Janganlah mengikuti orang-orang yang MENYERUPAI Setan MENJERIT-JERIT melihat umat Islam membaca Al Qur’an di sisi kuburan para Wali Allah AKIBAT pemahaman mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR
Al-Imam Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki dalam Hasyiyahnya atas Jalalain jilid 3 halaman 9 mengingatkan,
الأخذ بظواهر الكتاب والسنة من أصول الكفر
Mengamalkan secara TEKSTUAL Al Qur’an dan Hadits adalah PANGKAL KEKUFURAN.
Jadi jika mengamalkan Al Qur’an dan Hadits secara TEKSTUAL yakni mengamalkan berdasarkan pemahaman SELALU dengan MAKNA DZAHIR maka akan terjerumus KEKUFURAN.
Pemahaman SELALU dengan MAKNA DZAHIR akan berakibat terjerumus dua macam KEKUFURAN yakni,
- KEKUFURAN dalam perkara I’TIQOD (akidah) seperti contohnya firqah MUJASSIMAH bukanlah ahli tauhid karena mereka menyembah sesuatu yang BERJISIM seperti contohnya mereka yang terpecah dua kelompok yakni sesuatu yang berarah atau bertempat sebagaimana yang telah disampaikan pada https://facebook.com/story.php?id=100040964923547&story_fbid=1195003415208478 atau arsipnya (salinannya) pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2024/04/24/bukan-ahli-tauhid/
- KEKUFURAN dalam perkara FIQIH seperti contohnya mereka MELARANG (mengharamkan) yang TIDAK DILARANG (tidak diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah atau SEBALIKNYA mereka MEWAJIBKAN yang tidak DIWAJIBKAN oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah.
Contohnya orang-orang yang mewajibkan berjenggot dan melarang cukur jenggot karena mereka keliru memahami sabda Rasulullah yakni “Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku” sebagaimana yang telah disampaikan pada https://facebook.com/story.php?story_fbid=1038429504199204&id=100040964923547 atau arsipnya (salinannya) pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2024/04/25/membenci-sunnahku/
Begitupula JANGANLAH mengikuti orang-orang yang BERTASYABBUH atau MENYERUPAI Setan MENJERIT-JERIT melihat umat Islam yang berdzikir dan membaca Al Qur’an di sisi kuburan para Wali Allah AKIBAT mereka memahami SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK makna majaz sehingga mereka KELIRU memahami sabda Rasulullah
لَا تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ
“Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibaca surat al-Baqarah di dalamnya.”
Contoh kisah-kisah Setan takut dengan bacaan Al Qur’an dapat dibaca pada https://iqra.republika.co.id/berita/on93k2320/kisahkisah-ini-jelaskan-mengapa-setan-takut-bacaan-alquran
Larangan “Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan” BERKAITAN dengan AMAL PERBUATAN di rumah BUKAN amal perbuatan di kuburan.
Begitupula kata kuburan dalam hadits tersebut TIDAK terkait dengan kata KUBURAN dalam MAKNA DZAHIR yakni tempat menguburkan jenazah seseorang NAMUN dipahami dalam MAKNA MAJAZ (makna kiasan) yakni SEPI.
Jadi makna sabda Rasulullah tersebut adalah “Janganlah rumah itu SEPI dari AMAL PERBUATAN seperti membaca Al Qur’an, dzikrullah ataupun sholat sunnah dan lain lain”
Oleh karenanya kalau kita punya rumah janganlah sepi atau sunyi seperti kuburan dan jadikanlah rumah itu seperti layaknya rumah bagi orang yang masih hidup dan mengisinya dengan bacaan kitab suci Al Quranul Karim, Dzikir kepada Allah, membaca sholawat Nabi, sholat dan pekerjaan yang bermanfaat lainnya.
Begitupula orang-orang yang melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (tidak diharamkan) oleh Allah dan Rasulullah dan mereka terjerumus BERDUSTA atas nama Rasulullah dengan menyebarluaskan fitnah seolah-olah Rasulullah MELARANG berdoa kepada Allah Ta’ala mengawalinya BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni SEDEKAH (HADIAH) BACAAN Al Qur’an sebelum DOA INTI dipanjatkan kepada Allah Ta’ala AKIBAT pemahaman mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK makna majaz sehingga mereka KELIRU memahami sabda Rasulullah
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani mereka menjadikan kubur-kubur Nabi-Nabi mereka sebagai masjid-masjid”.
Kata masjid dalam hadits tersebut tidak terkait dengan kata masjid dalam MAKNA DZAHIR yakni tempat sholat atau tempat ibadah karena hadits tersebut berkaitan dengan laknat Allah terhadap kaum Yahudi dan Nasrani.
Oleh karenanya kata masjid dikembalikan kepada asal katanya yakni sajada yang artinya tempat sujud.
Jadi larangan tersebut seharusnya dipahami dalam makna majaz (makna kiasan) maksudnya “janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai kiblat” atau “janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai berhala”.
KESIMPULANNYA makna larangan tersebut adalah “Janganlah kalian menyembah kuburan”
Begitupula tidak ada masalah sholat di sisi kuburan selama menghadap kiblat.
Sedangkan larangan melakukan shalat di kuburan adalah khusus untuk kuburan-kuburan yang terbongkar, karena di sekitarnya terdapat najis”.
Contohnya Imam al-Baidhawi berkata, “Ketika orang-orang Yahudi dan Nashrani bersujud kepada kuburan para nabi mereka untuk mengagungkan mereka dan menjadikannya sebagai kiblat, dan mereka menghadap ke arahnya ketika shalat dan menjadikannya sebagai berhala, maka Allah melaknat mereka dan melarang orang-orang muslim untuk melakukan hal itu. Adapun orang yang membangun masjid di samping makam orang saleh atau shalat di kuburannya dengan maksud untuk mengenangnya dan agar pengaruh dari ibadahnya sampai kepada pemilik kuburan itu, bukan untuk mengagungkannya dan tidak menjadikannya sebagai kiblat, maka itu tidak apa-apa. Tidakkah Anda melihat kuburan Ismail di Masjidil Haram dan Hathim (Hijir Isma’il). Dan Masjidil Haram itu sendiri merupakan tempat shalat terbaik bagi orang-orang muslim. Sedangkan larangan melakukan shalat di kuburan adalah khusus untuk kuburan-kuburan yang terbongkar, karena di sekitarnya terdapat najis”.
Berikut kutipan penjelasan dari Dar al-Ifta al-Misriyyah (lembaga fatwa Mesir), fatwa no 81 tahun 2006
***** awal kutipan *****
Dalam bahasa Arab, kata masajid meruupakan bentuk plural dari kata masjid. Dan kata masjid dalam bahasa Arab merupakan mashdar mimi yang bisa menunjukkan arti waktu, tempat atau tindakan. Sehingga, makna “menjadikan kuburan sebagai masajid” adalah bersujud ke arahnya untuk mengagungkan dan menyembahnya, sebagaimana perbuatan orang-orang musyrik yang bersujud kepada berhala-berhala dan patung-patung mereka.
Penafsiran ini sebagaimana dijelaskan dalam riwayat shahih yang lain dari hadits ini dalam kitab Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi shallallahu alaihi wasallam., bahwa Beliau bersabda, “Ya Allah, janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai berhala. Allah melaknat satu kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid”.
Maka kalimat, “Allah melaknat satu kaum…” adalah penjelas bagi makna menjadikan kuburan sebagai berhala. Jadi makna hadits di atas adalah, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disujudi dan disembah, sebagaimana satu kaum yang bersujud kepada kubur para nabi mereka.”
***** akhir kutipan *****
Kalau mereka NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA melarang (mengharamkan) berdoa kepada Allah Ta’ala mengawalinya BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni SEDEKAH (HADIAH) BACAAN Al Qur’an sebelum DOA INTI dipanjatkan kepada Allah Ta’ala maka mereka TERJERUMUS KESOMBONGAN dan DURHAKA kepada Rasulullah yakni secara tidak langsung mereka melarang (mengharamkan) dan menghardik Rasulullah yang melaksanakan sholat dan berdoa kepada Allah di sisi kuburan dan tentunya membaca Al Qur’an yakni surat Al Fatihah
Telah menceritakan kepada kami Muhammad telah mengabarkan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Abu Ishaq Asy-Syaibaniy dari Asy-Sya’biy dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata: Bila ada orang yang meninggal dunia biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melayatnya. Suatu hari ada seorang yang meninggal dunia di malam hari kemudian dikuburkan malam itu juga. Keesokan paginya orang-orang memberitahu Beliau. Maka Beliau bersabda: Mengapa kalian tidak memberi tahu aku? Mereka menjawab: Kejadiannya malam hari, kami khawatir memberatkan anda. Maka kemudian Beliau mendatangi kuburan orang itu lalu mengerjakan shalat untuknya. (HR Bukhari 1170 atau Fathul Bari 1247)
Imam Ahmad semula mengingkarinya karena atsar tentang hal itu tidak sampai kepadanya namun kemudian Imam Ahmad ruju’
Al-Hafizh Ibnu Hajar al Baihaqi setelah mentakhrijnya berkata,
أخريجه أبو بكر الخلال وأخريجه من رواية أبى موسى الحداد وكان صدوقا قال صلينا مع أحمد على جنازة فلما فرغ من ذفنه حبس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا قال له محمد بن قدامة يا أبا عبد الله ما تقول فى مبشر بن إسماعيل قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم قال إنه حدثنى عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرؤا عند قبره فاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصى بذلك قال فقال أحمد للرجل فليقرأ. اه
Abu Bakar al-Khallal telah mentakhrijnya dan ia juga mentakhrijnya dari Abu Musa al-Haddad sedangkan ia orang yang sangat jujur. Ia berkata : kami shalat jenazah bersama bersama Ahmad, maka tatkala telah selesai pemakamannya duduklah seorang laki-laki buta yang membaca al-Qur’an disamping qubur, maka Ahmad berkata kepadanya ; “hei apa ini, sungguh membaca al-Qur’an disamping qubur adalah bid’ah”. Maka tatkala kami telah keluar, berkata Ibnu Qudamah kepada Ahmad : “wahai Abu Abdillah, apa komentarmu tentang Mubasysyir bin Isma’il ? “, Ahmad berkata : tsiqah, Ibnu Qudamah berkata : engkau menulis sesuatu darinya ?”, Ahmad berkata : Iya. Ibnu Qudamah berkata : sesungguhnya ia telah menceritakan kepadaku dari Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berpesan apabila dimakamkan agar dibacakan pembukaan al-Baqarah dan mengkhatamkannya disamping kuburnya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu ‘Umar berwasiat dengan hal itu, Maka Ahmad berkata kepada laki-laki itu “lanjutkanlah bacaaanmu”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengutip dari Imam Ahmad:
وقال الخلال أيضا حدثنا أبو بكر المروزي سمعت أحمد بن محمد بن حنبل يقول
Al-Khallal (W. 311H) juga berkata: Abu Bakar Al-Maruzi (W. 275H) menceritakan kepada kami: Saya mendengar Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (W. 241H) berkata
إذا دخلتم المقابر فاقرأوا بفاتحة الكتاب والمعوذتين وقل هو الله أحد واجعلوا ذلك لأهل المقابر فإنه يصل إليهم وروى أيضا
“Jika kalian masuk ke kuburan maka bacalah al-Fatihah dan Al Mu’awwidzat (al-Falaq-an-Nas) dan al-Ikhlas, lalu jadikanlah untuk ahli kubur, maka akan sampai pada mereka”. (al-Arbain, 1/85, riwayatnya hasan dan dikutip pula oleh Mushtafa bin Saad al-Hanbali w. 1243 H, Mathalib Ulin Nuha, h. / 935)
Begitupula AKIBAT pemahaman mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka melarang (mengharamkan) membaca Al Qur’an di sisi kuburan karena mereka KELIRU MEMAHAMI sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at baginya dan anak sholeh yang selalu mendoakannya.” (HR Muslim no 3084 atau Syarh Shahih Muslim no 1631)
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/muslim/3084
Apa yang dimaksud “terputus segala amalannya” ?
Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a anhu ‘amaluhu artinya terputus segala amalannya maknanya adalah TERPUTUS KESEMPATAN BERAMALNYA yakni AMAL PERBUATAN mereka di alam barzakh (alam penantian) seperti penyesalan atau minta ampunan maupun amal perbuatan PENDUDUK LANGIT yang selalu dalam keadaan berdzikir atau mengingat Allah seperti Nabi Musa alaihissalam sedang sholat ketika ditemui oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada peristiwa mi’raj sudah TIDAK DIPERHITUNGKAN lagi KECUALI amal yang masih diperhitungkan terus adalah apa yang dihasilkan dari amal yang mereka perbuat ketika masih hidup seperti,
- Sedekah jariyah
- Ilmu yang bermanfaat bagi dirinya dan yang disampaikan kepada orang lain
- Mendidik anak sehingga menjadi anak sholeh yang selalu mendoakannya.
Begitupula hadits tersebut tidak dikatakan, “inqata’a intifa’uhu”, “terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat”.
Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepada si mayyit maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepada si mayyit.
Dari Aisyah radhiyallahu anha menceriterakan ada seorang laki-laki datang menghadap Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata:
عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
sungguh telah datang seorang lelaki pada Nabi shallallahu alaihi wasallam seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul shallallahu alaihi wasallam menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1672 atau Syarh Shahih Muslim no. 1004).
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/muslim/1672
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 7 hal 90)
Contoh si mayyit mendapatkan manfaat dari amal yang dilakukan oleh bukan keluarga.
Ini berdasarkan hadits Abu Qatadah radhiyallahu anhu dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar.
فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ الدِّينَارَانِ عَلَيَّ
Abu Qatadah berkata; uang dua dinar itu tanggunganku.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُحِقَّ الْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا الْمَيِّتُ
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Telah dipenuhi orang yang berutang dan mayyit telah bebas”.
Ketika Abu Qatadah telah membayarnya Nabi bersabda:
الْآنَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ
“Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Musnad Ahmad 14009)
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/ahmad/14009
Lalu bagaimana dengan yang “dikabarkan” sebagai pendapat masyhur Imam Syafi’i (W. 204H) bahwa “bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat”
Berikut penjelasan dari para pengikut Imam Syafi’i apa yang dimaksud dengan pendapat masyhur Imam Syafi’i tentang pahala bacaan.
Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam Fathul Wahab menyampaikan penjelasan dari Imam An Nawawi :
“Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”. (Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i [2/23]).
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj :
“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit” (Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].)
Jadi kesimpulannya Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mensyaratkan sampai pahala bacaan jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat berikut
- Pembacaan dihadapan mayyit (hadirnya mayyit),
- Pembacanya meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit
- Pembacanya mendo’akannya untuk mayyit.
Latar belakang Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya yang di masa itu jauh hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar orang-orang agar jika ia telah wafat mereka menghatamkan Al Qur’an berkali-kali dan pahalanya untuknya, maka Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak bisa sampai kepada yang wafat.
Syarat sampai pahala bacaan tergantung niat (hati) jika niat tidak lurus seperti niat “jual-beli” maka pahala bacaan tidak akan sampai. Dituntut keikhlasan bagi setiap yang bersedekah baik dalam bentuk harta maupun dalam bentuk bacaan Al Qur’an.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu.” (HR Muslim 4651 atau Syarh Shahih Muslim 2564)
Berkata Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil lz : “ Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji ”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).
Dalam kitab al-Qira’ah Inda al-Qubur:
أخبرني روح بن الفرج، قال: سمعت الحسن بن الصباح الزعفراني، يقول: سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال: لا بأس به
al-Hasan bin as-Shabbah az-Za’farani (w. 260 H) bertanya kepada Imam as-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di kuburan. Beliau menjawab: Iya, tidak apa-apa (Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Harun al-Khallal al-Baghdadi w. 311 H, al-Qiraah inda al-Qubur, h. 89)
Imam Syafi’i (W. 204H) dalam kitab Al Umm 1 / 322
وأحب لو قرئ عند القبر، ودعي للميت
Saya menyukai jika dibacakan al-Quran di kuburnya, dan juga didoakan.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Imam an-Nawawi (w. 676 H):
قال الشافعي رحمه الله: ويستحب أن يقرأ عنده شيء من القرآن، وإن ختموا القرآن عنده كان حسنا
Imam as-Syafi’i (w. 204 H) mengatakan: Disunnahkan membaca al-Qur’an kepada mayit yang telah di kubur. Jika sampai khatam al-Qur’an, maka itu lebih baik. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, Riyadh as-Shalihin, h. 295)
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al Ma’idah ayat 35 yakni agar doa mustajab maka berdoalah kepada Allah diawali bertawasul dengan AMAL KEBAIKAN sebagai wasilah atau sarana atau jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah
Allah Ta’ala berfirman yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al Ma’idah [5]: 35 )”
Begitupula SUNNAH Rasulullah tentang ADAB dalam BERDOA kepada Allah Ta’ala agar DOA INTI yang kita panjatkan kepada Allah lebih mustajab adalah DIAWALI TAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN berupa DZIKIR seperti dengan memuji Allah Ta’ala dan bertawasul dengan AMAL KEBAIKAN berupa sholawat (menghadiahkan doa selamat bagi Rasulullah) sebelum doa inti kita panjatkan kepada Allah Ta’ala
Rasulullah bersabda,
لَهُ وَلِغَيْرِهِ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ رَبِّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ لِيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ لِيَدْعُ بَعْدُ بِمَا شَاءَ
“Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (Musnad Ahmad 22811 , HR Abu Dawud 1471atau Al Alamiyah 1266 dan HR Tirmidzi 3477 atau Al Alamiyah 3399)
KH. Maimoen Zubair berwasiat tentang pentingnya wasilah (Tawasul). Beliau mengingatkan bahwa, “yang termasuk orang yang tidak punya adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala itu nak, orang yang selalu berdo’a langsung minta yang diinginkan tanpa memuji Allah dahulu, tanpa wasilah menggunakan salah satu Asma’ul Husnahnya Allah tanpa wasilah kepada baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dahulu, sukanya langsung minta apa yang di inginkan”
CONTOH Rasulullah mengajarkan para Sahabat agar doa mustajab bertawasul dengan amal kebaikan yakni dengan sedekah atau hadiah bacaan tahlil, takbir, tasbih sebelum DOA INTI dipanjatkan kepada Allah seperti untuk “melapangkan” kuburan ahli kubur, contohnya ketika di kuburan seorang Sahabat (Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu anhu),
Dari Jabir, aku mendengar Rasulullah bersabda,
اهْتَزَّ عَرْشُ الرَّحْمَنِ لِمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ
“‘Arsy Allah yang Maha Pengasih bergetar oleh wafatnya Sa’ad bin Mu’adz” (HR Bukhari 3519 / Fathul Bari 3804, HR Muslim 4512 / Syarh Shahih Muslim 2466)
Sahabat Sa’ad bin Mu’adz yang wafat dipangkuan Rasulullah dan menggetarkan Arsy-Nya masih dihadiahi bacaan tahlil oleh Rasulullah untuk BEKAL memasuki ALAM BARZAKH.
Berikut contoh riwayatnya,
ﻓﺪﺧﻞ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺒﺮﻩ , ﻓﺠﻌﻞ ﻳﻜﺒﺮ ﻭﻳﻬﻠﻞ ﻭﻳﺴﺒﺢ
Kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wasallam masuk ke dalam kuburnya (Sa’ad bin Mu’adz), , Rasulullah membaca Takbir, TAHLIL dan Tasbih
ﻓﻠﻤﺎ ﺧﺮﺝ ﻗﻴﻞ ﻟﻪ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﺭﺃﻳﻨﺎﻙ ﺻﻨﻌﺖ ﻫﻜﺬا ﻗﻂ ﻗﺎﻝ:
Setelah keluar Rasulullah ditanya: “Wahai Rasulullah, kami tidak pernah melihat engkau melakukan hal ini”. Nabi menjawab:
ﺇﻧﻪ ﺿﻢ ﻓﻲ اﻟﻘﺒﺮ ﺿﻤﺔ ﺣﺘﻰ ﺻﺎﺭ ﻣﺜﻞ اﻟﺸﻌﺮﺓ , ﻓﺪﻋﻮﺕ اﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺮفعه ﻋﻨﻪ ﺫﻟﻚ
“Sungguh kuburnya menyempit seperti sehelai rambut. Lalu aku berdoa kepada Allah agar menghilangkan hal itu” (HR Hannad dalam Az-Zuhd).
Juga diceritakan oleh al-Hakim al-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul [325], al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [5346], dan al-Baihaqi dalam Itsbat ‘Adzab al-Qabr [113]
Begitupula diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad no 14344 (versi Al Alamiyah) dengan redaksi sebagai berikut,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا إِلَى سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ حِينَ تُوُفِّيَ
Dari Jabir bin Abdullah Al Anshari berkata; Pada suatu hari kami berangkat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menuju Sa’d bin Mu’adz ketika wafatnya.
قَالَ فَلَمَّا صَلَّى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَسُوِّيَ عَلَيْهِ سَبَّحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبَّحْنَا طَوِيلًا ثُمَّ كَبَّرَ فَكَبَّرْنَا
Setelah Rasulullah menunaikan sholat jenazah kepadanya, dia diletakkan di kuburnya, dan tanah diratakan di atasnya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membaca tasbih. Kamipun membaca tasbih dalam waktu yang lama. Kemudian Nabi membaca takbir, maka kami membaca takbir.
فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ سَبَّحْتَ ثُمَّ كَبَّرْتَ
Ada yang bertanya, wahai Rasulullah! kenapa Anda bertasbih lalu bertakbir?
قَالَ لَقَدْ تَضَايَقَ عَلَى هَذَا الْعَبْدِ الصَّالِحِ قَبْرُهُ حَتَّى فَرَّجَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ
Beliau bersabda, “Sungguh kuburan laki-laki sholeh (Sa’ad bin Mu’adz) ini yang sempit hingga kemudian Allah ‘Azza wa Jalla melapangkan untuknya”.
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/ahmad/14344
Jadi berdasarkan contoh dari Rasulullah tersebut maka BOLEH umat Islam di sisi kuburan para kekasih Allah (wali Allah) berdoa kepada Allah Ta’ala dengan MENJAGA ADAB dalam BERDOA yakni MENGAWALINYA BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN seperti mengucapkan salam kepada ahli kubur dan SEDEKAH (HADIAH) BACAAN seperti surat Al Fatihah, Yasin atau surat lainnya sebelum DOA INTI dipanjatkan kepada Allah Ta’ala untuk ahli kubur ataupun untuk kepentingan sendiri.
Begitupula berdoa kepada Allah Ta’ala di sisi kuburan para kekasih Allah (wali Allah) hanyalah ALTERNATIF PILIHAN tempat mustajab bagi yang belum mempunyai kemampuan atau kesempatan berdoa kepada Allah Ta’ala di tempat mustajab seperti Raudoh, Multazam, Maqom Ibrahim maupun di Hijr Ismail karena kuburan mereka ada cinta, lantaran cinta Allah pada mereka maka napak tilas jejak mereka seperti tempat mereka bertahanuts dan termasuk tempat peristirahatan terakhir mereka dicintai Allah.
Adz-Dzahabi; dalam karyanya; Siyar A’lam an-Nubala’, jld. 9, cet. 9, tentang biografi Imam Ma’ruf al-Karkhi; beliau adalah Abu Mahfuzh al-Baghdadi. Dari Ibrahim al-Harbi berkata: “Makam Imam Ma’ruf al-Karkhi adalah obat yang paling mujarab”. Adz-Dzahabi berkata: “Yang dimaksud ialah terkabulnya doa di sana yang dipanjatkan oleh orang yang tengah kesulitan, oleh karena tempat-tempat yang berkah bila doa dipanjatkan di sana akan terkabulkan, sebagaimana terkabulkannya doa yang dipanjatkan di waktu sahur (sebelum subuh), doa setelah shalat-shalat wajib, dan doa di dalam masjid-masjid……”.
Contoh Ummul Mu’minin Sayyidah Aisyah radhiyallahu anha memerintahkan BERTABARRUK di kuburan Rasulullah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan Ad Darimi 1/56 no 92
حدثنا أبو النعمان ثنا سعيد بن زيد ثنا عمرو بن مالك النكري حدثنا أبو الجوزاء أوس بن عبد الله قال قحط أهل المدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت انظروا قبر النبي صلى الله عليه و سلم فاجعلوا منه كووا إلى السماء حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف قال ففعلوا فمطرنا مطرا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتى تفتقت من الشحم فسمي عام الفتق
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’man yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Zaid yang berkata telah menceritakan kepada kami Amru bin Malik An Nukri yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Jauzaa’ Aus bin Abdullah yang berkata “Suatu ketika penduduk Madinah dilanda kekeringan yang hebat, maka mereka mengadukan hal tersebut kepada Aisyah. Kemudian ia berkata “pergilah ke kubur Nabi shallallahu alaihi wasallam buatlah lubang ke arah langit dan jangan sampai ada penghalang diantaranya dengan langit”. Ia (Aus bin Abdullah) berkata “Kemudian penduduk Madinah melakukan apa yang diperintahkan Aisyah, setelah itu turunlah hujan, tanaman-tanaman tumbuh dan hewan ternak menjadi sehat. Oleh karena itu tahun tersebut disebut tahun kemenangan”.
Contoh dari Salafus Sholeh lainnya, telah diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Syaibah dengan isnad yang shahih
أَنَّ النَّاسَ أَصَابَهُمْ قَحْطٌ فِى خِلاَفَةِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَجَآءَ بِلاَل بْنُ الْحَارِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ اسْتَسْقِ ِلأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ هَلَكُوْا فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الْمَنَامِ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُمْ يُسْقَوْنَ
“Bahwasanya orang-orang pada waktu khalifah Sayyidina Umar ditimpa musim panas (kemarau), lalu Bilal bin Harits datang kekubur Nabi shallallahu alaihi wasallam dan berkata : “ya Rasulullah ! Mintakanlah hujan untuk ummatmu sebab sesungguhnya mereka sedang menderita”. Kemudian Rasulullah datang kepadanya dalam mimpi dan memberitahukan bahwa mereka dihujani”.
Imam Syafi’i MENCONTOHKAN BERTABARRUK dan MENGINAP di makam Imam Abu Hanifah selama 7 hari dan SETIAP HARI ketika sholat subuh tidak membaca qunut sebagai bentuk toleransi perbedaan pendapat sebagaimana yang dikabarkan pada https://islam.nu.or.id/hikmah/belajar-toleransi-dari-imam-syafii-saat-ziarahi-makam-abu-hanifah-yM4J9
Contoh berdoa kepada Allah dikuburan para ulama lainnya dapat dibaca pada https://republika.co.id/berita/q0jv2z320/cerita-ketika-imam-syafii-bermunajat-di-makam-abu-hanifah
Contoh Salafus Sholeh mengikuti dan mengamalkan firman Allah Ta’ala surat An Nisa [4] ayat 64 bertawasul dengan Rasulullah walaupun setelah wafat disampaikan oleh sejumlah ulama seperti contohnya Syekh Abu Nasr al-Sabagh dalam kitabnya al-Syamil menyampaikan sebuah kisah masyhur (banyak yang mengabarkannya) bahwa Sahabat Atabi radhiyallahu anhu menyaksikan pemuda pendosa mendatangi Rasulullah dan berdoa kepada Allah Ta’ala di sisi kuburan Rasulullah diawali bertawassul dengan Rasulullah yakni dengan ucapan atau syair sebagaimana contoh yang disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan Firman Allah Ta’ala surat An-Nisa [4] ayat 64
***** awal kutipan *****
“Assalamu’alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah).
Aku telah mendengar Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang‘ (QS An-Nisa [4]: 64),
Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku.”
Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut , yaitu: “Wahai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.“
Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam., lalu Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya!”
***** akhir kutipan *****
Kutipan di atas bersumber dari kitab tafsir Ibnu Katsir terbitan Sinar Baru Algensindo, th 2000, juz 5, hal 283-284
Tangkapan layar (screenshot) dapat dilihat pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/09/ikjuz5p281_285.pdf
Jadi contoh masyhur (banyak yang mengabarkannya) berdoa memohon ampunan kepada Allah Ta’ala di sisi kuburan Rasulullah dan Rasulullah memohonkan ampunan Allah untuk umatnya DIAWALI bertawassul dengan Rasulullah yakni bertawassul dengan AMAL KEBAIKAN berupa ungkapan cinta kepada Rasulullah adalah
***** awal kutipan *****
“Wahai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.“
***** akhir kutipan *****
Ada pihak yang menganggap kisah bertawasul ke makam Rasulullah bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits sehingga mereka MEMALSUKAN dengan MENGHILANGKAN kisah tersebut ketika menerbitkan ulang kitab tafsir Ibnu Katsir.
Mereka yang “menghilangkan” contoh bertawasul dengan Rasulullah setelah wafat atau mereka yang MENGINGKARI firman Allah Ta’ala surat An-Nisa [4] ayat 64 sebagai dalil bertawasul dengan Rasulullah maupun para wali Allah lainnya yang telah wafat adalah karena mereka berpendapat bahwa firman Allah Ta’ala tersebut hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup.
Jadi dalil berupa firman Allah Ta’ala yang berlaku secara UMUM sampai kiamat namun oleh mereka dianggap firman Allah Ta’ala surat Nisa [4] ayat 64 KHUSUS hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup.
Berikut kutipan penjelasan Prof, DR Ali Jum’ah tentang (QS An-Nisa [4]: 64) dalam kitab berjudul ”Al Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqasyatu ahammi qadlayahum” telah diterbitkan kitab terjemahannya dengan judul ” Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ ” diterbitkan oleh penerbit Khatulistiwa Press
***** awal kutipan *****
Adapun ayat ketiga ini (QS An-Nisa [4] : 64) berlaku secara umum (mutlak), TIDAK ADA sesuatupun yang MENGIKATNYA, baik dari NASH maupun AKAL.
Di sini TIDAK ADA sesuatu MAKNA yang MENGIKATNYA dengan masa hidup Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dunia. Karena itu akan TETAP ADA hingga hari kiamat.
Di dalam Al Qur’an, yang menjadi BAROMETER hukum adalah UMUMNYA lafadz, BUKAN berdasarkan KHUSUSNYA sebab.
Oleh karena itu, barang siapa yang MENGKHUSUSKAN ayat ini HANYA ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam MASIH HIDUP, maka WAJIB baginya untuk MENDATANGKAN DALIL yang MENUNJUKKAN hal itu.
KEUMUMAN (kemutlakan) MAKNA suatu ayat TIDAK MEMBUTUHKAN dalil, karena ‘KEUMUMAN’ itu adalah ASAL.
Sedangkan TAQYID (mengikat ayat dengan keadaan tertentu) MEMBUTUHKAN dalil yang MENUNJUKKANNYA.
Ini adalah pemahaman ulama ahli tafsir, bahkan mereka yang sangat disiplin dengan atsar seperti Imam Ibnu Katsir.
Dalam tafsirnya, setelah menyebutkan ayat di atas, Ibnu Katsir lalu mengomentarinya dengan berkata “Banyak ulama dalam kitab Asy Syaamil menyebutkan kisah yang sangat masyur ini”
***** akhir kutipan *****
Begitupula Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar al-Haitami berkata bahwa ayat ini (QS An-Nisa [4]: 64) menjadi petunjuk dianjurkan datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk minta ampun dosa kepada Allah di sisi Beliau dan Beliau minta ampun dosa umatnya. Dan ini (bertawasul dengan Rasulullah) TIDAK TERPUTUS dengan wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 12)
Begitupula Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar al-Haitami berkata bahwa ayat ini (QS An-Nisa [4]: 64) menjadi petunjuk dianjurkan datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk minta ampun dosa kepada Allah di sisi Beliau dan Beliau minta ampun dosa umatnya. Dan ini (bertawasul dengan Rasulullah) TIDAK TERPUTUS dengan wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 12)
Imam Ibnu al-Hajj al-Abdari, ulama dari mazhab Maliki juga mengingatkan (QS An Nisaa [4] : 64) dan kemudian berkata,
***** awal kutipan *****
Oleh karena itu, barang siapa yang mendatangi Beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) , berdiri di depan pintu Beliau, dan bertawassul dengan Beliau, maka ia akan mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan pernah ingkar janji.
Allah Ta’ala telah berjanji untuk menerima tobat orang yang datang, berdiri di depan pintu Beliau dan meminta ampunan kepada Tuhannya.
Hal ini sama sekali tidak diragukan lagi, kecuali oleh orang yang menyimpang dari agama dan durhaka kepada Allah dan RasulNya. “Kami berlindung diri kepada Allah dari halangan mendapatkan syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam” (Ibnu al Hajj, Al Madkhal, 1/260)
***** akhir kutipan *****
Sedangkan Imam Ibnu Qudamah dari kalangan mazhab Hanbali juga memberikan petunjuk di dalam adab ziarah ke makam Rasulullah, agar peziarah membaca (QS An Nisaa [4] : 64), mengajak bicara Rasulullah dengan memakai ayat tersebut dan meminta kepada Beliau untuk dimintakan ampunan kepada Allah.
***** awal kutipan *****
Maka setelah peziarah membaca salam, doa dan shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam hendaknya ia berdoa,
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah berfirman, sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS An Nisaa [4] : 64)
Aku datang kepadamu (Nabi shallallahu alaihi wasallam) sebagai orang yang meminta ampunan atas dosa-dosaku, dan sebagai orang yang meminta syafaat melaluimu kepada Tuhanku. Aku memohon kepadaMu , wahai Tuhanku, berilah ampunan kepadaku, sebagaimana Engkau berikan kepada orang yang menemui beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) ketika masih hidup.”
Setelah itu, peziarah berdoa untuk kedua orang tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh kaum muslimin
***** akhir kutipan *****
Imam an Nawawi, ulama dari kalangan Syafi’iyah, ketika menerangkan mengenai adab ziarah makam Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata “Kemudian ia (peziarah) kembali ke tempat awalnya (setelah bergerak satu hasta ke kanan untuk menyalami Abu Bakar dan satu hasta yang lain menyalami Umar) sambil menghadap ke arah wajah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Lalu ia bertawassul dari beliau kepada Allah. Sebaik-baik dalil dalam masalah ini adalah atsar yang diceritakan oleh Imam al Mawardi al Qadhi, Abu ath-Thayyib dan ulama lainnya (An Nawawi, Al Majmuu’, 8/256)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar