Apakah mereka membolehkan safar ke tempat maksiat
PERSELISIHAN ini timbul akibat Ibnu Taimiyyah MELABELI KEBID’AHANNYA dengan LABEL mazhab Salaf atau manhaj Salaf sehingga mereka merasa pasti benar atau merasa di atas kebenaran sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2020/02/11/labeli-mazhab-salaf/.
Contohnya mereka sependapat (baca taqlid) dengan pendapat Ibnu Taimiyyah bahwa “Jika ke masjid selain tiga masjid tersebut saja dilarang, maka ke tempat lainnya lebih jelas terlarangnya. Karena beribadah di masjid tentu lebih utama dari tempat selain masjid atau selain rumah sebagaimana tulisan mereka pada https://rumaysho.com/2250-wisata-spiritual-ke-kuburan-wali.html
Mereka memahami Al Qur’an dan hadits SELALU dengan MAKNA DZAHIR.
Contohnya,
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Tidak boleh diadakan perjalan jauh kecuali kepada tiga masjid; masjidku ini dan masjidil haram dan masjid Al Aqsha”. (HR Bukhari dan Muslim)
Dan dalam shahih Muslim dengan redaksi larangan sebagai berikut
“Janganlah kamu mengadakan perjalan jauh kecuali kepada tiga masjid; masjidku ini dan masjidil haram dan masjid Al Aqsha”.
Lalu mereka memotongnya menjadi dua bagian yakni,
“dilarang melakukan perjananan jauh”
kecuali
“hanya untuk tujuan tiga masjid tersebut”.
Kita sampaikan bahwa kedua hadits tersebut bukanlah larangan mengadakan perjalanan jauh (safar) secara umum termasuk larangan mengadakan perjalanan jauh untuk ziarah kubur.
Kalau hadits tersebut merupakan larangan mengadakan perjalanan jauh (safar) secara umum maka terlarang pula untuk mengadakan perjalanan jauh (safar) terkait dengan menuntut ilmu, berdagang, wisata, berobat, berkunjung kepada saudara (silaturahhim) dan keperluan lainnya.
Lalu mereka “meralat” larangan Rasulullah tersebut menjadi larangan perjalanan jauh ke tempat untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
Mereka mengatakan bahwa “Yang dikecualikan dalam hadits ini bukanlah masjid saja sebagaimana persangkaan kebanyakan orang, tetapi setiap tempat yang dijadikan taqarrub kepada Allah, baik berupa masjid, kuburan, atau selainnya”.
Jadi mereka melarang berpergian jauh (safar) ke tempat yang dijadikan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah”
Apakah berarti mereka membolehkan berpergian jauh (safar) ke tempat menjauhkan diri dari Allah alias ke tempat maksiat ?
Mereka “meralat” larangan tersebut mengaitkan dengan hadits seperti,
Dari Abu Hurairah, ia berkata; “Aku berjumpa dengan Busyirah Ibnu Abi Basyrah Al-Ghifary, lalu dia bertanya kepadaku: “Dari mana kamu ? jawabku: “Dari bukit Thur”, Dia berkata; “Seandainya aku mengetahui sebelum kepergianmu ke sana, niscaya engkau tidak akan jadi pergi ke sana, aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Tidak boleh mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid”
Padahal ada riwayat lainnya yang menjelaskan bahwa perjalanan ke bukit Thur adalah dalam rangka sholat di sana bukan ziarah kubur.
Telah bercerita kepada kami Husain bin Muhammad telah bercerita kepada kami Syaiban dari Abdul Malik dari Umar bin Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam ia berkata: Abu Bashrah Al Ghifari menemui Abu Hurairah saat ia tiba dari bukit thur, bertanya Abu Bashrah Al Ghifari: Dari mana kamu? Abu Hurairah menjawab: dari bukit Thur; aku shalat di sana. Berkata Abu Bashrah Al Ghifari: andai aku menemuimu sebelum kau pergi meninggalkannya pasti kau tidak pergi, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Binatang tunggangan tidak boleh diikat kecuali ke tiga masjid; Masjidil Haram, masjidku, masjidil Aqsha. (Musnad Ahmad 22730)
Jelas dalam riwayat di atas bahwa Abu Hurairah ra mengadakan perjalanan untuk shalat di bukit Thur bukan untuk mengadakan perjalanan ziarah kubur dan larangan tersebut bukanlah perkara haram (dikerjakan dosa) namun terkait nilai keutamaannya semata.
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Muhammad dan aku telah mendengarnya dari Utsman bin Muhammad bin Abu Syaibah berkata; telah mencertiakan kepada kami Jarir dari Mughirah dari Ibrahim dari Sahm dari Qaza’ah dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Janganlah bersusah payah melakukan safar kecuali ke tiga masjid; masjidil haram, masjid Madinah dan masjidil aqsha.” Abu Sa’id berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengantar seorang laki-lai, lalu beliau bertanya: “Engkau mau kemana? ia menjawab, “Aku ingin pergi ke baitul maqdis”, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “sungguh, shalat di masjid ini lebih utama seribu kali shalat dari shalat di tempat lain kecuali masjidil haram” (Musnad Ahmad)
Hadits-hadits tersebut hanya ingin menjelaskan, bahwa seseorang tidak usah bercapai-capai melakukan perjalanan jauh ke sebuah Masjid demi mencari kemuliaannya, kecuali menuju tiga masjid di atas. Nilai ibadah di semua Masjid selain ketiga masjid di atas adalah sama.
Kendati demikian, kita masih boleh mengunjungi sebuah Masjid yang berada jauh dari kita atau bahkan di luar negeri untuk mengenang sejarahnya dan dapat mendapatkan keberkahan di sana.
Ibnu Hajar al-Haitamy menjelaskan bahwa maksud hadits tersebut adalah tidak melakukan perjalanan ke masjid-masjid karena ta’dhim dan taqarrub dengan masjid tersebut kecuali tiga masjid yang tersebut dalam hadits. (Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 31)
Jadi, bukan berarti dilarang secara mutlaq semua perjalanan jauh (safar) selain kepada tiga masjid yang disebut dalam hadits tersebut namun hanyalah melarang bersusah payah mengadakan perjalanan untuk mendatangi masjid terkait dengan nilai keutamaan semata dan hukumnya pun tidak sampai haram (jika dilanggar berdosa)
Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dengan sekian jalur yang berbeda menunjukkan akan diperbolehkannya menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual yang baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan bepergian ke selain tiga masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan Masjid Nabawi) tidaklah haram. (Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari III/69, Dar al-Fikr Beirut)
Hadits yang dimaksud beliau adalah,
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, “Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba setiap hari sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan mengendarai kendaraan (dengan binatang tunggangan) , sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari I/398 hadits 1174)
Pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari meneruskan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri firqah Wahabi dan penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6
******* awal kutipan *******
ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا، ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي، وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن القيم وعبد الهادي
Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
فحرموا ما أجمع المسلمون على ندبه، وهو السفر لزيارة قبر رسول الله صلى الله عليه وسلم، وخالفوهم فيما ذكر وغيره
Mereka mengharamkan hal-hal yang telah disepakati oleh orang-orang Islam sebagai sebuah kesunnahan, yaitu bepergian untuk menziarahi makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta berselisih dalam kesepakatan-kesepakatan lainnya.
قال ابن تيمية في فتاويه: وإذا سافر لاعتقاد أنها أي زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم طاعة، كان ذلك محرما بإجماع المسلمين، فصار التحريم من الأمر المقطوع به
Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Fatawa-nya: “Jika seseorang bepergian dengan berkeyakinan bahwasanya mengunjungi makam Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai sebuah bentuk ketaatan, maka perbuatan tersebut hukumnya haram dengan disepakati oleh umat Muslim. Maka keharaman tersebut termasuk perkara yang harus ditinggalkan.”
****** awal kutipan ******
Berikut pendapat atau fatwa Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 berdalilkan kutipan perkataan atau ungkapan Imam Malik ra untuk melarang (mengharamkan) mendatangi Rasulullah (menziarahi kuburan Rasulullah)
Ibnu Taimiyah berkata
بل قد كره مالك وغيره أن يقال: زرت قبر النبي صلى الله عليه وسلم، ومالك أعلم الناس بهذا الباب، فإن أهل المدينة أعلم أهل الأمصار بذلك، ومالك إمام أهل المدينة. فلو كان في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: فيها لفظ «زيارة قبره» لم يخف ذلك على علماء أهل مدينته وجيران قبره ـ بأبي هو وأمي .
“… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata, ‘Aku menziarahi kubur Nabi shallallahu alaihi wasallam’ sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang di dalamnya terdapat lafaz ‘menziarahi kuburnya’, niscaya tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau –demi bapak dan ibuku .“
Imam Malik ra dengan perkataannya “aku membenci kata-kata, “Aku menziarahi kubur Nabi Shallallahu alaihi wasallam’ “ tidak bermaksud mengingkari sunnah Rasulullah tentang ziarah kubur.
Imam Malik adalah orang yang sangat menghormati dan memuliakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sampai-sampai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, “Aku malu kepada Allah Ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. dengan kaki hewan (kendaraan-red)” (lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H., Darul Fikr, Beirut, juz 3, hal. 180).
Rasa malu Imam Malik selain menghormati dan memuliakan Rasulullah, Beliau meyakini bahwa Rasulullah dan kaum muslim yang telah meraih maqamat (kedudukan atau derajat) dekat dengan Allah seperti para Wali Allah (kekasih Allah) atau para Shiddiqin maupun Sholihin walaupun mereka telah wafat, tetap hidup seperti para syuhada
Oleh karena penghormatan dan keyakinannya tersebut Imam Malik membenci perkataan “menziarahi kubur Rasulullah” dan menyukai mengatakannya seperti dengan “mendatangi Rasullah”
Jadi adalah fitnah bagi orang-orang yang menyandarkan perkataan kepada Imam Malik bahwa Beliau membenci atau melarang ziarah kubur Rasulullah
Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab Fathul-Bari juz 3 hal. 66, menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci ucapan “aku menziarahi kubur Nabi shallallahu alaihi wasallam.” adalah karena semata-mata dari sisi adab, bukan karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq (ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah kubur Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari’atannya jelas, dan hal itu merupakan ijma’ para ulama
Jadi secara tidak langsung ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah memfitnah atau mendustakan perkataan Imam Malik dan selain itu Beliau tidak berhak mengutip dan menjelaskan perkataan Imam Malik.
Hal ini telah diingatkan oleh Imam Malik ~rahimahullah bahwa sebaiknya janganlah mengambil ilmu agama dari dari orang-orang yang tidak jelas sanad ilmu (sanad guru) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ulama meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Orang-orang yang mendustakan perkataan ulama adalah
1. Orang-orang yang tidak memiliki hak untuk menyampaikan atau menjelaskan perkataan ulama karena tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah atau tidak memiliki sanad ilmu dari ulama bersangkutan.
2. Orang-orang yang merusak peninggalan para ulama seperti mengutip atau mencetaknya dengan ada yang dihilangkan atau dengan ditambah, yang merusak isi dan menghilangkan tujuannya.
Contohnya pemalsuan kitab Al Adzkar karya Imam An Nawawi sebagaimana yang diinformasikan pada http://kitabkita.blogspot.co.id/2010/09/tentang-pemalsuan-al-adzkar.html
***** awal kutipan *****
Sedangkan isi yang dirubah adalah tulisan Imam An Nawawi yang artinya,
“Fasal tentang ziyarah makam Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan dzikir-dzikirnya: Ketahuilah, hendaklah setiap yang telah melaksanakan haji menziyarahi Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, sama saja, karena satu tujuan (dengan tempat itu) atau tidak. Sesungguhnya berziyarah kepada Rasulullah sahallallahu alaihi wasallam adalah taqarrub yang paling penting…”
Namun ungkapan Imam An Nawawi ini diganti di halaman 295 dengan ungkapan,
“Fasal tentang ziyarah masjid Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: Ketahuilah sesungguhnya mustahab bagi siapa yang menziyarahi masjid Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam agar memperbanyak shallawat kepada beliau….”
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar