SALAFI JIHADI memahami “NASH dan ATSAR agama” secara SEPIHAK dan SHAHAFI
Ada kutipan pernyataan di atas yang menarik yakni
****** awal kutipan ******
Jihadis itu bukan buatan siapa2, kebaradaannya alami, karena “NASH dan ATSAR agama” menuntun untuk melawan ketika di perangi
****** akhir kutipan ******
Jadi Jihadis (SALAFI JIHADI) yakni orang-orang yang merasa berjihad karena mereka MEMBACA, MENTERJEMAHKAN dan MEMAHAMI “NASH dan ATSAR agama” secara SEPIHAK dan OTODIDAK (SHAHAFI) menurut akal pikiran mereka sendiri dan KEKELIRUAN terjadi pada umumnya karena METODE PEMAHAMAN mereka selalu dengan MAKNA DZAHIR.
Sedangkan SALAFI TAKFIRI yakni orang-orang yang terjerumus TAKFIRI, mengkafirkan siapapun yang tidak sepahaman/sependapat dengan mereka.
Mereka yang terjerumus TAKFIRI karena mereka BERPEGANG pada KAIDAH sebagai berikut
***** awal kutipan *****
apabila terjadi dihadapanmu, person tertentu (mu’ayyan) melakukan kekufuran yang nyata.
Kamu memiliki “DALIL dan BUKTI dari Allah” bahwa perbuatan ini kufur. Kamu kafirkan dia dan jangan ragu.
JIKA KAMU TIDAK KAFIRKAN DIA, KAMU YANG KAFIR
*****akhir kutipan****
Jadi mereka terjerumus TAKFIRI (mengkafirkan) adalah karena mereka MEMBACA, MENTERJEMAHKAN dan MEMAHAMI “DALIL dan BUKTI dari Allah” secara SEPIHAK dan OTODIDAK (SHAHAFI) menurut akal pikiran mereka sendiri dan KEKELIRUAN terjadi pada umumnya karena METODE PEMAHAMAN mereka selalu dengan MAKNA DZAHIR.
Begitupula SALAFI yang gemar MENTAHDZIR adalah oknum muslim (mereka mengaku muslim) yang terjerumus RADIKALISME yakni mereka yang mempergunakan cara-cara kekerasan (ekstrim/radikal) seperti MENTAHDZIR dengan CELAAN dan TUDUHAN (ANGGAPAN) syubhat, bid’ah, sesat, bahkan kafir terhadap SIAPAPUN yang tidak sepemahaman/sependapat dengan mereka.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa orang-orang yang menisbatkan sebagai SALAFI itu sebenarnya adalah SHAHAFI yakni orang-orang yang memahami atau “KEMBALI kepada Al Qur’an dan Hadits” secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri dan KEKELIRUAN terjadi pada umumnya karena METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR
Padahal Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203.
Jadi pengikut syaitan atau wali syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan Hadits seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.
Contohnya pelaku bom bunuh diri yang mengaku muslim adalah orang-orang yang mempunyai keyakinan atau prinsip bahwa POKOKNYA jika TIDAK SESUAI dengan apa yang mereka baca, terjemahkan dan pahami dari kitab Al Qur’an dan Hadits maupun kitab atau perkataan (pendapat) ulama terdahulu secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri maka mereka menyalahkan, menganggap sesat dan bahkan mengkafirkan sehingga menghalalkan darah umat Islam.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan Hadits
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha (ahli fiqih)
Salah satu solusi mempersatukan umat Islam khususnya di Palestina maupun umat Islam pada umumnya adalah sebagaimana yang diusulkan oleh mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah yakni,
dengan menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari perwakilan para fuqaha (ahli fiqih) dari setiap negara.
Pihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah PEPERANGAN adalah JIHAD (mujahidin) atau JAHAT (teroris) sehingga dapat diketahui apakah MATI SYAHID atau MATI SANGIT adalah “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) yakni para fuqaha (ahli fiqih) di negara setempat karena ulama di luar negara tidak terbebas dari fitnah.
PEPERANGAN zaman sekarang tidak lagi MEREPRESENTASIKAN Jama’atul Muslimin namun PEPERANGAN sekelompok kaum muslimin dalam batas negara (Jama’ah minal muslimin) dan bahkan ada PEPERANGAN yang ditimbulkan oleh KELOMPOK PENYAMUN.
Sejak Rasulullah menjadi kepala negara Daulah Islamiyyah (Negara Islam) pertama di Madinah, umat Islam bersatu (berjama’ah) dan terikat dalam KESATUAN AQIDAH (AQIDAH STATE) yang disebut dengan Jama’atul Muslimin.
Jama’atul Muslimin yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang dibai’at oleh seluruh kaum muslimin BERAKHIR ketika keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1924 SEHINGGA umat Islam terpecah belah dalam KESATUAN BATAS NEGARA (NATION STATE).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan (kekhalifahan) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)
Jadi Jama’atul Muslimin yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang dibai’at oleh seluruh kaum muslimin SUDAH BERAKHIR !!!
Pada zaman sekarang adalah Jama’ah minal muslimin yakni kelompok-kelompok kaum muslimin dalam batas negara (NATION STATE) yang dipimpin oleh pemimpin negaranya masing-masing.
Hukum ketaatannya serupa dengan ketaatan kepada Jama’ah minal muslimin seperti ketaatan kepada ormas (organisasi kemasyarakatan) yang dipimpin oleh ketua ormasnya.
Jadi hadits-hadits yang melarang bahkan mengancam seseorang melepaskan baiatnya terhadap imam atau khalifah dari JAMA’ATUL MUSLIMIN tidak berlaku lagi pada JAMA’AH MINAL MUSLIMIN seperti hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Barangsiapa yang melepaskan tangannya (baiat) dari suatu keaatan maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa adanya hujjah (alasan) baginya. Dan barangsiapa mati sementara tanpa ada baiat di lehernya maka ia mati seperti kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)
Para ahli fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan baiat didalam hadits diatas adalah baiat imam kaum muslimin atau khalifah kaum muslimin yang dibaiat oleh ahlul halli wal ‘aqdi dari umat Islam.
Hadits ini tidak bisa diterapkan kepada para penguasa negeri di zaman ini atau pembesar partai (jamaah) karena setiap dari mereka bukanlah imam (pemimpin) dari seluruh kaum muslimin.
Al Mawardi mengatakan bahwa apabila ahlul halli wal ‘aqdi di dalam pemilihan melihat ahlul imamah memenuhi persyaratan maka hendaklah ahlul halli wal ‘aqdi mengedepankan untuk dibaiat orang yang lebih utama dan lebih sempurna persyaratannya diantara mereka dan hendaklah manusia segera menaatinya dan tidak berhenti untuk membaiatnya.
Untuk itu ahlul halli wal ‘aqdi dari kaum muslimin adalah orang-orang yang berwenang memilih imam kaum muslimin dan khalifah mereka dan pendapat orang-orang awam tidaklah dianggap terhadap kesahan baiat. Ar Romli dari ulama Syafi’i mengatakan bahwa baiat yang dilakukan oleh selain ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan awam tidaklah dianggap.
Imam Nawawi meletakkan hadits Ibnu Umar diatas pada bab “Kewajiban Bersama Jamaah Kaum Muslimin..”. Maksud dari hadits itu adalah bahwa barangsiapa yang mati tanpa ada baiat dilehernya maka matinya seperti kematian jahiliyah yaitu ketika terdapat imam syar’i saja. Inilah pemahaman yang benar dari hadits itu bahwa jika terdapat imam syar’i yang memenuhi berbagai persyaratan kelayakan untuk dibaiat dan tidak terdapat padanya hal-hal yang menghalanginya maka wajib bagi setiap muslim untuk bersegera memberikan baiatnya apabila ahlul halli wal ‘aqdi memintanya atau meminta darinya dan tidak boleh bagi seorang pun yang bermalam sementara dirinya tidak memiliki imam.
Kesimpulannya pada saat kondisi yang ada pada masa sekarang adalah JAMA’AH MINAL MUSLIMIN atau kaum muslim dalam kesatuan negara (nation state) maka ketaatan kepada ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha atau pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan ketaatan kepada pemimpin kelompok atau ormas maupun para umara atau penguasa negeri.
PERDEBATAN dan PERSELISIHAN di antara umat Islam dan bahkan mereka yang MERASA BERJIHAD meneriakkan “Allahu Akbar” dan saling bunuh membunuh dalam PEPERANGAN yang ditimbulkan oleh KELOMPOK PENYAMUN adalah karena masing-masing mengeluarkan fatwa atau pendapat dengan memahami atau “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri dan KEKELIRUAN terjadi pada umumnya karena METODE PEMAHAMAN selalu dengan MAKNA DZAHIR.
Begitupula pada kenyataanya radikalisme yang diperlihatkan ISIS, Al Qaeda dan turunannya maupun mereka yang merasa sebagai mujahidin adalah akibat mereka “MENGEMBALIKAN” kepada Allah dan Rasulullah atau memahami Al Qur’an dan Hadits secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka KEMBALIKANLAH kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslimin ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Pemimpin yang terbaik adalah pemimpin yang mengikuti firman Allah Ta’ala di atas yakni menjalankan kepemimpinannya selalu mempertimbangkannya dengan Al Qur’an dan Hadits.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara (penguasa negeri).
Oleh karenanyalah pada zaman sekarang, penguasa negeri (umara) yang seharusnya mengakui ketidak mampuannya dalam memahami dan menggali hukum langsung dari Al Qur’an dan Hadits dalam memimpin negara maka seharusnya di bawah nasehat dan pendapat para fuqaha (ahli fiqih) yakni ulama yang faqih (berkompeten) atau menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) sehingga warga negara mentaati ulil amri dalam bimbingan para fuqaha.
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah sehingga negara dapat membuat hukum buatan manusia yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.
Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah ahli fiqih dan ahli agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna ulil amri adalah para ulama.
Jadi Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk mentaati firmanNya (Al Qur’an) dan sabda Rasulullah (Hadits) dengan mengikuti mentaati “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) dan pada zaman sekarang adalah dengan mengikuti dan mentaati ulil amri setempat yakni para fuqaha (ahli fiqih).
Jadi kesimpulannya cara “membela” Allah dan Rasul-Nya atau “menolong” agama Allah atau “membela” agama Islam atau “mengawal” syariat Islam adalah dengan cara mengembalikan wewenang para fuqaha (ahli fiqih) untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri (umaro) sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri.
Jadi rakyat mentaati umaro (penguasa negeri) dan penguasa negeri mentaati para ulama yakni para fuqaha (ahli fiqih).
Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha (ahli fiqih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, iaitu
1.Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka,
2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka dan
3.Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.
Rasulullah membolehkan umat Islam untuk mengingkari kebijakan penguasa negeri (umara) yang menurut pendapat para fuqaha (ahli fiqih) bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits namun dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.
Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Oleh karenanya sebaiknya kita membenci atau minimal sedih dan prihatin terhadap kemungkaran penguasa (umaro) yakni kezaliman atau ketidakadilan penguasa (umaro).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).
Al Imam Al Hafizh An Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])
Selain itu negeri kita akan diazab Allah jika membiarkan kemungkaran.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengazab manusia secara umum karena perbuatan khusus (yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang) hingga mereka melihat kemungkaran di tengah-tengah mereka, mereka mampu mengingkarinya, namun mereka tidak mengingkarinya. Jika itu yang mereka lakukan, Allah mengazab yang umum maupun yang khusus. (HR Ahmad).
Jadi membiarkan kemungkaran akan mengakibatkan kerusakan atau azab.
Kerusakan atau azab yang terjadi akibat perbuatan maksiat atau munkar itu tidak hanya menimpa pelakunya, namun juga orang lain yang tidak terlibat langsung.
Realitas ini digambarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya:
Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Allah dan orang-orang yang melanggarnya bagaikan suatu kaum yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal, sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal, dan sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya. Orang-orang yang berada di bagian bawah kapal, jika hendak mengambil air, melewati orang-orang yang berada di atas mereka. Mereka berkata, “Seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada di atas kita.” Apabila mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginannya, niscaya mereka semua akan binasa; jika mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya mereka selamat dan menyelamatkan semuanya. (HR al-Bukhari).
Bagi yang ingin mengganti PENGUASA NEGERI yang dianggap ZALIM yakni TIDAK MENEGAKKAN KEADILAN maka lakukanlah dengan cara-cara yang baik mengikuti hukum konstitusi yang berlaku dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al Baqarah [2]:11)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar