Contoh buku yang membahas perbedaan madzhab Hambali dengan Wahabisme
Contoh buku menarik yang membahas tentang orang-orang yang mengaku-ngaku atau menisbatkan sebagai SALAFI atau ATSARI atau bahkan ada pula yang mengaku HAMBALI namun pada kenyataannya mereka adalah pengikut WAHABISME yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah.
Buku tersebut dikarang oleh Syaikh Musthafa Hamdu ‘Ullayan Al-Hambali yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Pustaka Al Kautsar.
Beliau menyebutnya dengan istilah “As Salafiyah Al Mu’ashirah” dan diterjemahkan dengan istilah “Salafi Kontemporer”
Oleh karena “Salafi Kontemporer” alias firqah Wahabi juga mengaku sebagai Hambali maka judul bukunya ditulis oleh Beliau adalah
As Saadah Al Hanabilah wa Ikhtilafuhum Ma’a As Salafiyah Al Mu’ashirah fi Al Aqidah wa Al Fiqh wa At Tashawwuf
Diterjemahkan
Antara Madzhab Hambali dengan Salafi Kontemporer, perbedaannya dalam Bidang Akidah, Fiqih & Tasawuf
Dalam sambutan dari Syaikh Madzhab Hambali di Al Azhar Asy Syarif yakni DR Muhammad As Sayyid Al Azhari menuliskan,
***** awal kutipan *****
Saya sangat sepakat dengan penulis buku ini dalam dua hal yaitu, pertama, dalam pemilihan judul bukunya dan kedua dalam menjelaskan MASALAH URGEN ini yakni menjelaskan tentang SEKELOMPOK ORANG yang MENISBATKAN DIRI MEREKA kepada suatu masa yang penuh berkah, yaitu Salafusshalih – radhiyallahu ‘anhuma
Bencana sudah melanda mereka secara umum. Hampir tidak ada satupun negara Islam MELAINKAN ada mereka di dalamnya.
Meskipun mereka mengklaim kelompoknya dengan penisbatan yang mulia ini (salafi), engkau dapati mereka TERPECAH BELAH dalam BANYAK KELOMPOK. Sebagian mereka membid’ahkan sebagian yang lain.
Itu belum ditambah dengan pembid’ahan mereka kepada kaum muslimin, menganggap kelompok yang lain sebagai pelaku fasiq dan bahkan mensifati kaum muslimin sebagai pelaku syirik.
Mereka juga MENGINGKARI perilaku kaum muslimin yang sebenarnya perkara mubah (boleh) dan bahkan disunnahkan oleh jumhur ulama kredibel, seperti (berdoa kepada Allah diawali) bertawassul dengan junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, tabarruk, mencari berkah dari orang-orang yang dikenal keshalihannya.
***** akhir kutipan ****
Selain mereka GEMAR saling membid’ahkan di antara kelompok mereka sendiri, kita temukan kenyataan bahwa mereka juga GEMAR saling MENTAHDZIR di antara kelompok mereka sehingga timbullah firqah dalam Islam dengan nama-nama pemimpinnya masing-masing seperti Salafi Sururiyyah dan Salafi Haddaadiyah.
Suruuriyyah (nisbat kepada Muhammad Suruur), yang menurut mereka adalah bermudah-mudahan dalam mengklaim orang sebagai Ahlussunnah atau Salafy.
Sedangkan menurut mereka sikap ghuluw dalam mentabdi’ adalah manhaj Haddaadiyyah (nisbat kepada Mahmuud Al-Haddaad Al-Mishri) yang melampaui batas dalam mengeluarkan seorang Salafy dari kesalafiyyahannya.
dan salafi-salafi lainnya
Contoh lainnya pengikut Ali Hasan Al Halabi dinamakan oleh salafi yang lain sebagai Halabiyun sebagaimana yang mereka ungkapan dalam tulisan pada http://atsarsunnah.wordpress.com/2013/11/20/demi-halabiyun-rodja-asatidzah-ahlussunnah-pun-dibidiknya/
***** awal kutipan *****
Kalau ada yang bertanya: “Apa makna ucapan gempur terus hizbiyah yang berbaju salaf sampai akar-akarnya atau makna ucapan bongkar hizbiyyah dengan selubung salafiyah?”
Sesuai kaidah yang dipopulerkan oleh Sofyan Ruray, bawalah perkataan saudaramu pada makna yang benar maka makna ucapan di atas yaitu makan pagi atawa santap malam bersama dengan Halabiyun Rodjaiyun:
Bukankah gempur terus hizbiyah dan makan bersama hizbi beda-beda tipis wahai Jafar Salih dan Hanan Bahanan?!
Dan tentu saja cara menggempur (baca:merangkul) hizbi antara Firanda dengan Ja’far Salih tidak lagi beda-beda tipis tetapi…alangkah samanya hari kemarin (Jafar Salih) dengan hari ini (Firanda).
***** akhir kutipan ‘****
DR Muhammad As Sayyid Al Azhari dalam sambutannya juga menulisksn
***** awal kutipan *****
Adapun kecocokan saya terhadap buku ini adalah proses terapi yang dilakukan oleh penulis terhadap tema besar ini, yang DIWUJUDKAN dalam bentuk PENJELASAN mengenai MADZHAB Imam Ahmad, serta PENJELASAN gamblang tentang STATUS Ibnu Taimiyyah dalam madzhab Hambali.
Penulis dalam bukunya ini sama sekali “TIDAK MENCIDERAI” kredibilitas Ibnu Taimiyyah.
Seharusnya seperti inilah riset ilmiah dilakukan, penelitian ditujukan untuk mencari hakika-hakikat kebenaran dan dijalankan sesuai fakta-fakta yang ditemukan secara langsung, dengan MENYAMPINGKAN EMOSIONAL atau pandangan pihak-pihak yang tidak senang.
***** akhir kutipan *****
DR Muhammad As Sayyid Al Azhari berpendapat bahwa
***** awal kutipan *****
Ibnu Taimiyyah adalah salah satu sosok ulama fiqih fenomenal dari Hanabilah yang namanya tidak asing lagi namum ia mempunyai ikhtiyarat (pilihan dan pandangan) sendiri DI LUAR empat madzhab fiqih.
Kami tidak mengingkari hak dan kapasitas Ibnu Taimiyyah berpendapat DI LUAR madzhab Imam Ahmad dan menyalahinya karena ia merasa mempunyai kecakapan yang sempurna. Demikianlah yang disepakati oleh para tokoh madzhab Hambali.
Namun, yang kami ingkari dari kelompok ini, adalah karena mereka hendak membawa kaum muslimin untuk mengikuti ikhtiyarat Ibnu Taimiyyah, lalu mereka menghakimi pendapat para ulama klasik dan kontemporer yang BERBEDA pendapat dengan Ibnu Taimiyyah.
***** akhir kutipan ******
Pada kenyataannya mereka yang merasa mengikuti manhaj atau mazhab Salaf atau mengaku-ngaku mengikuti SALAF (terdahulu) dan mereka menisbatkan sebagai SALAFI adalah mereka yang mengikuti SALAF (I)mitasi karena mereka TAQLID BUTA atau mengikuti ulama-ulama panutan mereka yang hidup di atas 300 H yakni ulama-ulama KHALAF (kemudian) PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah.
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Jadi paham Wahabisme adalah ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah yang dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi dari http://saudiembassy.net/islam
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah MENGINGATKAN bahwa AMBIL YANG BAIK dan TINGGALKAN YANG BURUK dari Ibnu Taimiyyah
*** awal kutipan ***
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه
“Meskipun demikian, beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
*** akhir kutipan ****
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah mengingatkan HAL YANG BURUK atau MENCONTOHKAN KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah adalah Ibnu Taimiyyah MEN-JISM-KAN Dzat Allah.
Di antaranya Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah beristiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya”
Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat benda seperti arah dan tempat maupun mensifatkan Allah Ta’ala dengan anggota-anggota badan seperti tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya adalah termasuk MENGHINA atau DURHAKA kepada Allah Ta’ala sebagaimana contohnya yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami ‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj
***** awal kutipan *****
Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan.
Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji.
Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”
***** akhir kutipan *****
Berdasarkan pernyataan Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan yakni ditetapkan kufur dalam i’tiqod oleh banyak ulama maka perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Beliau.
Contohnya ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’
Begitupula Al-Imam Ibn Jahbal dalam risalah Fi Nafy al-Jihah dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 9, h. 47. memuat bantahan keras terhadap Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy.
****** awal kutipan ******
Fawq dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan.
Contoh, bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Khalifah Fawq as-Sulthan wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya: “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan: “Jalasa Fulan Fawq Fulan”, maka artinya: “Si fulan yang pertama kedudukannya di atas si fulan yang kedua”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilmu Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu kedudukannya di atas amal”.
Contoh makna ini dalam firman Allah: “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqa Ba’dlin Darajat” (QS. Az-Zukhruf: 32), artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain.
Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan para pengikut Fir’aun: “Wa Inna Fawqahum Qahirun” (QS. Al-A’raf: 127). Yang dimaksud ayat ini adalah bahwa para pengikut yang setia kepada Fir’aun -merasa- menguasai dan lebih tinggi kedudukannya di atas Bani Isra’il. Makna ayat ini sama sekali bukan berarti para pengikut Fir’aun tersebut berada di atas pundak-pundak atau di atas punggung-punggung Bani Isra’il”
****** akhir kutipan ******
Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah berkata
***** awal kutipan *****
Makna “فوق ” , “fawq” bukanlah dalam pengertian tempat karena adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawq pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala , wa huwa al-qaahiru fawqa ‘ibaadihi
Jika yang dimaksud fawq dalam pengertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya – Apakah itu menunjukan bahwa pembantu
dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?
***** akhir kutipan ******
Begitupula Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi dalam penjelasan firman Allah: “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa ‘Ibadih” (QS. Al-An’am: 18), menuliskan sebagai berikut:
***** awal kutipan ****
Mereka lupa bahwa pengertian “fawq”, “فوق ” dalam makna indrawi (makna dzahir) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja.
Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “علوّ المرتبة ”; “derajat yang tinggi”.
Padahal dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “فلان فوق فلان ”; artinya; “derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B).
***** akhir kutipan ****
Jadi ungkapan “serahkan sama yang di atas” BUKAN dalam pengertian TEMPAT atau ARAH ataupun JARAK NAMUN maksudnya adalah “Uluww al-Martabah”, “علوّ المرتبة ”; “derajat yang tinggi” untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
Hal yang perlu dipertanyakan adalah SIAPAKAH yang menyodorkan kitab-kitab Ibnu Taimiyyah kepada ulama panutan mereka, Muhammad bin Abdul Wahhab sehingga dijuluki “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyyah” alias penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
DITENGARAI atau DIDUGA kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi berupaya untuk menyesatkan umat Islam dengan menyodorkan kitab-kitab Ibnu Taimiyyah kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab KARENA justru para ulama terdahulu telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya
Contohnya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjadikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah : 203)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 116)
Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari meneruskan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri firqah Wahabi dan penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6
******* awal kutipan *******
ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا، ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي، وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن القيم وعبد الهادي
Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي في رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الإعتقاد: وهذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا وخلفا، فكانوا وصمة وثلمة في المسلمين وعضوا فاسدا
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”
يجب قطعه حتى لا يعدى الباقي، فهو كالمجذوم يجب الفرار منهم، فإنهم فريق يلعبون بدينهم يذمون العلماء سلفا وخلفا
Maka wajib menanggalkan/menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
****** akhir kutipan *******
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar