Mereka yang memfitnah Rasulullah melarang umatnya safar selain ke tiga masjid
Hal yang perlu kita ingat bahwa jika ada orang-orang pada masa sekarang (khalaf) yang mengaku tidak bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat melainkan mereka merasa atau mengaku-ngaku mengikuti mazhab (manhaj) Salafush Sholeh atau mengaku-ngaku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh maka itu artinya mereka berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri.
Rasulullah bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Dalam sabda Rasulullah di atas telah ditegaskan bahwa mereka yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) hanyalah mereka yang “merasa benar” sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/05/20/firqah-merasa-benar/
Orang-orang yang membeli atau memiliki kitab-kitab hadits kemudian mereka membacanya maka tidak dapat dikatakan bahwa mereka telah mengikuti pemahaman Salafush Sholeh hanya dikarenakan dalam hadits tercantum nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in karena ketika orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri terhadap hadits yang dibacanya, bukan pendapat atau permahaman Salafush Sholeh.
Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits yang mereka baca.
Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka hanya dikenal sebagai ahli membaca hadits bukan dikenal berkompetensi sebagai ahli istidlal sebagaimana Imam Mujtahid Mutlak atau Mufti Mustaqil
Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh dan sekaligus fitnah terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Contoh mereka yang memfitnah atau dusta atas nama Rasulullah adalah mereka yang mengatakan sunnah Rasulullah menempelkan mata kaki ketika sholat berjamaa’ah akibat salah memahami hadits sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/24/menempelkan-mata-kaki/
Contoh lainnya mereka yang memfitnah atau dusta atas nama Rasulullah seolah-olah melarang umatnya istighfar lebih dari tiga kali ketika dzikir setelah shalat sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/07/25/lebih-dari-tiga-kali/
Ada pula mereka yang memfitnah atau dusta atas nama Rasulullah seolah-olah menyuruh umatnya “menggerak-gerakkan” telunjuk ketika tasyahud sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/07/14/menetapkan-dan-meniadakan/
Begitupula para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yakni mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sehingga ada yang terjerumus memfitnah Rasulullah melarang umatnya safar (bepergian atau perjalanan jauh) selain ke tiga masjid.
Berikut kutipan dari sebuah diskusi di jejaring sosial Facebook yang membuktikan bahwa mereka taqlid buta kepada pendapat (pemahaman) ulama Najed dari bani Tamim yakni Muhammad bin Abdul Wahhab yang berpendapat adanya tiga syarat dan dianggap sebagai ziarah syari’ atau ziarah yang sesuai yang disyariatkan dalam Islam sebagaimana yang terungkap dalam gambar di atas,
***** awal kutipan ******
Ada tiga syarat yang harus dpenuhi.
Tidak melakukan safar dalam rangka ziarah. Seperti Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Janganlah kalian berpergian jauh melakukan safar kecuali ke tiga masjid, masjidku ini, Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha. (HR Bukhari dan Muslim)
Tidak mengucapkan ucapan batil.
Tidak mengkhususkan waktu tertentu karena tidak ada dalilnya.
***** akhir kutipan *****
Dari ketiga syarat tersebut dapat terlihat jelas bahwa mereka meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yakni mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari meneruskan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri firqah Wahabi dan penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6 selengkapnya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2015/08/risalah-aswaja.pdf
******* awal kutipan *******
ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا، ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي، وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن القيم وعبد الهادي
Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
فحرموا ما أجمع المسلمون على ندبه، وهو السفر لزيارة قبر رسول الله صلى الله عليه وسلم، وخالفوهم فيما ذكر وغيره
Mereka mengharamkan hal-hal yang telah disepakati oleh orang-orang Islam sebagai sebuah kesunnahan, yaitu bepergian untuk menziarahi makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta berselisih dalam kesepakatan-kesepakatan lainnya.
قال ابن تيمية في فتاويه: وإذا سافر لاعتقاد أنها أي زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم طاعة، كان ذلك محرما بإجماع المسلمين، فصار التحريم من الأمر المقطوع به
Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Fatawa-nya: “Jika seseorang bepergian dengan berkeyakinan bahwasanya mengunjungi makam Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai sebuah bentuk ketaatan, maka perbuatan tersebut hukumnya haram dengan disepakati oleh umat Muslim. Maka keharaman tersebut termasuk perkara yang harus ditinggalkan.”
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي في رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الإعتقاد: وهذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا وخلفا، فكانوا وصمة وثلمة في المسلمين وعضوا فاسدا
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”
يجب قطعه حتى لا يعدى الباقي، فهو كالمجذوم يجب الفرار منهم، فإنهم فريق يلعبون بدينهم يذمون العلماء سلفا وخلفا
Maka wajib menanggalkan/menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
ويقولون: إنهم غير معصومين فلا ينبغي تقليدهم، لا فرق في ذلك بين الأحياء والأموات يطعنون عليهم ويلقون الشبهات، ويذرونها في عيون بصائر الضعفاء، لتعمى أبصارهم عن عيوب هؤلاء
Mereka menyatakan: “Para ulama bukanlah orang-orang yang terbebas dari dosa, maka tidaklah layak mengikuti mereka, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.” Mereka menyebarkan (pandangan/asumsi) ini pada orang-orang bodoh agar tidak dapat mendeteksi kebodohan mereka
ويقصدون بذلك إلقاء العداوة والبغضاء، بحلولهم الجو ويسعون في الأرض فسادا، يقولون على الله الكذب وهم يعلمون، يزعمون أنهم قائمون بالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، حاضون الناس على اتباع الشرع واجتناب البدع، والله يشهد إنهم لكاذبون.
Maksud dari propaganda ini adalah munculnya permusuhan dan kericuhan. Dengan penguasaan atas jaringan teknologi, mereka membuat kerusakan di muka bumi. Mereka menyebarkan kebohongan mengenai Allah, padahal mereka menyadari kebohongan tersebut. Menganggap dirinya melaksanakan amar makruf nahi munkar, merecoki masyarakat dengan mengajak untuk mengikuti ajaran-ajaran syariat dan menjauhi kebid’ahan. Padahal Allah Maha Mengetahui, bahwa mereka berbohong.
***** akhir kutipan *******
KH. Hasyim Asyari dalam fatwa di atas, mencontohkan mereka mengharamkan hal-hal yang telah disepakati oleh umat Islam sebagai sebuah kesunnahan, yaitu bepergian untuk menziarahi makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun makam kaum muslim yang telah meraih maqamat (kedudukan atau derajat) dekat dengan Allah seperti para Wali Allah (kekasih Allah) atau para Shiddiqin, para Syuhada dan Sholihin.
Para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah melarang melakukan perjalanan jauh (safar) untuk ziarah kubur karena pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir terhadap hadits-hadits seperti
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Tidak boleh diadakan perjalan jauh kecuali kepada tiga masjid; masjidku ini dan masjidil haram dan masjid Al Aqsha”. (HR Bukhari dan Muslim)
Dan dalam shahih Muslim dengan redaksi larangan sebagai berikut
“Janganlah kamu mengadakan perjalan jauh kecuali kepada tiga masjid; masjidku ini dan masjidil haram dan masjid Al Aqsha”.
Mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir dan membagi kalimat tersebut menjadi dua bagian yakni
“dilarang melakukan perjananan jauh”
kecuali
“hanya untuk tujuan tiga masjid tersebut”,
Lalu mereka mengambil kesimpulan bahwa ziarah kubur yang tidak termasuk dalam salah satu dari tiga masjid tersebut menjadi perbuatan haram.
Kedua hadits tersebut bukanlah larangan mengadakan perjalanan jauh (safar) secara umum termasuk larangan mengadakan perjalanan jauh untuk ziarah kubur.
Kalau hadits tersebut merupakan larangan mengadakan perjalanan jauh (safar) secara umum maka terlarang pula untuk mengadakan perjalanan jauh (safar) terkait dengan menuntut ilmu, berdagang, wisata, berobat, berkunjung kepada saudara (silaturahhim) dan keperluan lainnya.
Mereka mengatakan bahwa “Yang dikecualikan dalam hadits ini bukanlah masjid saja sebagaimana persangkaan kebanyakan orang, tetapi setiap tempat yang dijadikan taqarrub kepada Allah, baik berupa masjid, kuburan, atau selainnya”. Hal ini berdasarkan dalil yang diriwayatkan Abu Hurairah, ia berkata; “Aku berjumpa dengan Busyirah Ibnu Abi Basyrah Al-Ghifary, lalu dia bertanya kepadaku: “Dari mana kamu ? jawabku: “Dari bukit Thur”, Dia berkata; “Seandainya aku mengetahui sebelum kepergianmu ke sana, niscaya engkau tidak akan jadi pergi ke sana, aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Tidak boleh mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid” sebagaimana contoh yang dipublikasikan pada http://almanhaj.or.id/content/2926/slash/0/membongkar-kebohongan-terhadap-syaikhul-islam-ibnu-taimiyah-1/
Jadi mereka melarang berpergian jauh ke “tempat yang dijadikan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah” artinya mereka kalau berpergian ke tempat jauh hanyalah ke tempat menjauhkan diri dari Allah”
Hal serupa dengan alasan mereka untuk melarang umat Islam memperingati Maulid Nabi dengan alasan salah satunya adalah bahwa Maulid Nabi dilaksanakan sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
Sedangkan pekan memorial (mengenang) Muhammad bin Abdul Wahhab tidak dianggap sebagai suatu bentuk taqarrub kepada Allah sebagaimana yang tercantum dalam Majmu Fatwa al Aqidah dari Muhammad bin Shalih al Utsaimin dan termuat dalam gambar pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2015/12/mengenang-ulama-mereka.jpg
Jadi dapat kita simpulkan bahwa “pekan memorial (mengenang) Muhammad bin Abdul Wahhab” dilaksanakan oleh mereka bukan suatu bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah artinya tujuan mereka mengenang Muhammad bin Abdul Wahhab adalah untuk menjauhkan diri dari Allah.
Padahal seluruh sikap atau perbuatan seorang hamba Allah selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya adalah ibadah atau untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Azza wa Jalla
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS Adz Dzaariyaat 51 : 56)
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (QS al Hijr [15] : 99)
Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah seorang diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala. (HR Muslim 1674)
Semua itu termasuk ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya ataupun adat.
Mereka berkesimpulan sebagai larangan mengadakan perjalanan jauh (safar) secara umum berdasarkan potongan jawaban Abu Hurairah ra atas pertanyaan Busyirah Ibnu Abi Basyrah Al-Ghifary ra , “Dari mana kamu ? jawabku: “Dari bukit Thur”,
Padahal perjalanan ke bukit Thur adalah juga dalam rangka sholat di sana
Telah menceritakan kepada kami Hasyim berkata; telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid berkata; telah menceritakan kepadaku Syahr berkata; aku mendengar Abu Sa’id Al Khudri; bahwa telah disebut-disebut disisinya shalat di bukit Thur, maka iapu berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “tidak sepantasnya hewan tunggangan dipaksakan bersusah-payah mendatangi satu masjid hanya untuk mendirikan shalat di dalamnya kecuali ke Masjidil Haram, Masjidil Aqsho dan masjidku ini (Musnad Ahmad 11181)
Telah bercerita kepada kami Husain bin Muhammad telah bercerita kepada kami Syaiban dari Abdul Malik dari Umar bin Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam ia berkata: Abu Bashrah Al Ghifari menemui Abu Hurairah saat ia tiba dari bukit thur, bertanya Abu Bashrah Al Ghifari: Dari mana kamu? Abu Hurairah menjawab: dari bukit Thur; aku shalat di sana. Berkata Abu Bashrah Al Ghifari: andai aku menemuimu sebelum kau pergi meninggalkannya pasti kau tidak pergi, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Binatang tunggangan tidak boleh diikat kecuali ke tiga masjid; Masjidil Haram, masjidku, masjidil Aqsha. (Musnad Ahmad 22730)
Jelas dalam riwayat di atas bahwa Abu Hurairah ra mengadakan perjalanan untuk shalat di bukit Thur bukan untuk mengadakan perjalanan ziarah kubur dan larangan tersebut bukanlah perkara haram (dikerjakan dosa) namun terkait nilai keutamaannya semata..
Hadits-hadits tersebut hanya ingin menjelaskan, bahwa seseorang tidak usah bercapai-capai melakukan perjalanan jauh ke sebuah Masjid demi mencari kemuliaannya, kecuali menuju tiga masjid di atas. Nilai ibadah di semua Masjid selain ketiga masjid di atas adalah sama.
Kendati demikian, kita masih boleh mengunjungi sebuah Masjid yang berada jauh dari kita atau bahkan di luar negeri untuk mengenang sejarahnya dan dapat mendapatkan keberkahan di sana.
Ibnu Hajar al-Haitamy menjelaskan bahwa maksud hadits tersebut adalah tidak melakukan perjalanan ke masjid-masjid karena ta’dhim dan taqarrub dengan masjid tersebut kecuali tiga masjid yang tersebut dalam hadits. (Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 31)
Jadi, bukan berarti dilarang secara mutlaq semua perjalanan jauh (safar) selain kepada tiga masjid yang disebut dalam hadits tersebut.
Berikut riwayat-riwayat dalam matan (redaksi) yang jelas bahwa yang dilarang adalah sebatas perjalanan jauh (safar) ke masjid selain tiga masjid dan itupun hukumnya tidaklah haram.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Tidak sepatutnya seseorang yang berjalan melakukan perjalanan ke masjid untuk melakukan shalat dalamnya selain masjidil haram, masjid aqsha dan masjidku ini (H.R. Ahmad.)
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Muhammad dan aku telah mendengarnya dari Utsman bin Muhammad bin Abu Syaibah berkata; telah mencertiakan kepada kami Jarir dari Mughirah dari Ibrahim dari Sahm dari Qaza’ah dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Janganlah bersusah payah melakukan safar kecuali ke tiga masjid; masjidil haram, masjid Madinah dan masjidil aqsha.” Abu Sa’id berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengantar seorang laki-lai, lalu beliau bertanya: “Engkau mau kemana? ia menjawab, “Aku ingin pergi ke baitul maqdis”, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “sungguh, shalat di masjid ini lebih utama seribu kali shalat dari shalat di tempat lain kecuali masjidil haram” (Musnad Ahmad)
Telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata; telah menceritakan kepada kami Az Zuhri dari Sa’id dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “dibolehkan mengadakan perjalanan ketiga masjid berikut ini: Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi), dan masjidil Aqsho.” dan Sufyan berkata: dan boleh bersikeras dalam melakukan safar kecuali pada tiga masjid; Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi), dan masjidil Aqsho.” (Musnad Ahmad 6951)
Jadi hadits- hadits tersebut hanyalah melarang bersusah payah mengadakan perjalanan untuk mendatangi masjid terkait dengan nilai keutamaan semata dan hukumnya pun tidak sampai haram (jika dilanggar berdosa)
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, “Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba setiap hari sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan mengendarai kendaraan, sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari I/398 hadits 1174)
Dalam mengomentari hadits ini Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dengan sekian jalur yang berbeda menunjukkan akan diperbolehkannya menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual yang baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan bepergian ke selain tiga masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan Masjid Nabawi) tidaklah haram. (Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari III/69, Dar al-Fikr Beirut)
Bahkan dalam buku yang berjudul Raf’u Al Minarah fi Takhrij Al Ahadits At Tawashul wa Az Ziyarah karya Syeikh Mahmud Said Mamduh, seorang ulama hadits Mesir, di halaman 72, dari buku yang diterbitkan oleh Dar Imam At Tirmidzi, cet. 2, th. 1418 H itu, beliau menulis bahwa sebagian penerbit tidak amanah terhadap kitab Al Adzkar hingga sebagian isinya dihilangkan atau diganti. Yang ini terjadi kepada Al Adzkar yang diterbitkan Dar Al Huda Riyadh pada tahun 1409 H sebagaimana yang diinformasikan pada http://kitabkita.blogspot.co.id/2010/09/tentang-pemalsuan-al-adzkar.html
Isi yang dihilangkan adalah kisah Al Utbi, yang mengisahkan tentang seorang badui yang mendatangi makam Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam untuk minta ampun. Dan dalam mimpinya beliau berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang mengabarkan bahwa Allah telah mengampuni badui tersebut.
Sedangkan isi yang dirubah adalah tulisan Imam An Nawarwi yang artinya,
“Fasal tentang ziyarah makam Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam dan dzikir-dzikirnya: Ketahuilah, hendaklah setiap yang telah melaksanakan haji menziyarahi Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, sama saja, karena satu tujuan (dengan tempat itu) atau tidak. Sesungguhnya berziyarah kepada Rasulullah Sahallallahu Alaihi Wasallam adalah taqarrub yang paling penting…”
Namun ungkapan Imam An Nawawi ini diganti di halaman 295 dengan ungkapan,
“Fasal tentang ziyarah masjid Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam: Ketahuilah sesungguhnya mustahab bagi siapa yang menziyarahi masjid Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam agar memperbanyak shallawat kepada beliau….”
Semula Syeikh Mahmud menilai bahwa pamalsuan ini dilakukan oleh Syeikh Abdul Qadir Al Arnauth, selaku muhaqqiq kitab. Sehingga beliau menghubungi putra Syeikh Abdul Qadir, yang bernama Mahmud di Dubai. Sang putra menolak bahwa ayahnya lah yang melakukan pemalsuan.
Akhirnya Syeikh Mahmud mendapatkan pernyataan Syeikh Abdul Qadir yang ditulis dengan tangan sendiri, yang menyebutkan bahwa beliau berlepas diri dari perbuatan tersebut. Beliau mengatakan,
“Sesungguhnya kitab yang berada di tangan kita (Al Adzkar) Imam An Nawawi Rahimahullah telah dicetak dengan tahqiq saya di penerbitan Al Mallah Damaskus tahun 1391 H, bertepatan tahun 1971 H. Kemudian saya mentahqiqnya kembali, dan yang menerbitkannya adalah Dar Al Huda Riyadh, Al Ustadz Ahmad An Nuhas. Ia telah mengajukannya kepada Idarah Al Ammah li Syu’un Al Masahif wa Muraqabah Al Mathbu’at (Bagian Administrasi Umum untuk Urusan Mashaf-mushaf dan Buku-buku) yang berada di bawah Al Buhuts Al Ilmiyah wa Ad Dakwah wa Al Irsyad Riyadh (Badan Penelitian Ilmiyah, Dakwah dan Penyuluhan Riyadh).”
Setelah itu Syeikh Abdul Qadir menyebutkan bahwa seorang asatidz menemukan adanya penghilangan dan penggantian kalimat penulis, sebagaimana yang diterangkan di atas. Lalu beliau menulis,
“Dan perbuatan yang menimpa kitab ini bukan dari saya. Saya hamba yang faqir dan bukan dari pemilik Dar Al Huda, Al Ustadz Ahmad An Nuhas. Namun dari Hai’ah Al Muraqabah Al Muthbu’at (Badan Pengawasan Buku-buku). Pemilik Dar Al Huda dan muhaqqiq kitab tidak bertanggung jawab tentang hal ini. Yang bertanggung jawab atas hal ini adalah Hai’ah Muraqabah Al Mathbu’at.”
Beliau kemudian mengatakan,
“Tidak diragukan lagi, bahwa mengubah tulisan para penulis tidak diperbolehkan. Ini adalah amanah ilmiah. Muhaqqiq atau mudaqqiq membiarkannya apa adanya…”
Tulisan Syeikh Abdul Qadir yang dilangkapi tanda tangan ini tertulis tanggal 1 Rabiul Awwal 1413 H juga menjelaskan bahwa kitab tersebut telah tersebar di pasaran. Dan saat diketahui terjadi perubahan, kitab tersebut dicetak ulang dengan versi yang lengap dengan mengemabilkan kisah Al Utbi dan membiarkan ungkapan Imam An Nawawi. Namun, tidak ada keterangan dalam pernyataan ini bahwa kitab yang sudah dipalsukan ditarik dari pasaran.
Sebagai bukti otentik penulis blog tersebut menyertakan hasil scan pernyataan Syeikh Abdul Qadir tersebut.
https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2016/06/pernyataan-syeikh-abdul-qadir-al-arnauth-hal-377.jpg
https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2016/06/pernyataan-syeikh-abdul-qadir-al-arnauth-hal-378.jpg
https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2016/06/pernyataan-syeikh-abdul-qadir-al-arnauth-hal-379.jpg
Selain kisah Al Utbi atau ada yang menyebutnya Al Atabi, yang mengisahkan tentang seorang badui yang mendatangi makam Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam untuk minta ampun sempat hilang dari kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi sebagaimana yang dinformasikan di atas, kisah tawasul tersebut telah “dihilangkan” pula oleh tangan-tangan jahil dari kitab tafsir Ibnu Katsir terbitan akhir
Kita masih bisa mendapatkannya pada kitab Tafsir Ibnu Katsir , terbitan Sinar Baru Algensindo, th 2000, juz 5, hal 283-284. Silahkan periksa pada gambar di atas atau pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2011/09/ikjuz5p281_285.pdf
**** awal kutipan *****
Al-Atabi ra menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat kubur Nabi Shallallahu alaihi wasallam, datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan,
“Assalamu’alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah). Aku telah mendengar Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang‘ (QS An-Nisa [4]: 64),
Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku.”
Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut , yaitu: “Hai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.“
Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam., lalu beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya!”
****** akhir kutipan *****
Prof, DR Ali Jum’ah menjelasakan tentang (QS An-Nisa [4]: 64) dalam kitab berjudul ”Al Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqasyatu ahammi qadlayahum” telah diterbitkan kitab terjemahannya dengan judul ” Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ ” diterbitkan oleh penerbit Khatulistiwa Press beralamat Jl Datuk Ibrahim No. 19, Condet, Balekambang, Jakarta Timur. Telp 021 8098583. Website: http://www.khatulistiwapress.com/
Berikut kutipan penjelasan Prof, DR Ali Jum’ah.
***** awal kutipan *****
Adapun ayat ketiga ini (QS An-Nisa [4] : 64) berlaku secara umum (mutlak), tidak ada sesuatupun yang mengikatnya, baik dari nash maupun akal. Di sini tidak ada sesuatu makna yang mengikatnya dengan masa hidup Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dunia. Karena itu akan tetap ada hingga hari kiamat.
Di dalam Al Qur’an, yang menjadi barometer hukum adalah umumnya lafaz, bukan berdasarkan khususnya sebab. Oleh karena itu, barang siapa yang mengkhususkan ayat ini hanya ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masih hidup, maka wajib baginya untuk mendatangkan dalil yang menunjukkan hal itu.
Keumuman (kemutlakan) makna suatu ayat tidak membutuhkan dalil, karena ‘keumuman’ itu adalah asal. Sedangkan taqyid (mengikat ayat dengan keadaan tertentu) membutuhkan dalil yang menunjukkannya.
Ini adalah pemahaman ulama ahli tafsir, bahkan mereka yang sangat disiplin dengan atsar seperti Imam Ibnu Katsir. Dalam tafsirnya, setelah menyebutkan ayat di atas, Ibnu Katsir lalu mengomentarinya dengan berkata “Banyak ulama dalam kitab Asy Syaamil menyebutkan kisah yang sangat masyur ini”
***** akhir kutipan *****
Begitupula ulama-ulama terdahulu yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat seperti, Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan ayat ini (QS An-Nisa [4]: 64) menjadi petunjuk dianjurkan datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk minta ampun dosa kepada Allah di sisi Beliau dan Beliau minta ampun dosa umatnya. Dan ini tidak terputus dengan wafat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 12)
Imam Ibnu al-Hajj al-Abdari, ulama dari mazhab Maliki berkata,
***** awal kutipan *****
“Tawasul dengan beliau merupakan media yang akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan. Karena keberkahan dan keagungan syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam di sisi Allah itu tidak bisa disandingi oleh dosa apapun. Syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam lebih agung dibandingkan dengan semua dosa, maka hendaklah orang menziarahi (makam) nya bergembira.
Dan hendaklah orang tidak mau menziarahinya, mau kembali kepada Allah Ta’ala dengan tetap meminta syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Barangsiapa yang mempunyai keyakinan yang bertentangan dengan hal ini, maka ia adalah orang yang terhalang (dari syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam).
Apakah ia tidak pernah mendengar firman Allah yang berbunyi:
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk dita’ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. ( QS An Nisaa [4] : 64 )
Oleh karena itu, barang siapa yang mendatangi beliau, berdiri di depan pintu beliau, dan bertawassul dengan beliau, maka ia akan mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan pernah ingkar janji.
Allah Ta’ala telah berjanji untuk menerima tobat orang yang datang, berdiri di depan pintu beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) dan meminta ampunan kepada Tuhannya.
Hal ini sama sekali tidak diragukan lagi, kecuali oleh orang yang menyimpang dari agama dan durhaka kepada Allah dan RasulNya. “Kami berlindung diri kepada Allah dari halangan mendapatkan syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam” (Ibnu al Hajj, Al Madkhal, 1/260)
****** akhir kutipan ******
Imam an Nawawi, ulama dari kalangan Syafi’iyah, ketika menerangkan mengenai adab ziarah makam Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata “Kemudian ia (peziarah) kembali ke tempat awalnya (setelah bergerak satu hasta ke kanan untuk menyalami Abu Bakar dan satu hasta yang lain menyalami Umar) sambil menghadap ke arah wajah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Lalu ia bertawassul dari beliau kepada Allah. Sebaik-baik dalil dalam masalah ini adalah atsar yang diceritakan oleh Imam al Mawardi al Qadhi, Abu ath-Thayyib dan ulama lainnya (An Nawawi, Al Majmuu’, 8/256)
Sedangkan Imam Ibnu Qudamah dari kalangan mazhab Hanbali juga memberikan petunjuk di dalam adab ziarah ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, agar peziarah membaca ayat di atas, mengajak bicara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan memakai ayat tersebut dan meminta kepada beliau untuk dimintakan ampunan kepada Allah.
***** awal kutipan ******
Maka setelah peziarah membaca salam, doa dan shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam hendaknya ia berdoa,
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah berfirman, sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. ( QS An Nisaa [4] : 64 )
Aku datang kepadamu (Nabi shallallahu alaihi wasallam) sebagai orang yang meminta ampunan atas dosa-dosaku, dan sebagai orang yang meminta syafaat melaluimu kepada Tuhanku. Aku memohon kepadaMu , wahai Tuhanku, berilah ampunan kepadaku, sebagaimana Engkau berikan kepada orang yang menemui beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) ketika masih hidup.”
Setelah itu, peziarah berdoa untuk kedua orang tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh kaum muslimin
****** akhir kutipan *******
Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani menjelaskan bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut dan meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya serta meyakini Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai orang yang dijadikan tawassul
Berikut kutipan penjelasannya
****** awal kutipan *******
Tawassul dengan dzat pada dasarnya adalah tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya, yang telah disepakati merupakan hal yang diperbolehkan.
Seandainya orang yang menolak tawassul yang keras kepala melihat persoalan dengan mata hati niscaya persoalan menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah yang menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik dan sesat, pun hilang.
Akan saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri yang dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.
Saya katakan : Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah SWT, yang berjihad di jalan Allah. Atau karena ia meyakini bahwa Allah SWT mencintai orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana firman Allah : يحبّونهم ويحبّونه atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.
Jika anda mencermati persoalan ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya dan akan mendapat pahala karenanya.
Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintai-Mu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridlo terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan seperti ini dan itu.
Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemaha-tahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, itu sama dengan orang yang mengatakan : Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan rasa cintaku kepada Nabi-Mu. Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
****** akhir kutipan ******
Jadi berdoa kepada Allah diawali bertawassul dengan Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah) yang telah wafat pada hakikatnya bertawassul dengan amal kebaikan yakni rasa cinta kepada Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah)
Contoh berdoa kepada Allah untuk kesembuhan, bertawasul dengan bertabarruk atau berperantara dengan barokah menyebut nama orang yang dicintai dari para kekasih Allah (Wali Allah)
Dari Al Haitsam ibn Khanas, ia berkata, “Saya berada bersama Abdullah Ibn Umar. Lalu kaki Abdullah mengalami kram. “Sebutlah orang yang paling kamu cintai !”, saran seorang lelaki kepadanya. “Yaa Muhammad,” ucap Abdullah. Maka seolah-olah ia terlepas dari ikatan.
Dari Mujahid, ia berkata, “Seorang lelaki yang berada dekat Ibnu Abbas mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan nama orang yang paling kamu cintai,” kata Ibnu Abbas kepadanya. Lalu lelaki itu menyebut nama Muhammad dan akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada kakinya.
Umat Islam setiap hari selalu bertawasul dengan Rasulullah yang sudah wafat dengan mengucapkan “ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH,”
Sejak dahulu kala, para Sahabat bertawasul dengan penduduk langit yakni para malaikat dan kaum muslim yang meraih manzilah (maqom/derajat) disisiNya yakni orang-orang shalih baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup
Pada awalnya para Sahabat bertawasul dengan ucapan
ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN
(Semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan)
Namun kemudian Rasulullah menyederhanakan ucapan tawasulnya dengan ucapan
“ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN”
(Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih)
Kemudian Rasulullah menjelaskan
“Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi“
Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A’masy dia berkata; telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Abdullah dia berkata; Ketika kami membaca shalawat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami mengucapkan: ASSALAAMU ‘ALALLAHI QABLA ‘IBAADIHI, ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN (Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Allah, semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selesai melaksanakan shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan bersabda: Sesungguhnya Allah adalah As salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalat (tahiyyat), hendaknya mengucapkan; AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHALAWAATU WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN, (penghormatan, rahmat dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi. Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih). Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, lalu melanjutkan; ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya). Setelah itu ia boleh memilih do’a yang ia kehendaki. (HR Bukhari 5762)
Oleh karenanya berdoa setelah sholat lebih mustajab karena sholat berisikan pujian kepada Allah, bertawasul dengan bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam dan tawasul dengan hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi.
Jadi apa yang mereka anggap umat Islam menyembah kuburan, pada umumnya adalah terhadap umat Islam yang di sisi kuburan berdoa kepada Allah diawali bertawassul dengan Rasulullah, para wali Allah yang sudah wafat atau bertawassul dengan amal kebaikan seperti hadiah / sedekah sholawat, bacaan Al Qur’an dan lainnya sebelum doa inti yang dipanjatkan kepada Allah untuk ahli kubur maupun kepentingan sendiri sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/07/27/dianggap-sembah-kuburan/
Dalil dari hadits tentang bertawasul dengan amal kebaikan adalah seperti dalam kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua. Mereka bertawasul dengan amal kebaikan yang mereka lakukan berupa berbuat baik kepada kedua orangtua, meninggalkan perbuatan zina, dan menunaikan hak orang lain, maka Allah mengabulkan doa mereka sehingga mereka dapat keluar dari goa karena sebab tawasul dalam doa yang mereka lakukan. Ini menunjukkan diperbolehkannya sesorang bertawasul dengan amal kebaikan
Pada kenyataanya mereka yang merasa atau mengaku-ngaku mengikuti Rasulullah namun pada hakikatnya mereka menentang sabda Rasulullah bahwa amal kebaikan atau sedekah tidak selalu dalam bentuk harta sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/27/penentang-hadits-sedekah/
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah, bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah seorang diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala. (HR Muslim 1674)
Begitupula apa yang mereka anggap umat Islam menyembah kuburan dan dijuluki oleh mereka dengan istilah kuburiyyun, mereka mencela dengan celaan seperti “curhat dengan kuburan”, “berdialog dengan tengkorak” adalah terhadap umat Islam yang sedang ziarah kubur dalam rangka silaturahmi dan berbicara dengan ahli kubur.
Jelaslah mereka yang merasa atau mengaku-ngaku mengikuti Salafush Sholeh namun kenyataannya tidak tampak kesholehan pada perilaku mereka.
Mengapa mereka dikatakan sekedar mengaku-ngaku mengikuti Salafush Sholeh karena para Sahabat jika belum tahu maka mereka tidak akan mencela Rasulullah dengan celaan seperti “berdialog dengan tengkorak” namun bertanya dengan pertanyaan seperti, “Wahai Rasulullah, bagaimana mereka mendengar dan bagaimana mereka menjawab, mereka telah menjadi bangkai?”
Berikut contoh riwayat selengkapnya
Dari Tsabit Al Bunani dari Anas bin Malik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meninggalkan jenazah perang Badar tiga kali, setelah itu beliau mendatangi mereka, beliau berdiri dan memanggil-manggil mereka, beliau bersabda: Hai Abu Jahal bin Hisyam, hai Umaiyah bin Khalaf, hai Utbah bin Rabi’ah, hai Syaibah bin Rabi’ah, bukankah kalian telah menemukan kebenaran janji Rabb kalian, sesungguhnya aku telah menemukan kebenaran janji Rabbku yang dijanjikan padaku. Umar mendengar ucapan nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, ia berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana mereka mendengar dan bagaimana mereka menjawab, mereka telah menjadi bangkai? Beliau bersabda: Demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNya, kalian tidak lebih mendengar ucapanku melebihi mereka, hanya saja mereka tidak bisa menjawab. (HR Muslim 5121)
Jadi mereka yang mencela umat Islam yang bersilaturahmi dengan ahli kubur akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sehingga terjerumus durhaka kepada Rasulullah karena secara tidak langsung mereka mencela Rasulullah yang berkomunikasi dengan ahli kubur sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/30/dengan-tengkorak/
Rasulullah bersabda, “Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).
Rasulullah bersabda, “Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid).
Begitupula dalam susunan doa setelah sholat, sebelum doa inti kita panjatkan kepada Allah Ta’ala, kita bertawasul dengan amal kebaikan yakni memohonkan ampunan kepada kaum muslim yang telah wafat.
“Astaghfirullahalazim li wali waa lidaiya wali jami il muslimina wal muslimat wal mukminina wal mukminat al ahya immin hum wal amwat”
“Ampunilah aku ya Allah yang Maha Besar, kedua ibu bapaku, semua muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat yang masih hidup dan yang telah mati.”
Sebaliknya penduduk langit mendoakan penduduk dunia yang menjalin tali silaturahmi dengan mereka
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).
Jadi jika seseorang melakukan ziarah kubur dalam rangka silaturahmi dan berbicara hajatnya dengan ahli kubur bukan berarti ahli kubur yang mengabulkan atau mewujudkan hajat pemohon melainkan ahli kubur dengan maqamnya (manzilah, kedudukan, derajat) disisi Allah mendoakan hajat pemohon kepada Allah Azza wa Jalla sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/08/12/doa-wali-allah/
Begitupula kita dianjurkan berdoa kepada Allah diawali dengan bertawassul dengan sholawat bukan berarti Rasulullah membutuhkan sholawat dari umatnya namun kita mendapatkan balasan salam dari Rasulullah dengan maqamnya (manzilah, kedudukan, derajat) di sisi Allah.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku kepadaku sehingga aku membalas salam .” HR. An-Nasa’i Al-Hakim 2/421 )
Sunnah Rasulullah agar doa inti yang kita panjatkan kepada Allah lebih mustajab maka kita disunnahkan diawali bertawasul dengan amal kebaikan berupa memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertawasul dengan amal kebaikan berupa sholawat (menghadiahkan doa selamat bagi Rasulullah) sebelum doa inti kita panjatkan kepada Allah Azza wa Jalla
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah doa itu kepada pemohonnya“.
Begitupula Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 sangat mengandalkan ungkapan Imam Malik ra untuk melarang menziarahi Rasulullah.
Ibnu Taimiyah berkata
بل قد كره مالك وغيره أن يقال: زرت قبر النبي صلى الله عليه وسلم، ومالك أعلم الناس بهذا الباب، فإن أهل المدينة أعلم أهل الأمصار بذلك، ومالك إمام أهل المدينة. فلو كان في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: فيها لفظ «زيارة قبره» لم يخف ذلك على علماء أهل مدينته وجيران قبره ـ بأبي هو وأمي .
“… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata, ‘Aku menziarahi kubur Nabi shallallahu alaihi wasallam’ sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang di dalamnya terdapat lafaz ‘menziarahi kuburnya’, niscaya tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau –demi bapak dan ibuku .“
Imam Malik ra dengan perkataannya “aku membenci kata-kata, “Aku menziarahi kubur Nabi Shallallahu alaihi wasallam’ “ tidak bermaksud mengingkari sunnah Rasulullah tentang ziarah kubur.
Imam Malik adalah orang yang sangat menghormati dan memuliakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sampai-sampai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, “Aku malu kepada Allah Ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. dengan kaki hewan (kendaraan-red)” (lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H., Darul Fikr, Beirut, juz 3, hal. 180).
Rasa malu Imam Malik selain menghormati dan memuliakan Rasulullah, Beliau meyakini bahwa Rasulullah dan kaum muslim yang telah meraih maqamat (kedudukan atau derajat) dekat dengan Allah seperti para Wali Allah (kekasih Allah) atau para Shiddiqin maupun Sholihin walaupun mereka telah wafat, tetap hidup seperti para syuhada
Oleh karena penghormatan dan keyakinannya tersebut Imam Malik membenci perkataan “menziarahi kubur Rasulullah” dan menyukai mengatakannya seperti dengan “mendatangi Rasullah”
Jadi adalah fitnah bagi orang-orang yang menyandarkan perkataan kepada Imam Malik bahwa Beliau membenci atau melarang ziarah kubur Rasulullah
Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab Fathul-Bari juz 3 hal. 66, menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci ucapan “aku menziarahi kubur Nabi shallallahu alaihi wasallam.” adalah karena semata-mata dari sisi adab, bukan karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq (ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah kubur Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari’atannya jelas, dan hal itu merupakan ijma’ para ulama
Ada pula para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah melarang umat Islam “mendatangi Rasulullah” atau membiasakan ziarah ke kubur Rasulullah sebagaimana contoh tulisan pada http://www.muslimedianews.com/2015/03/jangan-jadikan-kuburanku-sebagai-ied.html berdalilkan riwayat berikut
“Dari ‘Ali bin Husain bahwasanya ia melihat seorang laki-laki mendatangi sebuah celah dekat kuburan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian ia masuk ke dalamnya dan berdoa. Maka Ali bin Husain berkata: ‘Maukah anda aku sampaikan hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ‘Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bersholawatlah kepadaku karena sholawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’
Riwayat dari Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib tersebut memuat tiga pesan yakbu
1. Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied
Al-Qadli bin ‘Iyyadl dan Ibnu Hajar mengatakan, sebagaimana dikutip oleh al-Khafaji didalam kitab Nasimur Riyadl (3/502), maksudnya adalah janganlah kalian menjadikannya sebagai ‘Ied didalam setahun hanya sekali, tetapi berbanyaklah menziarahinya (mendatanginya)
Syaikh Zakiyuddin al-Mundziri berkata: kemungkinan pengertian yang dikehendaki dari hal tersebut adalah dorongan memperbanyak menziarahi Nabi shallallahu alaihi wasallam, tidak melalaikan hingga tidak diziarahi kecuali pada sebagian waktu seperti hari raya (‘Ied), dimana hari raya tidak datang didalam 1 tahun kecuali dua kali.
2. jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan
Kata kuburan dalam pesan tersebut tidak terkait dengan kata kuburan dalam makna dzahir yakni tempat menguburkan jenazah seseorang,
Kata kuburan mempunyai makna kiasan (makna majaz) yang maknanya sepi. Sehingga makna hadits itu adalah “janganlah rumah itu sepi dari membaca Al Qur’an, dzikrullah ataupun sholat sunnah”
Jadi kalau kita punya rumah, jangan diibaratkan kubur yang sunyi, sepi, tanpa isi. Jadikanlah rumah itu seperti layaknya rumah bagi orang yang masih hidup. Isilah dengan bacaan kitab suci Al Quranul Karim, Dzikir kepada Allah , membaca sholawat Nabi, sholat Sunnah, dan pekerjaan yang bermanfaat.
3. Bersholawatlah kepadaku karena sholawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada
Pesan ini yang menjelaskan bahwa tidak perlu bersusah payah memasuki celah dekat kuburan Rasulullah karena bertawassul dengan Rasulullah seperti bersholawat kepada Rasulullah dapat dilakukan di tempat manapun.
Jadi cara mendekati Rasulullah adalah dengan sering “mendatangi” Beliau yakni selain dengan mendatangi (kuburan) Rasulullah adalah dengan sering bertawasul dengan Rasulullah yakni bersholawat kepadanya sehingga kita dikenal oleh Rasulullah.
Al Habib Umar bin Hafidz menasehatkan bahwa “tanda kerinduan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang sungguh-sungguh di dalam diri seseorang akan menjadikannya benar-benar mengikuti Rasulullah dan banyak bersholawat padanya”
Dari Ibnu Mas’ud ra. bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : ”Orang yang paling dekat denganku nanti pada hari kiamat, adalah mereka yang paling banyak membaca shalawat untukku” (HR. Turmudzi)
Hujjatul Islam Al Ghazali meriwayatkan
***** awal kutipan *****
Ada seorang laki-laki yang lupa membaca shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Lalu pada suatu malam ia bermimpi melihat Rasulullah tidak mau menoleh kepadanya, dia bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau marah kepadaku?”
Beliau menjawab, “Tidak.”
Dia bertanya lagi, “Lalu sebab apakah engkau tidak memandang kepadaku?”
Beliau menjawab, “Karena aku tidak mengenalmu.”
Laki-laki itu bertanya, “Bagaimana engkau tidak mengenaliku, sedang aku adalah salah satu dari umatmu? Para ulama meriwayatkan bahwa sesungguhnya engkau lebih mengenali umatmu dibanding seorang ibu mengenali anaknya?”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Mereka benar, tetapi engkau tidak pernah mengingat aku dengan shalawat. Padahal kenalku dengan umatku adalah menurut kadar bacaan shalawat mereka kepadaku.”
Terbangunlah laki-laki itu dan mengharuskan dirinya untuk bershalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, setiap hari 100 kali.
Dia selalu melakukan itu, hingga dia melihat Rasululah lagi dalam mimpinya.
Dalam mimpinya tersebut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sekarang aku mengenalmu dan akan memberi syafa’at kepadamu.” Yakni karena orang tersebut telah menjadi orang yang cinta kepada Rasulullah dengan memperbanyak shalawat kepada Beliau…
***** akhir kutipan *****
Jadi wujud dari mencintai Rasulullah sehingga dikenal oleh Rasulullah adalah dengan memperbanyak shalawat kepada Beliau
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])
Umat Islam boleh mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah dengan sholawat yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah selama matan (redaksi) sholawat tersebut tidak melanggar laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika resepsi pernikahan, adalah hal yang umum diisi dengan hiburan berupa melantunkan syair pujian bagi Rasulullah yang diiringi alat musik seperti rebana.
Telah menceritakan kepada kami Musaddad Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al Mufadldlal Telah menceritakan kepada kami Khalid bin Dzakwan ia berkata; Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afran berkata; suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan masuk saat aku membangun mahligai rumah tangga (menikah). Lalu beliau duduk di atas kasurku, sebagaimana posisi dudukmu dariku. Kemudian para budak-budak wanita pun memukul rebana dan mengenang keistimewaan-keistimewaan prajurit yang gugur pada saat perang Badar. Lalu salah seorang dari mereka pun berkata, “Dan di tengah-tengah kita ada seorang Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.” Maka beliau bersabda: “Tinggalkanlah ungkapan ini, dan katakanlah apa yang ingin kamu katakan.” (HR Bukhari 4750)
Dalam riwayat di atas , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanya mengkoreksi syair yang berbunyi “Dan di tengah-tengah kita ada seorang Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari” karena Beliau mengetahui sebatas apa yang diwahyukanNya sehingga Beliau memerintahkan untuk meninggalkan syair atau ungkapan tersebut saja dan membolehkan mengungkapkan kecintaan kita kepada Rasulullah dengan ungkapan yang lain yang tidak menyalahi laranganNya atau yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana mana anjuran nya dalam riwayat di atas dengan sabdaNya “dan katakanlah apa yang ingin kamu katakan.”
Salah satu contoh shalawat yang mengandung panggilan kesayangan Allah kepada Rasulullah adalah sholawat Badar, karya ulama keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Kyai ‘Ali Manshur, cucu Kyai Haji Muhammad Shiddiq , anak saudara / keponakan dari Kiyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq bin ‘Abdullah bin Saleh bin Asy`ari bin Muhammad Adzro`i bin Yusuf bin Sayyid ‘Abdur Rahman (Mbah Sambu) bin Sayyid Muhammad Hasyim bin Sayyid ‘Abdur Rahman BaSyaiban bin Sayyid ‘Abdullah bin Sayyid ‘Umar bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Abu Bakar BaSyaiban bin Sayyid Muhammad AsadUllah bin Sayyid Hasan at-Turabi bin Sayyid ‘Ali bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad Ba ‘Alawi al-Husaini sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/02/sholawat-badar/
Sholawat Badar berisikan tawassul dengan nama Allah, dengan junjungan Nabi shallallahu alaihi wasallam serta para mujahidin teristimewanya para pejuang Badar.
Shalatullah salamullah, ‘ala Thaha Rasulillah
Shalatullah salamullah, ‘ala Yasin Habibillah
Semoga shalawat dan salam selalu kepada Thaaha, Rasulullah
Semoga shalawat dan salam selalu kepada Yasin, Rasulullah
(Thaha dan Yaasiin adalah panggilan / gelar untuk Rasulullah)
Surah Yasin adalah surah yang menempati urutan ke 36 dalam mushaf Al-Qur’an. Nama ini diambil dari ayat permulaan surah ini yang terdiri dari huruf singkatan (muqaththa’ah) ya dan sin.
Ya adalah huruf untuk memanggil (nidaa) artinya wahai dan sin adalah singkatan dari kata insan artinya manusia, maksudnya adalah manusia sempurna.
Manusia sempurna yang dituju oleh huruf muqaththa’ah ini adalah Sayyidina Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam karena Beliaulah seorang nabi yang telah menerirma wahyu Al-Qur’an, kitab suci Allah yang sempurna, sehingga seluruh kehidupan beliau berada di atas jalan yang lurus benar
Hadits riwayat Imam Dailami
ذكر الأنبياء من العبادة وذكر الصالحين كفارة، وذكر الموت صدقة، وذكر القبر يقربكم إلى الجنة. [رواه الديلمي] اهـ الجامع الصغير : 158
Artinya :
“Menyebut-nyebut para Nabi itu termasuk ibadah, menyebut-nyebut para shalihin itu bisa menghapus dosa, mengingat kematian itu pahalanya seperti bersedekah dan mengingat alam kubur itu bisa mendekatkan kamu dari surga”. (HR. Dailami)
Adz Dzahabi (w 748 H) muridnya Ibnu Taimiyyah (w 728H) dalam nasehat kepada gurunya sendiri mengungkapkan, Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang shaleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang shaleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah sebagaimana informasi yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-ibnu-taimiyyah.pdf
Begitupula para ulama yang sholeh kelak akan memberikan syafa’at jika kita menyambung tali silaturahmi termasuk dengan menziarahi mereka atau menghadiahkan bacaaan Al Fatihah sehingga mereka mengenal kita.
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Kamu akan bersama orang yang kamu cintai (HR Bukhari dan Muslim)
8 Jenis Syafaat Di Padang Mahsyar Kelak
1. Al-Quran
Bacalah al Quran , sesungguhnya pada hari kiamat nanti al Quran akan datang sebagai pembawa syafaat kepada yang membacanya (HR Muslim)
2. Puasa
Puasa dan al-Quran akan memberi syafaat kepada seseorang hamba pada hari kiamat. (Hadis riwayat Imam Ahmad)
3. Malaikat
Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah (Surah Al-Anbiya: 28)
4. Nabi Muhammad
Sesungguhnya syafaatku diperuntukkan buat umatku yang berbuat dosa besar. (HR. Tirmidzi)
5. Para Syuhada
Orang yang mati syahid itu dapat memberikan syafaat kepada 70 orang di kalangan keluarganya. (HR Abu Darda)
6. Ulama
Dari Utsman bin Affan r.a, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Di hari kiamat, yang memberi syafaat tiga golongan, iaitu para Nabi, kemudian ulama, kemudian syuhada” (H.R. Ibnu Majah)
7. Para Hafiz Al-Quran
Barangsiapa membaca Al Quran dan mengamalkannya, menghalalkannya yang halal dan mengharamkan yang haram maka Allah memasukkannya ke dalam syurga dan dia boleh memberi syafaat 10 orang keluarganya yang sudah pasti masuk neraka. (Hadis Riwayat Tarmizi)
8. Syafaat kecil termasuk daripada para sholihin dan shadiqqin serta anak yang meninggal dunia sebelum ditaklifkan.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar