Berbaiklah kepada ulama karena kelak mereka dapat pula memberikan syafa’at
Ada dari mereka menyampaikan sebagai berikut
“Ketika sebuah perusahaan cairan pembasmi serangga mengingatkan dalam setiap kemasannya “Awas Jangan Diminum, Karena Bisa Mengakibatkan Keracunan”, maka adalah hal yang bodoh jika ada orang yang tidak mempercayai peringatan tersebut, sehingga ia penasaran ingin membuktikan bahwa cairan pembasmi serangga tersebut beracun dengan meminumnya
Seharusnya ketika perusahaan tersebut memperingatkan dalam setiap kemasannya, maka kita sebagai pembeli harusnya mentaati peringatan tersebut, sebab merekalah yang membuat dan memproduksi cairan tersebut dengan campuran dari zat yang membahayakan untuk dikonsumsi.
Begitu pula ketika para ulama menyampaikan peringatan berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah maka kitapun seharusnya mentaatinya karena mereka menyampaikan sesuatu dari Sang pencipta manusia.”
Mereka membuat analogi dalam perkara menggali hukum (istinbat) seperti melakukan atau tidak melakukan, yang dapat bermodalkan arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja
Namun “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” dengan menggali hukum sendiri dari Al Qur’an dan As Sunnah tidak cukup bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri dan pemahamannya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Mereka yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” kurang memperhatikan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain sebagaimana contohnya yang disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/01/01/diskusi-hang-fm-batam/
Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab beliau Qawaid Al Ahkam (2/337-339) sebagaimana diuraikan dalam tulisan pada http://syeikhnawawial-bantani.blogspot.com/2011/12/pembagian-bidah-menurut-imam-izzuddin.html menyatakan bahwa menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) adalah termasuk bid’ah hasanah dan hukumnya wajib. Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.
Kalau dalam menggali hukum atau beristinbat atau berfatwa tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Kompetensi selengkapnya untuk dapat menggali hukum sendiri dari Al Qur’an dan As Sunnah adalah sebagaimana contoh yang disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami sebagai berikut
*****awal kutipan *****
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
– Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
– Imam Malik bin Anas;
– Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
– Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Mereka yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” juga merasa lebih pandai dari para ulama yang sholeh kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Padahal para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapatkan pengajaran agama dari dua jalur yakni
1. Melalui nasab (silsilah / keturunan). Pengajaran agama baik disampaikan melalui lisan maupun praktek yang diterima dari orang tua mereka secara turun temurun tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
2. Melalui sanad ilmu ( sanad guru). Pengajaran agama dengan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat yang mengikuti Salafush Sholeh dengan cara bertemu langsung bukan melalui perantaraan mutholaah (menelaah kitab).
Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Mereka meninggalkan para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena menganggapnya sebagai kaum syiah sebagaimana contoh tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/07/ke-alam-barzakh/
Imam at Tirmidzi dan Imam ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra., ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Cintailah Allah agar kalian memperoleh sebagian nikmat-Nya, cintailah aku agar kalian memperoleh cinta Allah, dan cintailah keluargaku (ahlul baitku) agar kalian memperoleh cintaku.”
Imam Syafi’i ~rahimahullah bersyair, “Wahai Ahlul-Bait Rasulallah, mencintai kalian adalah kewajiban dari Allah diturunkan dalam al-Quran cukuplah bukti betapa tinggi martabat kalian tiada sholat tanpa shalawat bagi kalian.”
Jabir ibnu Abdillah berkisah: “Aku melihat Rasulullah dalam haji Wada` pada hari Arafah. Beliau menyampaikan khutbah dalam keadaan menunggangi untanya yang bernama Al-Qashwa. Aku mendengar beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia! Sungguh aku telah meninggalkan pada kalian dua perkara yang bila kalian mengambilnya, maka kalian tidak akan sesat yaitu kitabullah dan ‘itrati ahlul baitku.” (Hadits diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3786, kitab Al-Manaqib ‘an Rasulillah , bab Manaqib Ahli Baitin Nabi shallallahu alaihi wa sallam)
Abu Said Al-Khudri dan Zaid bin Arqam meriwayatkan, “Sungguh aku meninggalkan pada kalian perkara yang bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu dari perkara itu lebih besar daripada perkara yang lainnya, yaitu kitabullah tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi. Dan (perkara lainnya adalah) ‘itrati, yaitu ahlul baitku. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di haudl. Maka lihatlah dan perhatikanlah bagaimana kalian menjaga dan memperhatikan keduanya sepeninggalku.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 3/14,17 dan At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3788)
Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaikan secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).
Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan.
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya. Kaitan antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin).
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.
Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan kami taat.
Cara untuk menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran dari Allah ta’ala dan disampaikan oleh RasulNya
Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32)
Tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus sanad guru (sanad ilmu) adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak menyelisihi pendapat gurunya dan guru-gurunya terdahulu hingga tersambung kepada Rasulullah serta berakhlak baik
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustakan perkataan manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Jadi fitnah tanduk syaitan adalah fitnah dari orang-orang yang menjadikan gurunya syaitan karena memahami Al Qur’an dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri sebagimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/07/fitnah-tanduk-syaitan/
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/21/terhasut-mengikuti-shahafi/ bahwa mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/08/cara-melumpuhkan-kekuatan/ bahwa kaum Yahudi atau yang dikenal sekarang kaum Zionis Yahudi telah menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) pada Imam Mazhab yang empat dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf. Mereka mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh mereka.
Protokol Zionis yang ketujuhbelas
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan…..
Salah satu upaya mengdiskreditkan Imam Mazhab yang empat adalah menyalahgunakan perkataan atau pendapat Imam Mazhab yang empat yang jsutru untuk meninggalkan apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/13/tidak-bermazhab/
Kaum Yahudi telah memilih pola pemahaman atau pemikiran yang cocok dipergunakan untuk menghasut atau melancarkan ghazwul fikri (perang pemahaman) yakni pola pemahaman atau pemikiran Ibnu Taimiyyah yang berpendapat bahwa pintu ijtihad terbuka luas.
Mereka adalah orang-orang yang mendalami ilmu agama dengan memahami Al Qur’an dan As Sunnah serta perkataan atau pendapat ulama Salaf bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri dan pemahamannya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.
Pada awalnya sanad guru (sanad ilmu) Muhammad bin Abdul Wahhab terjaga dengan bertalaqqi (mengaji) pada ulama yang mengikuti Imam Mazhab yang empat namun pada akhirnya Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah yakni memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri sebagaimana informasi dari kalangan mereka sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam seperti pada http://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Begitupula dari biografi Ibnu Taimiyyah pun kita mengetahui bahwa beliau termasuk orang-orang yang memahami Al Qur’an dan as Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Contoh yang lain seperti Al Albani , ahli hadits dalam arti ahli membaca hadits bukan ahli hadits dalam arti menerima hadits dari ahli hadits sebelumnya.
Al Albani sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan sebagaimana contoh informasi pada http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nashiruddin_Al-Albani
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pengikut yang tidak pernah bertemu muka yakni mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih.
Muhammad bin Abdul Wahhab maupun Ibnu Taimiyyah tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga mereka tidak patut ditaklidi oleh kaum muslim dan pada kenyataannya tidak ada satupun mazhab yang dinisbatkan dengan nama mereka.
Orang-orang menyematkan sebutan ahlus sunnah atau bahkan syaikhul Islam kepada Muhammad bin Abdul Wahhab ataupun Ibnu Taimiyyah adalah sebuah bentuk penghormatan bukan jaminan bahwa mereka berkompetensi dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan atau pendapat ulama Salaf apalagi jaminan maksum atau terbebas dari kesalahan.
Imam Mazhab yang empat walaupun mereka tidak maksum namun mereka diakui oleh jumhur ulama sejak dahulu kala sampai sekarang sebagai ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga patut untuk dijadikan pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat bagi kaum muslim.
Pada hakikatnya sangat sulit untuk memenuhi kompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak pada masa sekarang ini karena tidak lagi dapat bertemu dengan para perawi hadits atau Salafush Sholeh.
Bahasa tulisan mempunyai keterbatasan dibandingkan dengan bertalaqqi, mendapatkan ilmu agama dengan bertemu atau mengaji.
Dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/20/tetaplah-sebagai-ormas/ bahwa Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Jadi ketika sebuah jama’ah minal muslimin atau sebuah kelompok kaum muslim atau sebuah ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqah.
Ulama yang sholeh terdahulu kita dari kalangan Sunni Syafei yang ternama sampai Semenanjung Tanah Melayu, Brunei Darussalam, Singapur sampai Pathani, negeri Siam atau Thailand yakni KH. Sirajuddin Abbas (lahir 5 Mei 1905, wafat 23 Ramadhan 1401H atau 5 Agustus 1980) dalam buku berjudul I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jl Tebet Barat XA No.28, Jakarta Selatan 12810 dalam cetakan ke 8, 2008 tercantum dua buah sekte atau firqoh dalam Islam yakni firqoh berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari halaman 296 sampai 351 dan friqoh berdasarkan pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab dari halaman 352 sampai 380.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan kita bahwa jika kita menemukan perselisihan karena perbedaan pendapat maka ikutilah mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dan hindarilah semua sekte atau firqoh yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih).
Pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Sebagaimanapula yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/18/islam-adalah-satu/ bahwa Islam adalah satu pada masa sekarang adalah Islam sebagaimana yang telah disampaikan dan dijelaskan oleh para penunjuk yakni para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Tulisan yang lebih lanjut tentang firqah wahabi ada pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/01/10/mengenal-firqah-wahabi/ dalam bentuk pdf pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/01/mengenal-firqah-wahabi.pdf dan dalam bentuk word pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/01/mengenal-firqah-wahabi.docx
Pola pemahaman atau pemikiran Ibnu Taimiyyah seharusnya sudah terkubur karena telah ditentang oleh para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf atau pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/kontrofersi-paham-taimiyah/
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkamal-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat.
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy) berkata ” Maka berhati-hatilahkamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telahAllah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)
Pola pemahaman atau pemikiran Ibnu Taimiyyah diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai dasar dari ajaran Salafi Wahabi kemudian dilanjutkan oleh para ulama seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh yang berkecimpung dalam pergerakan (harakah) atau perpolitikan sehingga melahirkan Salafi Haraki, Salafi Jihadi dan lain lain
Berbeda dengan para pengikut ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang pada umumnya mengharamkan berorganisasi atau berkelompok atau berjama’ah minal muslimin dan memberikan sebutan sebagai hizbiyyah atau hizbiyyun
Pengharaman berorganisasi atau berkelompok atau berjama’ah minal muslimin pada hakikatnya dalam rangka menjaga kelanggengan kekuasaan kerajaan dinasti Saudi karena dikhawatirkan akan timbul pemimpin informal dari organisasi atau kelompok.
Sebagaimana tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 telah mengabarkan bahwa “Sebagian lagi ada golongan yang mengikuti kepada pendapat Muhammad Abduh dan Rosyid Ridho.Mereka mengikuti kepada perbuatan bid’ah Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, Ahmad Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi”.
Tentang ulama Muhammad Abduh yang dapat kita ketahui sedikit tentang beliau dari percakapan antara Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani al-Syafi’i, dengan Syaikh Rasyid Ridha yang kami kutip dari http://santrigenggong.wordpress.com/2011/07/13/seri-kontra-wahabi-cerdas-bermadzhabdari-%e2%80%9cbuku-pintar-berdebat-dengan-wahhabi%e2%80%9d-karya-ust-muhammad-idrus-ramli/
***** awal kutipan *****
Dalam mukaddimah kitab al-’Uqud al-Lu’luiyyah fi al-Madaih al-Nabawiyyah, Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani berkata: “Ketika saya berkumpul dengan Syaikh Rasyid Ridha, saya berdialog dengannya tentang pribadi Syaikh Muhammad Abduh, gurunya. Saya berkata:
“Kalian menjadikan Syaikh Muhammad Abduh sebagai panutan dalam agama kalian, dan kalian mengajak manusia untuk mengikuti kalian. Ini jelas tidak benar.
Syaikh Muhammad Abduh itu bukan orang yang konsisten memelihara kewajiban-kewajiban agama. Ia tidak sah menjadi panutan dalam agama. Sebagaimana dimaklumi dan diakui oleh semua orang, Abduh seringkali meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Saya sendiri pernah menemaninya dari pagi hari sampai menjelang maghrib, di rumah seorang laki-laki yang mengundang kami di Jabal Lebanon. Abduh tidak shalat zhuhur dan ashar, tanpa ada uzur. Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat saya shalat zhuhur dan ashar, tetapi ia tidak melakukannya.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha mengakui bahwa Abduh memang sering meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Akan tetapi Rasyid Ridha masih membelanya dengan memberikan jawaban: “Barangkali madzhab beliau membolehkan jama’ shalat di rumah (fi al-hadhar).”
Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karena jama’ shalat itu hanya dibolehkan dalam bepergian, ketika turun hujan dan sedang sakit menurut sebagian imam mujtahid, antara zhuhur dan ashar, serta antara maghrib dan isya’, sebagaimana hadits shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapat bahwa zhuhur dan ashar boleh dijama’ dengan maghrib dan isya’. Oleh karena itu, kami sulit menerima jawaban Rasyid Ridha.
Saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pula Syaikh Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan ibadah haji ke baitullah di tanah suci, padahal ia mampu melakukannya. Dengan kemampuan yang ia miliki, berupa kekuatan fisik dan finansial, ia seringkali pergi ke Paris, London dan negara-negara Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menunaikan ibadah haji, padahal negaranya dekat dengan Makkah. Jadi tidak diragukan lagi, bahwa ia telah memikul dosa yang sangat besar dan meninggalkan salah satu rukun Islam”.
***** akhir kutipan *****
Selain mereka, kaum liberal pun merujuk kepada pola pemikiran Ibnu Taimiyyah.
Charles Cruzman mengemukakan teori tentang asal muasal kaum liberal dan fundamentalis seperti mereka yang menamakan kaumnya sebagai Salafi yang berakar pada pemikiran yang sama.
Keduanya berangkat dari kegelisahan untuk melakukan perubahan atau pembaharuan dalam rangka membasmi pemikiran-pemikiran yang taqlid (mengikuti) Imam Mazhab yang empat
Bedanya adalah bahwa jika kaum liberal melakukan perubahan dengan menatap ke depan sambil membawa masa lalu yang relevan, sementara kaum fundamentalis sepenuhnya kembali ke masa lalu.
Demikianlah kutipan tesis Charles Cruzman yang termuat dalam tulisan kaum Liberal yang kami arsip pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2013/12/jejak-liberal-dalam-pemikiran-ibnu-taimiyyah.pdf
Begitupula kaum radikalisme atau pelaku terorisme walaupun mereka “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” namun dengan pemahamannya selalu berpegang pada nash secara dzahir, pada umumnya akan salah memahami firmanNya, seperti yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (QS At Taubah [9]:123)
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian”. (QS At Taubah [9]:5)
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu; dan fitnah” (QS Al Baqarah [2]:191)
Dalam memahami Al Qur’an sebaiknya tidak dengan ayat sepotong-potong atau satu ayat saja tanpa memperhatikan kaitan dengan ayat sebelumnya, kaitan dengan ayat lain pada surah yang lain, kaitannya dengan hadits, asbabun nuzul, gaya bahasa (uslub), kemampuan dalam balaghah, ilmu bayan dll. Kalau menurut para santri di pondok pesantren, membaca Al Qur’an itu minimal 1 ‘Ain (sekitar setengah halaman atau 3-9 ayat). Jadi tidak asal baca / potong saja.
Akibatnya mereka melakukan tindakan ekstrimisme, radikalisme atau terorisme yakni tindakan teror atau penyerangan bahkan pembunuhan orang-orang kafir bukan di wilayah peperangan .
Bahkan mereka membunuh umat la ilaha illallah yang disangkakan (dituduh) telah kafir atau disangkakan (dituduh) berhukum dengan thagut atau disangkakan (dituduh) menyembah kuburan sebagaimana yang kita saksikan di Somalia, Afghanistan, Irak, Libya, Pakistan, Suriah dan lain lain.
Mereka dapat melakukan bom bunuh diri di masjid-masjid yang dipenuhi umat la ilaha illallah.
Di negara kita contohnya peristiwa bom bunuh diri di Cirebon atau kabar terbaru mereka yang melakukan bom bunuh diri di depan masjid (baitullah) Mapolres Poso, Sulawesi Tengah, Senin (03/06) pagi sebagaimana contoh informasi dari http://www.merdeka.com/peristiwa/bom-bunuh-diri-di-mapolres-poso-meledak-di-depan-masjid.html
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi: ‘Apakah kamu yang telah membunuhnya? ‘ Dia menjawabnya, ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Lalu apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah’, jika di hari kiamat kelak ia datang (untuk minta pertanggung jawaban) pada hari kiamat nanti? ‘ (HR Muslim 1429)
Jika dua orang muslim saling bertemu (untuk berkelahi) dengan menghunus pedang masing-masing, maka yang terbunuh dan membunuh masuk neraka. aku pun bertanya: Wahai Rasulullah, ini bagi yang membunuh, tapi bagaimana dengan yang terbunuh? Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Dia juga sebelumnya sangat ingin untuk membunuh temannya.(HR Bukhari 30)
Pepatah orang tua kita dahulu menyatakan: “Menang jadi arang, kalah jadi abu”. artinya mereka sama-sama dalam kerugian.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku mendahului kalian ke telaga. Lebar telaga itu sejauh antara Ailah ke Juhfah. Aku tidak khawatir bahwa kalian akan kembali musyrik sepeninggalku. Tetapi yang aku takutkan ialah kamu terpengaruh oleh dunia. Kalian berlomba-lomba untuk mendapatkannya kemudian berbunuh-bunuhan, dan akhirnya kalian musnah seperti kemusnahan umat sebelum kalian”. (HR Muslim 4249)
Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Bukhari 5552) (HR Muslim 4685)
Kita dapat mengambil pelajaran dari Somalia bahwa kehancuran negara tersebut terjadi diakibatkan orang-orang yang memaksakan syariat Islam bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya masing masing sehingga timbul perselisihan di antara faksi.
Sebagaimana diketahui, setelah Syarif diangkat menjadi pemimpin Somalia pada Januari 2009 lalu, faksi pejuang Somalia terbagi menjadi dua, antara pendukung dan penentang.
Sebagian kelompok Mahakim Al Islami, yang dipimpin oleh Syeikh Abdul Qadir Ali Umar, Harakah Al Ishlah (Ikhwan Al Muslimun), Harakah Tajammu’ Al Islami dan Jama’ah Ahlu Sunnah wa al Jama’ah adalah 4 faksi menyatakan dukungan kepada Syarif.
Sedangkan Harakah As Syabab Al Mujahidin serta Al Mahakim Al Islami wilayah Asmarah, Al Jabhah Al Islamiyah serta Mu’askar Anuli, yang bergabung dalam Hizb Al Islami.
Syeikh Syarif sebagai kepala pemerintahan transisi menegaskan, “Islam adalah dasar dalam setiap gerak pemerintah Somalia.” Akan tetapi Syeikh Syarif menolak pemikiran Syabab Mujahidin yang menurutnya masih jauh dari konsep Islam ideal.
Tampaknya permasalahan di Somalia selain menghadapi campur tangan pihak asing juga permasalah internal dalam Somalia yakni perbedaan pemahaman terhadap syariat Islam.
Menteri luar negeri Somalia menuduh kelompok perlawanan Al-Shabaab dan Islam Hizbul yang bertanggung jawab atas merajalelanya pertumpahan darah di wilayah tanduk yang dilanda perang negara Afrika.
“Kedua kelompok militan ini pada kesempatan lalu telah menolak untuk menerima perundingan damai yang diusulkan dalam rangka untuk memulihkan perdamaian dan stabilitas komprehensif di seluruh negeri.“
“Mereka tetap melakukan serangan militan mereka yang telah meninggalkan Somalia dalam kondisi berantakan dan banyak korban jiwa sipil jatuh,” seorang koresponden Press TV di Mogadishu mengutip pernyataan Abdullahi Mohamed Omar yang mengatakan di istana presiden pada hari Kamis kemarin (18/11). Sumber: http://konspirasi.com/peristiwa/menlu-somalia-tuduh-asy-syabaab-dan-hizbul-islam-pengacau-somalia/
Rektor Universitas Al Ahgaff, Prof. Habib Abdullah Baharun kerap berpesan bahwa
***** awal kutipan *****
Umat Muslim dari sekte apapun, adalah umat lailaha illa Allah, oleh karena itu interaksi kita dengan mereka juga yang sesuai dengan ajaran la ilaha illa Allah.
Jadi kita mesti paham bahwa variatif sekte yang ada dalam Islam itu semua adalah ahli la ilaha illa Allah.
Mereka semua mengesakan Allah. Allah membelai mereka dengan belaian Islam. Allah mencintai mereka karena hurmat atau kemulyaan kalimah tauhid ini.
Di negara Somalia, sampai kini, masih terjadi pertumpahan darah gara-gara ada sekte yang suka mengkafir-kafirkan (Jama’ah Takfir), ini yang saya takutkan kalau sampai terjadi di Indonesia . Oleh sebab itu ada baiknya kita juga mengaplikasikan apa yang pernah diucapkan oleh Habib Abu Bakar Al Adny, da’i sekaligus pemikir Islam asal kota Aden, dalam satu lawatannya di Univ. Al Ahgaff, beliau berkata bahwa da’wah, itu yang bermanfaat bagi umat bukan malah memecah belah umat. Menuduh kafir, pertikaian, perdebatan yang berlandaskan hawa nafsu itu adalah dakwah yang memicu perpecahan dan itu yang mesti kita tanggalkan kini.
Sahabat Abu Dzar pernah memanggil Bilal, “Hai si hitam.” Rasul pun mendengar dan berkata, “Hai, apakah orang putih itu lebih mulia dari mereka yang hitam. Tidak, tidak ada keutamaan dalam diri seseorang kecuali taqwa.” Lantas Abu Dzar sadar dan berkata pada Bilal, “Aku telah mengolokmu dan aku mengaku salah.” “Aku telah memaafkanmu,” kata Bilal. “Tidak, belum, ini wajahku kutaruh di tanah dan injaklah hingga keluar virus kesombongan dariku,” kata Abu Dzar. “Aku telah mengampunimu,” kata Bilal. “Tidak demi Allah hatiku takkan tenang hingga kau menaruh kaki di wajahku ini, hingga penyakit ini hilang,” kata Abu Dzar. Beginilah Rasul mendidik umat la ilaha illa Allah agar saling menghormati, toleran, tidak menyakiti dan sikap inilah yang mesti kita implementasikan ketika bertemu dengan sesama umat la ilaha Illa Allah, dari sekte apapun. Agar dakwah untuk mengajak umat kembali pada Allah terus langgeng dan tidak mandeg gara-gara disibukkan dengan saling jegal antar sekte.
***** akhir kutipan *****
Contoh yang lain adalah salafi jihadi atau Mujahidin Afghanistan atau Taliban yang asalnya dibentuk, dibiayai, dipersenjatai dan dilatih oleh Amerika untuk mengusir Uni Soviet dari Afganistan
Kesengsaraan kaum muslim di Afghanistan pada hakikatnya dikarenakan perbedaan pendapat antar faksi di Afghanistan.
Hillary Clinton menjelaskan bahwa Mujahidin Afghanistan yang mereka perangi saat ini adalah orang-orang yang mereka bentuk, biayai dan latih untuk dapat menggunakan senjata menghadapi Uni Soviet pada 20 tahun yang lalu sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/28/memperalat-kaum-muslim/
Begitupula gerakan Salafi Jihadi seperti Al Qaeda dengan peristiwa WTC September 2011, pada hakikatnya sebagai “kuda tunggangan” Amerika untuk melakukan pembunuhan kaum muslim baik di Irak, Afghanistan dan lain lain. Pembunuhan kaum muslim dengan tangan mereka langsung maupun melalui pertikaian di antara kaum muslim dikarenakan perbedaan pendapat yang disebabkan termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi
Contoh salah satu sayap (offshoot) Al Qaeda justru dibiayai oleh Amerika untuk melakukan aksi terorisme di Iran. Bahwa Salafi Jihadi seperti Jundullah dibiayai Amerika selain sudah dikonfirmasi oleh media mainstream juga diakui oleh Abdulhamid Rigi salah satu pemimpin kelompok teroris ini yang kini sedang menanti hukuman mati di Iran.
Kelompok berpemahaman Salafi Jihadi pula yang “terjun” belakangan ke Gaza, Palestina dibawah otoritas Hamas dan Fatah. Perbedaan pemahaman menimbulkan insinden di masjid Ibnu Taimiyah hingga mengakibatkan korban tewas dari pejuang Jund Ansharallah sheikh Abu Nuur Al Maqdisi. Jund Ansharallah adalah bagian dari pendukung jihad global di bawah arahan/kepemimpinan Al Qaidah sebagaimana kelompok militan As Shabaab yang tergabung dalam Hizb Al Islami. Di Palestina, akhir-akhir ini, perbedaan pemahaman dapat mencetus peledakan bom di sebuah pesta pernikahan dikarenakan yang hadir bercampur baur antara pria dan wanita. Permasalahan tentang ikhtilat dan khalwat telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/ikhtilat-dengan-khalwat/
Jadi dengan pola pemahaman memahami Al Qur’an dan As Sunnah selalu berpegang pada nash secara dzahir oleh Amerika yang merupakan representatif dari kaum Zionis Yahudi dapat disalahgunakan untuk mewujudkan perannya bagaikan seorang sutradara Holywood. Amerika ingin mencitrakan dirinya sebagai pahlawan. Salafi Jihadi diperankan sebagai yang memusuhi Zionis Amerika sedangkan Salafi Wahabi diperankan sebagai sahabat yang mendukung Zionis Amerika.
Sebagaimana tulisan ust Ahmad Zarkasih yang kami arsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/06/matang-sebelum-waktunya/ bahwa salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah maka dapat berakibat meninggalkan Islam atau bahkan atheis
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Memang wajar, bahkan sangat wajar sekali jika ada seseorang mempertanyakan adanya perbedaan pandangan. Tapi tidak wajar kalau mereka membawa-bawa label “Kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah” kemudian meyalahkan para Imam Mujtahid, seakan-akan para Imam Mujtahid tidak mengerti isi ayat dan kandungan hadits.
Justru para Imam Mujtahid orang yang paling mengerti madlul ayat dan hadits dibanding kita-kita yang masih berlabel “Muqollid”, bahkan dengan strata taqlid paling rendah.
Mereka bilang “Saya tidak mau terpaku dengan ajaran orang tua dan guru saya. Saya mau mencari ajaran yang benar”. Hal ini yang membuat kita semakin khawatir. Dengan umur yang masih seperti itu, mereka begitu yakin untuk tidak ber-taqlid (ikuti) kepada yang memang seharusnya ia taqlid.
Mereka menolak untuk menerima sepenuhnya apa yang ia dapatkan dari rumah, juga dari gurunya tapi mereka tidak punya pegangan untuk bisa berdiri dan menjadi sandaran sendiri.
Akhirnya, yang dilakukan kembali mencari di jalanan, seperti dengan buka laptop, searching google dan akhirnya bertemu dengan ratusan bahkan ribuan hal yang sejatinya mereka belum siap menerimanya semua. Sampai saat ini kita masih tidak memandang google sebagai sumber pencarian ilmu yang valid dan aman. Mendatangi guru dan bermuwajahah dengan beliau itu yang diajarkan syariah dan jalan yang paling aman.
Hal yang kita khawatirkan, nantinya mereka besar menjadi muslim yang membenci para imam mazhab dengan seluruh ijtihadnya. Dan kelompok pemuda semacam ini sudah kita temui banyak disekitar kita sekarang.
Dengan dalih “Kembali kapada al-quran dan sunnah”, mereka dengan pongah berani mecemooh para imam, padahal apa yang dipermasalahkan itu memang benar-benar masalah yang sama sekali tidak berdampak negatif kalau kita berbeda didalamnya.
Atau lebih parah lagi, ia menjadi orang yang anti dengan syariahnya sendiri. Karena sejak kecil sudah terlalu matang dengan banyak keraguan di sana sini.
Seperti orang yang belum matang dengan agamanya sendiri tapi kemudian sudah belajar perbandingan agama. Ujung-ujungnya mereka jadi atheism, karena banyak kerancuan yang dia temui.
Sama juga orang yang belum matang fiqih satu mazhab, kemudian mereka tiba-tiba belajar perbandingan mazhab. Satu mazhab belum beres, kemudian sudah dibanding-bandingkan. Ujung-ujungnya jadi Liberal, yang menganggap bahwa ijtihad itu terbuka untuk siapa saja dan dimana saja. Jadi sebebas-bebasnya lah mereka menfasirkan ini itu.
***** akhir kutipan *****
Contohnya orang-orang yang anti Islam , mereka berdalilkan Al Qur’an dan As Sunnah dengan berpegang pada nash secara dzahir untuk membuat propaganda anti Islam. Mereka mengatakan buat apa beragama Islam karena Tuhannya orang Islam telah menjanjikan akan memasukkan ke dalam neraka. Mereka mengambil ayat-ayat al Qur’an secara berdiri sendiri yang artinya
“Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan” (QS Maryam [19):71)
Padahal orang yang masuk neraka kaitannya dengan ayat sebelumnya yakni mereka yang bersama syaitan , mereka yang sangat durhaka.
“Demi Tuhanmu, sesungguhnya akan Kami bangkitkan mereka bersama syaitan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut”. (QS Al Maryam [19]:68)
“Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap golongan siapa di antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah“. (QS Al Maryam [19]:69)
“Dan kemudian Kami sungguh lebih mengetahui orang-orang yang seharusnya dimasukkan ke dalam neraka“. (QS Al Maryam [19]:70)
Jadi ke empat ayat itu satu kesatuan menjadi
“Demi Tuhanmu, sesungguhnya akan Kami bangkitkan mereka bersama syaitan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut. Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap golongan siapa di antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan kemudian Kami sungguh lebih mengetahui orang-orang yang seharusnya dimasukkan ke dalam neraka. Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan” (QS Al Maryam [19]: 68 s/d 71)
Sedangkan orang yang akan masuk surga adalah ayat -ayat sebelumnya yakni
“kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun” (QS Al Maryam [19]:60)
“yaitu syurga ‘Adn yang telah dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun (syurga itu) tidak nampak. Sesungguhnya janji Allah itu pasti akan ditepati“. (QS Al Maryam [19]:61)
“Mereka tidak mendengar perkataan yang tak berguna di dalam syurga, kecuali ucapan salam. Bagi mereka rezkinya di syurga itu tiap-tiap pagi dan petang“. (QS Al Maryam [19]:62)
“Itulah syurga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa“. (QS Al Maryam [19]:63)
Jadi ke empat ayat tersebut dalam satu kesatuan bagi orang-orang beriman
“kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun yaitu syurga ‘Adn yang telah dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun (syurga itu) tidak nampak. Sesungguhnya janji Allah itu pasti akan ditepati Mereka tidak mendengar perkataan yang tak berguna di dalam syurga, kecuali ucapan salam. Bagi mereka rezkinya di syurga itu tiap-tiap pagi dan petang Itulah syurga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa” (QS Al Maryam [19]: 60 s/d 63)
Sedangkan makna dari semua manusia akan mendatangi neraka bukan berarti semua manusia akan memasuki neraka.
Dari mahsyar (tempat berkumpul), manusia menuju surga atau neraka. Beberapa ayat dalam Al-Quran menginformasikan bahwa dalam perjalanan ke sana manusia melalui apa yang dinamai “shirath”
Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa semua manusia akan melalui di atas “Ash-Shirath”, yaitu titian, dan mereka mendatanginya itu ialah karena mereka akan berdiri di pinggir neraka, kemudian mereka lalulah ke atas shirath itu masing-masing menurut amalan mereka: Ada yang melaluinya laksana petir kencangnya, ada yang laksana angin, ada yang lalu laksana burung terbang, ada yang lalu sekencang kuda berlari, ada pula yang melaluinya sekencang unta berlari dan ada juga melaluinya laksana seorang yang berjalan kaki saja, sehingga pada akhirnya ada orang yang melalui titian itu, sedang nur (cahayanya) memancar dari empu jari kakinya: Dia lalu di atasnya, maka titian itu bergoyang-goyang dan titian itu seakan akan hendak membuatnya jatuh, di sana berdiri banyak malaikat memegang cambuk berujungkan besi terjadi dari api untuk menangkap manusia.” Hadits ini dirawikan oleh Ibnu Abi Hatim
Ketika manusia mendatangi ash-shirath dengan segala ketetapanNya maka berlakulah syafa’at.
8 Jenis Syafaat Di Padang Mahsyar Kelak
1. Al-Quran
Bacalah al Quran , sesungguhnya pada hari kiamat nanti al Quran akan datang sebagai pembawa syafaat kepada yang membacanya (HR Muslim)
2. Puasa
Puasa dan al-Quran akan memberi syafaat kepada seseorang hamba pada hari kiamat. (Hadis riwayat Imam Ahmad)
3. Malaikat
Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah (Surah Al-Anbiya: 28)
4. Nabi Muhammad
Sesungguhnya syafaatku diperuntukkan buat umatku yang berbuat dosa besar. (HR. Tirmidzi)
5. Para Syuhada
Orang yang mati syahid itu dapat memberikan syafaat kepada 70 orang di kalangan keluarganya. (HR Abu Darda)
6. Ulama
Dari Utsman bin Affan r.a, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Di hari kiamat, yang memberi syafaat tiga golongan, iaitu para Nabi, kemudian ulama, kemudian syuhada” (H.R. Ibnu Majah)
7. Para Hafiz Al-Quran
Barangsiapa membaca Al Quran dan mengamalkannya, menghalalkannya yang halal dan mengharamkan yang haram maka Allah memasukkannya ke dalam syurga dan dia boleh memberi syafaat 10 orang keluarganya yang sudah pasti masuk neraka. (Hadis Riwayat Tarmizi)
8. Syafaat kecil termasuk daripada para sholihin dan shadiqqin serta anak yang meninggal dunia sebelum ditaklifkan.
Dan telah menceritakan kepadaku Suwaid bin Sa’id dia berkata, telah menceritakan kepadaku Hafsh bin maisarah dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha’ bin Yasar dari Abu Sa’id Al Khudri (dalam sebuah hadits yang panjang) …………. Kemudian dibentangkan jembatan di atas Jahannam, dan berlakulah syafa’at pada saat itu, mereka berguman; “ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah.” Ada yang bertanya; ‘wahai Rasulullah, apakah jembatan itu?” beliau menjawab; “tempat yang licin yang dapat menggelincirkan, disana terdapat besi-besi pencakar, besi-besi pengait dan duri besi yang terbuat dari pohon-pohon berduri. Maka orang-orang mu’min akan melewatinya seperti kedipan mata, seperti kilat, seperti angin, seperti burung, seperti kuda-kuda yang berlari kencang, dan hewan tunggangan. Maka orang muslim akan ada yang selamat, ada yang tercabik-cabik tertunda dan ada yang terlempar kedalam neraka jahannam. Sehingga ketika orang-orang mu’min terbebas dari neraka, maka demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian yang begitu gigih memohon kepada Allah didalam menuntut al haq pada hari kiamat untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka, mereka berseru; wahai rabb kami, mereka selalu berpuasa bersama kami, shalat bersama kami, dan berhaji bersama kami.” Maka dikatakan kepada mereka; “keluarkanlah orang-orang yang kalian ketahui.” Maka bentuk-bentuk mereka hitam kelam karena terpanggang api neraka, kemudian mereka mengeluarkan begitu banyak orang yang telah di makan neraka sampai pada pertengahan betisnya dan sampai kedua lututnya. Kemudian mereka berkata; “ wahai rabb kami tidak tersisa lagi seseorang pun yang telah engkau perintahkan kepada kami.” Kemudian Allah berfirman; “kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan didalam hatinya kebaikan seberat dinar, maka keluarkanlah dia.” Mereka pun mengeluarkan jumlah yang begitu banyak, kemudian mereka berkata; “wahai rabb kami, kami tidak meninggalkan di dalamnya seorangpun yang telah Engkau perintahkan kepada kami.” Kemudian Allah berfirman; “kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan didalam hatinya kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah dia.” Maka mereka pun mengeluarkan jumlah yang banyak. Kemudian mereka berkata lagi; “wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya seorang pun yang telah Engkau perintahkan kepada kami.” Kemudian Allah berfirman; “kembalilah kalian, maka siapa saja yang kalian temukan didalam hatinya kebaikan seberat biji jagung, keluarkanlah.” Maka merekapun kembali mengeluarkan jumlah yang begitu banyak. Kemudian mereka berkata; “wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya kebaikan sama sekali.” Abu Sa’id al Khudri berkata, Jika kalian tidak mempercayai hadits ini silahkan kalian baca ayat: (Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.) (Qs. An Nisa: 40). Allah lantas berfirman: Para Malaikat, Nabi dan orang-orang yang beriman telah memberi syafaat, sekarang yang belum memberikan syafaat adalah Dzat Yang Maha Pengasih. Kemudian Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka, dari dalam tersebut Allah mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak melakukan kebaikan, dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam. Allah kemudian melemparkan mereka ke dalam sungai di depan surga yang disebut dengan sungai kehidupan. Mereka kemudian keluar dari dalam sungai layaknya biji yang tumbuh di aliran sungai, tidakkah kalian lihat ia tumbuh (merambat) di bebatuan atau pepohonan mengejar (sinar) matahari. Kemudian mereka (yang tumbuh layaknya biji) ada yang berwarna kekuningan dan kehijauan, sementara yang berada di bawah bayangan akan berwarna putih. Para sahabat kemudian bertanya, Seakan-akan baginda sedang menggembala di daerah orang-orang badui?’ Beliau melanjutkan: Mereka kemudian keluar seperti mutiara, sementara di lutut-lutut mereka terdapat cincin yang bisa diketahui oleh penduduk surga. Dan mereka adalah orang-orang yang Allah merdekakan dan Allah masukkan ke dalam surga tanpa dengan amalan dan kebaikan sama sekali. (HR Muslim)
Allah Azza wa Jalla pada akhirnya akan memasukkan ke dalam surga setelah memasukannya ke neraka bagi manusia tanpa dengan amalan dan kebaikan sama sekali berlaku bagi manusia yang telah bersyahadat.
Namun manusia yang tidak mau bersyahadat atau orang kafir segala amal atau perbuatan di dunia tidak mendapatkan manfaat di akhirat kelak.
Firman Allahta’ala yang artinya,
“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang.Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh”. (QS Ibrahim[14]:18 )
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya(ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya” (QS AnNuur [24]:39 )
Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi kebaikan seorang mukmin, ganjarannya diberikan di dunia dan dibalas di akhirat. Adapun orang kafir, semua kebaikan-kebaikannya diberikan balasannya di dunia sehingga apabila di akhirat tidak ada lagi balasan kebaikan yang akan diberikan kepadanya.”
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
jangan suka menghina orang lain. terlebih lagi mereka ulama besar.
aku 3x pesantren, sepengetahuanku di hampir semua pesantren di pulau jawa pake ta’limul muta’allim nya imam ibnu taimiyyah.
setahuku syaikh albani gurunya puluhan imam masjid haramain.
jangan buat fitnah.
aku asli bermazhab syafi’i.
sanad pesantren dan guru” ku jelas hingga rasulullah.
gak pernah Rasulullah SAW perintahkan ummatnya menebar fitnah tuh.
malah disuruh husnuz dzon dan berakhlak karimah.
pernah mesantren dimana bos ?
jangan bikin hoax yg memecahbelah ya?
orang awam bisa aja kamu pengaruhi. santri dan ulama mustahil anda hasut.
moga dapat hidayah ya 😉
wallahu a’lam
Mas Mubarok, siapa yang menghina ulama ?
Mereka yang menisbatkan sebagai SALAFI namun pada kenyataannya mereka berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang yang “kembali kepada Al Qur’an dan Hadits” bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri dengan selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Dalam sabda Rasulullah di atas telah ditegaskan bahwa mereka yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) hanyalah mereka yang “merasa benar” sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/05/20/firqah-merasa-benar/
Mereka sendiri yang menyatakan bahwa ulama panutan mereka yakni Al Albani sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan alias mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sebagaimana contoh informasi pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
***** akhir kutipan *****
Dalam buku yang diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsary, berjudul “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany Dalam Kenangan” pada halaman 147 tercantum bahwa ulama panutan mereka, Albani dijuluki sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” sebagaiamana yang dapat dibaca pada http://drive.google.com/file/d/0Bz1Iv5iVVJceODQzZTQ1ZWQtYzRhMC00MDMyLWIxODctNGZjMjU1MDAxNWY5/view?ddrp=1&hl=en
Begitupula ulama panutan mereka lainnya, Muhammad bin Abdul Wahhab, pada awalnya berguru pada guru yang mumpuni namun pada akhirnya beliau lebih banyak mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) meneladani dan meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sehingga disebut “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah” sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Dari keterangan di atas dapat kita ketahui bahwa Albani , “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” maupun Muhammad bin Abdul Wahhab , “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyyah” meneruskan kebid’ahan dan meneladani Ibnu Taimiyyah. seorang ulama yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203.
Jadi pengikut syaitan atau wali syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha
Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha.
Piihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat (teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah “ulil amri di antara kamu” atau ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah.