Pelanggar AD/ART ormas NU wajib dihukum
Prof Dr Achmad Zahro guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya menyampaikan bahwa sejarah kelam NU pada kisaran akhir tahun 1970-an kembali terulang saat ini, dimana yang diamati sekarang pengurus NU justru melanggar Khittah NU 1926 yang meliputi moqoddimah, nawasila dan qonun asasi. Yang paling mencolok adalah pelanggaran qonun asasi (anggaran dasar NU Bab XVI Pasal 51 ayat (4) sebagaimana contoh berita pada http://duta.co/kondisi-nu-sekarang-mirip-tahun-1963-1965-prof-aminuddin-terjebak-politik-komunis/
***** awal kutipan *****
“Siapapun yang mendapat amanat menjadi rais aam, rais syuriah dan ketua umum NU tidak diperkenankan untuk mencalonkan atau dicalonkan dalam pemilihan jabatan politik apapun. Bahkan kalau punya jabatan tertentu wajib mengundurkan diri,” ungkap teman akrab Ketum PBNU KH Said Agil Siraj saat belajar di Ummul Qura Makkah ini.
Sekarang? “Baiat rais aam PBNU (KH Ma’ruf Amin) telah runtuh. Bahkan dalam suatu forum saya katakan, sahabat saya ini telah berkhianat terhadap NU. Peryataan saya itu juga mendapat dukungan dzuriyah (keturunan) para pendiri NU yang ke-NU-annya tidak ada batasannya,” katanya.
Ironisnya, lanjut Prof Zahro, mereka bukan menyadari kesalahan beratnya justru berusaha mengajak struktural NU untuk mendukung di Pilpres 2019. “Iya kalau menang, lumayan. Itu pikiran mereka. Kalau kalah, NU bisa hancur,” tegas Prof Achmad Zahro.
Bahkan tidak cukup di situ, di banyak kesempatan anggota struktural NU kerap berani menghina kader NU yang tak mau memilih kader NU di Pilpres mendatang. Terus terang, Prof Zahro juga sakit hati kalau mendengar yang tak mendukung 01, itu goblok. Padahal itu urusan pribadi dan tentunya setiap orang akan melihat dulu potensi yang dimiliki calon yang akan didukung.
Kalau soal kepandaian memang pintar tapi bidangnya bagaimana, dan mengapa dipilih umur yang tua, itu juga akan menjadi petimbangan pemilih.
“Saya tegaskan tidak kurang ke NU-an orang yang memilih 01 atau 02. Tapi yang melanggar AD/ART itu, jelas berkurang ke NU-annya karena telah mengkhianati khittah,” tegas guru besar UIN Sunan Ampel ini.
Pemaksaan memilih salah satu pasangan calon yang berkompetisi di Pilpres 2019 itu, kata Prof Zahro justru akan memecahbelah NU. Pasalnya, sejak awal harusnya bisa dikondisikan sebab warga NU yang tidak terima dengan kondisi NU saat ini juga berhak menyatakan pendapat walaupun yang punya kuasa adalah NU Struktural.
Penolakan pemaksaan ini juga mendapat dukungan dzuriyah para pendiri NU. Bahkan pertemuan (halaqoh) menyuarakan sikap NU kultural terus dilakukan. “Siapapun yang kita pilih jangan ada caci maki, ini bagian dari jihad politik sehingga jangan menjelekkan mereka yang beda pilihan,” pintanya.
Kendati demikian sejarah telah mencatat bahwa pelanggaran paling berat pertama terhadap khittah NU 1926 adalah KH Ma’ruf Amin karena posisi rais aam bagi warga NU itu lebih tinggi dibanding jabatan presiden.
“Kami menghormati hak politik KH Ma’ruf Amin tapi hasil halaqoh menyatakan beliau wajib ditakzir (hukum) dengan cara tidak dipilih,” kata pemimpin halaqoh NU kultural dan dzuriyah pendiri NU.
***** akhir kutipan *****
Begitupula KH Nur Maymoun, Pengasuh PP Miftahul Ulum, Sumenep, Madura sepakat penegakan khitthah NU namun jangan sampai membuat gaduh sebagaimana berita terkait pada http://duta.co/kiai-maruf-harus-ditakzir-karena-langgar-ad-art-nu-ini-bentuk-takzirnya/
***** awal kutipan *****
Suara peserta Halaqah V Komite Khitthah 1926 NU, yang berlangsung di Pondok Pesantren At-Taqwa, Cabean, Pasuruan, Jawa Timur, Sabtu (16/2/2019), semakin ‘nyaring’. Seluruh peserta sepakat, bahwa, keputusan Kiai Ma’ruf masuk jalur politik adalah bentuk pelanggaran AD/ART organisasi. Harus ada sanksi.
“Karena itu, kalau di lingkungan pesantren Kiai Ma’ruf ini harus ditakzir. Di pesantren, kalau ada santri melanggar aturan, bisa digundul atau disuruh nimbo jeding (isi bak kamar mandi red.). Menurut saya takzir untuk Kiai Ma’ruf ya.., jangan dipilih, biar tidak ditiru yang lain,” demikian disampaikan KH Hamim salah seorang peserta halaqah usai mendengarkan taushiyah KH Tholchah Hasan (Malang).
Di samping itu, jelasnya, harus ada produk bahtsul masail yang mengkaji secara serius pelanggaran khitthah ini. Produk bahtsul masail tersebut bisa menjadi pegangan kuat dalam upaya menegakkan khitthah NU. Dari situ sosialisasi kepada nahdliyin terus dilakukan.
“Sebagaimana taushiyah KH Tholchah Hasan, sekarang ini harus ada yang berani mengingatkan pengurus NU. Kondisi sekarang ini sama dengan kondisi tahun 1970-an. Faktanya dari atas sampai bawah pengurus NU (mayoritas) sudah menyimpang,” tegasnya.
Hal yang sama disampaikan KH Nur Maymoun, Pengasuh PP Miftahul Ulum, Sumenep, Madura. Menurut Kiai Nur, keputusan Kiai Ma’ruf meninggalkan posisi Rais Aam tanpa ada musyawarah, ini merupakan pelanggaran berat AD/ART. Logikanya, mau jadi Rois Aam saja, jabatan politik harus dilepas. Lha ini sudah jadi Rois Aam malah lompat ke politik.
“Saya kira memang harus diberi sanksi, bahasa santrinya ‘dipares’ atau ditakzir. Digunduli saja suaranya, jangan dipilih. Kalau sampai Kiai Ma’ruf menang, maka, ke depan NU akan selalu dipakai alat politik, bahaya,” jelas Kiai Nur kepada duta.co.
Soal bahtsul masail, Kiai Nur sepakat. Dalam waktu dekat, para kiai harus membuka kitab, mengkaji lebih dalam, hasilnya nanti sebagai pijakan bergerak untuk menyelamatkan NU.
“Saya terenyuh mendengar taushiyah Kiai Tholchah. Beliau menyampaikan selamat berjuang untuk NU. NU itu melayani umat, bukan menguasai umat. Kalau paradigmanya melayani, berarti apa yang diberikan. Sementara kalau menguasai, maka, apa yang didapatkan. Hari ini NU menguasai umat,” jelas Kiai Nur dengan menyatakan sepakat bahwa, penegakan khitthah NU jangan sampai membuat gaduh.
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar