Orang-orang yang mewajibkan berjenggot dan melarang cukur jenggot karena mereka keliru memahami sabda Rasulullah yakni “Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku”
Orang-orang pada zaman NOW (sekarang) yang mewajibkan berjenggot dan melarang cukur jenggot karena mereka keliru memahami sabda Rasulullah,
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku”
Sabda Rasulullah tersebut justru untuk MEMPERINGATKAN para Sahabat agar tidak terjerumus BID’AH dalam URUSAN AGAMA yakni mereka MENGANGGAP BURUK sesuatu sehingga mereka MELARANG (MENGHARAMKAN) yang TIDAK DILARANG (DIHARAMKAN) oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah atau SEBALIKNYA mereka MENGANGGAP BAIK sesuatu sehingga mereka MEWAJIBKAN yang TIDAK DIWAJIBKAN oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah.
Dalam riwayatkan tersebut dicontohkan
Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan (mewajjbkan) melaksanakan shalat malam selama-lamanya.” (dan melarang tidur)
Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, maka sungguh, aku akan (mewajibkan) berpuasa dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka (melarang berbuka).”
Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.” (melarang menikah)
Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya, “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga yang paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku, maka ia bukanlah dari golonganku.” (HR Bukhari 4675 atau Fathul Bari 5063)
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/bukhari/4675
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang (mengharamkan) yang sebenarnya tidak dilarangNya (diharamkanNya) atau sebaliknya mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31)
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Oleh karenanya pelaku BID’AH dalam URUSAN AGAMA lebih dicintai iblis daripada pelaku maksiat karena mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan selain Allah yakni mereka menganggap buruk sesuatu sehingga mereka MELARANG (mengharamkan) yang TIDAK DILARANG (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah atau sebaliknya mereka menganggap baik sesuatu sehingga mereka MEWAJIBKAN yang TIDAK DIWAJIBKAN oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah.
Oleh karena para pelaku BID’AH dalam URUSAN AGAMA tidak menyadarinya sehingga mereka sulit bertaubat.
Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang-orang yang melakukan BID’AH dalam URUSAN AGAMA.
Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 )
Begitupula pada zaman NOW (sekarang) dapat ditemukan orang-orang yang gemar menuduh dan teriak bid’ah, bid’ah, bid’ah NAMUN pada kenyataanya mereka justru terjerumus BID’AH dalam URUSAN AGAMA.
Pelaku BID’AH dalam URUSAN AGAMA adalah mereka yang menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah yakni mereka MENGANGGAP BURUK sesuatu sehingga mereka MELARANG (MENGHARAMKAN) yang TIDAK DILARANG (DIHARAMKAN) oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah atau SEBALIKNYA mereka MENGANGGAP BAIK sesuatu sehingga mereka MEWAJIBKAN yang TIDAK DIWAJIBKAN oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah.
Rasulullah bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru (BID”AH) dalam URUSAN AGAMA yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hal yang perlu diingat bahwa perkara agama atau URUSAN AGAMA yang meliputi perkara larangan yakni jika dilanggar berdosa maupun perkara kewajiban yakni jika ditinggalkan berdosa BERASAL dari Allah Azza wa Jalla BUKAN menurut akal pikiran manusia.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).
Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.
Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.
Pelaku BID’AH dalam URUSAN AGAMA adalah mereka yang MENGANGGAP Allah Ta’ala LUPA dan menuduh atau memfitnah Rasulullah menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Jikalau mereka KONSISTEN mewajibkan SUNNAH Rasulullah ZAMAN DAHULU untuk BERBEDA dengan AHLI KITAB (Yahudi dan Nasrani) yakni “Potonglah kumis dan panjangkan jenggot” maka SEHARUSNYA mereka juga mewajibkan SUNNAH Rasulullah untuk BERBEDA atau TIDAK MENYERUPAI ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang menggunakan sirwal atau celana panjang
Para Sahabat biasa menggunakan idzar (sarung) sedangkan ciri khas ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani menggunakan sirwal atau celana panjang.
Telah bercerita kepada kami Zaid bin Yahya telah bercerita kepada kami ‘Abdullah bin Al ‘Alaa` bin Zabr telah bercerita kepadaku Al Qasim, ia berkata; Saya mendengar Abu Umamah berkata;
قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يَتَسَرْوَلَونَ وَلَا يَأْتَزِرُونَ
Aku berkata; Wahai Rasulullah, ahli kitab mengenakan celana panjang (sirwal) dan tidak memakai sarung (izar) .
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَرْوَلُوا وَائْتَزِرُوا وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihiWasallam bersabda; “Pakailah celana panjang (sirwal) dan sarung (izar) dan BERBEDALAH dengan ahli kitab. (Musnad Ahmad 21252)
Jadi pakaian adat pria yang menggunakan celana panjang dililit sarung ternyata disunnahkan oleh Rasulullah untuk BERBEDA dengan ahli kitab.
Sedangkan Rasulullah lebih menyukai gamis yakni pakaian hanya satu bagian sehingga mengenakannya pun hanya sekali dan memakai gamis di sini tentu lebih mudah dibanding menggunakan pakaian dua bagian, pakaian atas (rida’) dan pakaian bawah (izar/sarung)
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ أَحَبَّ الثِّيَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم – الْقَمِيصُ
“Pakaian yg paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu gamis.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Jadi sarung (izar) yang biasa dikenakan oleh umat Islam TIDAK TERMASUK anti sunnah atau meninggalkan (tarku) sunnah atau khilafaul aula atau makruh tanzih namun termasuk perkara sunnah (mandub) karena mengikuti perintah Rasulullah untuk berbeda dengan ahli kitab.
Pada kenyataannya Rasulullah tidak pernah “menyunnahkan” untuk menggunakan sirwal atau celana panjang bagi laki-laki.
Namun boleh menggunakan sirwal atau celana panjang bagi laki-laki karena tidak ada perintah khusus dari Rasulullah tentang model pakaian.
Begitupula mengenai pakaian ini, Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al Qur’an yang artinya, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (al-A’raaf : 31)
Allah Ta’ala menjadikan konteks ayat ini umum bagi seluruh anak Adam, baik laki-laki maupun perempuan, muslim ataupun non muslim. Dan Allah memerintahkan mereka untuk mengenakan pakaian yang indah. Maksudnya, mengenakan pakaian yang bisa menutupui aurat, dan pakaian yang indah di setiap tempat berkumpulnya anak Adam as, baik di masjid, sekolah, universitas, tempat bekerja dan tempat-tempat lainnya.
Ayat di atas menetapkan sebuah asal hukum untuk perbaikan agama dan masyarakat. Menurut kalangan ahli tafsir, sebab turunya ayat itu berkaitan dengan kebiasaan orang-orang Arab dulul yang berthawaf mengelilingi Ka’bah dalam keadaan tidak memakai pakaian (telanjang), baik laki-laki maupun perempuan. Perbuatan telanjang seperti ini banyak terjadi pada bangsa-bangsa lain. Bahkan sampai hari ini pun masih kita jumpai di sebagian negara yang belum mendapat cahaya Islam.
Ayat di atas tidak menentukan jenis dan bentuk pakaian yang harus dipakai, karena Islam mempunyai syariat yang relevan di setiap masa dan tempat.
Jenis dan bentuk pakaian yang sedang ngetrend di tengah masyarakat selama masih berada dalam lingkaran pakaian syar’i, yaitu tidak terlalu ketat, tidak terlalu tipis, tidak membuat aurat kelihatan, dan tidak dipakai untuk bergaya maka hukumnya boleh.
Jadi perintah umum dalam ayat di atas adalah, hendaknya seseorang mengenakan pakaian yang indah setiap bertemu dengan orang lain, sesuai dengan kemampuannya.
Selain itu, hendaknya selaras dengan kebiasaan di masanya dan adat istiadat kaumnya karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam justru membenci pakaian SYUHROH yakni pakaian yang TAMPIL BEDA atau tidak biasa dikenakan di tengah masyarakat.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ
“Barangsiapa memakai pakaian SYUHROH (TAMPIL BEDA) niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Abu Walid al Baji berkata “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membenci SYUHROH yakni pakaian yang tidak biasa dikenakan (di masyarakat) dan pakaian yang dikenakan karena ingin mencari popularitas semata. Seperti halnya Beliau membenci pakaian yang bisa membuat pemiliknya menjadi populer karena keindahannya (al Baji, al Muntaqaa Syarkhil Muwaththa 7/219)
Imam asy Syaukani menjelaskan bahwa pakaian yang digunakan dengan penuh kesombongan untuk mencari popularitas (syuhroh) di tengah masyarakat, maka tidak ada bedanya apakah pakaian itu bagus (mewah) ataupun buruk (murah) . Karena yang menjadi standarad adalah pakaian itu sesuai atau berbeda dengan yang umum dikenakan di masyarakat itu. Sebab, keharaman syuhroh, berputar pada illat (sebab) mengenakannya penuh kesombongan untuk mencari popularitas. Yang menjadi standard hukum adalah maksud dari perbuatan, sekalipun maksud itu secara nyata tidak sesuai dengan kenyataan yang ada (asy Syaukani , Nailul ‘Athaar 2/111)
Jadi jelaslah bahwa yang menjadi illat (sebab) masuk neraka bukanlah karena pakaian bagus (mewah), pakaian buruk (murah) ataupun pakaian di bawah mata kaki namun karena dikenakannya penuh dengan kesombongan.
Begitupula Rasulullah menjelaskan dalam sabdanya bahwa illat (sebab) masuk neraka adalah karena sombong bukan isbalnya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
الْإِسْبَالُ فِي الْإِزَارِ وَالْقَمِيصِ وَالْعِمَامَةِ مَنْ جَرَّ مِنْهَا شَيْئًا خُيَلَاءَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
lsbal (memanjangkan kain) itu berlaku pada kain sarung, gamis dan surban, maka barangsiapa memanjangkan salah satu darinya karena SOMBONG Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (Sunan Abu Daud 3571, Sunan Ibnu Majah 3566)
Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan,
awal kutipan *
Adapun hadits-hadits yang mutlaq bahwa semua pakaian yang melewati mata kaki di neraka, maksudnya adalah bila dilakukan oleh orang yang sombong. Karena dia mutlaq, maka wajib dibawa kepada muqayyad, wallahu a’lam.
Dan Khuyala’ adalah kibir (sombong). Dan pembatasan adanya sifat sombong mengkhususkan keumuman musbil (orang yang melakukan isbal) pada kainnya, bahwasanya yang dimaksud dengan ancaman dosa hanya berlaku kepada orang yang memanjangkannya karena sombong. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam telah memberikan rukhshah (keringanan) kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq ra seraya bersabda, “Kamu bukan bagian dari mereka.” Hal itu karena panjangnya kain Abu Bakar bukan karena sombong.
akhir kutipan
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, Di dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa isbal izar (sarung) karena sombong termasuk dosa besar. Sedangkan isbal bukan karena sombong meski kalau hadits dipahami dengan makna dzahir mengharamkannya juga, namun hadits-hadits ini menunjukkan adalah taqyid (syarat ketentuan) karena sombong. Sehingga penetapan dosa yang terkait dengan isbal tergantung kepada masalah ini. Maka tidak diharamkan memanjangkan kain atau isbal asalkan selamat dari sikap sombong. (Lihat Fathul Bari, hadits 5345)
Begitupula pakaian cingkrang yang dikenakan penuh kesombonganpun tidak akan masuk surga yakni akan “mampir” ke neraka.
Rasulullah shallallahu alahi wasallam
bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan”
KESIMPULANNYA berjalan di muka bumi ini dengan berpakaian apapun yang dikenakan penuh kesombongan maka akan masuk neraka.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan sombong dan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Luqman [31] : 18)
Contoh orang-orang yang terjerumus BID’AH dalam URUSAN AGAMA pada zaman Salafus Sholeh adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim YAKNI mereka menganggap buruk sesuatu sehingga mereka melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (tidak diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah seperti mereka melarang (mengharamkan) memotong jenggot dan SEBALIKNYA mereka menganggap baik sesuatu sehingga mereka mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah seperti mereka MEWAJIBKAN bercukur GUNDUL dan BERJENGGOT sehingga menjadi CIRI KHAS mereka.
Dari Anas radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
سِيمَاهُمْ التَّحْلِيقُ
Ciri khas mereka adalah bercukur gundul (HR Abu Daud 4137 atau Baitul Afkar ad Dauliah 4765, 4766)
Ciri khas mereka berjenggot tebal dan bercukur gundul terungkap pula dalam riwayat yang menujukkan bahwa Dzul Khuwaishirah dari BANI TAMIM adalah PENDUDUK NAJED
Dari Abu Sa’id berkata; Orang-orang Quraisy marah dengan adanya pembagian itu. kata mereka, “Kenapa pemimpin-pemimpin NAJED yang diberi pembagian oleh Rasulullah, dan kita tidak dibaginya?” maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun menjawab, “Sesungguhnya aku lakukan yang demikian itu, untuk membujuk hati mereka.”
Sementara itu, datanglah laki-laki BERJENGGOT tebal, pelipis menonjol, mata cekung, dahi menjorok dan kepalanya DIGUNDUL. Ia berkata, “Wahai Muhammad! Takutlah Anda kepada Allah!”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Siapa pulakah lagi yang akan menaati Allah, jika aku sendiri telah mendurhakai-Nya? Allah memberikan ketenangan bagiku atas semua penduduk bumi, maka apakah kamu tidak mau memberikan ketenangan bagiku?” (HR Muslim 1762 atau Syarh Shahih Muslim 1064)
Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk Najed dari bani Tamim walaupun termasuk salaf / sahabat (bertemu dengan Rasulullah) namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga menjadikannya SOMBONG dan DURHAKA kepada Rasulullah yakni MERASA LEBIH PANDAI dari Rasulullah sehingga berani MENYALAHKAN dan mencela atau menghardik Rasulullah ketika pembagian harta rampasan perang.
Berikut contoh riwayat yang menujukkan bahwa Dzul Khuwaishirah PENDUDUK NAJED adalah dari BANI TAMIM
Dari Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari BANI TAMIM, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. (HR Bukhari 3341 atau Fathul Bari 3610)
Jadi masuk akallah atau logislah kalau orang-orang pada ZAMAN NOW (masa sekarang) yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sehingga TERJERUMUS KESOMBONGAN MENOLAK KEBENARAN dan menyalahkan, menganggap sesat atau bahkan mengkafirkan, menghalalkan darah dan membunuh umat Islam karena “nenek moyang mereka” yakni Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim MENYALAHKAN Rasulullah.
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim adalah CONTOH orang-orang yang MERASA sebagai Al Ghuroba (orang-orang yang asing) NAMUN sesungguhnya mereka MENGASINGKAN DIRI yakni MENYEMPAL KELUAR dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) PADA zaman Salafus Sholeh sehingga mereka disebut FIRQAH atau KAUM KHAWARIJ.
KHAWARIJ adalah bentuk jamak, dan mufradnya adalah dari kata KHARIJ yang berasal dari kata KHARAJA yang artinya KELUAR.
Sebutan KHAWARIJ berlaku tidak sebatas pemberontak NAMUN berlaku bagi siapa saja yang menganggap sesat, menuduh musyrik dan bahkan menghalalkan darah dan membunuh umat Islam karena mereka KELIRU BERHUJJAH atau KELIRU MEMAHAMI Al Qur’an dan Hadits SEHINGGA mereka MENGASINGKAN DIRI atau MENYEMPAL KELUAR dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham).
Mereka MENGASINGKAN DIRI atau MENYEMPAL KELUAR karena mereka menganggap atau menuduh mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) telah rusak padahal mereka sendirilah yang rusak
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Aku membaca Hadits Malik dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila ada seseorang yang berkata; ‘Celakalah (rusaklah) manusia’, maka sebenarnya ia sendiri yang lebih celaka (rusak) dari mereka. (HR Muslim 4755 atau Syarh Shahih Muslim 2623)
CIRI KHAS mereka juga terungkap dalam penggambaran Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ketika diizinkan oleh Khalifah Sayyidina Ali untuk menemui orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij.
Lalu Ibn Abbas memakai pakaian yang paling bagus produk negeri Yaman.
Ibn Abbas berkata: “Aku menyisir rambutku dengan rapi dan mendatangi mereka pada waktu terik matahari.
Maka aku memasuki suatu kaum yang belum pernah aku melihat sangat hebatnya mereka (bersungguh-sungguh) dalam beribadah.
Dahi-dahi (jidat) mereka menghitam karena sujud.
Tangan-tangan mereka kasar seperti lutut unta (karena banyaknya beribadah).
Mereka memakai gamis yang sederhana dan dalam keadaan selalu tersingsing (jauh di atas mata kaki, untuk selalu mencegah isbal)
Dari wajah mereka, tampak sekali kalau mereka tidak tidur malam untuk beribadah
(Penggambaran oleh Ibnu Abbas ra tentang ciri-ciri khas kaum khawarij atau orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim termuat pula dalam Tablis Iblis karangan Imam Ibnu Jauzi penerbit Darr Al-Qalam Beirut Libanon tahun 1403 H hal. 88-91)
Begitupula CIRI KHAS mereka juga terungkap ketika Salafus Sholeh yakni para Sahabat mempertanyakan kepada Rasulullah mengapa orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij yakni orang-orang yang berpakaian mencegah isbal, jidatnya menghitam dan berjenggot namun mereka berakhlak buruk.
Contohnya dalam syarah Shahih Muslim, Jilid. 17, No.171 diriwayatkan Khalid bin Walīd radhiyallahu anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
awal kutipan
“Wahai Rasulullah, orang ini memiliki semua bekas dari ibadah-ibadah sunnahnya: matanya merah karena banyak menangis, wajahnya memiliki dua garis di atas pipinya bekas airmata yang selalu mengalir, kakinya bengkak karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud) dan jenggot mereka pun lebat”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab : camkan makna ayat ini,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ
Qul in’kuntum tuhibbunallaha fattabi’una yuḥbibkumullahu
Katakanlah: “Jika kamu MENCINTAI Allah, IKUTILAH aku, niscaya Allah MENGASIHIMU (QS Ali Imran [3] : 31)
Khalid bin Walid bertanya, “Bagaimana caranya ya Rasulullah ?”
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah seperti aku, bersikaplah penuh kasih, cintai orang-orang miskin dan papa, bersikaplah lemah-lembut, penuh perhatian dan cintai saudara-saudaramu dan jadilah pelindung bagi mereka.”
akhir kutipan
Dari riwayat di atas, Rasulullah menegaskan bahwa ketaatan yang dilakukan oleh orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed dari bani Tamim dan suka “menampakkannya” tidaklah berarti apa-apa karena tidak menimbulkan ke-sholeh-an.
Orang-orang yang mengamalkan sunnah Rasulullah namun tidak menjadikannya muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah adalah menunjukkan amal ibadah mereka tidak diterima oleh Allah Ta’ala.
Jawaban Rasulullah ketika ditanya bagaimana caranya dan dijawab berakhlak baiklah dan cintailah sesama saudara mulim sebagai bukti mencintai Allah dan mengikuti Rasulullah SELARAS dengan firman Allah Ta’ala dalam surat Al Maidah [5] ayat 54 bahwa jika telah bermunculan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni orang-orang yang MURTAD dari AGAMANYA karena tuduhan musyrik kembali kepada si penuduh maka Allah Ta’ala akan mendatangkan para Wali Allah yakni suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya,
Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Maidah [5]:54)
Jadi CIRI-CIRI atau TANDA MENCINTAI Allah dan MENGIKUTI Rasulullah sekaligus BUKTI sebagai orang-orang BERIMAN dan BERTAKWA serta amal ibadahnya wushul ilaallah atau sampai dan diterima Allah Ta’ala sehingga meraih ridho Allah dan menjadi KEKASIH Allah (WALI Allah) yakni Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya adalah,
- Bersikap lemah lembut terhadap sesama muslim
- Bersikap keras yakni dalam pengertian tegas atau berpendirian terhadap orang-orang kafir
- Berjihad di jalan Allah dalam pengertian bergembira dalam menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya
- Tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela yakni celaan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim.
Begitupula orang-orang yang terjerumus BID’AH dalam URUSAN AGAMA salah satunya adalah AKIBAT mereka KELIRU memahami firman Allah Ta’ala yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”
Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.
Para fuqaha (ahli fiqih) telah mengingatkan bahwa orang-orang yang terjerumus perbuatan menyekutukan Allah adalah mereka yang salah dalam berijtihad dan beristinbat (menggali dan menetapkan hukum) dari Al Qur’an dan Hadits sehingga mereka terjerumus melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau SEBALIKNYA mereka mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya
Firman Allah yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Rasulullah telah menubuatkan dalam sabdanya bahwa KELAK akan BERMUNCULAN orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni mereka bangsa Arab atau orang-orang yang berbahasa Arab NAMUN berbekal MAKNA DZAHIR saja sehingga barangsiapa yang taqlid mengikuti pendapat atau fatwa mereka maka akan ikut DIHEMPASKAN ke neraka jahannam.
Dari Khudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ
mereka adalah penyeru (mengeluarkan pendapat atau fatwa) menuju pintu jahannam
مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا
barangsiapa yang mengikuti seruan (pendapat atau fatwa) mereka maka mereka akan ikut menghempaskan orang-orang itu ke dalamnya
Khudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu’anhu bertanya
يَا رَسُوْلُ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا
“Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang CIRI-CIRI mereka!
قَالَ نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا قثلْتُ
Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita (berbahasa Arab namun berpegang pada makna dzahir) . (HR Bukhari 6557 atau Fathul Bari 7084)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Jadi orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim adalah bangsa Arab yakni orang-orang yang berbahasa ibu adalah bahasa Arab namun mereka berpegang pada makna dzahir sehingga mereka keliru ketika berhujjah dengan Al Qur’an dan Hadits.
Barang siapa yang taqlid mengikuti pendapat atau fatwa mereka, akan ikut dihempaskan ke neraka jahannam.
Samalah dengan bangsa kita , seberapa banyak orang yang menguasai tata bahasa dan sastra Indonesia?
Untuk memahami Al Qur’an dan Hadits tidak cukup dengan ARTI BAHASA saja dan apalagi hanya berbekal MAKNA DZAHIR saja.
Oleh karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diperlukan kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafadz-lafadz dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain.
Kalau tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut kemudian berpendapat, berfatwa atau beristinbat, menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits maka akan sesat dan menyesatkan.
Rasulullah bersabda, “ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan” (HR Bukhari 98 atau Fathul Bari 100)
CONTOHNYA orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij menganggap baik sesuatu sehingga mereka mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah adalah mereka MEWAJIBKAN menampakkan atau memamerkan JIDAT HITAM dan menjadi salah satu CIRI KHAS mereka AKIBAT mereka memahami secara tekstual yakni SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka KELIRU atau SALAH MEMAHAMI firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang – orang yang bersama dengan dia adalah keras (tegas/berpendirian) terhadap orang – orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka (sesama muslim). Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS Al Fath [48]:29)
Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ (QS Al Fath [48]:29), apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702)
Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).
Begitupula dalam al-Shawi ‘ala al-Jalalain menegaskan TIDAK TERMASUK dari maksud tanda dari bekas sujud itu apa yang dilakukan oleh sebagian orang bodoh yang sengaja memperlihatkan tanda bekas sujud pada dahinya, maka itu adalah perbuatan kaum KHAWARIJ.
Kemudian al-Shawi mengutip hadits Nabi yang berbunyi yang artinya “Sesungguhnya aku sangat membenci seseorang apabila aku melihat di antara dua matanya bekas sujud” (Al-Shawi, Hasyiah al-Shawi ‘ala al-Jalalain, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 106)
Begitupula Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan sebagai berikut,
Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku.
Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang PLONTOS (gundul) KEPALANYA dan ada HITAM-HITAM bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun Beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali.
Kemudian Beliau bersabda, “Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun al Qur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudian mereka tidak akan kembali kepada agama. (HR Ahmad 18947)
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/ahmad/18947
Rasulullah telah menubuatkan dalam sabdanya bahwa kelak akan bermunculan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni mereka yang pandai membaca Al Qur’an namun tidak sampai melewati tenggorakan mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ
“dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur’an tetapi tidak sampai melewati tenggorokan mereka” (HR Muslim 1762 atau Syarh Shahih Muslim 1064).
Tidak sampai melewati tenggorokan mereka yakni tidak sampai ke hatinya MAKNANYA tidak mempengaruhi hati mereka sehingga mereka berakhlak buruk kepada manusia yakni gemar menyalahkan, menganggap sesat dan TAKFIRI yakni mengkafirkan atau MENUDUH musyrik NAMUN mereka KELIRU ketika BERHUJJAH dengan Al Qur’an maka “Al Qur’an menjadi bencana” bagi mereka karena tuduhan akan kembali kepada si penuduh sehingga mereka terjerumus MURTAD yakni keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya.
Rasulullah bersabda,
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسِبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِمْ
Mereka membaca Al-Qur’an dan mereka menyangka bahwa Al-Qur’an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al-Qur’an itu adalah (bencana) atas mereka.
لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ تَرَاقِيَهُمْ
Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan.
يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ
Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya. (HR Muslim 1773 atau Syarh Shahih Muslim 1066)
Dari Hudzaifah radhiyallahu anhu, Rasulullah bersabda,
إنَّ أخوفَ ما أخاف عليكم رجل قرأ القرآن، حتى إذا رُئيت بهجته عليه وكان ردءاً للإسلام، انسلخ منه ونبذه وراء ظهره، وسعى على جاره بالسيف ورماه بالشرك، قلت: يا نبيَّ الله! أيُّهما أولى بالشرك: الرامي أو المرمي؟ قال: بل الرامي
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”. (HR. Al-Bukhari dalam At-Tarikh, Abu Ya’la, Ibnu Hibban dan Al-Bazzar)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda bahwa orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij walaupun mereka bertemu dengan Rasulullah namun mereka kelak diusir dari telaga Rasulullah.
Dari Abu Hurairah bahwasanya ia menceritakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Pada hari kiamat beberapa orang sahabatku mendatangiku, kemudian mereka disingkirkan dari telaga, maka aku katakan; ‘ya Rabbi, (mereka) sahabatku! ‘ Allah menjawab; ‘Kamu tak mempunyai pengetahuan tentang yang mereka kerjakan sepeninggalmu. Mereka berbalik ke belakang dengan melakukan MURTAD, BID’AH (dalam urusan agama) dan DOSA BESAR. (HR Bukhari no. 6097 atau Fathul Bari no. 6583).
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/bukhari/6097
Dalam riwayat di atas jelas bahwa Rasulullah bersabda “ya Rabbi, mereka sahabatku” artinya mereka bertemu Rasulullah namun mereka tidak mengikuti Rasulullah melainkan mereka mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri.
Jadi orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij kelak DIUSIR dari telaga Rasulullah adalah karena,
- Rasulullah menetapkan mereka murtad “bagaikan anak panah meluncur dari busurnya” yakni mereka yang menganggap sesat, menuduh musyrik NAMUN mereka KELIRU BERHUJJAH dengan Al Qur’an dan Hadits sehingga akan kembali kepada si penuduh
- Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij terjerumus BID’AH dalam URUSAN AGAMA yakni mereka melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (tidak diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah dan SEBALIKNYA mereka mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah.
- Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij melakukan DOSA BESAR yakni menghalalkan darah dan membunuh umat Islam yang dituduh musyrik
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar