Ironisnya mereka melarang (mengharamkan) Maulid Nabi namun mereka membolehkan melaksanakan “pekan memorial” atau sepekan mengenang Muhammad bin Abdul Wahhab
Ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih al Utsaimin berfatwa bahwa salah satu alasan mereka membolehkannya adalah karena kegiatan mengenang ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab bukan dilaksanakan sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
Kalau kegiatan mereka mengenang ulama panutan mereka dikatakan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka itu artinya kegiatan mereka tersebut untuk menjauhkan diri dari Allah.
Jadi mereka tampaknya gemar melakukan hal yang buruk (keburukan) karena seluruh sikap dan perbuatan yang bukan untuk (taqarrub) mendekatkan diri kepada Allah alias menjauhkan diri dari Allah atau berpaling dari Allah adalah amal keburukan (lawan dari amal kebaikan) yakni seluruh sikap atau perbuatan yang melanggar larangan Allah Ta’ala dan RasulNya.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26)
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )
Dalam sebuah diskusi, salah seorang yang sepakat dengan fatwa pekan memorial tersebut menyampaikan pendapatnya sebagai berikut
***** awal kutipan ******
Tidak ada yang salah dengan fatwa tersebut karena pekan memorial TIDAK DIANGGAP mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah.
Pekan memorial itu hanya mengenang Muhammad bin Abdul Wahhab.
Syah syah saja atau boleh mengenang pahlawan yang dianggap berjasa menurut negara masing-masing.
Contohnya negara kita mengenang para pahlawan seperti mengenang perjuangan Jendral Sudirman.
Ummat sekarang harus tahu sejarah perjuangan para pendahulu yang memperjuangkan Islam di negerinya, mau ulama atau pahlawan lainnya.
***** akhir kutipan *****
Fatwa ulama panutan mereka tersebut untuk menjawab pertanyaan mengapa Maulid Nabi dingkari atau dilarang (diharamkan) namun pekan memorial yakni acara MENGENANG ulama mereka sebagai pahlawan tidak diingkari atau dibolehkan.
Fatwa ulama panutan mereka tersebut jelas salah karena dalil ‘aqli atau alasan mereka menggunakan logika adalah kontradiksi.
Mengapa mereka membolehkan MENGENANG ulama mereka sebagai pahlawan namun mereka melarang (mengharamkan) Maulid Nabi untuk MENGENANG Rasulullah.
Apakah lebih mulia ulama atau pahlawan mereka daripada Rasulullah?
Apakah Rasulullah bukan pahlawan bagi mereka?
Apakah mereka tidak menganggap Rasulullah memperjuangkan Islam?
Tampaknya mereka lebih mencintai ulama panutan mereka daripada mencintai Rasulullah karena mereka membolehkan mengenang dan memuji para ulama panutan mereka sepuas hati mereka dan melarang umat Islam mengenang dan memuji Rasulullah, manusia yang paling mulia sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/06/30/boleh-pekan-memorial/
Begitupula kalau dilarang (diharamkan) peringatan Maulid Nabi karena diadakan secara rutin maka hal itu bertentangan dengan sabda Rasulullah yang menganjurkan untuk melakukan kebiasaan yang baik walaupun sedikit secara rutin, konsisten atau istiqomah.
Rasulullah bersabda bersabda : “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah amalan yang terus-menerus dilakukan walaupun sedikit”
Ibnul Jauzi juga berkata : Sesungguhnya Allah lebih mencintai amalan yang dilakukan secara rutin.
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, “Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba setiap hari sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan mengendarai kendaraan, sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari I/398 hadits 1174)
Dalam mengomentari hadits ini Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dengan sekian jalur yang berbeda menunjukkan akan diperbolehkannya menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual yang baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan bepergian ke selain tiga masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan Masjid Nabawi) tidaklah haram. ((Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari III/69, Dar al-Fikr Beirut)
Para fuqaha (ahli fiqih) menetapkan bahwa peringatan Maulid Nabi maupun peringatan hari besar agama Islam lainnya seperti Nuzulul Qur’an, Isra Mi’raj, Tahun baru Islam dan lain lain hukumnya adalah MUBAH (BOLEH)
Pada hakikatnya segala perkara yang MUBAH (BOLEH) pun adalah IBADAH dan BERPAHALA karena seluruh sikap dan perbuatan selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya adalah amal kebaikan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Azza wa Jalla
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah seorang diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala. (HR Muslim 1674)
Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)
Semua contoh perkara di atas adalah yang disebut dengan ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat.
Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan.
Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)
Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf
Firman Allah Ta’ala yang artinya
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Oleh karenanya dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat apapun, termasuk yang tidak ada pada zaman Rasulullah selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan larangan RasulNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka hukum asalnya adalah mubah (boleh).
Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Contohnya amalan atau perbuatan kita menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Contoh hukum asalnya mubah menjadi haram yakni ketika tulisannya berisikan celaan karena melanggar larangan Rasulullah.
Rasulullah bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Sedangkan jika tujuan (maqoshid) kita menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala atau sunnah (mandub)
Jadi perantara (wasail) kita menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.
Jadi cara membedakan antara ibadah mahdhah dengan ghairu mahdhah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).
Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasail
Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana), maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.
Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?
Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil wasail hukmul maqoshid.
Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Jadi pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan yang mengisi acara peringatan Maulid Nabi.
Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermazhab Syafi’i dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
Pada kenyataannya Rasulullah juga memperingati kelahirannya dengan sabdanya bahwa puasa Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya
Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.
Pada hadits yang lain dapat kita ketahui alasan lain puasa Senin dan Kamis
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa puasa setiap senin dan kamis. Ketika beliau ditanya alasannya, beliau bersabda, Sesungguhnya amal para hamba dilaporkan (kepada Allah) setiap senin dan kamis.” (HR. Abu Daud 2436)
Jadi kesimpulannya alasan puasa Senin adalah
Hari dilahirkan Rasulullah
Hari diangkat menjadi Rasulullah
Hari diturunkan Al Qur’an
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Alasan puasa Kamis adalah
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Jadi kaum muslim boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.
Begitupula dengan peringatan atau perayaan ulang tahun dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di esok hari maupun di akhirat kelak
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)
Dapat kita simpulkan bahwa perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama kegiatan yang mengisi acara tersebut tidak melanggar laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Pahala diperoleh dari bentuk kegiatan untuk mengisi perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun tersebut.
Bagi umat Islam, bid’ah bukan hukum dalam Islam yang membatasi kita untuk tidak melakukan apapun yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah.
Hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Jumhur ulama terdahulu seperti Al Imam Al Hafizh An Nawawi, Al Imam Al Hafizh Al Qurthubi, Al Imam Al Hafizh As Suyuthi dan lainnya telah sepakat bahwa salah satu DALIL BID’AH HASANAH adalah hadits tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH.
Hadits tersebut adalah hadits untuk men-TAKHSIS hadits “kullu bid’atin dholalah”
Pengertian TAKHSIS adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk di dalam lafadz ‘AMM.
Para ulama men-takhsis atau menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘amm dengan dalil sehingga takhsis ada dua yakni takhsis muttasil dan takhsis munfasil
Takhsis Muttasil ialah dimana takhsis itu terjadi dalam satu kalimat yang sama.
Takhsis Munfasil ialah takhsis yang berada dalam kalimat yang lain atau terpisah.
Jadi para fuqaha (ahli fiqih) membolehkan memperingati Maulid Nabi, salah satunya berdalilkan hadits Rasulullah seperti,
Rasulullah alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang melakukan satu SUNNAH HASANAH dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan SUNNAH tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu SUNNAH SAYYIAH dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan SUNNAH tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)
Kata SUNNAH dalam hadits tentang “SUNNAH HASANAH” dan “SUNNAH SAYYIAH” bukanlah Sunnah Rasulullah karena tidak ada Sunnah Rasulullah yang sayyiah (buruk)
Jadi kata SUNNAH dalam hadits tentang “SUNNAH HASANAH” dan “SUNNAH SAYYIAH” artinya contoh (teladan) atau kebiasaan baru yakni kebiasaan yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya.
Contoh (teladan) atau kebiasaan baru tersebut bisa baik (hasanah) dan bisa pula buruk (sayyiah)
Jadi kesimpulannya Rasulullah menyebut BID’AH HASANAH dengan istilah SUNNAH HASANAH artinya contoh (teladan) atau muhdats (perkara baru) atau kebiasaan baru yang BAIK yakni contoh atau kebiasaan baru yang tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Sedangkan Rasulullah menyebut BID’AH SAYYIAH dengan istilah SUNNAH SAYYIAH artinya contoh (teladan) atau muhdats (perkara baru) atau kebiasaan baru yang BURUK yakni contoh atau kebiasaan baru yang menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan antara SUNNAH HASANAH dengan SAYYIAH adalah adanya kesesuaian atau tidak dengan pokok-pokok syar’i“
Jadi perbedaan antara SUNNAH HASANAH (BID’AH HASANAH) dengan SUNNAH SAYYIAH (BID”AH SAYYIAH) adalah tidak bertentangan atau bertentangan dengan pokok-pokok syar’i yakni Al Qur’an dan As Sunnah.
Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ .
“Cara mengetahui BID’AH yang HASANAH dan SAYYIAH menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk BID’AH HASANAH, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk BID’AH SAYYIAH (MUSTAQBAHAH)” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Begitupula Imam Syafi’i berkata bahwa perkara baru (bid’ah atau muhdats) dalam perkara kebiasaan yang tidak terdapat pada masa Rasulullah yang menyalahi atau yang bertentangan dengan syara atau yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits adalah bid’ah yang sesat
Sedangkan perkara baru (bid’ah atau muhdats) dalam perkara kebiasaan yang tidak terdapat pada masa Rasulullah yang tidak menyalahi atau yang tidak bertentangan dengan syara’ atau yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah)
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ،
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah BID’AH yang SESAT (bid’ah dholalah).
وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah BID’AH yang TERPUJI (BID’AH MAHMUDAH atau BID’AH HASANAH), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Kita umat Islam prihatin melihat mereka yang karena salah paham tentang bid’ah sehingga mereka dapat terjerumus menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah yakni mereka menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya mereka menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya.
Para Imam Mujtahid telah mengingatkan jangan sampai salah dalam berijtihad dan beristinbat (menggali hukum) dari Al Qur’an dan Hadits sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya karena hal itu termasuk perbuatan menyekutukan Allah
Firman Allah yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Bahkan Adz Dzahabi murid Ibnu Taimiyyah sendiri dalam kitab beliau Al Kabair (mengenai dosa-dosa besar) berkata, “Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal berarti ia melakukan kekufuran.
Jadi mereka yang merasa atau mengaku mengikuti salaf pada kenyataannya mereka mengikuti salafnya adalah mengikuti orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim.
Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk Najed dari bani Tamim walaupun termasuk salaf / sahabat (bertemu dengan Rasulullah) namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga menjadikannya sombong dan durhaka kepada Rasulullah yakni merasa lebih pandai dari Rasulullah sehingga berani menyalahkan dan menghardik Rasulullah.
Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. (HR Bukhari 3341)
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed dari bani Tamim adalah orang-orang yang suka mencela, menyalahkan umat Islam lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sehingga mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang disebut dengan khawarij.
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Oleh karena orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed dari bani Tamim salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka bersikap takfiri yakni mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka dan berujung menghalalkan darah atau membunuhnya.
Rasulullah bersabda: “Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’ maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun apabila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.” (HR Muslim).
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengungkapkan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij dengan ungkapan majaz (kiasan atau metaforis), “anak muda” atau “orang-orang muda” yakni orang-orang yang belum memahami agama dengan baik.
Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (Khairi Qaulil Bariyyah).
Maksudnya mereka suka berdalil dengan Al Qur‘an dan Hadits tapi itu semua dipergunakan untuk menyalahkan atau menuduh (menganggap) sesat atau bahkan mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompok mereka atau orang-orang yang tidak mau mengikuti Al Qur’an dan Hadits yang dibaca dan dipahami secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Al A‘masy dari Khaitsamah dari Suwaid bin Ghafalah berkata, ‘Ali radliallahu ‘anhu berkata: Sungguh, aku terjatuh dari langit lebih aku sukai dari pada berbohong atas nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan jika aku sampaikan kepada kalian tentang urusan antara aku dan kalian, (ketahuilah) bahwa perang itu tipu daya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: Akan datang di akhir zaman orang-orang muda dalam pemahaman (lemah pemahaman atau sering salah pahaman). Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (Khairi Qaulil Bariyyah, maksudnya suka berdalil dengan Al Qur‘an dan Hadits) namun mereka keluar dari agama bagaikan anak panah melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak sampai ke tenggorokan mereka. (HR Bukhari 3342)
Dalam riwayat di atas, Rasulullah telah menetapkan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij telah murtad (keluar dari Islam) “bagaikan anak panah meluncur dari busurnya”
Oleh karenanya orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim walaupun termasuk Sahabat Nabi karena bertemu dengan Rasulullah namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga mereka kelak akan diusir dari telaga Rasulullah karena mereka telah ditetapkan murtad, pelaku dosa besar yakni bid’ah dalam urusan agama dan membunuh umat Islam
Dari Abu Hurairah bahwasanya ia menceritakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Pada hari kiamat beberapa orang sahabatku mendatangiku, kemudian mereka disingkirkan dari telaga, maka aku katakan; ‘ya Rabbi, (mereka) sahabatku! ‘ Allah menjawab; ‘Kamu tak mempunyai pengetahuan tentang yang mereka kerjakan sepeninggalmu. Mereka berbalik ke belakang dengan melakukan murtad, bid’ah dan dosa besar. (HR Bukhari 6097).
Dalam riwayat di atas jelas bahwa Rasulullah bersabda “ya Rabbi, mereka sahabatku” artinya mereka bertemu Rasulullah namun mereka tidak mengikuti Rasulullah melainkan mereka mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga mereka suka mencela, menyalahkan dan bahkan mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sehingga mereka melakukan dosa besar, menghalalkan darah atau membunuhnya.
Selain dosa besar mereka menghalalkan darah atau membunuh umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka, dosa besar orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij adalah mereka tidak menepati janjinya “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau menguranginya” yakni mereka melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’aa dan RasulNya dan mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya
Rasulullah telah bersabda bahwa kejahatan paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah melarang atau mengharamkan hanya karena pertanyaan saja bukan berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Rasulullah bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Jadi mereka yang gagal paham tentang bid’ah, mereka dapat terjerumus mengikuti orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij yakni para pelaku bid’ah urusan agama.
Para pelaku bid’ah urusan agama adalah mereka yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perkara agama atau urusan agama meliputi perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) maupun larangan (jika dilanggar berdosa) berasal dari Allah Azza wa Jalla bukan menurut akal pikiran manusia.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).
Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.
Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.
Para ulama mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah.
Jadi orang-orang yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya ADALAH terjerumus bid’ah dalam urusan agama dan mereka secara tidak langsung menganggap Allah Ta’ala lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Rasulullah shallallau alaihi wasallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”
Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.
Oleh karenanya dikatakan pelaku bid’ah dalam urusan agama lebih disukai Iblis daripada pelaku maksiat karena mereka menjadikan sembahan-sembahan selain Allah dan karena para pelaku tidak menyadarinya sehingga mereka sulit bertaubat.
Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang melakukan bid’ah dalam urusan agama..
Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 )
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS Asy Syuura [42]:21)
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31)
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya
Firman Allah Ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)
Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya
Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti
1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
3. Melarang dirinya untuk menikah
Namun Rasulullah menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Jadi orang-orang yang gagal paham tentang bid’ah akibat salah memahami dan menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka dapat terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Nasrani yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Berikut contoh riwayat yang menceritakan cara Rasulullah mengajarkan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim tentang mana yang diwajibkan (perkara Wajib) dan mana yang sunnah (perkara Sunnah).
Telah menceritakan kepada kami Isma’il Telah menceritakan kepadaku Malik bin Anas dari pamannya – Abu Suhail bin Malik – dari bapaknya, bahwa dia mendengar Thalhah bin ‘Ubaidullah berkata: Telah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seorang dari penduduk Najed dalam keadaan kepalanya penuh debu dengan suaranya yang keras terdengar, namun tidak dapat dimengerti apa maksud yang diucapkannya, hingga mendekat (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) kemudian dia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Shalat lima kali dalam sehari semalam”. Kata orang itu: “apakah ada lagi selainnya buatku”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat) “. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dan puasa Ramadlan”. Orang itu bertanya lagi: “Apakah ada lagi selainnya buatku”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat) “. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut: “Zakat”: Kata orang itu: “apakah ada lagi selainnya buatku”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat) “. Thalhah bin ‘Ubaidullah berkata: Lalu orang itu pergi sambil berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau menguranginya”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dia akan beruntung jika jujur menepatinya”.
Pada bagian akhir riwayat di atas, Rasulullah bersabda “Dia akan beruntung jika jujur menepatinya”.
Rasulullah tentu sudah tahu bahwa orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim kelak tidak menepati pengakuan atau janjinya yakni mereka menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya mereka menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya
Contoh orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya adalah mereka mewajibkan bercukur gundul (plontos) sehingga menjadi salah satu ciri khas mereka
“Abdullah bin Umar berkata : “ Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al-Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka (tidak sampai ke hati), mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak panah yang tak akan kembali ketempatnya, tanda-tanda mereka ialah bercukur plontos (gundul). (HR Bukhori , Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, & Ibnu Hibban) .
Contoh lainnya orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya adalah suka menampakkan “bekas” amalnya sehingga menjadi salah satu ciri khas mereka yakni mewajibkan tanda bekas sujud (hitam) pada dahi mereka akibat pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sehingga mereka salah memahami firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka (sesama muslim). Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS Al Fath [48]:29)
Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ (QS Al Fath [48]:29), apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702)
Dalam al-Shawi ‘ala al-Jalalain dikatakan terjadi perbedaan pendapat mengenai makna tanda tersebut. Sebagian ulama mengatakan bagian wajah yang kena sujud itu dilihat pada hari kiamat laksana bulan purnama. Pendapat lain mengatakan pucat wajah karena berjaga malam. Sebagian lain berpendapat khusyu’ yang muncul pada anggota tubuh sehingga seperti dilihat mereka dalam keadaan sakit, padahal mereka tidak sakit.
Selanjutnya al-Shawi menegaskan tidak termasuk dari maksud tanda dari bekas sujud itu apa yang dilakukan oleh sebagian orang bodoh yang sengaja memperlihatkan tanda bekas sujud pada dahinya, maka itu adalah perbuatan kaum Khawarij. Kemudian al-Shawi mengutip hadits Nabi yang berbunyi yang artinya “Sesungguhnya aku sangat membenci seseorang apabila aku melihat di antara dua matanya bekas sujud” (Al-Shawi, Hasyiah al-Shawi ‘ala al-Jalalain, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 106)
Hadits yang dikutip oleh al-Shawi di atas adalah hadits dari Syarik bin Syihab
Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku.
Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali.
Kemudian beliau bersabda, “Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun al Qur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. (HR Ahmad no 19798)
Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut.
Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)
Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).
Contoh lainnya orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya yang menjadi ciri khas mereka adalah gamis mereka sederhana, cingkrang dan sombong.
Gamis mereka cingkrang yakni dalam keadaan selalu tersingsing, jauh di atas mata kaki, untuk selalu mencegah isbal.
Berikut penggambaran Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ketika diizinkan oleh Khalifah Sayyidina Ali untuk menemui orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij.
Lalu Ibn Abbas memakai pakaian yang paling bagus produk negeri Yaman.
Ibn Abbas berkata: “Aku menyisir rambutku dengan rapi dan mendatangi mereka pada waktu terik matahari.
Maka aku memasuki suatu kaum yang belum pernah aku melihat sangat hebatnya mereka (bersungguh-sungguh) dalam beribadah.
Dahi-dahi (jidat) mereka menghitam karena sujud.
Tangan-tangan mereka kasar seperti lutut unta (karena banyaknya beribadah).
Mereka memakai gamis yang sederhana dan dalam keadaan selalu tersingsing (jauh di atas mata kaki, untuk selalu mencegah isbal)
Dari wajah mereka, tampak sekali kalau mereka tidak tidur malam untuk beribadah
(Penggambaran oleh Ibnu Abbas ra tentang ciri-ciri khas kaum khawarij atau orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim termuat pula dalam Tablis Iblis karangan Imam Ibnu Jauzi penerbit Darr Al-Qalam Beirut Libanon tahun 1403 H hal. 88-91)
Jadi gamis sederhana mereka cingkrang dan sombong sama dengan mereka yang isbal karena sombong.
Dari Ibnu ‘Umar diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” Kemudian Abu Bakar bertanya, “Sesungguhnya sebagian dari sisi sarungku melebihi mata kaki, kecuali aku menyingsingkannya.” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.” [HR. Jama’ah, kecuali Imam Muslim dan Ibnu Majah dan Tirmidizi tidak menyebutkan penuturan dari Abu Bakar.]
Dari Ibnu ‘Umar dituturkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: “Isbal itu bisa terjadi pada sarung, sarung dan jubah. Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” [HR. Abu Dawud, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah]
Kata khuyalaa’ berasal dari wazan fu’alaa’. Kata al-khuyalaa’, al-bathara, al-kibru, al-zahw, al-tabakhtur, bermakna sama, yakni sombong dan takabur.
Pendapat serupa disampaikan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim
Adapun hadits-hadits yang mutlaq bahwa semua pakaian yang melewati mata kaki di neraka, maksudnya adalah bila dilakukan oleh orang yang sombong. Karena dia mutlaq, maka wajib dibawa kepada muqayyad, wallahu a’lam.
Dan Khuyala’ adalah kibir (sombong). Dan pembatasan adanya sifat sombong mengkhususkan keumuman musbil (orang yang melakukan isbal) pada kainnya, bahwasanya yang dimaksud dengan ancaman dosa hanya berlaku kepada orang yang memanjangkannya karena sombong. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam telah memberikan rukhshah (keringanan) kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq ra seraya bersabda, “Kamu bukan bagian dari mereka.” Hal itu karena panjangnya kain Abu Bakar bukan karena sombong.
Berikut pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari terhadap hadits berikut,
Telah menceritakan kepada kami Mathar bin Al Fadl telah menceritakan kepada kami Syababah telah menceritakan kepada kami Syu’bah dia berkata; saya berjumpa Muharib bin Ditsar di atas kudanya, ketika ia datang di tempat untuk memutuskan suatu perkara, lalu aku bertanya tentang suatu hadits, maka dia menceritakan kepadaku, katanya; saya mendengar Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhuma berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menjulurkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat kelak.” Lalu tanyaku kepada Muharib; “Apakah beliau menyebutkan kain sarung?” dia menjawab; “Beliau tidak mengkhususkan kain sarung ataukah jubah.” (HR Bukhari 5345)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, Di dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa isbal izar (sarung) karena sombong termasuk dosa besar. Sedangkan isbal bukan karena sombong meski kalau hadits dipahami dengan makna dzahir mengharamkannya juga, namun hadits-hadits ini menunjukkan adalah taqyid (syarat ketentuan) karena sombong. Sehingga penetapan dosa yang terkait dengan isbal tergantung kepada masalah ini. Maka tidak diharamkan memanjangkan kain atau isbal asalkan selamat dari sikap sombong. (Lihat Fathul Bari, hadits 5345)
Begitupula Rasulullah tidak mencontohkan atau menyuruh memotong sarung atau celana jauh di atas mata kaki namun Beliau mencontohkan mengangkat atau menggulung sarung di atas mata kaki agar terjaga kebersihannya dan Allah Ta’ala mencintai kebersihan bukan terkait isbal karena sombong.
Perintah mengangkat atau menggulung sarung menunjukkan bahwa sarung pada asalnya menutupi mata kaki.
Beberapa saat sebelum Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, seorang pemuda datang menjenguk untuk mendoakan dan menghibur Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika pemuda itu mohon izin, Umar melihat pakaiannya menutupi mata kaki. Umar pun menegur, “Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu. Itu lebih bersih dan bisa menambah takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala!” (HR. al-Bukhari no. 3424)
“Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Qurm dari Al Asy’ats dari bibinya, Ruhm dari pamannya, ‘Ubaidah bin Khalaf berkata; Aku tiba di Madinah, aku adalah pemuda yang bersarung dengan kain selimut kelabu, aku menyeretnya, seseorang menemuiku dan mencelaku dengan tongkatnya, ia berkata; “ingat, bila kau angkat bajumu itu lebih membuatnya awet dan bersih” Lalu aku menoleh ternyata dia adalah Rasulullah shalllallahu alaihi wasallam. (H.R. Ahmad No. 22008)
Mantan mufti agung Mesir , Prof Dr Ali Jum’ah membuat sebuah buku yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit Khatulistiwa Press yang berjudul Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’
Berikut kutipan dari bab yang berjudul “Menjadikan Penampilan Lahir (pakaian dan cadar) sebagai bagian dari ibadah” halaman 211
***** awal kutipan *****
Kaum ‘salafi’ berusaha membedakan diri mereka dari kaum muslilin lainnya melalui penampilan luar. Maka, mudah mengenali mereka dari penampilannya. Mereka bersikukuh menentang gaya pakaian yang dikenakan kaum muslimin masa kini, dan mendorong mengenakan pakaian yang identik dengan masa lampau, yang tidak lain sebetulnya merupakan adat istiadat dari sebuah masyarakat lain.
Dengan begitu , mereka mengira telah mendekatkan diri kepada Allah sekalipun telah merusak citra mereka, bahkan (menggiring) mereka menjadi sebuah komunitas yang kaku dan kolot dalam berpikir.
Mengenai pakaian ini, Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al Qur’an yang artinya, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (al-A’raaf : 31)
Allah Ta’ala menjadikan konteks ayat ini umum bagi seluruh anak Adam, baik laki-laki maupun perempuan, muslim ataupun non musli. Dan Allah memerintahkan mereka untuk mengenakan pakaian yang indah. Maksudnya, mengenakan pakaian yang bisa menutupui aurat, dan pakaian yang indah di setiap tempat berkumpulnya anak Adam as, baik di masjid, sekolah, universitas, tempat bekerja dan tempat-tempat lainnya.
Ayat di atas menetapkan sebuah asal hukum untuk perbaikan agama dan masyarakat. Menurut kalangan ahli tafsir, sebab turunya ayat itu berkaitan dengan kebiasaan orang-orang Arab dulul yang berthawaf mengelilingi Ka’bah dalam keadaan tidak memakai pakaian (telanjang), baik laki-laki maupun perempuan. Perbuatan telanjang seperti ini banyak terjadi pada bangsa-bangsa lain. Bahkan sampai hari ini pun masih kita jumpai di sebagian negara yang belum mendapat cahaya Islam.
Ayat di atas tidak menentukan jenis dan bentuk pakaian yang harus dipakai, karena Islam mempunyai syariat yang relevan di setiap masa dan tempat. Perintah umum dalam ayat di atas adalah, hendaknya seseorang mengenakan pakaian yang indah setiap bertemu dengan orang lain, sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, hendaknya selaras dengan kebiasaan di masanya dan adat istiadat kaumnya.
Untuk itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tidak pernah memiliki pakaian khusus yang berbeda dengan pakaian orang-orang di masanya. Beliau juga tidak pernah membuat bentuk khusus pakaian, agar tidak menyusahkan umatnya.
Ada keterangan dalam kitab-kitab hadits bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah mengenakan pakaian yang agak ketat, tapi juga pernah memakai pakaian yang agak longgar. Begitupula para Sahabat dab Tabi’in, mereka juga melakukan hal yang sama. Tidak pernah ada tuntunan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, salah satu Sahabat atau Tabi’in mengenai bentuk khusus pakaian, baik untuk laki-laki ataupun perempuan.
Mengenai urusan bentuk pakaian, desainnya yang melingkari tubuh, dan segala macam perinciannya, syara’ menyerahkan kepada ahlinya. Sebab, hal semacam itu termasuk masalah duniawiyah yang bisa diketahui berdasarkan kebutuhan, tren dan adat istiadat masyarakat setempat.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah melihat seorang laki-laki mengenalkan mantel Arab (Hejaz) berbodir benang butih dan hitam. Dia lalu berkata, “Tanggalkanlah bajumu ini, dan pakailah pakaian penduduk negerimu.” Laki-laki itu membantah, “Pakaian ini tidak haram dipakai”. Imam Ahmad menjawab, “Seandainya kamu sedang di Mekkah atau Madinah, aku tidak akan mencelamu seperti ini (Muhammad as-Safarini, Ghidzaa’il ‘Albaab, 2/163)
Jenis dan bentuk pakaian yang sedang ngetrend di tengah masyarakat selama masih berada dalam lingkaran pakaian syar’i, yaitu tidak terlalu ketat, tidak terlalu tipis, tidak membuat aurat kelihatan, dan tidak dipakai untuk bergaya maka hukumnya boleh.
***** akhir kutipan ******
Jadi petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam berpakaian adalah mengenakan pakaian yang biasa dikenakan oleh penduduk di negara setempat dan sesuai dengan kebiasaan mereka berpakaian. Pakaian yang tidak terlalu ketat, tidak terlalu tipis, tidak membuat aurat kelihatan dan tidak dipakai untuk bergaya maka hukumnya boleh.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam justru membenci pakaian yang tidak biasa dikenakan oleh masyarakat di suatu negeri dan pakaian yang dikenakan karena ingin mencari popularitas semata.
Abu Walid al Baji berkata “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membenci pakaian yang tidak biasa dikenakan (di masyarakat) dan pakaian yang dikenakan karena ingin mencari popularitas semata. Seperti halnya beliau membenci pakaian yang bisa membuat pemiliknya menjadi populer karena keindahannya (al Baji, al Muntaqaa Syarkhil Muwaththa 7/219)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang mengenakan dua jenis pakaian syuhrah, yaitu mengenakan pakaian bagus karena ingin dilihat orang atau mengenakan pakaian jelek agar dilihat orang (Imam Al Baihaqi dalam as Sunan al Kubra 3/273 hadits no 5897)
Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya Allah akan mengenakan pakaian kehinaan kepadanya di hari kiamat nanti, kemudian membakarnya dengan api neraka (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dari Abu Dzar ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas), niscaya Allah akan berpaling darinya sampai ia menanggalkan pakaian tersebut (HR Ibnu Majah)
Imam asy Syaukani berkata, “Ketika pakaian yang dikenakan adalah dimaksudkan untuk mencari popularitas di tengah masyarakat, maka tidak ada bedanya apakah pakaian itu baik atau buruk. Karena yang menjadi standarad adalah pakaian itu sesuai atau berbeda dengan yang umum dikenakan di masyarakat itu. Sebab, keharaman syuhrah, berputar pada illat (sebab) mencari popularitas. Yang menjadi standard hukum adalah maksud dari perbuatan, sekalipun maksud itu secara nyata tidak sesuai dengan kenyataan yang ada (asy Syaukani , Nailul ‘Athaar 2/111)
Syaikh Abdul Qadir al Jailani berkata, “Di antara pakaian yang harus dijauhi adalah pakaian yang dikenakan untuk mencari popularitas di tengah masyarakat, seperti keluar dari kebiasaan negara atau keluarganya. Hendaklah ia mengenakan pakaian yang cocok buatnya, agar ia tidak ditunjuk dengan jari-jari telunjuk. Karena hal ini bisa memicu orang lain mencela dirinya sehingga ia pun ikut-ikutan mendapatkan dosa mencela, bersama dengan mereka yang mencela dirinya (Muhammad as Safarini , Ghidzaa’il Albaab 2/162)
Imam Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Mushannaf-nya meriwayatkan dari Abbad bin Al Awwam, dari al Hushain ia berkata, “Zabid al Yami pernah mengenakan burmus (baju luar panjang yang bertutup kepala). Aku pernah mendengar Ibrahim mencelanya lantaran mengenakan baju itu. Aku lalu berkata kepadanya, “Sesungguhnya orang-orang dulu pernah mengenakannya”. Ibrahim menjawab “Iya, namun orang yang dulu mengenakannya sekarang sudah mati. Maka, apabila ada orang yang mengenakannya sekarang, orang-orang akan menganggapnya mencari popularitas. Dengan itu mereka akan mencibirnya dengan jari-jari telunjuk mereka (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf 6/81)
Contoh lainnya mereka menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya adalah mereka mewajibkan berjenggot dan mengharam (melarang) mencukur jenggot
Pada hakikatnya Allah Azza wa Jalla tidak akan mewajibkan memelihara jenggot karena tidak semua pria dianugerahiNya tumbuh jenggot yang lebat melebar.
Jadi orang yang tidak berjenggot lebat dan melebar tidaklah dikatakan menyelisihi Rasulullah
Imam Ghozali berkata : “Syuraih Al-Qoodhli berkata : “Aku berharap kalau aku memiliki jenggot, meskipun harus membayar 10 ribu dinar/dirham” (Ihyaa ‘Uluum ad-Diin 2/257)
Para sahabat Al-Ahnaf bin Qois berkata, “Kami berangan-angan untuk membelikan jenggot buat Al-Ahnaf meskipun harus membayar 20 ribu dinar/dirham” (Ihyaa ‘Uluum ad-Diin 2/257)
Ulama Hanabila, Ibnu Muflih mengharamkan mencukur jenggot selama tidak kuatir buruk penampilannya jika dibiarkan panjang
Beliau berkata, “Dibiarkan jenggotnya, di dalam mazhab selama tidak dikuatirkan buruk panjangnya dan haram mencukurnya, itu disebut oleh guru kami”. (Ibnu Muflih, al-Furu’, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 92)
Begitupula diperbolehkan memotong jenggot yang terlalu panjang sehingga membuat jelek penampilannya. Pendapat ini merupakan pendapat masyhur dari Malik bin Anas dan Qadli ’Iyadl.
Perkataan Imam Malik tentang bolehnya memotong jenggot karena panjangnya sehingga nampak padanya aib adalah sebagaimana terdapat dalam At-Tamhid karya Ibnu ’Abdil-Barr (24/145) dan Al-Muntaqaa karya Al-Baaji (3/32).
Sedangkan kebanyakan ulama Syafi’iyah berpendapat makruh mencukur jengggot, bukan haram, yaitu al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib, dan lainnya.
Berdasarkan kesepakatan ulama Syafi’iyah mutaakhiriin bahwa yang menjadi ikutan dalam mazhab Syafi’i adalah pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi dan al-Rafi’i, kemudian Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, Zakariya al-Anshari, al-Khatib dan kemudian ulama-ulama lainnya yang berada di bawahnya.
Dalam Fathul Mu’in disebutkan, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya yang mu’tamad dalam mazhab untuk penetapan hukum dan fatwa adalah apa yang menjadi kesepakatan dua syaikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i), kemudian yang dipastikan oleh al-Nawawi, kemudian oleh al-Rafi’i, kemudian hukum yang ditarjih oleh kebanyakan, kemudian yang lebih ‘alim dan kemudian yang lebih wara’.
Para Sahabat juga “mempertanyakan” jenggot orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yang terkenal gigih menjalankan sunnah Rasulullah seperti sholat malam (tahajjud) namun tidak menjadikan mereka seperti Rasulullah atau tidak menjadikan mereka berakhlak baik atau muslim yang Ihsan.
Dalam syarah Shahih Muslim, Jilid. 17, No.171 diriwayatkan Khalid bin Walīd ra bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed dari bani Tamim yang suka menampakkan “bekas” amalnya dan berakhlak buruk dengan pertanyaan,
****** awal kutipan *****
“Wahai Rasulullah, orang ini memiliki semua bekas dari ibadah-ibadah sunnahnya: matanya merah karena banyak menangis, wajahnya memiliki dua garis di atas pipinya bekas airmata yang selalu mengalir, kakinya bengkak karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud) dan jenggot mereka pun lebat”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab : camkan makna ayat ini : qul in’kuntum tuhib’būnallāh fattabi’unī – Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Khalid bin Walid bertanya, “Bagaimana caranya ya Rasulullah ? ”
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah seperti aku, bersikaplah penuh kasih, cintai orang-orang miskin dan papa, bersikaplah lemah-lembut, penuh perhatian dan cintai saudara-saudaramu dan jadilah pelindung bagi mereka.”
***** akhir kutipan *****
Dari riwayat di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegaskan bahwa ketaatan yang dilakukan oleh orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed dari bani Tamim dan suka “menampakkannya” tidaklah berarti apa-apa karena tidak menimbulkan ke-sholeh-an.
Orang-orang yang mengamalkan sunnah Rasulullah namun tidak menjadikannya muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah adalah menunjukkan amal ibadah mereka tidak diterima oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/10/09/lima-penyebab-tak-diterima/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
bagaimana cara kita menyikapi bila ada seseorang di sekitar kita menganggap bahwa dzikir itu bid’ah?
Apa yang dimaksud oleh mereka “dzikir itu bid’ah”?
Bid’ah itu perkara baru atau muhdats.
Lalu dzikir yang mana yang dimaksud mereka itu bid’ah atau perkara baru atau muhdats?
Ustadz, tolong jangan dihapus. Biarkan orang bisa membandingkan mana yang Haq dan Bathil.
Kajian Lengkap Pro-Kontra Hakikat Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dan Maulid Nabi. Sampai Akhir Abad Ketiga Hijriyah Tidak Pernah Ada Perayaan Maulid. Pro-Maulid Merujuk Pendapat Ulama Setelah Abad Kelima Hijriyah.
http://lamurkha.blogspot.co.id/2017/04/kajian-lengkap-pro-kontra-hakikat_7.html
لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Lau Kaana Khairan Lasabaquuna Ilaihi“
“Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentulah para sahabat telah mendahului kita dalam mengamalkannya”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Para Sahabat, Para Thabi’in, Thabi’ut Thabi’in, Imam Mazhab yang Empat, Para Ulama Hadits Seperti Imam Bukhari- Muslim, Tidak Ada Yang Pernah Satu Kalipun Mengadakan Perayaan Maulid Nabi….
(Tiga Abad Pertama Hijriyah dan Paling Utama)
Ustadz Abdul Somad, Lc, MA : Hukum Peringatan Maulid. Juga Pendapat Zon Jonggol (Mutiara Zuhud) dan Ustadz Drs. Idrus Ramli (NU Garis Lurus). Bandingkan Dengan Paparan Artikel Komprehensif (Pro-Kontra) dilamurkha.
http://lamurkha.blogspot.co.id/2017/06/ustadz-abdul-somad-lc-ma-hukum.html?m=0
Astaghfirullah mas Abu Husein, apa yang anda katakan sebagai “Kajian Lengkap” justru dapat menjerumuskan anda mengikuti orang-orang yang menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya.
Silahkan baca tulisan terkait https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/10/06/melarang-tidak-dilarangnya/
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Para Imam Mujtahid telah mengingatkan jangan sampai salah dalam berijtihad dan beristinbat (menggali hukum) dari Al Qur’an dan Hadits sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya karena hal itu termasuk perbuatan menyekutukan Allah
Firman Allah yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Bahkan Adz Dzahabi murid Ibnu Taimiyyah sendiri dalam kitab beliau Al Kabair (mengenai dosa-dosa besar) berkata, “Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal berarti ia melakukan kekufuran.
Begitupula ada kita temukan mereka yang melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau melarang (mengharamkan) tidak berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan Hadits melainkan berdasarkan perkataan manusia seperti, “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi”
Perkataan tersebut bukan firman Allah Ta’ala, bukan sabda Rasulullah dan bukan pula perkataan para Sahabat.
Bahkan perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” mirip dengan perkataan orang-orang kafir dalam firmanNya,
“waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam yahtaduu bihi fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiimun
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al-Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama”. (QS al Ahqaaf [46]:11 ).
Ayat Al Ahqaaf [46]:11 tentang orang-orang kafir meremehkan orang-orang yang beriman yakni Bilal, ‘Ammar, Shuhaib, dan Khabbab serta orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan kaum lemah, para budak dan hamba sahaya, karena mereka (orang-orang kafir) berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kedudukan terhormat
Qutadah mengatakan bahwa ayat Al Ahqaaf [46]:11 diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang musyrikin (kafir) yang suatu ketika berkata, “Kami yang paling mulia, perkasa, dan terhormat. Jika terdapat kebaikan dalam Al-Qur’an / Islam, tentulah kami yang pertama kali masuk Islam (Diriwayatkan Ibnu Jarir)
Secara umum QS Al-Ahqaaf [46]:11 itu menyampaikan bahwa orang-orang kafir meremehkan, bahwa jika beriman pada Al-Qur’an itu mendatangkan kebaikan tentu derajat atau kedudukan Bilal, ‘Ammar, Shuhaib dll akan sebaik mereka.
Perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” memang ada dalam kitab Ibnu Katsir pada tafsir (QS al Ahqaaf [46]:11) namun perlu ada penyelidikan lebih lanjut kehadiran perkataan tersebut karena perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” sebagaimana yang diartikan oleh mereka tidak ada kaitannya dengan ayat yang ditafsir.
Bahkan dari perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” tidak ada kata yang dapat diartikan sebagai “para Sahabat”
Ayat (QS al Ahqaaf [46]:11) justru menjelaskan bahwa para Sahabat “melakukannya” sedangkan orang kafir tidak “melakukannya”.
Para Sahabat “mengamalkannya” sedangkan orang kafir tidak “mengamalkannya”
Para Sahabat beriman pada Al Qur’an sedangkan orang kafir tidak beriman pada Al Qur’an
Kebiasaan yang dilakukan atau tidak dilakukan para Sahabat bukanlah hukum dalam Islam yang membatasi untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan.
Umat Islam boleh melakukan kebiasaan apapun selama tidak melanggar larangan Allah Ta’ala dan RasulNya.
Begitupula bagi umat Islam, bid’ah bukan hukum dalam Islam yang membatasi kita untuk tidak melakukan apapun yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah.
Hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Ada pula dari mereka yang menjilat air ludahnya sendiri alias meralat pendapatnya bahwa ternyata tidak semua bid’ah itu terlarang.
Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua yakni
1) Bid’ah diniyah (urusan agama) yang terlarang
2) Bid’ah duniawiyyah (urusan dunia) tidak terlarang.
Mereka terpaksa menciptakan perantara, yang jika tanpa perantara ini mereka tidak dapat melakukan aktifitas yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun para Sahabat.
Pembagian atau klasifikasi bid’ah tersebut tidak pernah disebutkan oleh para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Mereka yang mengingkari pembagian bid’ah ke yang baik (hasanah) dan buruk (sayyiah) berdasarkan hadits Rasulullah tentang sunnah hasanah dan sunnah sayyiah maka pembagian bid’ah menjadi bid’ah diniyyah yang tidak boleh dan bid’ah duniawiyyah yang boleh, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ada yang sayyiah (buruk) sebenarnya karena mereka berpendapat bahwa bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum.
Sebab dengan sikap ini mereka memvonis bahwa semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulkan fitnah dan bencana.
Mereka dapat terjerumus mengikuti paham sekularisme yang dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) didefinisikan bahwa pengikut sekularisme agama adalah mereka yang memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan urusan dunia atau hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
Pengikut paham sekularisme yang mengaku muslim menyalahgunakan potongan hadits ,”wa antum a’lamu bi amri dunyakum, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu”. (HR. Muslim 4358)
Riwayat selengkapnya,
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan ‘Amru An Naqid seluruhnya dari Al Aswad bin ‘Amir; Abu Bakr berkata; Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Amir; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Hisyam bin ‘Urwah dari Bapaknya dari ‘Aisyah dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma lalu beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik”. Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: ‘Ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab; Bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal itu? Beliau lalu bersabda: ‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian’ (HR Muslim 4358)
Kaum sekulerisme berpendapat urusan dunia tidaklah diurus oleh agama, terbukti dalam hadits tersebut Rasulullah salah memberikan nasehat dalam penanaman kurma berikut contoh pernyataan mereka selengkapnya,
**** awal kutipan *****
“Ketika Nabi shallalahu alaihi wasallam memberikan nasihat tentang cara mengawinkan pohon kurma supaya berbuah, ini bisa dianggap bahwa beliau sudah memasukkan otoritas agama untuk urusan duniawi yang di mana beliau tidak mendapatkan wahyu atau kewenangan untuk itu.
Tapi ternyata dalam masalah menanam kurma ini pendapat beliau keliru. Pohon kurma itu malah menjadi mandul. Maka para petani kurma itu mengadu lagi kepada Nabi saw, meminta pertanggungjawaban beliau. Dan beliau menyadari kesalahan advisnya waktu itu dan dengan rendah hati berkata, “Kalau itu berkaitan dengan urusan agama ikutilah aku, tapi kalau itu berkaitan dengan urusan dunia kamu, maka “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum”, kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu.
Rasulullah mengakui keterbatasannya. Rasulullah bukanlah penentu untuk segala hal. Rasul bukanlah orang yang paling tahu untuk segala hal. Bahkan untuk urusan dunia di jaman beliau pun beliau bukanlah orang yang paling tahu.
Jadi tidak mungkin jika kita menuntut Rasulullah untuk mengetahui segala sesuatu hal tentang urusan dunia. Apalagi kalau mengurusi urusan kita di jaman modern ini…! Tentu tidak mungkin kita harus mencari-cari semua aturan tetek-bengek dalam hadist beliau. Itu namanya set-back. Lha wong di jamannya saja Rasulullah menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak beliau pahami dan hendaknya tidak mengikuti pendapat beliau dalam ‘urusan duniamu’ tersebut.”
**** akhir kutipan *****
Dalam hadits di atas Rasulullah hanya memberikan tanggapan mengapa mesti kurma itu dikawinkan segala, mengapa tidak dibiarkan begitu saja secara alami. Hal ini dapat kita ketahui terkait firman Allah Azza wa Jalla, “subhaana alladzii khalaqa al-azwaaja kullahaa mimmaa tunbitu al-ardhu” , “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi” (QS Yaa Siin [36]:36).
Permasalahan kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak tidaklah terkait dengan tanggapan Rasulullah.
Sedangkan makna perkataan Rasulullah, “wa antum a’lamu bi amri dunyakum”, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu” , yang dimaksud “urusan dunia” khusus urusan disiplin ilmu tertentu atau pengetahuan tertentu di luar ilmu agama, seperti dalam hadits tersebut adalah ilmu pertanian, ilmu pengetahuan manusia dalam membantu perkawinan kurma.
Namun bagi umat Islam, urusan dunia seperti ilmu pengetahuan yang didalami oleh manusia maupun apapun yang tidak dijumpai pada zaman Rasulullah dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat maka kita menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
***** akhir kutipan *****
Jawaban anda bertele-tele ngga karuan. Dugaan ana, anda “berhati syiah”. Sahabat sehari2 bersama Nabi. Kalau bahas agama cukup pada kurun waktu tiga abad pertama. Ana siap Mubahalah. Anda kesanya bodoh amat. Afwan
Jawaban anda bertele-tele ngga karuan. Dugaan ana, anda “berhati syiah”. Sahabat sehari2 bersama Nabi. Kalau bahas agama cukup pada kurun waktu tiga abad pertama. Ana siap Mubahalah. Anda kesanya bodoh amat. Afwan
Mas Abu Husein kami umat Islam sekedar menyampaikan penjelasan dari para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat tentang mereka yang menjadikan ulama-ulama mereka sebagi tuhan-tuhan selain Allah
Para Imam Mujtahid telah mengingatkan jangan sampai salah dalam berijtihad dan beristinbat (menggali hukum) dari Al Qur’an dan Hadits sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya karena hal itu termasuk perbuatan menyekutukan Allah
Firman Allah yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Bahkan Adz Dzahabi murid Ibnu Taimiyyah sendiri dalam kitab beliau Al Kabair (mengenai dosa-dosa besar) berkata, “Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal berarti ia melakukan kekufuran.
Jadi mas Abu Husein , mereka yang GAGAL PAHAM BID”AH pada umumnya akan terjerumus BID’AH dalam URUSAN AGAMA yakni mereka yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru (BID’AH) dalam URUSAN AGAMA yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perkara agama atau urusan agama meliputi perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) maupun larangan (jika dilanggar berdosa) berasal dari Allah Azza wa Jalla bukan menurut akal pikiran manusia.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).
Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.
Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.
Para ulama mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah.
Jadi orang-orang yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya ADALAH terjerumus bid’ah dalam urusan agama dan mereka secara tidak langsung menganggap Allah Ta’ala lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Rasulullah shallallau alaihi wasallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”
Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.
Oleh karenanya dikatakan pelaku bid’ah dalam urusan agama lebih disukai Iblis daripada pelaku maksiat karena mereka menjadikan sembahan-sembahan selain Allah dan karena para pelaku tidak menyadarinya sehingga mereka sulit bertaubat.
Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang melakukan bid’ah dalam urusan agama..
Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 )
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS Asy Syuura [42]:21)
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31)
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya
Firman Allah Ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)
Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya
Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti
1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
3. Melarang dirinya untuk menikah
Namun Rasulullah menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Jadi orang-orang yang gagal paham tentang bid’ah akibat salah memahami dan menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka dapat terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Nasrani yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Jadi mas Abu Husein jelaslah mereka yang melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau melarang (mengharamkan) tidak berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan Hadits melainkan berdasarkan perkataan manusia seperti, “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi”
Perkataan tersebut bukan firman Allah Ta’ala, bukan sabda Rasulullah dan bukan pula perkataan para Sahabat.
Bahkan perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” mirip dengan perkataan orang-orang kafir dalam firmanNya,
“waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam yahtaduu bihi fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiimun
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al-Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama”. (QS al Ahqaaf [46]:11 ).
Ayat Al Ahqaaf [46]:11 tentang orang-orang kafir meremehkan orang-orang yang beriman yakni Bilal, ‘Ammar, Shuhaib, dan Khabbab serta orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan kaum lemah, para budak dan hamba sahaya, karena mereka (orang-orang kafir) berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kedudukan terhormat
Qutadah mengatakan bahwa ayat Al Ahqaaf [46]:11 diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang musyrikin (kafir) yang suatu ketika berkata, “Kami yang paling mulia, perkasa, dan terhormat. Jika terdapat kebaikan dalam Al-Qur’an / Islam, tentulah kami yang pertama kali masuk Islam (Diriwayatkan Ibnu Jarir)
Secara umum QS Al-Ahqaaf [46]:11 itu menyampaikan bahwa orang-orang kafir meremehkan, bahwa jika beriman pada Al-Qur’an itu mendatangkan kebaikan tentu derajat atau kedudukan Bilal, ‘Ammar, Shuhaib dll akan sebaik mereka.
Perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” memang ada dalam kitab Ibnu Katsir pada tafsir (QS al Ahqaaf [46]:11) namun perlu ada penyelidikan lebih lanjut kehadiran perkataan tersebut karena perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” sebagaimana yang diartikan oleh mereka tidak ada kaitannya dengan ayat yang ditafsir.
Bahkan dari perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” tidak ada kata yang dapat diartikan sebagai “para Sahabat”
Ayat (QS al Ahqaaf [46]:11) justru menjelaskan bahwa para Sahabat “melakukannya” sedangkan orang kafir tidak “melakukannya”.
Para Sahabat “mengamalkannya” sedangkan orang kafir tidak “mengamalkannya”
Para Sahabat beriman pada Al Qur’an sedangkan orang kafir tidak beriman pada Al Qur’an
Kebiasaan yang dilakukan atau tidak dilakukan para Sahabat bukanlah hukum dalam Islam yang membatasi untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan.
Umat Islam boleh melakukan kebiasaan apapun selama tidak melanggar larangan Allah Ta’ala dan RasulNya.
Begitupula bagi umat Islam, bid’ah bukan hukum dalam Islam yang membatasi kita untuk tidak melakukan apapun yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah.
Hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Ada pula dari mereka yang menjilat air ludahnya sendiri alias meralat pendapatnya bahwa ternyata tidak semua bid’ah itu terlarang.
Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua yakni
1) Bid’ah diniyah (urusan agama) yang terlarang
2) Bid’ah duniawiyyah (urusan dunia) tidak terlarang.
Mereka terpaksa menciptakan perantara, yang jika tanpa perantara ini mereka tidak dapat melakukan aktifitas yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun para Sahabat.
Pembagian atau klasifikasi bid’ah tersebut tidak pernah disebutkan oleh para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Mereka yang mengingkari pembagian bid’ah ke yang baik (hasanah) dan buruk (sayyiah) berdasarkan hadits Rasulullah tentang sunnah hasanah dan sunnah sayyiah maka pembagian bid’ah menjadi bid’ah diniyyah yang tidak boleh dan bid’ah duniawiyyah yang boleh, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ada yang sayyiah (buruk) sebenarnya karena mereka berpendapat bahwa bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum.
Sebab dengan sikap ini mereka memvonis bahwa semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulkan fitnah dan bencana.
Mereka dapat terjerumus mengikuti paham sekularisme yang dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) didefinisikan bahwa pengikut sekularisme agama adalah mereka yang memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan urusan dunia atau hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
Pengikut paham sekularisme yang mengaku muslim menyalahgunakan potongan hadits ,”wa antum a’lamu bi amri dunyakum, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu”. (HR. Muslim 4358)
Riwayat selengkapnya,
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan ‘Amru An Naqid seluruhnya dari Al Aswad bin ‘Amir; Abu Bakr berkata; Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Amir; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Hisyam bin ‘Urwah dari Bapaknya dari ‘Aisyah dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma lalu beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik”. Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: ‘Ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab; Bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal itu? Beliau lalu bersabda: ‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian’ (HR Muslim 4358)
Kaum sekulerisme berpendapat urusan dunia tidaklah diurus oleh agama, terbukti dalam hadits tersebut Rasulullah salah memberikan nasehat dalam penanaman kurma berikut contoh pernyataan mereka selengkapnya,
**** awal kutipan *****
“Ketika Nabi shallalahu alaihi wasallam memberikan nasihat tentang cara mengawinkan pohon kurma supaya berbuah, ini bisa dianggap bahwa beliau sudah memasukkan otoritas agama untuk urusan duniawi yang di mana beliau tidak mendapatkan wahyu atau kewenangan untuk itu.
Tapi ternyata dalam masalah menanam kurma ini pendapat beliau keliru. Pohon kurma itu malah menjadi mandul. Maka para petani kurma itu mengadu lagi kepada Nabi saw, meminta pertanggungjawaban beliau. Dan beliau menyadari kesalahan advisnya waktu itu dan dengan rendah hati berkata, “Kalau itu berkaitan dengan urusan agama ikutilah aku, tapi kalau itu berkaitan dengan urusan dunia kamu, maka “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum”, kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu.
Rasulullah mengakui keterbatasannya. Rasulullah bukanlah penentu untuk segala hal. Rasul bukanlah orang yang paling tahu untuk segala hal. Bahkan untuk urusan dunia di jaman beliau pun beliau bukanlah orang yang paling tahu.
Jadi tidak mungkin jika kita menuntut Rasulullah untuk mengetahui segala sesuatu hal tentang urusan dunia. Apalagi kalau mengurusi urusan kita di jaman modern ini…! Tentu tidak mungkin kita harus mencari-cari semua aturan tetek-bengek dalam hadist beliau. Itu namanya set-back. Lha wong di jamannya saja Rasulullah menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak beliau pahami dan hendaknya tidak mengikuti pendapat beliau dalam ‘urusan duniamu’ tersebut.”
**** akhir kutipan *****
Dalam hadits di atas Rasulullah hanya memberikan tanggapan mengapa mesti kurma itu dikawinkan segala, mengapa tidak dibiarkan begitu saja secara alami. Hal ini dapat kita ketahui terkait firman Allah Azza wa Jalla, “subhaana alladzii khalaqa al-azwaaja kullahaa mimmaa tunbitu al-ardhu” , “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi” (QS Yaa Siin [36]:36).
Permasalahan kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak tidaklah terkait dengan tanggapan Rasulullah.
Sedangkan makna perkataan Rasulullah, “wa antum a’lamu bi amri dunyakum”, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu” , yang dimaksud “urusan dunia” khusus urusan disiplin ilmu tertentu atau pengetahuan tertentu di luar ilmu agama, seperti dalam hadits tersebut adalah ilmu pertanian, ilmu pengetahuan manusia dalam membantu perkawinan kurma.
Namun bagi umat Islam, urusan dunia seperti ilmu pengetahuan yang didalami oleh manusia maupun apapun yang tidak dijumpai pada zaman Rasulullah dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat maka kita menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
LAU KAANA KHAYRAN LASABAQUUNA ILAIHI
Sudah dilihat Free Hit Counter kali.
Allah ta’ala berfirman :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”.[QS. Al baqarah : 143].
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, Sisi pengambilan dalil dari ayat ini ialah Allah ta’ala mengabarkan kepada kita bahwa Allah ta’ala telah menjadikan para shahabat sebagai umat yang pertengahan, yaitu umat pilihan yang adil.
Inilah hakikat pertengahan. Mereka adalah umat pertengahan dalam ucapan, perbuatan, kehendak, serta niat mereka.
Maka dengan sifat2 ini, mereka berhak menjadi saksi bagi para Rasul atas umatnya pada hari kiamat. Dan Allah menerima persaksian mereka, dan mereka adalah para saksi-Nya.
Oleh karena itu Allah menyanjung, meninggikan penyebutan mereka, dan memuji mereka karena ketika Allah ta’ala menjadikan mereka sebagai saksi, Dia memberitahukan keadaan para saksi ini kepada seluruh makhlukNya baik dari kalangan para Malaikat dan selain mereka, dan memerintahkan Malaikat agar bershalawat untuk mereka, mendoakan kebaikan untuk mereka, dan memohonkan ampunan untuk mereka.
Saksi yang diterima disisi Allah adalah orang yang bersaksi dengan ilmu dan kejujuran, sehingga ia mengabarkan kebenaran yang disandarkan kepada pengetahuannya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“…kecuali orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)” [QS. Az Zukhruuf : 86]
Sebab mungkin saja seseorang mengabarkan kebenaran secara kebetulan, bukan dari apa yang dia ketahui, atau bisa jadi pula ia mengetahui kebenaran tersebut, namun enggan mengabarkannya.
Maka seorang saksi yang di terima ialah orang yang mengabarkan kebenaran yang ia ketahui.
Seandainya derajat ilmu mereka ialah jika seseorang diantara mereka mengeluarkan sebuah fatwa dan ternyata fatwanya salah serta menyelisihi hukum Allah dan RasulNya, sedang para shahabat lain tidak berfatwa dengan kebenaran, baik karena masyhurnya fatwa yang pertama maupun tidak masyhur, maka berarti umat yang adil dan pilihan tersebut (para Shahabat) telah terbukti menyelisihi kebenaran. Bahkan mereka telah terbagi menjadi dua kubu; Satu kubu memfatwakan kebathilan sedang yang lain diam dari kebenaran, dan ini adalah suatu hal yang mustahil terjadi pada diri para shahabat.
Karena, kebenaran itu tidak mungkin sama sekali luput dan lari dari mereka (para shahabat) lalu menuju orang sepeninggal mereka (para shahabat).
Dan kita katakan kepada orang yang menyelisihi perkataan para shahabat,
“Lau kaana khayran maa sabaquunaa ilaih”
Seandainya itu adalah suatu kebaikan, niscaya mereka (orang2 yang menyelisihi shahabat) tidak akan mendahului kita kepadanya (kebaikan tsb).
[I’laamul Muwaqqi’iin (V/570-571), tahqiq : Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, cet I Daar Ibnil Jauzi, 1423H].
Syaikh Ahmad Salam -hafizhahullah- menjelaskan tentang ungkapan “Lau kaana khayran maa sabaquunaa ilaih” maksudnya adalah, orang2 yang menentang para shahabat tidak akan mendahului kita kepadanya (kebaikan/kebenaran).
Bisa juga di katakan,
“Lau kaana khayran lasabaquunaa ilaih”,
“Seandainya itu adalah suatu kebaikan, niscaya mereka (para shahabat) telah mendahului kita untuk melakukannya”
Maksudnya, para shahabat dan ulama salaf akan mendahului kita kepadanya, karena mereka orang yang lebih dulu menuju kebaikan.
[Al Bayyinaatus salafiyyah ‘alaa annaa Aqwaalash Shahaabati Hujjatun Syar’iyyatun fii I’laamil Ibnil Qayyim al-Jauziyyah (hal. 58), karya Syaikh Ahmad Salam, cet I, Daar Ibni Hazm 1417H].
[Sumber : “Mulia dengan Manhaj Salaf, hal. 62-63, Ust. Yazid Bin Abdul Qadir jawas, Pustaka At Taqwa]
_________________
LAU KAANA KHAYRAN LASABAQUUNA ILAIHI
Oleh : Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat
Dari penghujung pena, al Ustadz ‘Abdul Hakim bin Amir ‘Abdat akan sedikit menjelaskan tentang PRINSIP BER-AGAMA YANG BENAR…
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebenaran) dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min, niscaya akan Kami palingkan (sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. [QS. An-Nisa’ : 115]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di muqaddimah kitabnya “Naqdlul Mantiq” telah menafsirkan ayat “jalannya orang-orang mu’min” (bahwa) mereka adalah para sahabat. Maksudnya bahwa Allah telah menegaskan barangsiapa yang memusuhi atau menentang rasul dan mengikuti selain jalannya para sahabat sesudah nyata baginya kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan didakwahkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya, maka Allah akan menyesatkannya kemana dia tersesat (yakni dia terombang-ambing dalam kesesatan).
Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat dan dalil yang paling tegas dan terang tentang kewajiban yang besar bagi kita untuk mengikuti “jalannya orang-orang mu’min” yaitu para sahabat. Yakni cara beragamanya para sahabat atau manhaj mereka berdasarkan nash Al-Kitab dan As-Sunnah diantaranya ayat di atas.
Jika dikatakan : Kenapa “sabilil mukminin atau jalannya orang-orang mukmin” di ayat yang mulia ini ditafsirkan dengan para sahabat (?!) bukan umumnya orang-orang mu’min??
Saya jawab berdasarkan istinbath (pengambilan; penggalian) dari ayat di atas:
Pertama
Ketika turunnya ayat yang mulia ini, tidak ada orang mu’min di permukaan bumi ini selain para sahabat. Maka, khithab (pembicaraan) ini pertama kali Allah tujukan kepada mereka.
Kedua
Mahfumnya, bahwa orang-orang mu’min yang sesudah mereka (para sahabat) dapat masuk ke dalam ayat yang mulia ini dengan syarat mereka mengikuti jalannya orang-orang mu’min yang pertama yaitu para sahabat. Jika tidak, berarti mereka telah menyelisihi jalannya orang-orang mu’min sebagaimana ketegasan firman Allah di atas.
Ketiga
Kalau orang-orang mu’min di ayat yang mulia ini ditafsirkan secara umum, maka jalannya orang mu’min manakah? Apakah mu’minnya Khawarij atau Syiah/Rafhidhah atau Mu’tazilah atau Murji’ah atau Jahmiyyah atau Falasifah atau Sufiyyah atau….atau…?
Keempat
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling jelas arahnya, aqidah dan manhajnya hanyalah perjalanan para sahabat. Adapun yang lain mengikuti perjalanan mereka, baik aqidah dan manhaj.
Kelima
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling alim terhadap agama Allah yaitu Al-Islam hanyalah para sahabat. Allah telah menegaskan di dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa mereka adalah orang-orang yang telah diberi ilmu. [QS. Muhammad : 16]
Keenam
Perjalanan orang-orang mu’min yang mulia yang paling taqwa kepada Allah secara umum hanyalah para sahabat.
Ketujuh
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling taslim (menyerahkan diri) kepada Allah dan Rasul-Nya secara umum hanyalah para sahabat.
Kedelapan
Perjalanan orang-orang mu’min yang ijma’ (kesepakatan) mereka menjadi hujjah dan menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah hanyalah ijma’ para sahabat. Oleh karena itu tidak ada ijma’ kecuali para sahabat atau setelah terjadi ijma’ diantara mereka. Demikian itu juga sebaliknya, mustahil terjadi perselisihan apabila para sahabat telah ijma’. Dan tidak ada yang menyalahi ijma’ mereka kecuali orang-orang sesat dan menyesatkan yang telah mengikuti “selain jalannya orang-orang mu’min”.
Kesembilan
Perjalanan orang-orang mu’min yang tidak pernah berselisih didalam aqidah dan manhaj hanyalah perjalanan para sahabat bersama orang-orang yang mengikuti mereka tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan seterusnya.
Kesepuluh
Para sahabat adalah sebaik-baik umat ini dan pemimpin mereka.[Bacalah I’laamul Muwaqqi’iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim]
Kesebelas
Para sahabat adalah ulama dan muftinya umat ini. [Bacalah I’laamul Muwaqqi’iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim]
Keduabelas
Para sahabat adalah orang-orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah memerintahkan manusia untuk mengikuti mereka [QS. Al-Baqarah :13]
Ketigabelas
Para sahabat telah dipuji dan dimuliakan oleh Allah dibanyak tempat di dalam Kitab-Nya yang mulia.
Keempat belas
Bahwa perjalanan para sahabat telah mendapat keridhaan Allah dan merekapun ridha kepada Allah [QS. At-Taubah :100]
Kelima belas
Perjalanan para sahabat telah menjadi dasar, bahwa Allah akan meridhai perjalannnya orang-orang mu’min dengan syarat mereka mengikuti “jalannya orang-orang mu’min yang pertama yaitu para sahabat”. Mahfumnya, bahwa Allah tidak akan meridhai mereka yang tidak mengikuti perjalanannya Al-Muhajirin dan Al-Anshar [QS. At-Taubah :100]
Keenam belas
Sebaik-baiknya sahabat para nabi dan rasul ialah sahabat-sahabat Rasulullah.
Ketujuh belas
Tidak ada yang marah dan membenci para sahabat kecuali orang-orang kafir. [Tafsir Ibnu Katsir surat Al-Fath :29]
Kedelapan belas
Dan tidak ada yang menyatakan bodoh terhadap para sahabat kecuali orang-orang munafik. [QS. Al-Baqarah : 13].
Kesembilan belas.
Rasulullah telah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku, kemudian yang sesudah mereka” [Hadist Shahih mutawatir dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain]
Generasi pertama adalah sahabat, yang kedua tabi’in dan yang ketiga adalah tabiut tabi’in. mereka inilah dinamakan dengan nama Salafush Shalih (generasi pendahulu yang shalih) yakni tiga generasi terbaik dari umat ini. Kepada mereka inilah kita meruju’ cara beragama kita dalam mengamalkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dinamakan Salafiyyun dari zaman ke zaman sampai hari ini.
Kedua puluh.
Rasulullah telah bersabda pada waktu hajjatul wada’ (haji perpisahan): “Hendaklah orang yang hadir diantara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir”. [Hadist shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari jalan beberapa orang sahabat]
Hadist yang mulia ini meskipun bersifat umum tentang perintah tabligh dan dakwah akan tetapi para sahabatlah yang pertama kali diperintahkan oleh Rasulullah untuk bertabligh dan berdakwah, sebagai contoh bagi umat ini dan agar diikuti oleh mereka bagaimana cara bertabligh dan berdakwah yang benar di dalam menyampaikan yang hak. Oleh karena itu hadist yang mulia ini memberikan pelajaran yang tinggi kepada kita diantaranya:
[a]. Bahwa dakwah mereka adalah haq dan lurus di bawah bimbingan Nabi yang mulia.
[b]. Bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan Rasulullah. Kalau tidak, tentu Rasulullah tidak akan memerintahkan mereka untuk menyampaikan dari beliau.
[c]. Bahwa mereka kaum yang benar, lawan dari dusta, yang amanat, lawan dari khianat. Bahwa mereka telah di ta’dil (dinyatakan bersifat adalah : tsiqah/ terpercaya dan dhabt/teliti) oleh Rabb mereka, Allah, dan oleh nabi mereka. Oleh karena itu Ahlussunnah Wal Jama’ah telah ijma’ bahwa mereka tidak perlu diperiksa lagi dengan sebab di atas. Keadilan dan ketsiqahan mereka tidak diragukan lagi. Allahumma! Kecuali oleh kaum Syi’ah dan Rafhidhah dari cucu Abdullah bin Saba’ si Yahudi hitam dan orang-orang mereka yang dahulu dan sekarang.
[d]. Bahwa wajib bagi kita kaum muslimin mengikuti cara dakwahnya para sahabat, bagaimana dan apa yang mereka dakwahkan dan seterusnya. Adapun dalam masalah keduniaan seperti alat dan sarana mengikuti perkembangan zaman dan tingkat pengetahuan manusia, seperti menggunakan kendaraan yang ada pada zaman ini atau alat perekam dan pengeras suara dan lain-lain.
Keduapuluh satu.
Rasulullah telah bersabda : “Janganlah kamu mencaci-maki sahabat-sahabatku! Kalau sekiranya salah seorang dari kamu menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya Tidak akan mencapai derajat mereka satu mud-pun atau setegah mud”. [Hadist Shahih riwayat Bukhari dan Muslim]
Keduapuluh dua.
Para sahabat secara umum telah dijanjikan jannah (sorga). [At-Taubah : 100]
Keduapuluh tiga.
Secara khusus sebagian sahabat telah diberi khabar gembira oleh Nabi sebagai penghuni sorga, seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali dan lain-lain.
Keduapuluh empat.
Para sahabat telah berhasil menguasai dunia membenarkan janji Allah di dalam Kitab-Nya yang mulia [Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nuur ayat 55]
Keduapuluh lima.
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling kuat “Ukhuwwah Islamiyyahnya” ialah para sahabat berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Tarikh.
Keduapuluh enam.
Di dalam ayat yang mulia ini Allah tidaklah mencukupkan firman-Nya dengan perkataan: “Barangsiapa yang memusuhi Rasul sesudah nyata baginya kebenaran…., niscaya akan palingkan dia….”. dan kalau Allah mencukupinya sampai disitu pasti hak/benar. Akan tetapi terdapat hikmah yang dalam ketika Allah mengkaitkan dengan “dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min -yaitu para sahabat. Dari sini kita mengetahui, bahwa di dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus ada jalan atau cara di dalam memahami keduanya. Jalan atau cara itu adalah “jalannya orang-orang mu’min yaitu para sahabat”. Jadi urutan dalilnya sebagai berikut : Al-Qur’an As-Sunnah. Keduanya menurut pemahaman para sahabat atau cara beragama mereka, aqidah dan manhaj.
[Disalin dari “Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti. oleh Ust Abdul Hakim bin Amir Abdat]
Sumber : Majalah As-Sunnah edisi : 02/V/1421-2001M, hal 51-53]
Ada kita temukan mereka yang melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau melarang (mengharamkan) tidak berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan Hadits melainkan berdasarkan perkataan manusia seperti, “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi”
Perkataan tersebut bukan firman Allah Ta’ala, bukan sabda Rasulullah dan bukan pula perkataan para Sahabat.
Bahkan perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” mirip dengan perkataan orang-orang kafir dalam firmanNya,
“waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam yahtaduu bihi fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiimun
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al-Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama”. (QS al Ahqaaf [46]:11 ).
Ayat Al Ahqaaf [46]:11 tentang orang-orang kafir meremehkan orang-orang yang beriman yakni Bilal, ‘Ammar, Shuhaib, dan Khabbab serta orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan kaum lemah, para budak dan hamba sahaya, karena mereka (orang-orang kafir) berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kedudukan terhormat
Qutadah mengatakan bahwa ayat Al Ahqaaf [46]:11 diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang musyrikin (kafir) yang suatu ketika berkata, “Kami yang paling mulia, perkasa, dan terhormat. Jika terdapat kebaikan dalam Al-Qur’an / Islam, tentulah kami yang pertama kali masuk Islam (Diriwayatkan Ibnu Jarir)
Secara umum QS Al-Ahqaaf [46]:11 itu menyampaikan bahwa orang-orang kafir meremehkan, bahwa jika beriman pada Al-Qur’an itu mendatangkan kebaikan tentu derajat atau kedudukan Bilal, ‘Ammar, Shuhaib dll akan sebaik mereka.
Perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” memang ada dalam kitab Ibnu Katsir pada tafsir (QS al Ahqaaf [46]:11) namun perlu ada penyelidikan lebih lanjut kehadiran perkataan tersebut karena perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” sebagaimana yang diartikan oleh mereka tidak ada kaitannya dengan ayat yang ditafsir.
Bahkan dari perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” tidak ada kata yang dapat diartikan sebagai “para Sahabat”
Ayat (QS al Ahqaaf [46]:11) justru menjelaskan bahwa para Sahabat “melakukannya” sedangkan orang kafir tidak “melakukannya”.
Para Sahabat “mengamalkannya” sedangkan orang kafir tidak “mengamalkannya”
Para Sahabat beriman pada Al Qur’an sedangkan orang kafir tidak beriman pada Al Qur’an
Kebiasaan yang dilakukan atau tidak dilakukan para Sahabat bukanlah hukum dalam Islam yang membatasi untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan.
Umat Islam boleh melakukan kebiasaan apapun selama tidak melanggar larangan Allah Ta’ala dan RasulNya.
Begitupula bagi umat Islam, bid’ah bukan hukum dalam Islam yang membatasi kita untuk tidak melakukan apapun yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah.
Hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Ada pula dari mereka yang menjilat air ludahnya sendiri alias meralat pendapatnya bahwa ternyata tidak semua bid’ah itu terlarang.
Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua yakni
1) Bid’ah diniyah (urusan agama) yang terlarang
2) Bid’ah duniawiyyah (urusan dunia) tidak terlarang.
Mereka terpaksa menciptakan perantara, yang jika tanpa perantara ini mereka tidak dapat melakukan aktifitas yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun para Sahabat.
Pembagian atau klasifikasi bid’ah tersebut tidak pernah disebutkan oleh para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Mereka yang mengingkari pembagian bid’ah ke yang baik (hasanah) dan buruk (sayyiah) berdasarkan hadits Rasulullah tentang sunnah hasanah dan sunnah sayyiah maka pembagian bid’ah menjadi bid’ah diniyyah yang tidak boleh dan bid’ah duniawiyyah yang boleh, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ada yang sayyiah (buruk) sebenarnya karena mereka berpendapat bahwa bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum.
Sebab dengan sikap ini mereka memvonis bahwa semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulkan fitnah dan bencana.
Mereka dapat terjerumus mengikuti paham sekularisme yang dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) didefinisikan bahwa pengikut sekularisme agama adalah mereka yang memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan urusan dunia atau hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
Pengikut paham sekularisme yang mengaku muslim menyalahgunakan potongan hadits ,”wa antum a’lamu bi amri dunyakum, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu”. (HR. Muslim 4358)
Riwayat selengkapnya,
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan ‘Amru An Naqid seluruhnya dari Al Aswad bin ‘Amir; Abu Bakr berkata; Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Amir; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Hisyam bin ‘Urwah dari Bapaknya dari ‘Aisyah dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma lalu beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik”. Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: ‘Ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab; Bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal itu? Beliau lalu bersabda: ‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian’ (HR Muslim 4358)
Kaum sekulerisme berpendapat urusan dunia tidaklah diurus oleh agama, terbukti dalam hadits tersebut Rasulullah salah memberikan nasehat dalam penanaman kurma berikut contoh pernyataan mereka selengkapnya,
**** awal kutipan *****
“Ketika Nabi shallalahu alaihi wasallam memberikan nasihat tentang cara mengawinkan pohon kurma supaya berbuah, ini bisa dianggap bahwa beliau sudah memasukkan otoritas agama untuk urusan duniawi yang di mana beliau tidak mendapatkan wahyu atau kewenangan untuk itu.
Tapi ternyata dalam masalah menanam kurma ini pendapat beliau keliru. Pohon kurma itu malah menjadi mandul. Maka para petani kurma itu mengadu lagi kepada Nabi saw, meminta pertanggungjawaban beliau. Dan beliau menyadari kesalahan advisnya waktu itu dan dengan rendah hati berkata, “Kalau itu berkaitan dengan urusan agama ikutilah aku, tapi kalau itu berkaitan dengan urusan dunia kamu, maka “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum”, kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu.
Rasulullah mengakui keterbatasannya. Rasulullah bukanlah penentu untuk segala hal. Rasul bukanlah orang yang paling tahu untuk segala hal. Bahkan untuk urusan dunia di jaman beliau pun beliau bukanlah orang yang paling tahu.
Jadi tidak mungkin jika kita menuntut Rasulullah untuk mengetahui segala sesuatu hal tentang urusan dunia. Apalagi kalau mengurusi urusan kita di jaman modern ini…! Tentu tidak mungkin kita harus mencari-cari semua aturan tetek-bengek dalam hadist beliau. Itu namanya set-back. Lha wong di jamannya saja Rasulullah menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak beliau pahami dan hendaknya tidak mengikuti pendapat beliau dalam ‘urusan duniamu’ tersebut.”
**** akhir kutipan *****
Dalam hadits di atas Rasulullah hanya memberikan tanggapan mengapa mesti kurma itu dikawinkan segala, mengapa tidak dibiarkan begitu saja secara alami. Hal ini dapat kita ketahui terkait firman Allah Azza wa Jalla, “subhaana alladzii khalaqa al-azwaaja kullahaa mimmaa tunbitu al-ardhu” , “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi” (QS Yaa Siin [36]:36).
Permasalahan kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak tidaklah terkait dengan tanggapan Rasulullah.
Sedangkan makna perkataan Rasulullah, “wa antum a’lamu bi amri dunyakum”, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu” , yang dimaksud “urusan dunia” khusus urusan disiplin ilmu tertentu atau pengetahuan tertentu di luar ilmu agama, seperti dalam hadits tersebut adalah ilmu pertanian, ilmu pengetahuan manusia dalam membantu perkawinan kurma.
Namun bagi umat Islam, urusan dunia seperti ilmu pengetahuan yang didalami oleh manusia maupun apapun yang tidak dijumpai pada zaman Rasulullah dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat maka kita menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Benarkah kaidah “Lau Kana Khoiron Lasabaquna Ilaih” mengadopsi dari pemikiran Yahudi seperti yang disebutkan oleh Allah dalam surat Al-Ahqof ayat 11? Mohon pencerahannya Ustadz.
Jawab: Anggapan tersebut tidaklah benar. “Lau kana khairan lasabaquna ilaih” adalah kaidah Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir Asy-Syafi’i:
وأما أهل السنة والجماعة فيقولون قي كل فعل وقول لم يثبت عن الصحابة رضي الله عنهم هو بدعة لأنه لو كان خيرا لسبقونا إليه، لأنهم لم يتركوا خصلة من خصال الخير إلا وقد بادروا إليها
“Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah mereka berkata, bahwa setiap perbuatan dan perkataan yang tidak tsabit (tetap) dari para Shahabat radhiyallahu ‘anhum adalah bid’ah. Karena “Lau kana khairan lasabaquna ilaih” yaitu seandainya perkara itu baik tentu para Shahabat telah mendahului kita dalam mengamalkannya. Sebab mereka tidak meninggalkan satu jenispun dari amalan-amalan kebaikan melainkan akan bersegera melakukannya.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/190)
Dalil kaidah ini adalah firman Allah:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya lalu mengikuti selain jalannya orang-orang Mukmin (para Shahabat Nabi). Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)
Allah juga berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Dan para pendahulu yang pertama kali (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin (para Shahabat yang hijrah ke Madinah) dan Anshar (para Shahabat yang menjadi penduduk asli kota Madinah) dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dalam beriman dan beramal dengan sebaik-baiknya. Allah telah ridha kepada mereka dan merekapun juga telah ridha kepada Allah. Dan Allah telah menjanjikan bagi mereka itu taman-taman surga yang mengalir di bawah taman-taman itu sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Allah mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan para Shahabat Nabi dengan ancaman azab Jahannam sebagaimana Allah menjanjikan surga dan keridhaan-Nya bagi orang-orang yang menempuh jalannya para Shahabat.
Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menubuwwahkan akan terjadinya percekcokan pemahaman di antara umatnya sepeninggal beliau:
“Barangsiapa yang masih hidup sepeninggalku ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian (ketika mendapati percekcokan itu) berpegang teguh dengan sunnahku (cara beragamaku) dan sunnah para Khulafa’urrasyidin Al-Mahdiyyin sepeninggalku, gigitlah ia (sunnah-sunnah itu) dengan gigi-gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dari perkara yang baru dalam agama, karena setiap perkara yang baru dalam agama (bid’ah) itu sesat.” (HR. Abu Dawud 4607, At-Tirmidzi 2676 dan beliau berkata “Hadits Hasan Shahih” – Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam “Shahihul Jami’” 2546)
Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sesungguhnya bani Isra’il telah terpecah menjadi tujuhpuluh dua golongan dan umatku akan terpecah menjadi tujuhpuluh tiga golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan saja yang selamat. Para Shahabat bertanya, “Siapakah golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang beragama dengan cara beragamaku dan cara beragama para Shahabatku.” (HR. At-Tirmidzi 2565)
Masih banyak lagi dalil-dalil yang menunjukkan bahwa standar kebenaran dalam perkara agama ini adalah merujuk kepada cara beragama para Shahabat atau ijma’ (kesepakatan) mereka. Para Shahabat adalah pihak yang paling mengerti apa yang dimaukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam ucapan beliau, perbuatannya dan ketetapannya. Mereka adalah murid-murid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling mencintai beliau dan paling meneladaninya. Tidaklah para Shahabat meninggalkan suatu perkara dalam urusan agama ini karena tidak ada asal-usulnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pasti akan membawa kejelekan sekalipun niatnya baik.
Adapun firman Allah surat Al-Ahqaf ayat ke 11 sesungguhnya berkenaan dengan pengingkaran orang-orang kafir terhadap Al-Qur’an:
“Dan orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, (Lau kana khairan ma sabaquna ilaih) “Sekiranya (Al-Qur’an) itu sesuatu yang baik, tentu mereka tidak akan mendahului kami (beriman) kepadanya.”
Perhatikan, ayat di atas menyebutkan dalam kalimat nafi (peniadaan) “ma sabaquna” (tidak akan mendahului kami). Sedangkan kaidah Ahlussunnah dalam kalimat penetapan “lasabaquna” (tentu mereka akan mendahului kami). Lantas dari sisi mana keduanya dianggap sama? Terlebih lagi konteksnya jelas berbeda seperti jelasnya perbedaan kufur dan iman.
Lalu bagaimana dengan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i yang sering dinukil oleh ahlul batil untuk mementahkan kaidah Ahlussunnah tersebut? Al-Imam Asy-Syafi’i berkata:
كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف
“Setiap perkara yang memiliki dasar dari syariat maka itu bukanlah bid’ah sekalipun belum diamalkan oleh Salaf.”
Ada beberapa poin yang harus dimengerti dalam membantah syubhat (kerancuan) mereka:
1. Penisbatan ucapan tersebut kepada Al-Imam Asy-Syafi’i patut dipertanyakan keabsahannya. Karena orang yang menukilnya yakni Abdullah Al-Ghumari dalam kitabnya “Itqanusshun’ah Fi Tahqiq Ma’nal Bid’ah” tidak menyebutkan sumber darimana perkataan tersebut berasal.
2. Perhatikan ucapan di atas, “Setiap perkara yang memiliki dasar dari syari’at (dalil) maka itu bukanlah bid’ah sekalipun belum diamalkan oleh Salaf”. Yakni bagaimana mungkin jika ada dalilnya dikatakan bid’ah? Kemudian kelanjutan dari perkataan yang dinisbatkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i di atas:
لأن تركهم للعمل به، قد يكون لعذر قام لهم في الوقت، أو لِما هو أفضل منه، أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به
“Karena sikap meninggalkannya mereka (para Salaf) dari amalan tersebut terkadang karena ada ‘udzur (halangan) untuk menerapkannya pada waktu itu atau karena mereka memilih amalan yang lebih utama darinya atau boleh jadi karena ilmunya belum sampai kepada mereka.”
Jadi alasan-alasan ini sebetulnya sudah cukup menjawab syubhat mereka.
3. Seandainya saja shahih penisbatan tersebut, maka itu menunjukkan sikap Al-Imam Asy-Syafi’i yang tunduk kepada dalil. “Jika hadits itu shahih, maka itulah madzhabku”. Jadi bukan karena ada dan tiadanya amalan dari Salaf yang boleh jadi Salaf yang beliau maksud adalah para Ulama dari kalangan tabi’in atau tabi’it tabi’in selain Shahabat.
4. Al-Imam Asy-Syafi’i sangat memuliakan kedudukan para Shahabat:
هم فوقنا -الصحابة- في كل علم وفقه ودين وهدى وفي كل سبيل ينال به علم وهدى ورأيهم لنا خير من رأينا لأنفسنا
“Mereka -para Shahabat Nabi- kedudukannya berada di atas kita dalam semua ilmu, pemahaman, agama, petunjuk dan dalam setiap jalan yang menjadi sebab diraihnya ilmu maupun petunjuk. Pikiran mereka jelas lebih baik dari pikiran kita.” (I’lamul Muwaqqi’in 1/80)
Banyak lagi keterangan lain yang shahih penisbatannya kepada Al-Imam Asy-Syafi’i sebagaimana yang dikumpulkan dalam kitab “Manhajul Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil ‘Aqidah” karya Syaikh Muhammad Al-‘Aqil.
5. Perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i bukanlah dalil yang menjadi landasan dalam beragama. Dalil hanyalah Al-Qur’an, As-Sunnah serta Ijma’, sekalipun untuk memahami dalil kita merujuk kepada bimbingan Ulama pula termasuk Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri. Seandainya ada perkataan yang menyelisihi dalil dari ijtihad seorang Ulama, pasti akan bangkit Ulama lain yang akan meluruskannya. Wa billahit tawfiq.
Fikri Abul Hasan
Ada kita temukan mereka yang melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau melarang (mengharamkan) tidak berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan Hadits melainkan berdasarkan perkataan manusia seperti, “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi”
Perkataan tersebut bukan firman Allah Ta’ala, bukan sabda Rasulullah dan bukan pula perkataan para Sahabat.
Bahkan perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” mirip dengan perkataan orang-orang kafir dalam firmanNya,
“waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam yahtaduu bihi fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiimun
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al-Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama”. (QS al Ahqaaf [46]:11 ).
Ayat Al Ahqaaf [46]:11 tentang orang-orang kafir meremehkan orang-orang yang beriman yakni Bilal, ‘Ammar, Shuhaib, dan Khabbab serta orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan kaum lemah, para budak dan hamba sahaya, karena mereka (orang-orang kafir) berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kedudukan terhormat
Qutadah mengatakan bahwa ayat Al Ahqaaf [46]:11 diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang musyrikin (kafir) yang suatu ketika berkata, “Kami yang paling mulia, perkasa, dan terhormat. Jika terdapat kebaikan dalam Al-Qur’an / Islam, tentulah kami yang pertama kali masuk Islam (Diriwayatkan Ibnu Jarir)
Secara umum QS Al-Ahqaaf [46]:11 itu menyampaikan bahwa orang-orang kafir meremehkan, bahwa jika beriman pada Al-Qur’an itu mendatangkan kebaikan tentu derajat atau kedudukan Bilal, ‘Ammar, Shuhaib dll akan sebaik mereka.
Perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” memang ada dalam kitab Ibnu Katsir pada tafsir (QS al Ahqaaf [46]:11) namun perlu ada penyelidikan lebih lanjut kehadiran perkataan tersebut karena perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” sebagaimana yang diartikan oleh mereka tidak ada kaitannya dengan ayat yang ditafsir.
Bahkan dari perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” tidak ada kata yang dapat diartikan sebagai “para Sahabat”
Ayat (QS al Ahqaaf [46]:11) justru menjelaskan bahwa para Sahabat “melakukannya” sedangkan orang kafir tidak “melakukannya”.
Para Sahabat “mengamalkannya” sedangkan orang kafir tidak “mengamalkannya”
Para Sahabat beriman pada Al Qur’an sedangkan orang kafir tidak beriman pada Al Qur’an
Kebiasaan yang dilakukan atau tidak dilakukan para Sahabat bukanlah hukum dalam Islam yang membatasi untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan.
Umat Islam boleh melakukan kebiasaan apapun selama tidak melanggar larangan Allah Ta’ala dan RasulNya.
Begitupula bagi umat Islam, bid’ah bukan hukum dalam Islam yang membatasi kita untuk tidak melakukan apapun yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah.
Hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Ada pula dari mereka yang menjilat air ludahnya sendiri alias meralat pendapatnya bahwa ternyata tidak semua bid’ah itu terlarang.
Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua yakni
1) Bid’ah diniyah (urusan agama) yang terlarang
2) Bid’ah duniawiyyah (urusan dunia) tidak terlarang.
Mereka terpaksa menciptakan perantara, yang jika tanpa perantara ini mereka tidak dapat melakukan aktifitas yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun para Sahabat.
Pembagian atau klasifikasi bid’ah tersebut tidak pernah disebutkan oleh para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Mereka yang mengingkari pembagian bid’ah ke yang baik (hasanah) dan buruk (sayyiah) berdasarkan hadits Rasulullah tentang sunnah hasanah dan sunnah sayyiah maka pembagian bid’ah menjadi bid’ah diniyyah yang tidak boleh dan bid’ah duniawiyyah yang boleh, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ada yang sayyiah (buruk) sebenarnya karena mereka berpendapat bahwa bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum.
Sebab dengan sikap ini mereka memvonis bahwa semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulkan fitnah dan bencana.
Mereka dapat terjerumus mengikuti paham sekularisme yang dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) didefinisikan bahwa pengikut sekularisme agama adalah mereka yang memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan urusan dunia atau hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
Pengikut paham sekularisme yang mengaku muslim menyalahgunakan potongan hadits ,”wa antum a’lamu bi amri dunyakum, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu”. (HR. Muslim 4358)
Riwayat selengkapnya,
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan ‘Amru An Naqid seluruhnya dari Al Aswad bin ‘Amir; Abu Bakr berkata; Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Amir; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Hisyam bin ‘Urwah dari Bapaknya dari ‘Aisyah dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma lalu beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik”. Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: ‘Ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab; Bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal itu? Beliau lalu bersabda: ‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian’ (HR Muslim 4358)
Kaum sekulerisme berpendapat urusan dunia tidaklah diurus oleh agama, terbukti dalam hadits tersebut Rasulullah salah memberikan nasehat dalam penanaman kurma berikut contoh pernyataan mereka selengkapnya,
**** awal kutipan *****
“Ketika Nabi shallalahu alaihi wasallam memberikan nasihat tentang cara mengawinkan pohon kurma supaya berbuah, ini bisa dianggap bahwa beliau sudah memasukkan otoritas agama untuk urusan duniawi yang di mana beliau tidak mendapatkan wahyu atau kewenangan untuk itu.
Tapi ternyata dalam masalah menanam kurma ini pendapat beliau keliru. Pohon kurma itu malah menjadi mandul. Maka para petani kurma itu mengadu lagi kepada Nabi saw, meminta pertanggungjawaban beliau. Dan beliau menyadari kesalahan advisnya waktu itu dan dengan rendah hati berkata, “Kalau itu berkaitan dengan urusan agama ikutilah aku, tapi kalau itu berkaitan dengan urusan dunia kamu, maka “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum”, kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu.
Rasulullah mengakui keterbatasannya. Rasulullah bukanlah penentu untuk segala hal. Rasul bukanlah orang yang paling tahu untuk segala hal. Bahkan untuk urusan dunia di jaman beliau pun beliau bukanlah orang yang paling tahu.
Jadi tidak mungkin jika kita menuntut Rasulullah untuk mengetahui segala sesuatu hal tentang urusan dunia. Apalagi kalau mengurusi urusan kita di jaman modern ini…! Tentu tidak mungkin kita harus mencari-cari semua aturan tetek-bengek dalam hadist beliau. Itu namanya set-back. Lha wong di jamannya saja Rasulullah menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak beliau pahami dan hendaknya tidak mengikuti pendapat beliau dalam ‘urusan duniamu’ tersebut.”
**** akhir kutipan *****
Dalam hadits di atas Rasulullah hanya memberikan tanggapan mengapa mesti kurma itu dikawinkan segala, mengapa tidak dibiarkan begitu saja secara alami. Hal ini dapat kita ketahui terkait firman Allah Azza wa Jalla, “subhaana alladzii khalaqa al-azwaaja kullahaa mimmaa tunbitu al-ardhu” , “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi” (QS Yaa Siin [36]:36).
Permasalahan kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak tidaklah terkait dengan tanggapan Rasulullah.
Sedangkan makna perkataan Rasulullah, “wa antum a’lamu bi amri dunyakum”, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu” , yang dimaksud “urusan dunia” khusus urusan disiplin ilmu tertentu atau pengetahuan tertentu di luar ilmu agama, seperti dalam hadits tersebut adalah ilmu pertanian, ilmu pengetahuan manusia dalam membantu perkawinan kurma.
Namun bagi umat Islam, urusan dunia seperti ilmu pengetahuan yang didalami oleh manusia maupun apapun yang tidak dijumpai pada zaman Rasulullah dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat maka kita menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Sampai Akhir Abad Ketiga Hijriyah Tidak Pernah Ada Perayaan Maulid. Pro-Maulid Merujuk Pendapat Ulama Setelah Abad Kelima Hijriyah.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Para Sahabat, Para Thabi’in, Thabi’ut Thabi’in, Imam Mazhab yang Empat, Para Ulama Hadits Seperti Imam Bukhari- Muslim, Tidak Ada Yang Pernah Satu Kalipun Mengadakan Perayaan Maulid Nabi….
(Tiga Abad Pertama Hijriyah dan Paling Utama)
Kenapa anda merujuk kepada ulama/kitab setelah mereka ?
Bagi umat Islam tidak dilakukan sebuah perbuatan oleh orang lain bukanlah dasar hukum
Hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Berdasarkan sabda Rasulullah bahwa puasa Senin sekaligus memperingati hari kelahirannya menjadi salah satu dalil bagi umat Islam untuk membolehkan memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermazhab Syafi’i dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.