 5121 atau Syarh Shahih Muslim 2874 atau 2875 )
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/muslim/5121
Begitupula MEREKA yang melarang (mengharamkan) bertawasul dengan Rasulullah maupun para Wali Allah yang telah wafat seharusnya menggunakan AKAL atau KECERDASANNYA untuk apa Rasulullah mengajarkan dan mencontohkan mengucapkan salam kepada ahli kubur, apakah sia-sia serupa ngomong dengan tembok ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).
Begitupula durhakalah mereka yang melarang (mengharamkan) bertawasul dengan Rasulullah maupun para wali Allah yang telah wafat dengan mengatakan,
“Tongkat ini lebih berguna daripada Rasulullah karena tongkat bermanfaat bisa dipakai untuk memukul ular, sedangkan Rasulullah telah wafat dan tidak ada sedikitpun kemanfaatan yang tersisa darinya”
Kita bersholawat (doa keselamatan) kepada Rasulullah bukan berarti Rasulullah membutuhkan sholawat (doa keselamatan) dari umatnya.
Dengan umat Islam bersholawat kepada Rasulullah maka umat Islam menyambung tali silaturahmi dan MENDAPATKAN MANFAAT dari Rasulullah yang telah wafat yakni balasan salam atau doa keselamatan dari Rasulullah dengan kedekatan maqom (manzilah, kedudukan, derajat) Beliau di sisi Allah.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku kepadaku sehingga aku membalas salam.(HR. An-Nasa’i Al-Hakim 2/421)
Contoh Ummul Mu’minin Sayyidah Aisyah radhiyallahu anha memerintahkan BERTABARRUK di kuburan Rasulullah sebagaimana disampaikan oleh Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani dalam kitabnya yang berjudul Mafahim Yajibu An Tushahhah (Pemahaman-pemahaman yang harus diluruskan).
Berikut riwayat yang diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan Ad Darimi 1/56 no 92
حدثنا أبو النعمان ثنا سعيد بن زيد ثنا عمرو بن مالك النكري حدثنا أبو الجوزاء أوس بن عبد الله قال قحط أهل المدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت انظروا قبر النبي صلى الله عليه و سلم فاجعلوا منه كووا إلى السماء حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف قال ففعلوا فمطرنا مطرا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتى تفتقت من الشحم فسمي عام الفتق
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’man yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Zaid yang berkata telah menceritakan kepada kami Amru bin Malik An Nukri yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Jauzaa’ Aus bin Abdullah yang berkata “Suatu ketika penduduk Madinah dilanda kekeringan yang hebat, maka mereka mengadukan hal tersebut kepada Aisyah. Kemudian ia berkata “pergilah ke kubur Nabi shallallahu alaihi wasallam buatlah lubang ke arah langit dan jangan sampai ada penghalang diantaranya dengan langit”. Ia (Aus bin Abdullah) berkata “Kemudian penduduk Madinah melakukan apa yang diperintahkan Aisyah, setelah itu turunlah hujan, tanaman-tanaman tumbuh dan hewan ternak menjadi sehat. Oleh karena itu tahun tersebut disebut tahun kemenangan”.
Contoh dari Salafus Sholeh lainnya, telah diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Syaibah dengan isnad yang shahih
أَنَّ النَّاسَ أَصَابَهُمْ قَحْطٌ فِى خِلاَفَةِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَجَآءَ بِلاَل بْنُ الْحَارِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ اسْتَسْقِ ِلأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ هَلَكُوْا فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الْمَنَامِ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُمْ يُسْقَوْنَ
“Bahwasanya orang-orang pada waktu khalifah Sayyidina Umar ditimpa musim panas (kemarau), lalu Bilal bin Harits datang kekubur Nabi shallallahu alaihi wasallam dan berkata : “ya Rasulullah ! Mintakanlah hujan untuk ummatmu sebab sesungguhnya mereka sedang menderita”. Kemudian Rasulullah datang kepadanya dalam mimpi dan memberitahukan bahwa mereka dihujani”.
Imam Syafi’i MENCONTOHKAN BERTABARRUK dan MENGINAP di makam Imam Abu Hanifah selama 7 hari dan SETIAP HARI ketika sholat subuh tidak membaca qunut sebagai bentuk toleransi perbedaan pendapat sebagaimana yang dikabarkan pada https://islam.nu.or.id/hikmah/belajar-toleransi-dari-imam-syafii-saat-ziarahi-makam-abu-hanifah-yM4J9
Contoh berdoa kepada Allah dikuburan para ulama lainnya dapat dibaca pada https://republika.co.id/berita/q0jv2z320/cerita-ketika-imam-syafii-bermunajat-di-makam-abu-hanifah
Begitupula para Sahabat tidak menganggap syirik atas perbuatan berdoa kepada Allah yakni memohonkan ampunan kepada Allah bertawasul dengan Rasulullah walaupun setelah wafat
Sejumlah ulama seperti contohnya Syekh Abu Mansur As Sabbaq di dalam kitabnya Asy Syamil menyampaikan bahwa Sahabat Atabi radhiyallahu anhu menyaksikan pemuda pendosa mendatangi Rasulullah dan berdoa kepada Allah Ta’ala di sisi kuburan Rasulullah diawali bertawassul dengan Rasulullah yakni dengan ucapan atau syair sebagaimana contoh yang disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan Firman Allah Ta’ala surat An-Nisa [4] ayat 64
***** awal kutipan *****
“Assalamu’alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah).
Aku telah mendengar Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang‘ (QS An-Nisa [4]: 64),
Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku.”
Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut , yaitu: “Hai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.“
Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam., lalu Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya!”
***** akhir kutipan *****
Kutipan di atas bersumber dari kitab tafsir Ibnu Katsir terbitan Sinar Baru Algensindo, th 2000, juz 5, hal 283-284
Tangkapan layar (screenshot) dapat dilihat pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/09/ikjuz5p281_285.pdf
Cobalah periksa kitab tafsir Ibnu Katsir yang anda miliki, adakah termuat kisah bertawasul ke makam Rasulullah karena ada pihak yang menganggap hal itu bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits sehingga mereka MEMALSUKAN dengan MENGHILANGKAN kisah tersebut ketika menerbitkan ulang kitab tafsir Ibnu Katsir.
Mereka yang “menghilangkan” contoh bertawasul dengan Rasulullah atau mengingkari firman Allah Ta’ala dalam (QS An-Nisa [4]: 64) sebagai dalil bertawasul dengan Rasulullah maupun para wali Allah lainnya berpendapat bahwa firman Allah Ta’ala tersebut hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup.
Jadi dalil yang berlaku secara UMUM namun oleh mereka dianggap KHUSUS.
Berikut kutipan penjelasan Prof, DR Ali Jum’ah tentang (QS An-Nisa [4]: 64) dalam kitab berjudul ”Al Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqasyatu ahammi qadlayahum” telah diterbitkan kitab terjemahannya dengan judul ” Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ ” diterbitkan oleh penerbit Khatulistiwa Press
***** awal kutipan *****
Adapun ayat ketiga ini (QS An-Nisa [4] : 64) berlaku secara umum (mutlak), tidak ada sesuatupun yang mengikatnya, baik dari nash maupun akal. Di sini tidak ada sesuatu makna yang mengikatnya dengan masa hidup Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dunia. Karena itu akan tetap ada hingga hari kiamat.
Di dalam Al Qur’an, yang menjadi barometer hukum adalah umumnya lafaz, bukan berdasarkan khususnya sebab. Oleh karena itu, barang siapa yang mengkhususkan ayat ini hanya ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masih hidup, maka wajib baginya untuk mendatangkan dalil yang menunjukkan hal itu.
Keumuman (kemutlakan) makna suatu ayat tidak membutuhkan dalil, karena ‘keumuman’ itu adalah asal. Sedangkan taqyid (mengikat ayat dengan keadaan tertentu) membutuhkan dalil yan,g menunjukkannya.
Ini adalah pemahaman ulama ahli tafsir, bahkan mereka yang sangat disiplin dengan atsar seperti Imam Ibnu Katsir. Dalam tafsirnya, setelah menyebutkan ayat di atas, Ibnu Katsir lalu mengomentarinya dengan berkata “Banyak ulama dalam kitab Asy Syaamil menyebutkan kisah yang sangat masyur ini”
***** akhir kutipan *****
Begitupula Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar al-Haitami berkata bahwa ayat ini (QS An-Nisa [4]: 64) menjadi petunjuk dianjurkan datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk minta ampun dosa kepada Allah di sisi Beliau dan Beliau minta ampun dosa umatnya. Dan ini (bertawasul dengan Rasulullah) TIDAK TERPUTUS dengan wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 12)
Imam Ibnu al-Hajj al-Abdari, ulama dari mazhab Maliki juga mengingatkan (QS An Nisaa [4] : 64) dan kemudian berkata,
***** awal kutipan *****
Oleh karena itu, barang siapa yang mendatangi Beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) , berdiri di depan pintu Beliau, dan bertawassul dengan Beliau, maka ia akan mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan pernah ingkar janji.
Allah Ta’ala telah berjanji untuk menerima tobat orang yang datang, berdiri di depan pintu Beliau dan meminta ampunan kepada Tuhannya.
Hal ini sama sekali tidak diragukan lagi, kecuali oleh orang yang menyimpang dari agama dan durhaka kepada Allah dan RasulNya. “Kami berlindung diri kepada Allah dari halangan mendapatkan syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam” (Ibnu al Hajj, Al Madkhal, 1/260)
***** akhir kutipan *****
Sedangkan Imam Ibnu Qudamah dari kalangan mazhab Hanbali juga memberikan petunjuk di dalam adab ziarah ke makam Rasulullah, agar peziarah membaca (QS An Nisaa [4] : 64), mengajak bicara Rasulullah dengan memakai ayat tersebut dan meminta kepada Beliau untuk dimintakan ampunan kepada Allah.
***** awal kutipan *****
Maka setelah peziarah membaca salam, doa dan shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam hendaknya ia berdoa,
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah berfirman, sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS An Nisaa [4] : 64)
Aku datang kepadamu (Nabi shallallahu alaihi wasallam) sebagai orang yang meminta ampunan atas dosa-dosaku, dan sebagai orang yang meminta syafaat melaluimu kepada Tuhanku. Aku memohon kepadaMu , wahai Tuhanku, berilah ampunan kepadaku, sebagaimana Engkau berikan kepada orang yang menemui beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) ketika masih hidup.”
Setelah itu, peziarah berdoa untuk kedua orang tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh kaum muslimin
***** akhir kutipan *****
Imam an Nawawi, ulama dari kalangan Syafi’iyah, ketika menerangkan mengenai adab ziarah makam Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata “Kemudian ia (peziarah) kembali ke tempat awalnya (setelah bergerak satu hasta ke kanan untuk menyalami Abu Bakar dan satu hasta yang lain menyalami Umar) sambil menghadap ke arah wajah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Lalu ia bertawassul dari beliau kepada Allah. Sebaik-baik dalil dalam masalah ini adalah atsar yang diceritakan oleh Imam al Mawardi al Qadhi, Abu ath-Thayyib dan ulama lainnya (An Nawawi, Al Majmuu’, 8/256)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar