Mazhab yang empat menyadari KENYATAAN perbedaan mathla’ dalam penentuan waktu sholat berlaku juga dalam penentuan Idul Adha
Pada akhirnya orang-orang yang semula menganut Wihdatul Mathali’ Mutlaq atau Rukyat Global menyadari KENYATAAN bahwa perbedaan mathla’ matahari dalam penentuan waktu shalat ’ diperhitungkan (menjadi pertimbangan) dalam menetapkan puasa Arafah (9 Dzulhijjah), Idul Adha (10 Dzulhijjah) maupun waktu pelaksanaan penyembelihan hewan qurban di negeri masing-masing.
Oleh karena itu, jika para jama’ah haji melihat bulan di negara lain, mereka belum berkewajiban melakukan suatu apapun di negeri masing-masing.
Contohnya pembesar mazhab Hanafi, Al imam Ibnu Abidin (W. 1252H) berkata :
فالظاهر إنها كأوقات الصلاة يلزم قوم العمل بها فتجزئ الأضحية فى اليوم الثانى عشر و إن كان على رأية غيرهم هو الثالث عشر
Menurut dzahirnya, penyembelihan hewan qurban adalah sama dengan waktu-waktu shalat, di mana umat Islam wajib mengamalkannya (sesuai dengan mathla’nya masing-masing). Sehubungan dengan itu, maka penyembelihan hewan qurban boleh dilakukan pada tanggal 12 Dzulhijjah, meskipun menurut pendapat orang lain (di negeri lain), hari itu telah memasuki tanggal 13 Dzulhijjah”.(Radd al Mukhtar 2/394).
Begitupula ulama kalangan Malikiyah, al Imam Qarafi (W. 684H) BERPENDAPAT perbedaan mathla` matahari dalam penentuan waktu shalat berlaku juga pada perkara hilal.
Al Imam Qarafi menyampaikan,
إذا تقرر الاتفاق على أن أوقات الصلوات تختلف باختلاف الآفاق وأن لكل قوم فجرهم وزوالهم وغير ذلك من الأوقات، فيلزم ذلك في الأهلة
“Telah diketahui dengan pasti adanya KESEPAKATAN bahwa waktu shalat itu BERBEDA (satu negeri dengan lainnya) dengan disebabkan adanya PERBEDAAN ufuq, dan (ditetapkan) SETIAP KAUM waktu terbit fajarnya, tergelincirnya matahari dan selainnya mengikuti waktu-waktu tersebut, maka hal itu BERLAKU juga pada perkara HILAL.
بسبب أن البلاد المشرقية إذا كان الهلال فيها في الشعاع وبقيت الشمس تتحرك مع القمر إلى الجهة الغربية، فما تصل الشمس إلى أفق المغرب إلا وقد خرج الهلال من الشعاع، فيراه أهل المغرب، ولا يراه أهل المشرق
DIKARENAKAN negeri di Timur dalam keadaan cahaya hilal masih tertutupi oleh sinar matahari, lalu ketika mahatahari bergerak ke arah barat bersama hilal, maka ketika sinar matahari sudah redup di waktu maghrib hilal tidak tertutupi lagi dengan sinar (matahari). Maka hasilnya penduduk negeri Barat bisa melihat hilal, sedangkan negeri Timur tidak bisa melihatnya.” (Al Furuq 2/204)
Begitupula Negeri +62 memang sangat “lebar” sehingga memungkinkan terjadi wilayah PALING Barat seperti di Aceh dapat MELIHAT Hilal lebih awal dibandingkan wilayah PALING Timur seperti di Papua.
Oleh karenanya untuk mengatasi potensi perbedaan keterlihatan Hilal di suatu negeri maka digunakan KAIDAH.
حكم الحاكم يرفع الخلاف
“Keputusan hakim (para fuqaha atau ahli fiqih dalam suatu negeri yang ditetapkan oleh Umaro) akan menghilangkan perbedaan yang terjadi.”
Kaidah tersebut dipergunakan untuk MENTAATI perintah Rasulullah untuk berlebaran bersama-sama di suatu negeri
Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ
“Idulfitri ialah hari di mana orang-orang berbuka bersama-sama (di suatu negeri) dan Iduladha ialah hari di mana orang-orang berkurban bersama-sama (di suatu negeri)” (HR. Tirmidzi 731 atau versi Maktabatu Al Ma’arif 802)
Oleh karenanya “penyatuan” penanggalan atau Kalender Hijriah TIDAKLAH secara GLOBAL namun ditetapkan per wilayah atau negeri dalam rangka mentaati PERINTAH Rasulullah yakni berlebaran bersama-sama seperti yang sedang diupayakan oleh Kementrian Agama.
Sedangkan ulama di kalangan Hambali seperti Imam Ibnu Qudamah (W. 620H) dalam kitabnya al Mughni pada akhirnya mau menerima KENYATAAN bahwa penduduk negeri WAJIB menentukan awal bulannya dengan penglihatan (rukyah) mereka MASING-MASING bedasarkan penjelasan Salafus Sholeh seperti contohnya seorang Tabi’in, Ikrimah (W. 105H) yakni ‘Ikrimah Al Qurasyi Al Hasyimi dengan nama kunyah Abu Abdillah.
إن كان بين البلدين مسافة قريبة، لا تختلف المطالع لأجلها كبغداد والبصرة، لزم أهلهما الصوم برؤية الهلال في أحدهما، وإن كان بينهما بعد، كالعراق والحجاز والشام، فلكل أهل بلد رؤيتهم. وروي عن عكرمة، أنه قال: لكل أهل بلد رؤيتهم
“Sebagian ulama mengatakan, kalau kedua negeri itu jaraknya berdekatan, maka mathla’ hilalnya tidak ada perbedaan (satu mathla’), seperti kota Baghdad dan Bashrah. Penduduk dua kota ini, wajib berpuasa bila hilal telah terlihat di salah satu dari kedua kota tersebut. Jika jarak kedua negeri itu berjauhan, seperti: Iraq, Hijaz dan Syam, maka SETIAP negeri melihat hilalnya masing-masing. Diriwayatkan dari Ikrimah (W. 105H), bahwa Beliau berkata: “Setiap penduduk negeri WAJIB melihat hilalnya MASING-MASING.” (Al Mughni 3/108).
Begitupula Sayyid Sabiq menyampaikan
***** awal kutipan ****
Ikrimah, Qasim ibn Muhammad, Salim, Ishak dan yang SHAHIH menurut kalangan Hanafi serta sebagian dari kalangan Syafi’i bahwa yang menjadi ukuran bagi SETIAP penduduk suatu negeri dalam
menentukan awal bulan adalah dengan penglihatan (rukyah) mereka MASING-MASING (Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, 2007,Cet II, h. 32)
***** akhir kutipan *****
Para ulama sepakat bahwa Ikrimah adalah orang yang Tsiqah.
Imam Bukhari berkata,” Tidak ada diantara para ulama hadits yang tidak berhujjah dengan Ikrimah”.
Ibnu Mai’n berkata,” Apabila kami melihat orang yang mencela Ikrimah, kamipun menuduh orang itu tidak benar”.
Muhammad bin Nashr al Marwazy berkata,” Seluruh ilmu hadits diantaranya Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Yahya bin Ma’in, aku telah bertanya kepada Ishaq tentang berhujjah dengan Ikrimah, maka beliau menjawab, “Ikrimah dalam pandangan kami, Imam yang tsiqah”.
Ibnu Mahdah berkata,” Ikrimah dipandang adil oleh 70 Tabi’in, ini suatu kedudukan yang hampir-hampir tidak diperoleh oleh orang lain.
Begitupula Imam Syafi’i adalah Imam mazhab yang MEMUNGKINKAN untuk dapat MENYAKSIKAN secara LANGSUNG bagaimana Salafus Sholeh MENTAATI perintah Rasulullah untuk melihat hilal per wilayah KARENA Imam Syafi’i cukup luas wawasannya yakni mengumpulkan hadits-hadits bertemu langsung dengan Salafus Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir SEBAGAIMANA contohnya yang terungkap pada riwayat yang diberi nama “Hadits Kuraib”
Dari Kuraib bahwasanya; Ummul Fadhl binti Al Harits mengutusnya menghadap Mu’awiyah di SYAM. Kuraib berkata, Aku pun datang ke Syam dan menyampaikan keperluannya kepadanya. Ketika itu aku MELIHAT HILAL awal Ramadan pada saat masih berada di SYAM, aku melihatnya pada malam Jumat. Kemudian aku sampai di MADINAH pada akhir bulan.
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ
Maka Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu bertanya kepadaku tentang hilal, ia bertanya, “Kapan kalian melihatnya?”
فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ
“Kami melihatnya pada malam Jumat.”
فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ
Ia bertanya lagi, “Apakah kamu yang melihatnya?”
فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ
Aku menjawab, “Ya, orang-orang juga melihatnya sehingga mereka mulai melaksanakan puasa begitu juga Mu’awiyah.”
فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ
Ibnu Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu.
فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ
Dan kamipun sekarang masih berpuasa untuk menggenapkannya menjadi TIGA PULUH hari atau hingga kami melihat hilal.”
فَقُلْتُ أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ
“Tidakkah cukup bagimu untuk mengikuti ru’yah Mu’awiyah dan puasanya?”
فَقَالَ لَا هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“TIDAK, beginilah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam MEMERINTAHKAN kepada kami.” (HR Muslim 1819 atau versi Syarh Shahih Muslim 1087, HR Abu Daud 1985 atau versi Baitul Afkar Ad Dauliah 2332)
Pada kenyataannya orang-orang yang menganut Wihdatul Mathali’ Mutlaq atau Rukyat Global yakni apabila ada sebuah negeri telah melihat hilal, maka negeri manapun, dekat ataupun jauh maupun sangat jauh, baik di Timur maupun di Barat, harus menggunakan rukyat tersebut TIDAKLAH BERDASARKAN sabda Rasulullah maupun penjelasan dari Salafus Sholeh NAMUN hanya pendapat atau hasil ijtihad mereka semata berdasarkan KEUMUMAN makna hadits yakni
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya“. (HR. Bukhari)
Jadi KEUMUMAN hadits yang dipergunakan sebagai dalil untuk menetapkan satu mathla’ di-TAKHSIS MUNFASIL (terpisah) oleh sabda atau PERINTAH Rasulullah untuk melihat hilal per wilayah sebagaimana yang disampaikan contohnya oleh Sahabat Nabi yakni Ibnu Abbas (W. 68H) radhiyallahu anhu maupun yang dijelaskan oleh Tabi’in Ikrimah (W. 105H) radhiyallahu anhu.
Para fuqaha (ahli fuqih) men-takhsis keumuman suatu nash atau dalil ada dua yakni takhsis muttasil dan takhsis munfasil Takhsis Muttasil ialah dimana takhsis itu terjadi dalam satu kalimat yang sama. Takhsis Munfasil ialah takhsis yang berada dalam kalimat yang lain atau terpisah.
Mereka yang menolak atau mengingkari “Hadits Kuraib” menganggapnya sebagai hadits mauquf yakni hadits yang hanya sampai perkataan para Sahabat BUKAN sabda Rasulullah.
Bahkan mereka menganggap “Hadits Kuraib” adalah hasil ijtihad Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dan dikaitkan dengan perpolitikan atau kekuasaan.
Jadi secara tidak langsung mereka menganggap atau menuduh Ibnu Abbas radhiyallahu anhu telah BERDUSTA atas nama Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam karena MENYANDARKAN hasil ijtihadnya sebagai sabda atau perintah Rasulullah untuk melilhat hilal per wilayah.
Contoh pendapat para ulama bahwa “Hadits Kuraib” mengandung hukum seperti,
-
- Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- dalam memberikan bab terhadap hadits ini yang menunjukkan fiqih beliau :
“Dalil tentang wajibnya atas tiap-tiap penduduk negeri puasa Ramadlan karena ru’yah mereka, tidak ru’yah selain (negeri) mereka”.
-
- Imam Tirmidzi bab : “Bagi tiap-tiap penduduk negeri ada ru’yah mereka”
Kemudian setelah meriwayatkan haditsnya – Imam Tirmidzi berkata :
“Dari hadits ini telah diamalkan oleh ahli ilmu : Sesungguhnya bagi tiap-tiap penduduk negeri ada ru’yah mereka (sendiri) “.
-
- Imam Nasa’i memberikan bab : “Perbedaan penduduk negeri-negeri tentang ru’yah”.
Dan lain-lain Ulama lebih lanjut periksalah kitab-kitab :
(a). Syarah Muslim (Juz 7 hal 197) Imam Nawawi.
(b). Al-Majmu ‘Syarah Muhadzdzab (Juz 6 hal. 226-228) Imam Nawawi.
(c). Ihkaamul Ahkaam Syarah ‘Umdatul Ahkaam (2/207) Imam Ibnu Daqiqil Id.
(d). Al-Ikhtiyaaraatul Fiqhiyyah (hal :106) Ibnu Taimiyyah.
(e) Tharhut Tatsrib (Juz 4 hal. 115-117) Imam Al-‘Iraaqy.
(f). Fathul Baari syarah Bukhari (Juz 4 hal 123-124) Ibnu Hajar.
(g). Nailul Authar (Juz 4 hal. 267-269) Imam Syaukani.
(I). Subulus Salam (juz 2 hal 150-151)
(j). Bidaayatul Mujtahid (Juz 1 hal. 210) Imam Ibnu Rusyd
Dan lain-lain.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar