Taqlid buta kepada Ibnu Taimiyyah bahwa setiap yang ada bertempat
Gerakan khilafah anti NKRI, kelompok teroris Santoso , pelaku bom bunuh diri di Masjid Polresta Cirebon dan wilayah lainnya, kelompok militan Abu Sayyaf di Filipina maupun gerakan transnasional seperti Al Qaeda, ISIS maupun mereka lainnya yang mengaku-ngaku sebagai mujahiddin adalah sama saja dengan firqah pengikut Wahabisme yakni termasuk para penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/04/26/selamatkan-nkri/
Radikalisme yang diperlihatkan oleh para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yakni menyalahkan atau bahkan mengkafirkan muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka adalah akibat mereka berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/04/09/berguru-dengan-otodidak/
Apakah yang menyebabkan mereka yang mengaku-ngaku berada di atas manhaj Salaf dan dinamakan oleh mereka sebagai Salafi, gemar menyalahkan atau bahkan mengkafirkan muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/04/24/penyebab-gemar-menyalahkan/
Cara efektif untuk mengadu domba umat Islam dan menghancurkan dari dalam adalah dengan hasutan untuk “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran masing-masing sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/04/26/kembali-secara-otodidak/
Rasulullah bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Pada hakikatnya orang-orang yang mengaku muslim namun memusuhi bahkan membunuhi muslim lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi karena kaum yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla mempunyai rasa permusuhan terhadap umat Islam adalah kaum Yahudi
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Cara atau upaya kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi untuk menyesatkan para pengikut ulama Najed dari bani Tamim yakni Muhammad bin Abdul Wahhab, ditengarai adalah dengan menyodorkan kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat kepada Muhammad bin Abdul Wahhab
Ibnu Taimiyyah adalah seorang ulama yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Perhatikanlah kitab-kitab Muhammad bin Abdul Wahhab maupun Ibnu Taimiyyah pada umumnya mereka tidak merujuk kepada pendapat mazhab yang empat melainkan pendapat atau fatwa mereka sendiri secara otodidak (shahafi)
Walaupun pada awalnya Muhammad bin Abdul Wahhab mendalami ilmu agama dengan berguru pada guru yang mumpuni namun pada akhirnya beliau lebih banyak mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) menduplikati (meneladani) Ibnu Taimiyyah sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Begitupula mereka sendiri yang menyatakan bahwa ulama panutan mereka yakni Al Albani sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan alias mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sebagaimana contoh informasi pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
***** akhir kutipan *****
Rasulullah telah bersabda bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah diambilnya ilmu agama dari al ashaaghir yakni orang-orang yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama
Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan pertanyaan, “Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?”, menjawabnya bahwa “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203.
Jadi pengikut syaitan atau wali syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha
Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha.
Piihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat (teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) atau ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/02/radikal-al-qaeda-dan-isis/
Mereka yang terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan zionis Yahudi menjadikan mereka sombong mengikuti kaum Yahudi.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” (QS Al Baqarah [2] : 87)
Mereka menjadi sombong dan mengabaikan siapapun yang mengingatkan atau memberikan petunjuk kepada mereka karena mereka hanya berpegang pada pemahaman atau pendapat mereka sendiri terhadap Al Qur’an dan As Sunnah secara otodidak (shahafi)
Contoh kesombongan mereka dicontohkan oleh salah seorang pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dan terbaca di profilenya berasal dari Johor, Malaysia yang tiba-tiba “meramaikan” dan menanggapi beberapa tulisan kami di jejaring sosial Facebook.
Dia mengatakan “Dikit dikit ibnu thaimiyah, Dikit dikit ibnu thaimiyah, ilmu kau itu tdk apa apanya banding ibnu thaimiyah, kumpul semua ulama kamu seluruh duni tak akan bisa menandingi ilmu ibnu thaimiyah.
Kemudian dengan sombongnya mempertanyakan kepada salah seorang rekan kami dengan pertanyaan, “Tunjukkan kesalahan ibnu thaimiyah, satu saja”
Sejauh yang kami tahu belum ada orang yang memanggil ulama panutan bagi ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab dengan panggilan Ibnu Thaimiyyah dengan huruf Tha ابن طيمية
Padahal nama lengkapnya adalah
أبو عباس تقي الدين أحمد بن عبد السلام بن عبد الله ابن تيمية الحراني
Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyyah al Harrani
Pokok kesalahpahaman Ibnu Taimiyyah adalah beliau dalam memahami apa yang telah Allah sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir dan mengingkari makna majaz.
Contoh kesalahpahaman Ibnu Taimiyyah diungkapkan oleh salah satu pengikut firqah Wahabi yakni Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam 100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah (kitab karya Ibnu Taimiyyah) menyampaikan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat sebagaimana yang termuat pada http://mahadilmi.wordpress.com/2011/04/18/allah-turun-ke-langit-dunia/
**** awal kutipan ****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya kosong, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara akal kita terbatas untuk melliputi ilmu Allah Ta’ala”
**** akhir kutipan ****
Pemahaman “tidak menjadikan ‘arsy-Nya kosong” tentu bukanlah pemahaman Salafush Sholeh namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan menjelaskan hadits
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Mereka menemukan “pertentangan” dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya karena mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Mereka menemukan “pertentangan” ketika memahami “Allah turun ke langit dunia” dan di sisi lain mereka memahami bahwa Tuhan berada, bertempat, menetap tinggi di atas ‘Arsy sehingga mereka mengatakan “tidak kosong” ruang di atas ‘Arsy.
Mereka meyakini bahwa Tuhan berbatas atau dibatasi oleh ‘Arsy namun ketika Tuhan turun ke langit dunia tidak menjadikan ‘ArsyNya kosong.
Allah Ta’ala berfirman “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa [4] : 82)
Firman Allah Ta’ala dalam (QS An Nisaa 4 : 82) menjelaskan bahwa dijamin tidak ada pertentangan di dalam Al Qur’an. Jikalau manusia mendapatkan adanya pertentangan di dalam Al Qur’an maka pastilah yang salah adalah pemahamannya.
Imam Malik bin Anas ra menghadapi hadits ”Allah turun di setiap sepertiga malam” adalah, yanzilu amrihi ( turunnya perintah dan rahmat Allah ) pada setiap sepertiga malam “adapun Allah Azza wa Jalla, adalah tetap tidak bergeser dan tidak berpindah, maha suci Allah yang tiada tuhan selainNya“ (lihat pada “siyaru a’lamun nubala” 8 / 105 “arrisalatul wafiyah” hal 136 karangan Abi Umar Addani dan dalam kitab al-inshaaf karangan ibnu Sayyit al-Bathliyusi hal 82)
Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahîh Muslim dalam menjelaskan Hadîts an-Nuzûl ini berkata:
****** awal kutipan ******
Sebagaimana telah diberlakukan oleh Malik, dan al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan takwil terhadap hadits ini dengan menentukan makna yang sesuai dengan ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan metode takwil ini para ulama madzhab kedua ini memiliki dua takwil terhadap Hadîts an-Nuzûl di atas.
Pertama; Takwil yang nyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah turunnya rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa rahmat tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan: “Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…” (Raja melakukan suatu perbuatan), maka yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja itu sendiri yang melakukan perbuatan tersebut.
Ke dua; takwil hadits dalam makna isti’ârah (metafor), yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (Karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah)” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, j. 6, h. 36).
***** akhir kutipan ******
Al-Imâm al-Qurthubi, dalam menafsirkan firman Allah: ”Wa al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” (QS. Ali ’Imran: 17), artinya; ”Dan orang-orang yang ber-istighfâr di waktu sahur (akhir malam)”, beliau menyebutkan Hadîts an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut:
****** awal kutipan ******
“Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa?! Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?! Maka ia akan diberi”.
Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).
****** akhir kutipan *******
Hadits riwayat Imam Nasa’i sejalan dengan hadits yang ada dalam Musnad Ahmad, Tabrani, and al-Bazzar dari `Utsman ibn Abi al-`Ash al-Thaqafi: ”Pintu-pintu surga terbuka ditengah malam dan Malaikat penyeru berseru: ”Adakah orang yang berdoa?! Maka akan dikabulkan baginya…
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri menuliskan sebagai berikut:
******* awal kutipan ******
“Abu Bakar ibn Furak meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah memberikan harakat dlammah pada huruf awalnya; yaitu pada huruf yâ’, (menjadi kata yunzilu) dan objeknya disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudzriy, bahwa Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah mendiamkan waktu malam hingga lewat menjadi lewat paruh pertama dari malam tersebut. Kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa!! Ia akan dikabulkan”.
Demikian pula pemahaman ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi sabda Rasulullah: ”…maka Malaikat penyeru berseru: ”Adakah orang yang berdoa! Maka akan dikabulkan baginya”.
Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata: “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
****** akhir kutipan ******
Jadi tidak ada satupun ulama di atas yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 116)
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami) berkata ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjadikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah : 203)
Bahkan ada ulama yang mengkafirkan Ibnu Taimiyyah yakni Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H).
Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’
Akibatnya para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan kekhawatiran atas fatwa sejak zaman dahulu kala tersebut pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/12/ibnu-taimiyah-dikafirkan-ibnu-hajar.html
***** awal kutipan *****
Penyebab kitab ini dikarang sebagaimana yang tercantum dalam kitab tersebut adalah Fatwa yang menyebar di khalayak Umum saat itu tentang kafirnya orang yang memberi julukan ibnu Taimiyah sebagai Syaikhul Islam dan tidak sah sholat dibelakang orang tersebut.
Fatwa tersebut secara jelas bukan saja pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, tapi juga pengkafiran terhadap pengikutnya.
***** akhir kutipan ****
Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana tulisan sejenis pada http://abul-harits.blogspot.co.id/2013/03/pembelaan-al-hafidz-ibnu-hajar-terhadap.html
Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab yang mereka kutip sendiri yakni
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه
“Meskipun demikian, beliau adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
Catatan penting tersebut bukanlah masalah furuiyyah namun masalah pokok yakni aqidah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 sebagaimana yang dinformasikan pada http://www.aswj-rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html
****** awal kutipan ******
Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah, ada sebagian kelompok yang menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya : Ibnu Taimiyyah mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “ Aku tidak setuju batasan dan bagian termasuk kekhushusan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan batasan bagi Dzat Allah.
****** akhir kutipan ******
Jadi Ibnu Hajar Al-Asqalani pun menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap permasalahan pokok bukan furuiyah yakni dalam perkara aqidah atau kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Dzat Allah alias meng-kaif-kan (membagaimanakan) Dzat Allah.
Kita tidaklah heran kalau pengikut Wahabisme ada yang gemar menuduh atau mencela muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka karena mereka mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat sehingga tanpa disadari mereka meneladani Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/04/29/dituduh-mencela/
Sebelum wafat, Ibnu Taimiyyah masih sempat bertaubat di depan Qodhi empat mazhab yakni para fuqaha, para ulama yang paling faqih di suatu negara dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah berdasarkan mazhab yang empat.
Semoga Allah Ta”ala menerima taubat beliau.
Begitupula dengan Adz Dzahabi masih sempat bertaubat dan menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada gurunya sendiri yakni Ibn Taimiyah yang ketika itu belum bertaubat. Hal ini sekaligus sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kesesatan gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat) dengannya, sebagaimana informasi yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-ibnu-taimiyyah.pdf
Salah satu pokok permasalahan dalam dunia Islam adalah bahwa kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/04/26/taqlid-ibnu-taimiyyah/
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat sebagaimana yang dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan, khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sependapat dengan mereka.
****** akhir kutipan *****
Bahkan mereka menganggap “telah kafir” bagi muslim lainnya yang tidak mau mengikuti mereka yang “tanpa perlu takwil” alias “tanpa takwil” yakni memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir karena dianggap telah mengingkari sifat-sifat Allah sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://almanhaj.or.id/content/794/slash/0/mengingkari-tauhid-asma-wa-sifat/
***** awal kutipan ****
Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetahui hal tersebut tanpa perlu takwil-nya.
***** akhir kutipan *****
Kaum muslim yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat tentu bukanlah mengingkari sifat-sifat Allah atau bukanlah mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya namun mengingkari memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir karena akan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya” (Q.S. Al Imran [3] : 7)
Pada kenyataannya kita melihat pada masa kini dua firqah dalam Islam yakni,
1. Orang-orang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti contohnya salah satu pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yakni Abdul Hakim bin Amir Abdat yang mengatakan bahwa Tuhan mereka bertangan dua dan kedua-duanya kanan sebagaimana yang dipublikasikan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/
Aqidah mereka tersebut akibat mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir dan mengingkari makna majaz seperti terhadap riwayat berikut,
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah Azza wa Jalla (pada hari kiamat) di atas mimbar-mimbar dari nur (cahaya) di sebelah kanan Ar Rahman dan kedua tangan-Nya adalah kanan. Yaitu orang-orang yang berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada keluarga mereka, dan pada apa yang mereka pimpin”. (Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379
2. Orang-orang mencari-cari takwil untuk memperturutkan hawa nafsunya seperti firqah muktazilah yang menakwilkan untuk mengingkari sifat-sifat Allah.
Pada ayat yang lain Allah Ta’ala telah berfirman bahwa Dia mengkaruniakan kemampuan takwil kepada yang dikehendakiNya yakni Ulil Albab
Kemampuan takwil adalah kemampuan memahami dengan mengambil pelajaran berdasarkan karunia hikmah dari Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl [16] : 43)
Ulil Albab atau ahli dzikir atau orang yang mempunyai pengetahuan karena karunia hikmah dari Allah Ta’ala adalah
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3] : 191)
Rasulullah mendoakan untuk Ibnu Abbas ra agar Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan takwil
Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al ta’wil
Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia takwil Qur’an
atau
Allahumma ‘allimhu al hikmah.
Ya Allah alimkanlah dia dengan hikmah
atau
Allahumma faqqihu fiddini, wa allimhu al hikmata at ta’wila qurana
Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al Qur’an (HR Ibnu Majah)
Oleh karenanya dapat kita ketahui bahwa yang dilarang adalah mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan “mencari-cari takwil” untuk mengingkari sifat-sifat Allah.
Sedangkan menakwilkan dengan ilmu balaghah seperti makna majaz tidak terlarang karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/03/16/takwil-dengan-majaz/
Pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah tampak aqidahnya berubah-ubah.
Mereka mengatakan Tuhan bertempat atau menetap tinggi di atas ‘Arsy dan dilain waktu dikatakan Tuhan bertempat di langit (fis sama).
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa dalam bahasa Arab kata fis sama dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”; padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun.
Terhadap firmanNya pada (QS Al Mulk [67]:16) para mufassir (ahli tafsir) menafsirkannya menjadi “Apakah kamu merasa aman dengan yang (berkuasa) di langit”
Di lain waktu mereka mengatakan bahwa pada peristiwa mi’raj, Rasulullah bertemu dengan Allah Subahanahu wa Ta’ala di Sidratul Muntaha sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/14/syubhat-tempat/
Sedangkan “tamu” dari Malaysia tersebut berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala bertempat di Surga berdasarkan nash-nash yang diartikan secara dzahir , penduduk surga kelak akan melihat dan mendengarkan kalam Allah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat surga di dekat Sidratul Muntaha
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal” (QS An Najm : 13-15).
Jadi surga adalah tempat namun kelak orang-orang mukmin di surga akan melihat Allah tanpa tempat dan tanpa arah, mereka ketika itu tidak saling berdesakan satu sama lainnya. Orang-orang mukmin tersebut berada di dalam surga, namun Allah tidak dikatakan di dalam atau di luar surga. Karena Allah bukan benda (yang mempunyai bentuk dan ukuran), Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah”.
Al-Imâm asy-Syaikh Abu ath-Thayyib Sahl ibn Muhammad asy-Syafi’i (w 404 H), seorang mufti wilayah Nisafur pada masanya berkata:
سمعت الشيخ أبا الطيب الصعلوكي يقول: “ُتضامّون” بضم أوله وتشديد الميم يريد لا تجتمعون لرؤيته- تعالى- في جهة ولا ينضم بعضكم إلى بعض فإنه لا يرى في جهة”
“Saya telah mendengar asy-Syaikh Abu at-Thayyib as-Sha’luki berkata dalam menerangkan hadits tentang Ru’yatullâh (melihat Allah bagi orang-orang mukmin). Dalam hadits tersebut terdapat kata “Lâ Tudlammûn”, al-Imâm as-Sha’luki mengartikannya bahwa kelak orang-orang mukmin di surga akan melihat Allah tanpa tempat dan tanpa arah, mereka ketika itu tidak saling berdesakan satu sama lainnya. Orang-orang mukmin tersebut berada di dalam surga, namun Allah tidak dikatakan di dalam atau di luar surga. Karena Allah bukan benda (yang mempunyai bentuk dan ukuran), Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah”. (Pernyataan al-Imâm as-Sha’luki ini dikutip pula oleh al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dan kitab Fath al-Bâri dan disepakatinya)
Al-Imâm al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Hanafi, berkata:
وَالله تَعَالَى يُرَى فِي الآخِرَة، ويَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوْسِهِمْ بِلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيّة، وَلاَ يَكُوْنُ بَينَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة
“Allah di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri)” (al-Fiqh al-Akbar karya al-Imâm Abu Hanifah dengan penjelasannya karya Mulla Ali al-Qari, h. 136-137 )
Begitupula pada hari kiamat kelak, setiap orang akan mendengar dan memahami kalam Allah yang bukan huruf dan suara sehingga tidak diperlukan penterjemah.
Rasulullah bersabda: “Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada penterjemah antara dia dengan Allah”. (HR. al-Bukhari)
Pada hari kiamat kelak, Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia dan jin.
Allah akan memperdengarkan Kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka.
Mereka akan memahami dari kalam Allah tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan segala apa yang mereka yakini ketika mereka hidup di dunia.
Mereka akan memahami dari kalam Allah yang bukan huruf dan suara sehingga tidak diperlukan penterjemah
Mereka akan memahami dari kalam Allah yang bukan huruf dan suara, tanpa penterjemah, dan yang tidak dipengaruhi dimensi ruang dan waktu.
Allah Azza wa Jalla akan menghisab seluruh hamba-Nya dalam waktu yang sangat singkat sebagaimana firmanNya yang artinya “dan Dia Allah yang menghisab paling cepat (QS Al An’am [6]:62]
Seandainya Allah menghisab mereka dengan suara, susunan huruf, dan dengan bahasa, maka Allah akan membutuhkan waktu beratus-ratus ribu tahun untuk menyelesaikan hisab tersebut, karena makhluk Allah sangat banyak.
Jelaslah seandainya Kalam Allah berupa suara, huruf, dan bahasa maka dalam menghisab semua makhluk tersebut Allah akan membutuhkan kepada waktu yang sangat panjang. Karena dalam penggunaan huruf-huruf dan bahasa jelas membutuhkan kepada waktu.
Huruf berganti huruf, kemudian kata menyusul kata, dan demikian seterusnya. Dan bila demikian maka maka berarti Allah bukan sebagai Asra’ al-Hasibin (Penghisab yang paling cepat), tapi sebaliknya; Abtha’ al-Hasibin (Penghisab yang paling lambat). Tentunya hal ini mustahil bagi Allah.
Al-Imam al-Mutakallim Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi menuliskan sebagai berikut:
“Asy-Syaikh al-Imam Abu Ali al-Hasan ibn Atha’ pada tahun 481 H ketika ditanya sebuah permasalahan berkata: Sesungguhnya huruf-huruf itu dalam penggunaannya saling mendahuli satu atas lainnya. Pergantian saling mandahului antara huruf seperti ini tidak dapat diterima oleh akal jika terjadi pada Allah yang maha Qadim. Sebab pengertian bahwa Allah maha Qadim adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan, sementara pergantian huruf-huruf dan suara adalah sesuatu yang baharu (huduts) yang memiliki permulaan; tidak Qadim.
Kemudian seluruh sifat-sifat Allah itu Qadim; tanpa permulaan, termasuk sifat Kalam-Nya. Seandainya Kalam Allah tersebut berupa huruf-huruf dan suara maka berarti pada kalam-Nya tersebut terjadi pergantian antara satu huruf dengan lainnya, antara satu suara dengan suara lainnya, dan bila demikian maka Dia akan disibukan oleh perkara tersebut. Padahal Allah tidak disibukan oleh satu perkara atas perkara yang lain.
Ibnu Taimiyyah meyakini bahwa Allah berbicara dengan huruf dan suara dan bahwa Allah kadang berbicara dan kadang diam. (Risalah fi Shifat al Kalam 51, 54, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah 1/221, Muwafaqah Sharih al Ma’qul Li Shahih al Manqul 2/143,151, 4/107, Majmu’ al Fatawa 6/160, 234, 5/556-557, Majmu’ah Tafsir 311)
Al-Faqîh Syamsuddin Muhammad ibn Adlan asy-Syafi’i (w 749 H), salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah juga menyampaikan bahwa Ibnu Taimiyah meyakini sifat Kalam Allah berupa huruf dan suara
Mereka tampaknya belum dapat membedakan antara Sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah ad-Dzati) dengan bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal)
Hal yang dimaksud Al Qur’an bukan makhluk adalah mengacu pada sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah ad-Dzati) yang bukan suara ataupun huruf. Sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah ad-Dzati) adalah qadim, tanpa permulaan dan tanpa penghabisan.
Sedangkan Bacaan Al-Qur’an adalah lafazh-lafazh yang diturunkan (al-Lafzh al-Munazzal), yang ditulis dengan tinta di antara lebaran-lembaran kertas (al-Maktub Bain al-Masha-hif), yang dibaca dengan lisan (al-Maqru’ Bi al-Lisan), dan dihafalkan di dalam hati (al-Mahfuzh Fi ash-Shudur) adalah berupa bahasa Arab, tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca.
Tentulah huruf, suara maupun bahasa adalah makhluk (diciptakan) sehingga bacaan Al-Qur’an dalam pengertian al-Lafzh al-Munazzal maka ia adalah makhluk (diciptakan).
Bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) adalah ungkapan (ibarah) dari pada sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah al-Dzati) yang bukan suara, bukan huruf-huruf, dan bukan bahasa.
Kalam Allah (Kalam Allah ad-Dzati) adalah qadim, tanpa permulaan dan tanpa penghabisan, serta tidak menyerupai sifat kalam yang ada pada makhluk.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)
Sifat kalam pada makhluk berupa huruf-huruf, suara dan bahasa.
Adapun Sifat Kalam Allah (Kalam Allah ad-Dzati) bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa karena huruf, suara maupun bahasa adalah makhluk (diciptakan)
Oleh sebab itu kita tidak percaya bahwa kalam Allah ada permulaannya, atau kalamNya itu adalah suatu tindakan seperti pembicaraan kita, karena dengan hal itu berarti Allah butuh kepada selainNya untuk menciptakan kalamNya supaya menjadi sempurna.
Suatu ketidaksempurnaan jika kalamNya untuk mengungkapkan apa yang diketahuiNya itu berupa serial (kata-kata berurutan, perkataan satu demi satu, atau perkataan dengan huruf atau suara), karena kalam yang terdiri dari ekspresi serial itu pasti memiliki awal dan akan ada penundaan (dimensi waktu) dalam menginformasikan semua yang diketahuiNya.
Contoh dalam “Bismillah”, misalnya “i” ada setelah datang “b”, sehingga ketika anda mengatakan Bismillah, suara “i” hanya menjadi ada setelah ketidak adaan “b”
Pada hakikatnya kita tidak boleh mengimani sifat Allah yang dipengaruhi atau dibatasi oleh ciptaanNya seperti dimensi ruang dan waktu.
Allah Azza wa Jalla dengan sifat kalamNya tidak membutuhkan atau tidak dipengaruhi atau dibatasi kepada ciptaanNya seperti dimensi ruang dan waktu.
Kalam yang terdiri dari suara dan huruf adalah kalam ciptaan, karena alasan ini seseorang tidak boleh mengatakan bahwa sifat kalam Allah yang kekal adalah huruf dan suara, karena Allah berfirman yang artinya: “tidak ada sesuatu yang menyerupai Dia” (QS Asy Syuura [53]:11)
Imam Abu Hanifah (150 H) mengatakan “Kami berbicara dengan alat dan huruf sedangkan Allah Ta’ala berbicara tanpa alat dan huruf, sedangkan huruf itu makhluk dan kalamullah bukanlah makhluk “. (Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Akbar,al-Washiyyah, al-Alim w al-Muta’allim dan lainnya)
Al-Imam al-Isfiraini (w 418 H) mengatakan : “Dan hendaknya kamu mengetahui bahwa sesungguhnya kalam Allah itu tidaklah dengan huruf dan suara karena huruf dan suara mengandung bolehnya pendahuluan dan pengakhiran, yang demikian itu mustahil bagi Allah yang Maha Qadim “. (at-Tafsir fiddin : 102)
Imam Al-Qurthubi mengatakan : “ Fasal. Hadits “ Maka diserukan dengan suara “, dijadikan hujjah oleh orang yang berkata Allah berbicara dengan huruf dan suara, sungguh Maha Suci Allah sesuci-sucinya dari apa yang diucapkan kaum mujassimah dan pengingkar, sesungguhnya nida (seruan) yang dinisbatkan kepada Allah diartikan seruan sebagian malaikat muqarrabin Allah dengan izin dan perintah-Nya “. (at-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah : 338)
Aqidah Firaun yang mengatakan bahwa setiap yang ada harus bertempat.
Memang sangat wajar bila seorang Fir’aun menyangka demikian, karena ia telah mengaku diri nya Tuhan, tentu dipikirannya Tuhan Nabi Musa as juga seperti diri nya, harus punya tempat yang jelas.
Akan tetapi yang sangat tidak wajar bila asumsi Fir’aun itu (setiap yang ada pasti punya tempat) datang dari seorang makhluk yang bertauhid dan percaya Tuhan berbeda dengan makhluk (semoga kita dijauhkan dari pemikiran Fir’aun).
Dari asumsi tersebut, Fir’aun mencoba meraba apa yang disampaikan oleh Nabi Musa as bahwa Nabi Musa as adalah utusan “Tuhan yang memiliki langit dan bumi”, tentu saja Fir’aun mempertanyakan di mana keberadaan Tuhan Nabi Musa itu, karena ia yakin “setiap yang ada pasti punya tempat”.
Dan pilihan yang ada cuma dua yakni di langit atau di bumi, bila di bumi tentu Nabi Musa as telah menunjukkannya, bila di langit bagaimana Nabi Musa as bisa tahu, bagaimana mendapatkan risalah nya,
Fir’aun yang telah termakan dengan asumsi nya yang salah, tidak percaya sesuatu yang ada tapi tanpa bertempat, walaupun seorang Tuhan tidak mungkin tidak bertempat, ia telah membuktikan kepada kaum nya bahwa tidak ada Tuhan lain di bumi selain dari dia, dan hanya satu tempat lagi yang belum ia buktikan yaitu di langit, sehingga ia perintahkan pembantu nya untuk membangun bangunan yang tinggi di atas gunung, agar ia bisa melihat Tuhan Nabi Musa as, sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran Surat Ghafir ayat 36-37:
“Dan berkatalah Fir`aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu[36] (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan nya Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”. Demikianlah dijadikan Fir`aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir`aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian [37]“.
Keyakinan Fir’aun bahwa Tuhannya Nabi Musa as berada atau bertempat di langit sungguh datang dari diri nya, bukan karena mendengar dari Nabi Musa as
Nabi Musa alaihi salam tidak pernah mengatakan bahwa Tuhan berada atau bertempat di langit.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
Berkata Fir’aun: “Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa? (QS Thaahaa [20]:49)
Musa berkata: “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk (QS Thaahaa [20]:50)
“Dan Musa berkata: “Hai Fir’aun, sesungguhnya aku ini adalah seorang utusan dari Tuhan semesta alam” (QS Al A’raf [7]:104)
Fir’aun bertanya: “Siapa Tuhan semesta alam itu?”(QS Asy Syu’ara [26]:23)
Musa menjawab: “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian(orang-orang) mempercayai-Nya” (QS Asy Syu’ara [26]:24)
Musa berkata (pula): “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu” (QS Asy Syu’ara [26]:26)
Musa berkata: “Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal”. (QS Asy Syu’ara [26]:28)
Imam Ar-Razi berkata,
***** awal kutipan ******
”sesungguhnya mereka (musyabbihah) adalah orang-orang yang sangat bodoh,yang membuat mereka semakin lengkap dalam kehinaan dan kesesatan, oleh karena mereka telah menjadikan perkataan Fir’aun yang terlaknat, sebagai dalil mereka atas kebenaran agama mereka, sementara Nabi Musa as dalam memperkenalkan Tuhan,tidak pernah melebihkan dari menyebutkan sifat penciptaan, sebagaimana dalam surat Thoha :50 “Tuhan kita adalah yang memberikan tiap sesuatu bagi makhluk-Nya kemudian memberi petunjuk” dan sebagaimana dalam surat Asy-Syu’araayat 26, 28 “Tuhan kalian dan Tuhan bapak kalian yang terdahulu – Tuhan timur dan barat dan diantara kedua nya”.
Maka nyatalah bahwa memperkenalkan Tuhan dengan keadaannya di langit adalah agama Fir’aun, dan memperkenalkan Tuhan dengan penciptaan dan makhluk adalah agama Nabi Musa as,
Siapa yang berpendapat dengan yang pertama, adalah ia diatas agama Fir’aun, dan siapa yang berpendapat dengan yang kedua, adalah ia diatas agama Nabi Musa as,
kemudian kita menjawab, kita tidak bisa menerima bahwa semua yang disebutkan Fir’aun tentang sifat Allah Ta’ala karena ia pernah mendengar dari Nabi Musa as, tapi karena Fir’aun berada dalam keyakinan Musyabbihah, maka tentu ia berkeyakinan jika memang Tuhan ada, pasti Dia berada di langit, maka keyakinan Fir’aun ini sungguh datang dari diri nya, bukan karena mendengar dari Nabi Musa as [Lihat Tafsir Ar-Razi,surat Ghafir : ayat 36-37 ]
***** akhir kutipan ****
Abu Mansur Al-Maturidi berkata : “Kaum Musyabbihah [menyerupakan Allah dengan makhluk] berpegang dengan dzahirnya ayat ini, mereka beralasan : Seandainya bukan karena Musa as telah menyebut dan memberitahu Fir’aun bahwa Tuhan di atas langit, sungguh Fir’aun tidak menyuruh Haman membangun bangunan agar ia dapat naik ke langit dan melihat Tuhan Nabi Musa as, sebagaimana Firman Allah menceritakan pernyataan Fir’aun Tetapi kita menjawab : Tidak ada dalil bagi mereka, karena kemungkinan pernyataan Fir’aun tersebut sebagian dari kebohongan Fir’aun kepada kaum nya tentang Musa as”. [Lihat Tafsir Ta’wilat Ahlus Sunnah surat Ghafir ayat 37].
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya, termasuk pula tempat.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ إِنِّيْ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِذْ دَخَلَ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالُوْا: جِئْنَاكَ لِنَتَفَقَّهَ فِي الدِّيْنِ وَلِنَسْأَلَكَ عَنْ أَوَّلِ هَذَا اْلأَمْرِ مَا كَانَ. قَالَ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ
رواه البخاري
“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari 3191)
Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟ قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ قَالَ التِّرْمِذِيُّ وَهَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, 3109)
Begitupula Al-Imam al Baihaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata : “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam “Ya Allah, Engkaulah, Azh-Zhahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin, tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya)
Hadits selengkapnya adalah sebagai berikut,
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail dia berkata; Abu Shalih pernah menganjurkan kami yaitu, apabila salah seorang dari kami hendak tidur, maka hendaknya ia berbaring dengan cara miring ke kanan seraya membaca doa;
ALLOOHUMMA ROBBAS SAMAAWAATI WA ROBBAL ARDH, WAROBBAL’ARSYIL’AZHIIMII, ROBBANAA WAROBBA KULLI SYAI’IN, FAALIQOL HABBI WAN NAWAA, WAMUNZILAT TAUROOTI WAL INJIIL, WAL FURQOON, A’UUDZU BIKA MIN SYARRI KULLI SYAI’IN ANTA AAKHIDZUN BINAASHIYATIHI, ALLOOHUMMA ANTAL AWWALU FALAISA QOBLAKA SYAI’UN, WA ANTAL AAKHIRU FALAISA BA’DAKA SYAIUN, WA ANTAZH ZHOOHIRU FALAISA FAUQOKA SYAI’UN, WA ANTAL BAATHINU FALAISA DUUNAKA SYAI’UN, IQDHI’ANNAA ADDAINA, WA AGHNINAA MINAL FAQRI (HR Muslim)
Azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), Al-Bathin (yang tidak dapat dibayangkan)
Sedangkan para pengikut kebid’ahan Ibnu Taimiyyah, dari kitab Bayan Talbisul Jahmiyyah jilid 4, Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa makna : “فلَيس دونك شيء adalah “tidak ada sesuatu yang lebih dekat dari-Mu.” Mereka mengikuti pendapat Ibnu Taimiyyah bahwa kata ‘duuna’ di sini diambil dari kata ‘ad dunuww‘ yang artinya dekat, bukan dari kata ‘ad-duun‘ yang artinya ‘rendah’ atau ‘di bawah’ sebaimana contoh tulisan mereka pada http://mintlisim.wordpress.com/2012/09/15/salah-paham-tentang-doa-nabi-engkaulah-azh-zhahir-tidak-ada-sesuatu-di-atas-mu-dan-engkaulah-al-bathin-tidak-ada-sesuatu-di-bawah-mu/
Padahal “tidak ada sesuatu yang lebih dekat dari-Mu” atau “tidak ada sesuatu di dekat -Mu” sama saja dengan “tidak ada sesuatu di bawah-Mu” karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺷﻲﺀ ﻏﻴﺮﻩ
Allah ada, dan tiada sesuatu di selainNya.
Sayyidina Ali ~radiyallahu ‘anhu~ berkata:
ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻭﻫﻮ ﺍﻵﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﺎﻥ
“Allah ada tanpa tempat. Dia saat ini pada apa adanya Dia ada.”
Syaikh Ibnu Athoilah berkata “Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya. Dia kini adalah tetap sebagaimana adanya”
Akibat para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir, justru “membagaimanakan” Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat-sifat benda kepada DzatNya.
Mereka “membagaimanakan” Allah Subhanahu wa Ta’ala yakni “membagaimanakan” Istiwa Allah dengan “berada atau bertempat atau menetap tinggi di atas ‘Arsy sehingga Tuhan mereka berbatas atau dibatasi oleh ‘Arsy” .
Imam Sayyidina Ali berkata ”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud (terbatas) maka ia telah jahil, tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.” [ Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani ,1/73, ketika menyebut sejarah Ali ibn Abi Thalib ra.]
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)
Allah Ta’ala ada (wujud) tanpa bertempat.
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)
Allah Ta’ala sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya.
Allah Ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya.
Allah Ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ‘’Arsy
Imam Sayyidina Ali berkata, “adalah Allah, tiada tempat bagi-Nya, dan Dia sekarang tetap seperti semula. Sesungguhnya Allah – Maha Tinggi- menciptakan Arsy untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan sebagai tempat untuk Dzat-Nya.” (Al Farqu baina al Firaq : 333)
Apabila diyakini Allah berada, bertempat atau menetap tinggi di langit atau di atas ‘Arsy setelah sebelumnya (pada ‘azal) tidak bertempat, maka Allah menyandang sifat Taghayyur (berubah) dari tidak bertempat menjadi bertempat di langit atau di atas ‘Arsy.
Menurut para ulama, at-Taghayyur (perubahan) merupakan sifat yang paling menonjol (dominan) pada makhluk. Semua makhluk pasti mengalami perubahan.
Begitupula secara logika, sesuatu yang berubah pasti Haadis (baru) dan setiap yang Haadis pasti makhluk (tercipta).
Sedangkan Allah adalah al-Khaliq (Pencipta) dan al-Qadiim/La Awwala Lahu (tidak didahului oleh permulaan) lawan dari al-Haadis/Lahu Awwalun (mempunyai permulaan). Maha Suci Allah dari sifat taghayyur.
Dalam Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat diketahui bahwa Allah itu bersifat Qidam (Maha Dahulu) dan mustahil Allah itu Huduts (baru)
Oleh karenanya mustahil Allah itu berubah dari sebelumnya bukan di atas arsy, kemudian menjadi di atas arsy karena sifat berubah adalah sifat makhlukNya
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya (sifat qadim), sebagaimana Dia ada sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36].
Al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22).
Sedangkan ungkapan-ungkapan seperti
“Allah wujud (ada) di mana mana”
“apa yang terlihat di mana mana adalah wujud (keberadaan) Allah”
“Hakekat alam dan isinya atau atau semua yang terlihat oleh mata, hakekatnya adalah wujud Allah”
Bukan berarti Allah Ta’ala bertempat di mana mana namun maknanya adalah bahwa dengan kita memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya atau disebut juga ayat-ayat kauniyah maka kita bisa mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala
Manusia mengenal Allah (makrifatullah) melalui tanda-tanda kekuasaanNya yang merupakan ayat-ayat kauniyah yaitu ayat-ayat dalam bentuk segala ciptaan Allah berupa alam semesta dan semua yang ada didalamnya. Ayat-ayat ini meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos).
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53)
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali ‘Imran [3]:191).
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS Yunus [10] : 101).
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
Kita mengetahui “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar namun terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua tangan dan keduanya kanan dan lain lainnya karena tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Begitupula Rasulullah melarang kita untuk menanyakan atau memikirkan DzatNya dan menyarankan untuk meyakini keberadaan Allah dengan memikirkan nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza wa Jalla sebagai wujud perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah“.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar