Ucapan yang dapat kembali kepada orang yang mengucapkannya
Contoh radikalisme adalah orang-orang yang suka menuding atau menuduh muslim lainnya sebagai ahli bid’ah dan maksud sebenarnya menuding atau menuduh sebagai ahli neraka sedangkan mereka merasa sebagai ahli surga karena merasa sudah mengikuti dengan membaca Al Qur’an dan Hadits
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Penyebab radikalisme adalah orang-orang yang memahami Al Qur’an dan Hadits maupun perkataan Salaf bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sehingga mereka sombong dan menganggap dirinya benar, suci dan termasuk kekasih Allah (wali Allah), sedangkan sebaliknya mereka menganggap orang-orang yang tidak sepemahaman dengan mereka adalah salah, kotor bahkan menuduhnya laknatullah sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/03/31/penuduh-karena-sombong/
Iblis dan Yahudi dimurkai Allah karena mereka sombong.
Rasulullah telah memperingatkan akan bermunculan para penuduh karena sombong akibat mereka salah memahami Al Qur’an dan Hadits.
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”.
Mereka yang menuduh muslim lainnya karena salah memahami Al Qur’an dan Hadits maka akan kembali kepada dirinya sendiri seperti orang yang menuduh saudaranya, “wahai kafir”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’ maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun apabila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.” (HR Muslim)
Sepotong kalimat dapat membuat anda menyesal di akhirat kelak sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/09/sepotong-kalimat/
Mereka yang berpendapat atau berpemahaman bahwa “semua bid’ah adalan sesat”, sering mengungkapkan bahwa Bid’ah = Sesat , jadi mustahil sesat yang baik atau mustahil bid’ah hasanah
Bid’ah itu bukanlah sesat namun muhdats atau perkara baru sedangkan perkara baru bisa baik (hasanah) dan bisa pula buruk (sayyiah)
Dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah untuk menggali hukum darinya minimal yang harus dikuasai adalah ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
Para ahli tata bahasa Arab atau para ahli nahwu dan sharaf mengatakan bahwa “KULLU” dalam bahasa Indonesia arti yang tepatnya adalah “SETIAP” karena kata SETIAP dapat menerima pengecualian sedangkan kata SEMUA tidak dapat menerima pengecualian
Kullu dapat sebagai kullu ba’din maksudnya ”setiap dalam arti sebagian” dan dapat pula sebagai kullu jam’in maksudnya “setiap dalam arti semua”
Kullu dalam “kullu bid’ah dholalah” adalah kullu ba’din (kullu dalam arti sebagian) di mana kata bid’ah belum menunjukkan sifatnya.
Sedangkan kullu pada “setiap kesesatan akan bertempat di neraka” adalah kullu jam’in (kullu dalam arti semua) di mana “kesesatan” sudah jelas (lugas) sifat jelek (sayyiah).
Begitupula Imam Nawawi menjelaskan amm makhshush (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya) dengan firman Allah,
“wakaana waraa’ahum malikun ya’khudzu kulla safiinatin ghashbaan”
“karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap kapal” (QS Al Kahfi [18]:79)
Dalam ayat tersebut sifat kapal yang baik tidak tercantum namun dijelaskan oleh Nabi Khidir alaihisalam bahwa Beliau mengetahui dihadapan mereka kelak akan ada seorang raja yang suka merampas setiap kapal yang baik sehingga kapal kepunyaan beberapa orang miskin perlu dirusak sedikit agar kelak mudah diperbaiki sehingga bilapun raja melihatnya maka ia menduga kapal itu adalah kapal yang buruk dan membiarkannya.
Dalam ilmu balaghah dikatakan
حدف الصفة على الموصوف
“membuang sifat dari benda yang bersifat”
Begitupula dengan hadits “Kullu bid’ah dholalah” jika ditulis lengkap dengan sifat dari bid’ah kemungkinannya adalah
a. Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
Setiap “bid’ah yang baik” itu sesat (dholalah), dan setiap yang sesat (dholalah) masuk neraka
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat (dholalah) berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.
b. Kemungkinan kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِىالنَّاِر
Setiap “bid’ah yang jelek” itu sesat (dholalah), dan setiap yang sesat (dholalah) masuk neraka
Jadi kesimpulannya bid’ah yang sesat masuk neraka adalah bid’ah yang jelek (sayyiah) pengecualiannya adalah bid’ah yang baik (hasanah)
Imam Suyuthi berkata: “mengenai hadits “bid’ah dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf [46]:25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, atau firman Allah “sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama” (QS As Sajdah [32]:13) dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, (ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Imam Nawawi juga berkata
قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .
“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dholalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Mereka mengatakan bahwa kalau umum sudah jelas keumumannya yakni memang semua, sebagian, besar maupun kecil namun yang pasti dari hadits itu tidak didapati ILLA malah setelahnya ada ancaman yang berat yakni semua kesesatan akan bertempat di neraka. Hal yang perlu diingat bahwa menerima wahyu atas sunnah Rasulullah adalah kewajiban sedangkan menolaknya adalah kemaksiatan.
Tentulah umat Islam tidak akan menolak sunnah Rasulullah namun menolak pemahaman terhadap Sunnah Rasulullah yang keliru karena memahaminya belum menggunakan ilmu-ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah secara menyeluruh.
Kata ILLA atau pengecualian tidak selalu harus tercantum dalam satu hadits dalam satu kesatuan namun bisa terkait dengan hadits yang lain yang mengecualikannya atau mentakhsisnya
Di dalam kitab hadits “Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi” jilid 4 halaman 104-105, cetakan “Darul Fikr” Beirut Libanon (lihat dan simak tulisan yang ada di foto pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/shohih-muslim-bi-syarhi-an-nawawi.jpg
Al Imam Al Hafizh An Nawawi menerangkan bahwa hadits tentang sunnah hasanah (contoh yang baik) dan sunnah sayyiah (contoh yang buruk) adalah hadits yang mentakhsis hadits “kullu bid’atin dholalah” dan sebagai sumber atau dasar pembagian bid’ah.
Berikut kutipannya
******* awal kutipan *******
Pembagian bid’ah bersumber dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari dosanya”.
Hadits ini mentakhsis hadits Nabi yang berbunyi:
كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة
“Setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Adapun yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara-perkara baru yang bersifat bathil dan bid’ah-bid’ah yang bersifat tercela.
Dengan demikian, bid’ah dibagi kepada lima bagian, yaitu:
1. Bid’ah wajib,
2. Bid’ah sunnah,
3. Bid’ah haram,
4. Bid’ah makruh, dan
5. Bid’ah mubah.
****** akhir kutipan ******
Silahkan download atau baca secara online kitab hadits
“المنهاج شرح صحيح مسلم بن الحجاج – الإمام النووي”
http://archive.org/details/SahihMuslimSharhNawawi
Begitupula Al Imam Al Hafiz Al-Qurthubi mengatakan:
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi : “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan setiap bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wasallam, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
Para Al Imam Al Hafizh telah menjelaskan memang ada hadits yang mentakhsis hadits “kullu bid’atin dholalah” (setiap bid’ah sesat).
Pengertian takhsis adalah “suatu nash atau kalimat (lafadh) yang membatasi pengertian umum dari satu nash atau kalimat (lafadh)
Ahli ushul fiqih menyampaikan bahwa dalalah ‘amm yang mencakup seluruh satuan-satuannya adalah zhanniyah (dugaan, tidak pasti / tidak suatu hal yang qath’i, tidak menunjukkan arti lugas). Sehingga diperlukan dalil yang menunjukkan arti lugas untuk menjelaskan bid’ah yang jelek (sayyiah) atau bid’ah yang merupakan kesesatan.
Sebagaimana contoh penjelasan pada http://konsultasi-hukum-online.com/2013/05/metode-istinbath-hukum-syari/ bahwa jumhur ahli ushul fiqih menetapkan bahwa dalalah ‘amm yang mencakup seluruh satuan-satuannya adalah zhanniyah (dugaan atau tidak pasti atau tidak menunjukan qath’i atau tidak menunjukkan arti lugas). Sebab kebanyakan nash-nash yang datang dengan shigat umum itu dimaksudkan hanya sebagian satuannya saja. Apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sebagian dari satuan ‘amm itu dikeluarkannya, maka dalalah sisa dari satuan yang telah dikeluarkan adalah zhanniyah juga.
Sedangkan menurut kebanyakan ulama Hanafiyah, dalalah ‘amm bersifat qath’iyyah, selama tidak ada dalil yang mengeluarkan satuannya. Sebab lafazh ‘amm itu diciptakan untuk menunjuk seluruh satuan dengan cara merata
Jadi para ulama telah menerangkan bahwa ada dalil atau hadits yang mentakhsis atau yang mengecualikan hadits “kullu bid’atin dholalah” (setiap bid’ah adalah sesat) yakni hadits tentang sunnah hasanah dan sunnah sayyiah
Rasulullah alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)
Asbabul wurud dari hadits tersebut adalah adanya seorang Sahabat yang memelopori atau mencontohkan atau meneladankan bersedekah sesuatu yang dibungkus dengan daun.
Jarir (Jarir bin ‘Abdul Hamid) berkata; ‘Tak lama kemudian seorang Sahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang Sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang Sahabat yang turut serta menyumbangkan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-orang Arab badui tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Berikut contoh mereka yang memahami hadits di atas, berpegang pada pemahaman bahwa semua bid’ah adalah sesat tanpa pengecualian, yang dipublikasikan pada http://muslim.or.id/manhaj/sunnah-hasanah-atau-bidah-hasanah.html
Sunnah hasanah menurut mereka terbagi dua yakni
1. Sunnah Rasulullah yang sebelumnya ditinggalkan kemudian dibangkitkan kembali seperti qiyam Ramadhan bersama imam (sholat tarawih)
2. Sunnah Rasulullah yang segera dilakukan oleh seseorang, seperti yang dilakukan oleh seorang Anshar dengan shadaqahnya
Jadi dengan kata lain mereka mengatakan “barangsiapa yang menghidupkan suatu sunnah Rasulullah yang telah mati atau menyegerakan sunnah Rasulullah, maka baginya pahala dan pahala orang yang beramal karena meneladani perbuatannya”
Namun konsep pemahaman mereka terhadap “Sunnah hasanah” tidak konsisten diterapkan pada “Sunnah sayyiah” karena kalau mereka konsisten maka arti “Sunnah sayyiah” adalah sunnah Rasulullah yang buruk sedangkan kita tahu bahwa mustahil ada sunnah Rasulullah yang buruk atau mustahil ada contoh (teladan) dari Rasulullah yang buruk
Kata sunnah dalam “sunnah hasanah” dan “sunnah sayyiah” artinya contoh (teladan) atau kebiasaan baru yakni kebiasaan yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya.
Contoh (teladan) atau kebiasaan baru tersebut bisa baik (hasanah) dan bisa pula buruk (sayyiah)
Jadi sunnah hasanah adalah contoh (teladan) atau kebiasaan baru yang baik yakni kebiasaan baru yang tidak menyalahi laranganNya atau kebiasaan baru yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Sebaliknya sunnah sayyiah adalah contoh (teladan) atau kebiasaan baru yang buruk yakni kebiasaan baru yang menyalahi laranganNya atau kebiasaan baru yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Para ulama terdahulu mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah sebagaimana contoh pembahasan pada http://umayonline.wordpress.com/2008/09/15/ibadah-mahdhah-ghairu-mhadhah/
Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya)
Sedangkan dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan atau adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Jadi kaidah “asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang memerintahkannya” adalah ibadah yang sifatnya mahdhah saja, bukan semua ibadah.
Salah satu cara membedakan ibadah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).
Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasail
Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Amalan atau perbuatan anda menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu bukan ibadah maka hukumnya mubah (boleh). Namun karena tujuan (maqoshid) anda menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala.
Jadi perantara (wasail) anda menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.
Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana), maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.
Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?
Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil wasail hukmul maqoshid.
Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Jadi pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan yang mengisi acara peringatan Maulid Nabi.
Begitupula Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Ali Mustafa Yakub sebagaimana yang telah disampaikan pada http://www.muslimedianews.com/2014/01/imam-besar-masjid-istiqlal-curigai-ada.html mencurigai ada pihak yang ingin memecah belah umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan penetapan Maulid Nabi sebagai perkara bid’ah yang terlarang. Menurut Kiai Ali Mustafa, peringatan Maulid Nabi masuk wilayah muamalah. “Selama tidak melakukan hal-hal yang mengharamkan, ya boleh-boleh saja.
Kesimpulan, perkara baru (bid’ah) atau muhdats dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah , kebiasaan atau adat selama tidak melanggar laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Ibadah ghairu mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat
Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)
Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf
Firman Allah ta’ala yang artinya
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Jadi perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syara’ atau selama tidak menyalahi laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebaliknya perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat pun, jika bertentangan atau jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.
Imam Syafi’i berkata bahwa perkara baru (bid’ah atau muhdats) dalam perkara kebiasaan yang tidak terdapat pada masa Rasulullah yang menyalahi atau yang bertentangan dengan syara atau yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits adalah bid’ah yang sesat
Sedangkan perkara baru (bid’ah atau muhdats) dalam perkara kebiasaan yang tidak terdapat pada masa Rasulullah yang tidak menyalahi atau yang tidak bertentangan dengan syara’ atau yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah)
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ،
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah BID’AH yang SESAT (bid’ah dholalah).
وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah BID’AH yang TERPUJI (BID’AH MAHMUDAH atau BID’AH HASANAH), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Oleh karenanya ketika kita menghadapi dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah maka kita menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam, “Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam ; bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]
Begitupula bid’ah menurut Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam terbagi menjadi dalam hukum lima, wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah, seperti yang termaktub dalam kitab beliau Qawaid Al Ahkam (2/337-339). Selengkapnya diuraikan dalam tulisan pada http://syeikhnawawial-bantani.blogspot.com/2011/12/pembagian-bidah-menurut-imam-izzuddin.html
Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam memberikan contoh bid’ah wajib adalah menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama salaf (terdahulu)
Kita sepakat bahwa menuntut ilmu termasuk ibadah ghairu mahdhah.
Sedangkan menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah adalah termasuk bid’ah hasanah dan hukumnya wajib.
Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.
Contoh bid’ah mubah adalah bersalaman setelah sholat.
Dalam Qawaid Al Ahkam (2/339), dengan cukup gamblang Imam Izzuddin menyatakan bahwa bersalaman setelah ashar dan shubuh merupakan bid’ah mubah. Ketika Imam Izzudin menjelaskan pembagian bid’ah sesaui dengan hukum lima bersama contohnya, beliau menjelaskan bid’ah mubah, ”Dan bagi bid’ah-bid’ah mubah, contoh-contohnya bersalaman setelah shubuh dan ashar.”
Hal ini juga dinukil juga oleh Imam An Nawawi dalam Tahdzib Al Asma wa Al Lughat (3/22), serta Al Adzkar dalam Al Futuhat Ar Rabaniyah (5/398) dengan makna yang sama.
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ (3/459),”Adapun bersalaman yang dibiasakan setelah shalat shubuh dan ashar saja telah menyebut As Syeikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam rahimahullah Ta’ala,’Sesungguhnya hal itu bagian dari bid’ah-bid’ah mubah, tidak bisa disifati dengan makruh dan tidak juga istihbab (sunnah).’ Dan yang beliau katakan ini baik.”
Ba Alawi mufti As Syafi’iyah Yaman, dalam kumpulan fatwa beliau Bughyah Al Mustrasyidin (hal. 50) juga menyebutkan pula bahwa Imam Izzuddin memandang masalah ini sebagai bid’ah mubah sebagaimana pemahaman Imam An Nawawi,”Berjabat tangan yang biasa dilakukan setelah shalat shubuh dan ashar tidak memiliki asal baginya dan telah menyebut Ibnu Abdissalam bahwa hal itu merupakan bid’ah-bid’ah mubah.”
Bukan hanya ulama As Syafi’iyah saja yang memahami istilah khusus yang digunakan oleh Imam Izuddin. Meskipun As Safarini seorang ulama madzhab Hanbali, beliau memahami bahwa Imam Izzuddin menyatakan masalah ini sebagai bi’dah mubah. Tertulis dalam Ghidza Al Albab (1/235), dalam rangka mengomentari pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa berjabat tangan di dua waktu tersebut adalah bid’ah yang tidak dilakukan oleh Rasul dan tidak disunnahkan oleh seorang ulama sekalipun, ”Aku berkata, dan yang dhahir (jelas) dari pernyataan Ibnu Abdissalam dari As Syafi’iyah bahwa sesungguhnya hal itu adalah bid’ah mubah”
Contoh bid’ah haram, Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam mencontohkan di antaranya: Golongan Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, dan Mujassimah (musyabbihah). Menolak terhadap mereka termasuk bid’ah yang wajib.
Contoh orang-orang yang pada awalnya bermazhab Hambali namun kemudian menjadi imam atau guru besar kaum musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk) karena memahami Al Qur’an dan As Sunnah selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) dan mengingkari makna majaz (makna kiasan/metaforis) seperti,
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdadial-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali. Beliau ini pengarangbuku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana diuraikan banyak tentang tasybihm yaitu keserupaan Tuhan dengan manusia.
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmadal-Baghdadi al-Hanbali, dikenal dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang kitab Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan bahwa “Aib yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air sebanyak air laut sekalipun”. Tampaknya cacat pahamnya terlalu besar.
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghunial-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang sebuah buku dalam usuluddin yangberjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan tajsim.
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahannya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf untuk menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama yang semula Hanabila yang merupakan guru guru besar kaum Musyabbihah atau Mujassimah.
Ibn al Jawzi berkata bahwa
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادمعلى صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata,mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki.
Sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”,
Mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu–dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan“Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
Pada masa sekarang, kenyataannya dapat kita temukan orang-orang yang mengikuti ketiga imam (guru besar) kaum musyabbihah di atas sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/09/18/bukanlah-hanabila/ atau pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/09/29/bertanya-di-mana/
Jadi permasalahan terbesar yang dapat menjerumuskan kekufuran dalam i’tiqod adalah cara mereka menetapkan sifat Allah yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau penetapan sifat Allah selalu berdasarkan makna dzahir
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (makna dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)”
Kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah seperti makna majaz timbul jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Akibat mereka dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir adalah ibadah mereka tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla karena ibadah mereka bukan kepada Tuhan yang sebenarnya, layaknya orang yang menyekutukan Tuhan karena beribadah kepada sesuatu yang diyakininya (dii’tiqodkan) atau beribadah kepada tuhan yang disangkakan menurut akal pikiran mereka sendiri.
Mereka beribadah kepada sesuatu yang berkaki, bertangan (kedua-duanya kanan), bermuka, bertubuh, dan lain lain sebagaimana contoh yang dipublikasikan pada http://ajaranislamyanghaq.wordpress.com/2013/02/04/bagaimanakah-bentuk-allah-swt-itu/
Mereka mengatakan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentukNya, panjangnya enampuluh dzira’ namun bentuk Allah tidak serupa dengan makhlukNya sebagaimana yang diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/07/dalam-bentuknya/
Silahkan periksa tulisan dari kalangan ulama panutan mereka seperti yang dipublikasikan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/ di bagian akhir tulisan menuliskan kesimpulan bahwa Allah mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah adalah kanan.
Silahkan baca pula informasi tentang pendapat ulama panutan mereka lainnya bahwa kedua tangan Allah adalah kanan, seperti yang disampaikan pada http://abuolifa.wordpress.com/2012/12/21/menurut-wahabi-salafi-allah-memiliki-dua-tangan-keduanya-adalah-kanan/
Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa tuhan mereka berambut keriting dan berpakaian warna hijau,
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67)
Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata: “Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran (berbentuk) maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
Al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata: “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
Dalam naskah Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)—lihat transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting mengenai Perang Paderi yang cenderung diabaikan para sejarawan selama ini, terurai penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas perang Paderi dari tahun 1821 M s/d 1832 M sebagaimana yang telah dikutip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/24/hilangnya-naskah-tib/
Tuanku Imam Bonjol menyesali sikap ekstremisme atau radikalisme yakni penyesalan atas tindakan kaum Paderi terhadap sesama orang Minang dan Mandailing yang diakibatkan pembagian tauhid menjadi tiga.
Tuanku Imam Bonjol sadar bahwa perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), demikian tulis Tuanku Imam Bonjol dalam MTIB (hlm.39).
Sebelum meninggal-dunia, Imam Bonjol sempat berwasiat kepada putranya. “Akui hak para penghulu adat,” pesannya. “Taati mereka. Kalau ini tidak bisa ditaati, maka ia bukan penghulu yang benar dan hanya memiliki gelar saja. Sedapat mungkin, setialah pada adat. Dan kalau pengetahuannya belum cukup, pelajarilah dua puluh sifat-sifat Allah”.
Wasiat singkat Imam Bonjol tersebut sarat dengan makna yang maksudnya adalah jangan main hakim sendiri taatilah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha karena merekalah yang mengetahui hukum-hukum Allah
Dikatakan oleh Beliau “akui hak para penghulu adat” karena penghulu adat yang benar di Minangkabau berpegang pada prinsip Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
Kalau mau menggali hukum sendiri dari Al Qur’an dan As Sunnah, dikatakan oleh Beliau maka awali dengan mengenal Allah (makrifatullah) seperti dengan mempelajari dua puluh sifat Allah
Imam Bonjol mewasiatkan bahwa untuk mempelajari tauhid maka pelajarilah dua puluh sifat-sifat Allah di dalam aqidatul khomsin, (lima puluh aqidah)
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam mazhab yang empat yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Jika tidak mengenal Allah yang disembah berakibat dapat menjadi sombong dan bahkan timbul radikalisme sehingga semakin jauh dariNya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan akan bermuncululan orang-orang yang bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah karena tidak bertambah hidayahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sungguh celaka orang yang tidak berilmu. Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu Sungguh celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.
Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak (ihsan)
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah Ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Sayyidina Umar ra juga menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Tabiat atau akhlak seseorang akan mengikuti yang diteladaninya
Sekelumit tentang Muhammad bin Abdul Wahhab dapat dibaca pada http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,57680-lang,id-c,kolom-t,Tanggapan+atas+Tulisan+KH+Ali+Mustafa+Yaqub+soal+Wahabi+NU-.phpx
***** awal kutipan ******
Perbedaan penting antara Wahhabi dan NU, di antaranya al-Faqir hanya menyebutkan dalam tulisan ini sebagian saja, yaitu:
Pertama, dakwah Wahhabi mengabsyahkan dan mencontohkan kekerasan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim, dibuktikan dengan dibunuhnya para ulama sunni dari empat madzhab, tokoh sufi, dan mereka yang tidak sejalan dengan pikiran Wahhabi pada awal pendirian Wahhabi; dan saat ini unsur-unsur Wahhabi juga terlibat di banyak pergolakan-kekisruhan di seluruh dunia muslim. Sejarah soal ini bisa dilacak dari kitab-kitab sejarah yang mendokumentasikannya, baik dari mereka yang membela korban-korban, maupun dari para algojo Wahhabi. Mustahil guru kita ini tersilap dalam soal ini. Al-Faqir, melihat pembunuhan sesama muslim dan mengabsyahkannya adalah fundamental, harus dipertimbangkan untuk melihat Wahhabi.
Dalam soal ini, sejarawan Wahhabi, Ibnu Bisyr mengakui dengan terus terang bahwa: “Syaikh (maksudnya Muhammad bin Abdul Wahhab) memerintahkan untuk melakukan jihad terhadap siapa saja yang mengingkari tauhid (versi pendiri Wahhabi) (Ibnu Bisyr, `Unwân al-Majd fî Târîkh Najd (Riyadh: Daratul Malik Abdul Aziz, 1982, I: 48). Dalam praktiknya, jihad kaum Wahhabi dulu itu, adalah untuk memerangi orang-orang Islam di kalangan berbagai madzhab yang menolak mereka, memberontak pada pemerintahan Islam. Anehnya Wahhabi bisa bergandengan dengan Amerika dalam penemuan minyak dan Inggris dalam pendirian Arab Saudi. Di sisi lain, Wahhabi membunuhi sesama kaum muslimin, yang telah dianggapnya musyrik, pelaku bid’ah, dan sejenisnya, yang sejatinya adalah para pengikut madzhab empat, kalangan sufi, dan para pecinta ahlul bait Nabi. Di sini pentingnya melihat Wahhabi juga dari sudut korban, bukan dari pernyataan kitab pendirinya saja.
Kedua, akhlak pendiri Wahhabi sangat sombong sekali, dan ini berbeda dengan Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari yang sangat santun dan toleran; juga berbeda dengan khazanah nilai-nilai NU yang tawasuth, tawazun, dan tasamuh. Pendiri Wahhabi menganggap Islam yang dibawakannya, pada saat itu, adalah hal baru yang sebelumnya tidak diajarkan oleh para gurunya. Al-Faqir batasi saja dari kata-kata pendiri Wahhabi demikian: “Demi Allah yang tidak ada ilah kecuali Dia, sungguh saya telah mencari ilmu dan orang yang mengenali saya meyakini bahwa saya memiliki pengetahuan, dan saya saat itu tidak mengetahui makna la ilaha illallah, dan saya tidak mengetahui agama Islam sebelum kebaikan yang Allah karuniakan ini; dan begitu juga guru-guru saya, tidak seorang pun di antara mereka mengetahui hal itu (Muhammad bin `Abdul Wahhab, Mu’allafât, jilid VII, dalam kitab “Rasâ’il asy-Syakhsyiyah”, risalah ke-28, hlm. 186-187 dan seterusnya).
Bagi al-Faqir, kesombongan terhadap para guru yang mengajari dan memberi ilmu adalah fundamental yang harus dipertimbangkan dari pendiri Wahhabi, dan secara umum bagi gerakan Wahhabi. Bagi orang NU, hubungan guru-murid adalah fundamental, dibawa sampai mati, karena tidak ada yang disebut mantan guru. Pendiri Wahhabi, dengan gamblang, dengan kesombongannya, menyebutkan tidak ada seorang pun dan bahkan guru-gurunya yang tahu Islam dan makna la ilaha illalah sebelum ia mendakwahkan Islam.
****** akhir kutipan ******
Begitupula dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi, seorang murid menuliskan ungkapan yang diperuntukan bagi gurunya yakni Ibn Taimiyah sebagai berikut [Secara lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab j. 2, h. 9 ]:
“Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya dirimu jika engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat kecerdasannya dari seorang yang bernama Ibn Taimiyah. Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam makanan, dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam keadaan apapun. Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibn Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap kecintaan terhadap kehormatan semacam ini!”.
Berikut kutipan nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibn Taimiyah yang ia tuliskan dalam risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, [Teks lebih lengkap dengan aslinya lihat an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah dalam dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, j. 2, h. 9-11]:
***** awal kutipan *****
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.
Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang “Bid’ah al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi berbicaralah dengan kami tentang berbagai bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”. (Engkau berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan adalah murni sebagai bagian dari sunnah dan merupakan dasar tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang yang kafir atau seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk dari pada kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama seperti kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak hati dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat syahadat maka engkau adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.
***** akhir kutipan *****
Kutipan selanjutnya dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/25/nasehat-seorang-murid/
Namun dikabarkan Ibnu Taimiyyah masih sempat bertaubat sebelum beliau wafat.
Ajaran atau pemahaman Ibnu Taimiyyah telah terkubur dan ditolak oleh para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat, sebagaimana contoh informasi dari https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Namun amat disayangkan ajaran atau pemahaman Ibnu Taimiyyah dibangkitkan kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab setelah 350 tahun Ibnu Taimiyyah wafat.
Beberapa tanda-tanda akhir zaman adalah
1. Banyaknya laki-laki yang ditakuti (dihormati) bukan karena akhlak dan kebaikanya, akan tetapi karena orang takut akan kejahatannya
2. Orang hina (bersifat keji) menjadi pemimpin pada suatu kaum (kelompok) dan dipimpin oleh orang yang fasik diantara mereka.
3. Suara-suara manusia meninggi (berteriak) di masjid-masjid.
Dapat kita temui saat ini para penuduh karena sombong memenuhi masjid-masjid
4. Orang-orang dari umat yang terakhir ini melaknat umat yang terdahulu.
Mereka melaknat dapat dikarenakan mereka salah memahami Al Qur’an dan Hadits.
5. Seorang laki-laki bersikap kasar kepada orangtuanya dan bersikap ramah dengan teman-temannya.
Mereka bersikap kasar kepada orang tua yang tidak sepemahaman karena mereka salah memahami Al Qur’an dan Hadits.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab. Bogor 16830
Tinggalkan komentar