Perbedaan akidah Salafi dengan akidah Salaf
Gambar di atas adalah contoh fitnah terhadap Imam Abu Utsman ash-Shabuni seolah-olah akidah Beliau SERUPA dengan akidah para PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah yang MENISBATKAN sebagai SALAFI (merasa mengikuti Salaf) atau ATSARI (merasa mengikuti Atsar Sahabat) atau bahkan Hanbali.
Padahal Ibnu Taimiyyah tidak pernah mengklaim dirinya sebagai ulama Hanbali karena Beliau berpendapat pintu ijtihad selalu terbuka namun belum berkompetensi sebagai ahli istidlal.
Para ulama terdahulu menggolongkan Ibnu Taimiyyah sebagai ahli hadits dalam arti ahli (membaca) hadits.
Begitupula mereka yang merasa atau mengaku-ngaku sebagai ahlussunnah dalam arti ahli (membaca) sunnah alias ahli (membaca) hadits secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereja sendiri dan KEKELIRUAN terjadi akibat METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR.
Para PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah bermanhaj ITSBAT mengikuti MAKNA DZAHIR yakni mengisbatkan atau menetapkan semua ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat-sifat Allah SELALU berdasarkan MAKNA DZAHIR.
Imam Abu Utsman ash-Shabuni sebagaimana Salafush Sholeh bermanhaj ITSBAT mengikuti LAFADZ yakni mengisbatkan atau menetapkan berdasarkan lafadznya dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa dan menyerahkan maknanya kepada Allah sebagaimana contoh penjelasan pada https://www.facebook.com/100009305616246/posts/2545859239067572/
Hal yang dimaksud bahwa para Sahabat atau Salafush Sholeh TIDAK MENAKWILKAN adalah Salafush Sholeh membiarkan khabar-khabar tersebut sebagaimana datangnya maksudnya MEMBIARKAN SEBAGAIMANA LAFAZnya dan MENYERAHKAN MAKNANYA kepada Allah Ta’ala.
Salafush Sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir”
Begitupula Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengingatkan kita untuk memalingkan dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Bahkan sebagian Salafush Sholeh MELARANG menterjemahkan, menafsirkan atau memaknai apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya ke selain daripada bahasa Arab dan HARUS MEMBIARKAN SEBAGAIMANA LAFAZNYA.
Ibn Suraij berkata : “Tidak boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada bahasa Arab”.
Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
Namun para Sahabat atau Salafush Sholeh, ada juga yang menakwilkan apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya.
Contohnya Sahabat Ibnu Abbas ketika memahami ayat yang ARTINYA “dan datanglah Tuhanmu” (QS Al Fajr: 22) MAKNANYA adalah “kedatangan urusan dan putusan Allah bukan kedatangan Allah sendiri” (lihat tafsir an-Nasafi).
Contoh lainnya sebagaimana di sebutkan oleh Imam ath-Thabari dalam tafsir beliau ketika menafsirkan ayat 47 surat az-Zariyat :
Artinya: Berkatalah Allah Ta`ala yang Maha Tinggilah perkataanNya; demi langit yang kami tinggikan atapnya dengan kekuatan (kami). penafsiran seumpama ini disebutkan oleh ahli takwil.
Golongan yang berpendapat demikian meriwayatkan; memberi hadits padaku oleh Ali, …memberi hadits oleh Mu`awwiyah dari Sayyidina Ali dari Sayyidina Ibnu Abbas, firman Allah وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ, beliau berkata; maksudnya bi quwwah (dengan kekuatan).
memberi hadits akan kami oleh Muhammad bin Umar, … dari Mujahid, firman Allah bi aydi, beliau mengatakan maksudnya bi quwwah (dengan kekuatan).
memberi hadits oleh basyar, …dari Qatadah, firman Allah وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ maksudnya bi quwwah (dengan kekuatan). Memberi hadits akan kami oleh Ibnu Mutsanna …dari Manshur … (Tafsir Thabari, Jilid 22 Hal 438, Muassis ar-Risalah th 2000)
Salafush Sholeh bukan tidak mengetahui makna dzahirnya namun Salafush Sholeh memalingkan lafaz mutasyabihat terkait sifat-sifat Allah dari makna dzahirnya dan MEMBIARKAN SEBAGAIMANA LAFAZnya dan MENYERAHKAN MAKNANYA kepada Allah Ta’ala karena jika dipaksakan dimaknai dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat yang tidak patut (tidak layak) bagi Allah atau sifat yang mustahil bagi Allah Ta’ala.
Jadi ulama salaf dan khalaf sepakat untuk memalingkan lafaz mutasyabihat yakni lafaz dengan banyak makna yang terkait sifat-sifat Allah Ta’ala dari makna dzahirnya.
Perbedaan keduanya hanya terjadi pada masalah apakah diberikan maknanya sesuai kaidah-kaidah bahasa Arab ataupun tidak diberi makna tetapi diserahkan maknanya kepada Allah Ta`ala sendiri.
Ulama salaf lebih memilih untuk tidak menentukan (menetapkan) salah satu dari beberapa makna yang mungkin diterapkan pada nash tersebut dan menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Sedangkan para ulama khalaf, dikarenakan pada masa mereka sudah berkembang ahli bid’ah yang mensifati Allah dengan sifat makhluk, maka mereka menafsirkan nash mutasyabihat tersebut dengan makna yang layak bagi Allah yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab sendiri.
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”
Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Sedangkan menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafaz dari artinya yang dzahir kepada makna yang lain, tetapi bukan dzahirnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173].
Alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni
1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.
2.Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Quran.
Jadi memang ada dua pilihan untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat yakni ayat-ayat dengan banyak makna terkait sifat Allah yakni,
PILIHAN atau CARA PERTAMA dan cocok bagi orang awam yang belum menguasai KAIDAH-KAIDAH atau TATA BAHASA Arab adalah kembali mengikuti cara yang dipilih oleh kebanyakan para Sahabat (Salafush Sholeh) dan ulama Salaf (terdahulu) yakni membiarkan khabar-khabar tersebut (ayat mutasyabihat) sebagaimana datangnya maksudnya MEMBIARKAN SEBAGAIMANA LAFADZnya dan MENYERAHKAN MAKNANYA kepada Allah Ta’ala.
Jadi boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti Yadullah yang artinya Tangan Allah dan menyerahkan maknanya kepada Allah.
PILIHAN atau CARA KEDUA yang disodorkan oleh ulama khalaf (kemudian) dikarenakan pada masa mereka sudah berkembang ahli bid’ah yang mensifati Allah dengan sifat makhluk, maka mereka menafsirkan nash atau lafadz mutasyabihat tersebut dengan makna yang patut (layak) bagi Allah yang sesuai dengan KAIDAH-KAIDAH atau TATA BAHASA Arab itu sendiri karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3).
Dalam kamus al-Ma’ani disebutkan bahwa kata “yad” mempunyai beragam arti alternatif, di antaranya adalah kenikmatan dan kebaikan (an-ni’mah wal ihsan), kekuasaan (as-sulthan), kemampuan (al-qudrah), kekuatan (al-quwwah) dan lain sebagainya yang bisa disematkan kepada Allah tanpa ada keraguan sebab Allah memang memiliki kebaikan, kekuasaan, kemampuan, kekuatan dan lain sebagainya.
Begitupula ungkapan firman Allah Ta’ala yang ARTINYA “Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shad [38] : 75) tidak boleh DIMAKNAI bahwa Tuhan memiliki “organ” dua buah tangan untuk menciptakan Nabi Adam.
Berikut contoh penjelasan Al Imam Al Hafiz Suyuthi dalam kitab tafsir Jalalain
***** awal kutipan *****
(Allah berfirman, “Hai iblis! Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan kekuasaan-Ku?) maksudnya, yang telah Aku atur penciptaannya secara langsung; ungkapan ini dimaksud memuliakan kedudukan Nabi Adam, karena sesungguhnya setiap makhluk diciptakan oleh Allah secara langsung.
(Apakah kamu menyombongkan diri) sekarang sehingga kamu tidak mau bersujud kepadanya; Istifham atau kata tanya di sini menunjukkan makna cemoohan
(ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi?”) merasa tinggi diri sehingga kamu bersikap takabur tidak mau bersujud. (Tafsir Al-Jalalain, Sad 38:75)
***** akhir kutipan *****
Jadi kita harus dapat membedakan ARTI dengan MAKNA.
Firman Allah yang ARTINYA, “Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” .(QS. Shad [38] : 75) MAKNANYA adalah,
Ungkapan untuk memuliakan kedudukan Nabi Adam di hadapan kesombongan Iblis dengan mengungkapkan kekhususan penciptaan Nabi Adam dibanding makhluk lainnya yakni “penciptaan tanpa perantara kedua orang tua” sehingga secara khusus diungkapkan dengan ungkapan “diciptakan dengan kedua tangan-Ku”.
Pada hakikatnya semua makhluk diciptakan dengan cara yang sama sebagaimana disebutkan dalam berbagai ayat, yakni cukup dengan kehendak Allah untuk menjadikan sesuatu, maka seketika itulah apa yang dikehendaki terjadi (kun fayakun) sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.(QS. Ali Imran: 59)
Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi dalam kitabnya berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih telah MENGINGATKAN janganlah mengikuti KEBID’AHAN tiga ulama yang semula bermazhab Hambali (Al-Hanabilah) namun kemudian menjadi imam atau guru besar kaum musyabbihah karena METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR seperti,
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdadial-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali. Beliau ini pengarangbuku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana diuraikan banyak tentang tasybih yaitu keserupaan Tuhan dengan manusia.
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmadal-Baghdadi al-Hanbali, dikenal dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang kitab Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan bahwa “Aib yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air sebanyak air laut sekalipun”. Tampaknya cacat pahamnya terlalu besar.
3.Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghunial-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang sebuah buku dalam usuluddin yangberjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan tajsim.
Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi mencontohkan KEBID’AHAN mereka,
“sementara tentang kepala mereka berkata,
“Kami tidak pernah mendengar berita (nash/dalil) bahwa Allah memiliki kepala”
Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi
****** awal kutipan ******
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادمعلى صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah.
Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata,mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki.
Mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”.
Lalu–dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan“Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
Ibn al Jawzi menjelaskan di atas bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) saja bagi Allah seperti Maha Melihat, Maha Mendengar namun mereka MEN-JISM-KAN Dzat Allah yakni mensifatkan Allah dengan anggota-anggota badan seperti Tuhan memiliki dua tangan dan kedua-duanya kanan atau Tuhan memiliki dua kaki yang ditempatkan di kursi dan terkadang ditempatkan di neraka jahannam dan lain-lain.
Orang-orang yang secara terang-terangan melanggar larangan Rasulullah untuk memikirkan Dzat Allah yakni mereka yang MENSIFATKAN atau MEN-JISM-KAN Dzat Allah dinamakan firqah MUJASSIMAH atau MUSYABBIHAH.
Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah“.
Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa janganlah memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan MAKNA DZAHIR karena akan terjerumus KEKUFURAN dalam perkara I’TIQOD.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah akidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa tidak boleh mengatakan bahwa Allah memiliki wajah, tangan, kaki WALAUPUN dikatakan wajah, tangan, kaki Allah tidak serupa dengan makhluknya karena hal ini sudah termasuk ‘AASHIN yakni DURHAKA atau MENGHINA Allah Ta’ala
Contohnya Syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” menjelaskan
***** awal kutipan *****
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (bentuk seperti tangan, kaki) sebagaimana jisim-jisim (bentuk tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (bentuk seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (bentuk tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
– I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
***** akhir kutipan *****
Contoh mereka yang berakhlak buruk kepada Allah yakni ‘Aashin (durhaka) atau menghina Allah akibat METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR seperti mereka berkeyakinan bahwa Tuhan mereka berkaki dua ditempatkan di kursi dan terkadang dibenamkan di neraka jahannam.
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki di tempatkan di kursi seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.”
Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi terkait riwayat tersebut,
***** awal kutipan ****
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang yang duduk di atas ranjang
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.
***** akhir kutipan *****
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.
Contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki yang terkadang dibenamkan di neraka jahannam.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan penghuninya) ia (Jahannam) senantiasa mengatakan, “Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul ‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam) berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)
Al-Imam al-Hafizh Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ قدم ” (makna dzahirnya kaki) dalam hadits di atas adalah orang-orang yang didatangkan (dimasukkan) oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam neraka Jahanam”.
Jadi salah satu akibat memahami Al Qur’an dan Hadits dengan arti bahasa saja dan apalagi berbekal atau SELALU dengan MAKNA DZAHIR saja adalah terjerumus berakhlak buruk kepada Allah yakni ‘Aashin (durhaka) atau menghina Allah.
Contoh yang lain dari mereka yang hidup pada zaman now atau zaman kemudian (khalaf) yang merasa atau mengaku-ngaku mengikuti mazhab salaf atau manhaj salaf NAMUN terjerumus ‘Aashin (DURHAKA) atau MENGHINA Allah Ta’ala akibat METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Tuhan mereka bertangan dua dan kedua-duanya kanan sebagaimana tulisan mereka pada https://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/
Ironisnya tulisan ulama panutan mereka tersebut dinisbatkan sebagai pemahaman para Sahabat atau pemahaman Salafush Sholeh.
Jelas sekali apa yang mereka sampaikan BUKAN akidah atau PEMAHAMAN PARA SAHABAT (Salafush Sholeh) melainkan akidah atau PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI menurut akal pikiran mereka sendiri terhadap nash atau dalil yang mereka baca.
Mereka secara terang-terangan melanggar larangan Allah yakni mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (selalu dengan makna dzahir) sehingga menimbulkan fitnah (Q.S. Al Imran [3] : 7)
Mereka memfitnah seolah-olah Rasulullah yang bersabda bahwa Tuhan BERTANGAN DUA dan KEDUA-DUANYA KANAN.
Padahal Rasulullah sudah menjelaskan bahwa yang dimaksud “kedua tangan-Nya adalah kanan” adalah “orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka.” (HR Muslim 3406 atau Syarah Shahih Muslim 1827)
Jadi akibat pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sehingga mereka beribadah bukanlah kepada Allah Ta’ala namun mereka beribadah kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan.
Pada kenyataannya orang-orang yang merasa atau mengaku-ngaku di atas MANHAJ SALAF yakni jalan/cara Salafush Sholeh dan menisbatkan sebagai SALAFI namun TIDAK HIDUP pada zaman salaf adalah mereka yang TAQLID (MENGIKUTI) ulama-ulama yang hidup pada zaman KHALAF (orang-orang kemudian) PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah.
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah adalah yang disebut dengan WAHABISME yang dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi dari http://saudiembassy.net/islam
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Perselisihan timbul karena Ibnu Taimiyyah MELABELI KEBID’AHANNYA dengan label MAZHAB SALAF atau MANHAJ Salaf sehingga mereka merasa pasti benar atau mereka merasa berada di atas kebenaran sebagamana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2020/02/11/labeli-mazhab-salaf/
Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa Ibnu Taimiyyah itu telah MENGHINA atau DURHAKA kepada Allah Ta’ala KARENA mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat benda seperti arah dan tempat maupun mensifatkan Allah Ta’ala dengan anggota-anggota badan seperti tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya.
Berikut contoh kutipan yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami ‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj
***** awal kutipan *****
Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan.
Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji.
Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”
***** akhir kutipan *****
Berdasarkan pernyataan Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan yakni ditetapkan kufur dalam i’tiqod oleh banyak ulama maka perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Beliau.
Contohnya ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah MENGINGATKAN bahwa AMBIL YANG BAIK dan TINGGALKAN YANG BURUK dari Ibnu Taimiyyah
*** awal kutipan ***
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه
“Meskipun demikian, beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
*** akhir kutipan ****
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah mengingatkan HAL YANG BURUK atau MENCONTOHKAN KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah adalah Ibnu Taimiyyah MEN-JISM-KAN Dzat Allah. Di antaranya Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah beristiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya”
Ibnu Taimiyyah adalah salah satu contoh yang menggunakan metode pemahaman selalu dengan makna dzahir dan mengingkari MAKNA MAJAZ sebagaimana informasi pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi
***** awal kutipan *****
Ada ulama yang mengingkari keberadaan majaz secara mutlak. Para ulama yang berpendapat demikian, mengingkari keberadaan majaz, baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah rahimahumallahu. (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115).
Bahkan Ibnul Qayim mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)
***** akhir kutipan ******
Ulama Hambali, Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi memberikan pedoman cara menghadapi AYAT-AYAT MUTASYABIHAT yakni AYAT-AYAT YANG MEMPUNYAI BANYAK MAKNA terkait sifat Allah yang ditetapkanNya.
Beliau berkata, “Sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maksudnya jika dipahami dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak (tidak patut) bagiNya maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan)”.
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah yakni dengan makna majaz (makna kiasan) adalah serupa dengan mereka yang berpendapat tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan.
Rasulullah bersabda, “ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan” (HR Bukhari 98)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar