Syirik atau tidak syirik tergantung kepada hati
Di antara mereka masih ada saja yang mempermasalahkan kaum muslim yang melakukan bermacam kegiatan dalam rangka perayaan hari besar agama Islam, tahun baru Islam, 1 Muharam.
Bagi mereka hari raya adalah hanya sebatas pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para Sahabat, sehingga perayaan di luar itu adalah perayaan bid’ah yang sesat dan kaum muslin yang merayakan akan masuk neraka.
Keyakinan mereka seperti itu dikarenakan mereka menganggap bid’ah adalah hukum yang membatasi diri mereka untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan. Video terkait uraian tentang bid’ah bukan hukum dalam Islam contohnya pada http://www.youtube.com/watch?v=ft_lPw-gRXg
Hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi diri kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan ada lima yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat, selama tidak melanggar laranganNya maka hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Contohnya orang-orang yang melakukan kebiasaan seperti merawat keris pusaka sekedar dalam rangka merawat peninggalan leluhur dan berkeyakinan bahwa seluruh manfaat dan mudharat datangnya hanya dari Allah Azza wa Jalla maka hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Setelah itu, ia meneruskan ucapannya; ‘Jubah ini dahulu ada pada Aisyah hingga ia meninggal dunia. Setelah ia meninggal dunia, maka aku pun mengambilnya. Dan dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering mengenakannya. Lalu kami pun mencuci dan membersihkannya untuk orang sakit agar ia lekas sembuh dengan mengenakannya. (HR Muslim 3855)
Lalu jika pada peninggalan leluhur tersebut ada khodam, jin atau apapun, asalkan tahu cara penanganannya dan berkeyakinan bahwa segala manfaat atau mudharat datangnya hanya dari Allah Azza wa Jalla maka hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Pada hakikatnya sebuah perbuatan yang merupakan sebuah kebiasaan atau adat termasuk syirik atau tidak syirik tergantung kepada hati yang melakukan perbuatan tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian (apa yang tampak secara dzahir), tetapi Allah melihat kepada hati kalian (batin).” (HR Muslim)
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah syirik kecil”. Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’, kelak di hari kiamat ketika amalan manusia diberi balasan, Allah ‘Azza wa Jalla akan mengatakan kepada mereka (yang berbuat riya’’), “Pergilah kepada orang yang kamu harapkan pujiannya sewaktu di dunia dan lihatlah apakah kamu mendapati pahala dari mereka?” (HR Ahmad)
Begitupula termasuk syirik jika kita meminta pertolongan kepada selain Allah seperti meminta pertolongan kepada seorang dokter dan berkeyakinan bahwa dokter lah yang bisa menyembuhkan dan tak mungkin kesembuhan datang dari selain dokter, maka ia telah membatasi Kodrat Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberikan kesembuhan, yang bisa saja lewat dokter, namun tak mustahil dari bukan dokter, atau bahkan sembuh dengan sendirinya.
Kaum muslim boleh meminta kepada selain Allah selama meyakini semua itu hanyalah perantara semata yang pada hakikatnya hanya Allah Azza wa Jalla yang memberikan pertolongan dan tempat kita meminta pertolongan adalah yang dikehendakiNya bukan yang dibenciNya seperti berhala atau patung-patung.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)“ (QS Al Maaidah [5]: 55)
“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang” (QS Al Maaidah [5]: 56)
“dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mu’min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula” (QS At Tahrim [66]:4)
“dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau” (QS An Nisaa [4]:75)
Berikut contoh meminta pertolongan kepada hamba-hamba Allah yang tidak tampak oleh kasat mata
Di dalam kitab Al-Adzkar Imam Nawawi dijelaskan tentang doa kalau bintang yang digembala lepas di padang yang luas, dan tidak tahu ke mana :
روينا في كتاب ابن السني، عن عبد اللّه بن مسعود رضي اللّه عنه،عن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم قال: “إذَا انْفَلَتَتْ دابَّةُ أحَدِكُمْ بأرْضِ فَلاةٍ فَلْيُنادِ: يا عِبادَ اللّه! احْبِسُوا، يا عِبادَ اللَّهِ! احْبِسُوا، فإنَّ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ في الأرْضِ حاصِراً سَيَحْبِسُهُ”(29). قلت: حكى لي بعض شيوخنا الكبار في العلم أنه افلتت له دابّة أظنُّها بغلة، وكان يَعرفُ هذا الحديث، فقاله؛ فحبسَها اللّه عليهم في الحال. وكنتُ أنا مرّةً مع جماعة، فانفلتت منها بهيمةٌ وعجزوا عنها، فقلته، فوقفت في الحال بغيرِ سببٍ سوى هذا الكلام
Artinya : “Apabila terjadi seekor binatang salah seorang dari kalian lepas di bumi (tempat) yang luas (lapang), hendaklah ia berseru : “Wahai hamba-hamba Allah tahankanlah, Wahai hamba Allah tahankanlah”. sesungguhnya bagi Allah Azza wa Jalla di bumi ini ditugaskan makhluk yang menjaga, ia akan menolong kamu menahannya.” (HR. Ibnu Suni)
(Aku (Imam Nawawi) berkata : Ada di antara guru kami yang bercerita kepadaku bahwa bintang kendaraanya lepas, mungkin kendaraannya itu keledai, sedang guru tersebut sudah mengetahui hadis ini, lalu ia berseru (sebagaimana diajarkan oleh hadis itu), maka oleh Allah ditahankanlah binatang tersebut seketika itu juga.
Sekali pernah kualami (Imam Nawawi), aku bersama suatu rombongan dengan tiba-tiba lepaslah seekor binatang dan mereka tak berdaya menangkapnya lalu aku berseru (sebagaimana diajarkan hadis di atas). Ketika itu juga binatang itu tertahan tanpa sebab lain, hanya semata-mata seruan itu.
Begitupula sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/27/sesuatu-yang-dicintai/ bahwa dalam firman Allah ta’ala yang artinya “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS Az Zumar [39]:3) dapat kita pahami perbedaan antara tawassul kaum muslim dan ritual orang kafir seperti disebutkan dalam ayat tersebut adalah
1. Tawassul kaum muslim semata-mata dalam berdoa kepada Allah dan tidak ada unsur menyembah kepada yang dijadikan tawassul , sedangkan orang kafir telah menyembah perantara
2. Tawassul kaum muslim dengan sesuatu yang dicintai Allah sedangkan orang kafir bertawassul dengan berhala yang sangat dibenci Allah.
Tawassul kaum muslim dengan sesuatu yang dicintai Allah seperti dengan amal kebaikan
Silahkan baca studi kasus para peziarah kubur pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/10/studi-kasus-ziarah-kubur.pdf tidak ada satupun yang menyembah kuburan.
Pada studi kasus tersebut dapat kita kita ketahui bahwa kaum muslim ketika berziarah kubur selain mendoakan ahli kubur sekaligus berdoa kepada Allah untuk kepentingannya sendiri dengan bertawassul pada ahli kubur dengan amal kebaikan berupa hadiah bacaan Al Qur’an
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/09/04/bertawassul-bukan-syirik/ bahwa kaum muslim yang berziarah kubur sambil berdoa kepada Allah di sisi kuburan dengan bertawassul kepada ahli kubur yang telah meraih manzilah (maqom atau derajat) disisiNya adalah beribadah kepada Allah bukan meminta pertolongan atau menyembah atau beribadah kepada ahli kubur.
Kaum muslim yang bertawassul dengan Rasulullah shallallahu alaih wasallam yang sudah wafat atau dengan orang alim yang sudah wafat misalnya sama sekali tidak menyembahnya. Tetapi ia mengetahui bahwa mereka memiliki keistimewaan di sisi Allah dengan memiliki ilmu. Lalu ia bertawassul dengannya karena keistimewaannya tersebut
Kaum muslim sangat paham dan sangat yakin bahwa yang mendatangkan manfaat maupun mudharat bukanlah ahli kubur melainkan hanya Allah Azza wa Jalla semata.
Kaum muslim sangat paham dan sangat yakin bahwa yang mengabulkan doa mereka dan memberikan pertolongan hanyalah Allah Azza wa Jalla bukan ahli kubur atau bukan pula orang yang ditawassulkan.
Silahkan saksikan penjelasan yang cukup lengkap dalam bentuk video pada http://www.youtube.com/watch?v=lDXulIV6q4k dari buya Yahya tentang fitnah terhadap tawassul, ziarah kubur, larangan “menjadikan kuburan sebagai masjid”, fitnah mengelilingi kuburan atau fitnah tawaf di kuburan dan upaya pemalsuan kitab terkait dengan ziarah kubur oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa janganlah berprasangka buruk sehingga menuduh perbuatan muslim lainnya adalah perbuatan musyrik
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka (kecurigaan), karena sebagian dari berprasangka itu dosa”. (QS Al Hujuraat [49]:12)
Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik” Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.
Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata : “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
Begitulah nasehat ulama-ulama terdahulu bahwa jika kita mendengar perkataan atau melihat perbuatan saudara muslim kita yang menurut kita tidak baik.
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/28/nyai-roro-kidul/ bahwa kalau anda menemukan mereka yang telah bersyahadat namun percaya dan mengadakan ritual Nyai Roro Kidul maka luruskanlah sehingga mereka pantas menjadi umat Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Jika yang percaya dan melakukan ritual Nyai Roro Kidul adalah warga Nahdliyin namun janganlah anda menggeneralisir bahwa apa yang mereka lakukan adalah amaliyah warga Nahdliyyin karena secara tidak sadar anda bertasyabuh dengan kaum kafir. Kaum kafir melihat seorang muslim melakukan bom bunuh diri maka mereka menggenaralisr bahwa kaum muslim adalah teroris.
Kembali kepada permasalahan peringatan hari besar keagamaan Islam, b erikut informasi bagaimana cara para mufti Mesir mengeluarkan fatwa terhadap kebiasaan atau adat perayaan Syamu Nasim.
Saat ini mufti agung Mesir adalah Prof. Dr. Syauqi Ibrahim Abdul Karim ‘Allam. Salah satu syarat sebagai mufti Agung Mesir adalah lulusan Ph.D. Al-Azhar -tulen Al-Azhar dari sekolah dasar hingga strata tiga-, berpegang teguh kepada metode Al-Azhar. Sanad talaqqi dalam aqidah dan mazhab fikih yang sampai saat ini dilestarikan salah satunya oleh para ulama dan universitas Al-Azhar Asy-Syarif.
Hal inilah yang mengapa Al-Azhar menjadi sumber ilmu keislaman selama berabad-abad. Karena manhaj yang di gunakan adalah manhaj shahih talaqqi (mengaji dengan ulama) yang memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis. Sehingga sarjana yang menetas dari Al-azhar adalah tidak hanya ahli akademis semata tapi juga alim serta selalu terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Di Mesir sempat beredar selebaran-selebaran tentang pengharaman merayakan Syamu Nasim oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dan yang lebih parah pengharaman itu disandarkan pada mufti Mesir Dr. Syauqi Ibrahim. Jika dalam menebarkan kebaikan saja sudah salah jalan lalu bagai mana masyarakat bisa menerima seruan mereka. Semoga orang yang melakukan pembohongan publik atas nama mufti Mesir, Dr. Syauqi Ibrahim di berikan hidayah dan taufiq-Nya.
Berikut kami kutipkan informasi dari http://pendekartinta.wordpress.com/2013/05/02/syamu-nasim-bukan-hari-raya-kita/
***** awal kutipan *****
Pengertian dan Sejarah Syamu Nasim
Syamu Nasim (شم النسيم) berasal dari bahasa Mesir kuno yaitu Syemu (شمو) yang berarti penciptaan. Orang mesir kuno meyakini bahwa hari tersebut adalah awal pencipataan alam. Seiring berjalannya waktu, orang Mesir generasi selanjutnya menyandarkan kata Syemu kepada kata Nasim (النسيم) dan berubah menjadi Syamu Nasim (شم النسيم) sebagaimana yang dikenal sekarang.
Syamu Nasim (شم النسيم ) terdiri dari kata Syamu yang berarti mencium dan Nasim yang berarti angin sepoi-sepoi. Jadi Syamu Nasim memiliki arti mencium angin sepoi-sepoi atau bisa dimaknai dengan menikmati angin sepoi-sepoi.
Dari segi historis, Syamu Nasim merupakan hari raya warisan dari Firaun, Mesir kuno. Para sejarawan menyebutkan bahwa perayaan ini sudah ada semenjak 5000 tahun yang lalu, sekitar tahun 2700 sebelum Masehi. Orang Mesir kuno meyakini bahwa hari tersebut merupakan awal pencipataan alam.
Pada hari Syamu Nasim ini, biasanya orang Mesir pergi ke kebun-kebun atau ke taman bersama keluarga mereka untuk menikmati keindahan alam. Mereka membawa telur, ikan asin, selada, dan bawang.
Hukum Syamu Nasim
Dari segi hukum, ulama Al-Azhar sudah menjelaskan dengan sangat gamblang tentang hal ini. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh ‘Id Abdul Hamid tatkala memberikan talaqqi di masjid AL-Azhar. Beliau mengatakan bahwa hari tersebut merupakan hari perpindahan musim dingin ke musim panas. Pada hari tersebut, durasi waktu siang dan waktu malam sama. Pada waktu itu angin juga berhembus sepoi-sepoi dan cocok untuk menikmati keindahan ciptaan Allah. Jadi hal tersebut hanya merupakan fenomena alam.
Lalu, tatkala orang Islam berkumpul bersama keluarga di taman-taman, saling silaturahim dengan sanak famili, dan rehat sejenak melepas kepenatan sambil melihat keindahan alam, hal tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang, meskipun pada waktu yang sama orang-orang Kristen juga merayakannya sebagai hari besar agama mereka. Kenapa? Karena orang-orang Islam merayakannya bukan dalam rangka ikut merayakan hari besar agama lain, tapi dalam rangka perpindahan musim dari musim dingin ke musim panas. Jadi hari raya tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama, tapi hanyalah kebiasaan saja.
Silakan lihat videonya di sini http://www.youtube.com/watch?v=LWBrG8tH_zk
Senada dengan Syekh ‘Id, Syekh Zakariya Marzuq, imam Masjid Al-Azhar juga menyampaikan hal yang sama. Beliau mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah, perkara yang dibolehkan. Beliau menuturkan bahwa orang-orang yang mengharamkan perayaan Syamu Nasim melarang untuk memakan ikan asin merupakan orang yang tasyaddud atau picik.
Silakan lihat videonya di sini http://www.youtube.com/watch?v=LjS7M6ZgErY
***** akhir kutipan *****
Jadi kesimpulannya adalah bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah, perkara yang dibolehkan.
Dalam perkara Ibadah ghairu mahdhah yang meliputi muamalah, kebiasaan atau adat yang Allah Azza wa Jalla tidak turunkan keterangan padanya dan tidak disampaikan atau tidak dicontohkan oleh Rasululah shallallahu alaihi wasallam selama tidak menyalahi satupun laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)
Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf
Firman Allah ta’ala yang artinya
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat diperbolehkan selama tidak menyalahi laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat pun, jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.
Berikut pendapat Imam Syafi’i ra
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ .
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi’ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Imam Suyuthi berkata: “mengenai hadits “bid’ah dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf [46]:25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, atau firman Allah “sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama” (QS As Sajdah [32]:13) dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, (ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Imam Nawawi juga berkata
قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .
“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dholalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Imam Nawawi menjelaskan pengecualian bid’ah atau bid’ah yang diperbolehkan adalah perkara baru (bid’ah) dalam kebiasaan yang baik atau contoh (suri tauladan) dalam kebiasaan yang baik yang disebut dengan sunnah hasanah, kebalikannya adalah sunnah sayyiah yakni perkara baru (bid’ah) dalam kebiasaan yang buruk atau contoh (suri tauladan) dalam kebiasaan yang buruk
Imam Nawawi mengatakan: “Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau shallallahu alaihi wasallam : “setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Al Imam Al Hafiz Al-Qurthubi mengatakan: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi : “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan setiap bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wasallam, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah adanya kesesuaian atau tidak dengan pokok-pokok syar’i“
Jadi perbedaan antara sunnah hasanah dengan sunnah sayyiah adalah tidak bertentangan atau bertentangan dengan pokok-pokok syar’i yakni Al Qur’an dan As Sunnah
Kesimpulannyai bid’ah hasanah adalah perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan syara’ atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Sedangkan bid’ah dholalah adalah perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat yang menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan syara’ atau bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah ditambah perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah yakni mengada-ada larangan yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya
Contoh perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah atau perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat atau perkara baru (bid’ah) dalam Islam atau perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama (urusan kami)
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram?”
Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”.
Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”
Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.
Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”
Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.
Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”
Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur : 63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”
Tidak boleh sholat subuh tiga rakaat walaupun menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).
Tidak boleh azan dalam sholat ied walaupun menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul fiqih
اَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ
“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”
Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.
Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.
Jadi terlarang mengangap baik sesuatu menurut akal pikiran sendiri sehingga mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya sebaliknya terlarang menganggap buruk sesuatu menurut akal pikiran sendiri sehingga melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya.
Semua kewajiban dan larangan bersumber dari Allah Azza wa Jalla dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukan hasil akal pikiran manusia.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Jadi inti dari agama adalah perintahNya dan laranganNya
Apa pun yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya adalah perintahNya dan begitupula apa pun yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya adalah laranganNya
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Dari Miqdam bin Ma’dikariba Ra. ia berkata: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; “Hampir tiba suatu zaman di mana seorang lelaki yang sedang duduk bersandar di atas kursi kemegahannya, lalu disampaikan orang kepadanya sebuah hadits dari haditsku maka ia berkata: “Pegangan kami dan kamu hanyalah kitabullah (Al-Qur’an) saja. Apa yang dihalalkan oleh Al-Qur’an kami halalkan. Dan apa yang ia haramkan kami haramkan”. (Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan sabdanya): “Padahal apa yang diharamkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam samalah hukumnya dengan apa yang diharamkan Allah Subhanhu wa Ta’ala”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Segala perkara terkait dengan dosa adalah merupakan hak Allah Azza wa Jalla untuk menetapkannya atau mensyariatkannya bagi manusia agar terhindar dari dosa atau terhindar dari siksaan api neraka.
Perkara yang terkait dengan dosa adalah
1. Segala perkara yang jika ditinggalkan berdosa (kewajiban)
2. Segala perkara yang jika dilanggar atau dikerjakan berdosa (larangan dan segala apa yang telah diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla)
PerintahNya meliputi perkara wajib yakni perkara yang jika ditinggalkan berdosa dan perkara sunnah (mandub) yakni perkara yang jika dikerjakan berpahala dan jika dtinggalkan tidak berdosa atau tidak apa apa
LaranganNya meliputi perkara haram yakni perkara yang jika dikerjakan atau dilanggar berdosa dan perkara makruh yakni perkara yang jika dikerjakan atau dilanggar tidak berdosa atau dibenciNya dan jika ditinggalkan berpahala.
Selebihnya adalah perkara mubah (boleh) yakni perkara yang tidak diperintahkanNya maupun tidak dilarangNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa risalah atau agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa) dan selebihnya adalah apa yang telah dibolehkanNya. Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu(dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan olehan-Nawawi)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islamitu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”
Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah aram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmuitu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Kesimpulannya, yang dimaksud dengan “telah sempurna agama Islam” adalah telah sempurna atau telah tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang dibolehkanNya atau selebihnya hukum asalnya adalah mubah (boleh) Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam[19]:64)
Pada hakikatnya segala sesuatu pada dasarnya mubah (boleh).
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.
Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram. Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh)
Kaidah ini disandarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’la
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah [2]:29)
“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13)
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman [31]:20)
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya.
Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkanpadaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Sebagimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/11/04/musyrik-akhir-zaman/ bahwa salah satu perbuatan menyekutukan Allah pada akhir zaman adalah bertasyabuh dengan kaum Nasrani yang ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarrnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/26/tukang-bidah/
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31)
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya
Firman Allah ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)
Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya
Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti
1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
3. Melarang dirinya untuk menikah
Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Jadi jelaslah pelaku bid’ah dalam urusan agama adalah orang-orang yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya akan masuk neraka karena mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah
Tinggalkan komentar