Apakah mereka meneladani ulama panutannya
Sungguh mengkhawatirkan membaca tulisan atau komentar mereka yang diikuti hal-hal yang memperturutkan hawa nafsu seperti mencela, memperolok-olok atau merendahkan.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Orang yang fasik adalah orang yang secara sadar melanggar larangan Rasulullah atau larangan agama sebagaimana firmanNya yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al Baqarah [2]:27)
Bagi orang-orang yang fasik, tempat mereka adalah neraka jahannam
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam” (QS Sajdah [32]:20)
Akhlak yang buruk adalah mereka yang tidak takut kepada Allah atau mereka yang berpaling dari Allah atau menjauhkan diri dari Allah karena mereka memperturutkan hawa nafsu.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26)
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )
Tulisan atau komentar yang tidak sepatutnya keluar dari mereka yang mengaku mengikuti Salafush Sholeh
Bahasa tulisan maupun lisan, ibarat teko hanya akan mengeluarkan isi yang ada. Kalau di dalamnya air bersih maka yang keluar bersih dan sebaliknya kalau di dalamnya air kotor maka yang keluar adalah kotoran
Berhati-hatilah janganlah terpancing sehingga membalas perlakuan mereka dengan akhlak yang buruk pula
Imam Syafi’i ra menyatakan bahwa “orang yang berakhlak buruk itu seperti pantatnya dandang (tempat menanak nasi) yang hitam. Dia hitam, dan dia ingin menempelkannya ke kulit kita. Kalau kita terpancing, maka yang hitam itu menjadi dua. Jadi kalau sampai kita sadar bahwa ada ruhani yang tidak stabil, dan kita terpancing untuk tidak stabil, maka sesungguhnya yang terjadi adalah dua ketidakstabilan, karena kita terpancing“.
Ibarat peribahasa atau nasehat orang tua terdahulu “air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga” artinya akhlak buruk yang mereka perlihatkan mengikuti apa yang mereka jadikan teladan.
Jangan sembarang mengikuti ulama sehingga menimbulkan penyesalan di akhirat kelak
Firman Allah ta’ala yang artinya, “(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS al Baqarah [2]: 166)
Orang-orang menyematkan sebutan ahlus sunnah atau bahkan syaikhul Islam kepada Muhammad bin Abdul Wahhab ataupun Ibnu Taimiyyah adalah sebuah bentuk penghormatan bukan jaminan bahwa mereka berkompetensi dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan atau pendapat ulama Salaf apalagi jaminan maksum atau terbebas dari kesalahan.
Imam Mazhab yang empat walaupun mereka tidak maksum namun mereka diakui oleh jumhur ulama sejak dahulu kala sampai sekarang sebagai ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga patut untuk dijadikan pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat bagi kaum muslim
Begitupula tidak ada catatan para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat yang menyebutkan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab atau Ibnu Taimiyyah adalah seorang mujaddid (pembaharu)
Berikut adalah contoh daftar mujaddid yang ditulis oleh syaikh Abdullah bin ‘Alwi Al Haddad dalam kitab Ad Dakwah Al Temmah,
1. Mujaddid abad 1 : Khalifah Umar bin Abdul Aziz
2. Mujaddid abad 2 : Imam As Syafie
3. Mujaddid abad 3 : Ibnu Suraij Al Iraqi atau Abul Hassan As Syaari
4. Mujaddid abad 4 : Imam Al Baihaqi atau Syeikh Abu Hamid Isfaraini As Shafie
5. Mujaddid abad 5 : Imam Ghazali
6. Mujaddid abad 6 : Imam Fakhurrazi
7. Mujaddid abad 7 : Ibnu Daqiqi ‘Id
8. Mujaddid abad 8 : Al Balqini
9. Mujaddid abad 9 : Imam As Sayuti
10. Mujaddid abad 10 : Imam Muhammad Ar Ramli
11. Mujaddid abad 11 : Abdullah Salim Al Basri
12. Mujaddid abad 12 : Ad Dardir
13. Mujaddid abad 13 : Al Syarqawi
Mereka yang mengikuti atau bahkan menjurus taqlid buta kepada Muhammad bin Abdul Wahhab atau Ibnu Taimiyyah adalah hasil pengajaran para ulama yang dipaksakan oleh kerajaan dinasti Saudi yang merupakan sekutu dari Zionis Yahudi Amerika untuk mengikuti ajaran atau pola pemahaman ulama Najed yakni Muhammad bin Abdul Wahhab sebagaimana informasi dari situs resmi mereka seperti pada https://saudiembassy.net/islam berikut kutipannya,
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Ulama Najed mengingatkan kita kepada penduduk Najed yang mempunyai keunikan tersendiri karena mereka disebutkan dalam beberapa hadits untuk kita ambil hikmah atau pelajaran sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/29/mengenal-najed
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/21/terhasut-mengikuti-shahafi/ bahwa mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/08/cara-melumpuhkan-kekuatan/ bahwa kaum Yahudi atau yang dikenal sekarang kaum Zionis Yahudi telah menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) pada Imam Mazhab yang empat dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf. Mereka mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh mereka.
Protokol Zionis yang ketujuhbelas
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan…..
Salah satu upaya mengdiskreditkan Imam Mazhab yang empat adalah menyalahgunakan perkataan atau pendapat Imam Mazhab yang empat yang jsutru untuk meninggalkan apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat.
Contoh tulisan tentang mengapa orang-orang meninggalkan Imam Mazhab yang empat ada pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/13/tidak-bermazhab/
Kaum Yahudi telah memilih pola pemahaman atau pemikiran yang cocok dipergunakan untuk menghasut atau melancarkan ghazwul fikri (perang pemahaman) yakni pola pemahaman atau pemikiran Ibnu Taimiyyah yang berpendapat bahwa pintu ijtihad terbuka luas.
Mereka adalah orang-orang yang mendalami ilmu agama dengan memahami Al Qur’an dan As Sunnah serta perkataan atau pendapat ulama Salaf bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri.
Pada awalnya sanad guru (sanad ilmu) Muhammad bin Abdul Wahhab terjaga dengan bertalaqqi (mengaji) pada ulama yang mengikuti Imam Mazhab yang empat namun pada akhirnya Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah yakni memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri sebagaimana informasi dari kalangan mereka sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam seperti pada http://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Begitupula dari biografi Ibnu Taimiyyah pun kita mengetahui bahwa beliau termasuk orang-orang yang memahami Al Qur’an dan as Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Contoh yang lain seperti Al Albani , ahli hadits dalam arti ahli membaca hadits bukan ahli hadits dalam arti menerima hadits dari ahli hadits sebelumnya.
Al Albani sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan sebagaimana contoh informasi pada http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nashiruddin_Al-Albani
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pengikut yang tidak pernah bertemu muka yakni mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih.
Muhammad bin Abdul Wahhab maupun Ibnu Taimiyyah tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga mereka tidak patut ditaklidi oleh kaum muslim dan pada kenyataannya tidak ada satupun mazhab yang dinisbatkan dengan nama mereka.
Dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/20/tetaplah-sebagai-ormas/ bahwa Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Jadi ketika sebuah jama’ah minal muslimin atau sebuah kelompok kaum muslim atau sebuah ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqah.
Ulama yang sholeh terdahulu kita dari kalangan Sunni Syafei yang ternama sampai Semenanjung Tanah Melayu, Brunei Darussalam, Singapur sampai Pathani, negeri Siam atau Thailand yakni KH. Sirajuddin Abbas (lahir 5 Mei 1905, wafat 23 Ramadhan 1401H atau 5 Agustus 1980) dalam buku berjudul I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jl Tebet Barat XA No.28, Jakarta Selatan 12810 dalam cetakan ke 8, 2008 tercantum dua buah sekte atau firqoh dalam Islam yakni firqoh berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari halaman 296 sampai 351 dan friqoh berdasarkan pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab dari halaman 352 sampai 380.
Jumhur ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dan pemahamannya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman selalu dengan makna dzahir maka kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin, sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/06/shalat-yang-fasidah/
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluqNya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/24/mengaku-hanabila/
Ibnu Taimiyyah terjerumus kekufuran dalam i’tiqod yang mengakibatkan beliau diadili oleh para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat mazhab dan diputuskan hukuman penjara agar ulama Ibnu Taimiyyah tidak menyebarluaskan kesalahapahamannya sehingga beliau wafat di penjara sebagaimanayang dapat diketahui dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia atau pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/arsy-tidak-kosong/
Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Swt bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Swt, arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata “. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 116)
Dalam masalah i’tiqod di antara mazhab yang empat tidak ada perbedaan karena i’tiqod bukanlah masalah yang bersifat furu’iyyah. Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod.
Pada kenyataannya mereka mengikuti orang-orang yang semula bermazhab Hambali yang menjadi imam atau guru besar kaum musyabbihah yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah dari sudut artinya saja atau memahaminya dengan selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) seperti,
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdadial-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali. Beliau ini pengarangbuku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana diuraikan banyak tentang tasybihm yaitu keserupaan Tuhan dengan manusia.
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmadal-Baghdadi al-Hanbali, dikenal dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang kitab Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan bahwa “Aib yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air sebanyak air laut sekalipun”. Tampaknya cacat pahamnya terlalu besar.
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghunial-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang sebuah buku dalam usuluddin yangberjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan tajsim.
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahannya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf untuk menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama yang semula Hanabila yang merupakan guru guru besar kaum Musyabbihah atau Mujassimah.
Ibn al Jawzi berkata bahwa
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادمعلى صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata,mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki.
Sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”,
Mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu–dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan“Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
Pada kenyataannya i’tiqod atau aqidah mereka menyerupai (tasyabuh) kaum Yahudi yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman selalu berdasarkan makna dzahir
Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits diatas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره ” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Jikalau beri’tiqod (beraqidah) selalu dengan makna dzahir (selalu berpegang pada nash secara dzahir) maka “jari Allah” juga berada disetiap hati manusa
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya. (HR Muslim 4798)
Ibn Al Jawzi berkata , “Hadits ini menunjukan bahwa hati setiap manusia di bawah kekuasaan Allah. Ketika diungkapkan “بين أصبعين ”,artinya bahwa Allah sepenuhnya menguasai hati tersebut dan Allah maha berkehendak untuk “membolak-balik” hati setiap manusia.
Dari Syahru bin Hausyab berkata; saya telah mendengar Ummu Salamah meceritakan bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam memperbanyak dalam do’anya: ALLAHUMMAA MUQALLIBAL QULUB TSABIT QALBI ‘ALA DINIK (Ya Allah,yang membolak balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu). Ia berkata;saya berkata; “Wahai Rasululah! Apakah hati itu berbolak balik?” beliau menjawab: “Ya, tidaklah ciptaan Allah dari manusia anak keturunan Adam kecuali hatinya berada di antara dua jari dari jari-jari Allah. Bila Allah Azza wa Kalla berkehendak, Ia akan meluruskannya, dan jika Allah berkehendak,Ia akan menyesatkannya. Maka kami memohon kepada Allah; ‘Wahai Tuhan kami,janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah kami diberi petunjuk.’ Dan kami memohon kepada-Nya supaya memberikan kepada kita rahmat dari sisinya, sesungguhnya dia adalah Maha Pemberi’.” (HR Ahmad No 25364)
Contoh salah satu ulama panutan mereka dari negeri kita yang mengikuti ajaran Wahabi yakni Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat sebagaimana tulisannya pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/ atau http://artikelassunnah.blogspot.com/2010/03/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa.html pada akhir tulisan menuliskan kesimpulan bahwa Allah mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah adalah kanan.
Contoh lain orang-orang yang belajar agama di wilayah kerajaan dinasti Saudi yang dipaksakan untuk mengikuti ajaran Wahabi sebagaimana yang dapat saksikan dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=CaT4wldRLF0 mulai pada menit ke 03 detik 15
Berikut transkriptnya,
***** awal kutipan transkript *****
“Ya sudah kalau kita apa, misalkan tangan Allah, ya sudah itu tangan Allah.
Allah punya tangan akan tetapi apakah tangan Allah seperti tangan makhluk ? tidak.
Sedangkan sama sama makhluknya Allah subhanahu wa ta’ala, kaki gajah dengan kaki semut ndak sama. Sama-sama kaki namanya. Kaki meja dengan kaki kamera ini yang untuk tahan sandaran ini, ndak sama.
Apalagi tangan Allah subhanahu wa ta’ala dengan tangan makhluknya ndak sama karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman “Laisa kamitslihi syai’un wahuwa samii’u bashiir” tidak ada yang sama dengan Allah subhanahu wa ta’ala, apapun di dunia ini, adapun kalau sama namanya ndak sama bentuknya dan rupanya.”
***** akhir kutipan transkript *****
Mereka mengatakan bahwa “kaki gajah dan kaki semut tidak sama walaupun sama-sama kaki namanya. Begitupula kaki meja dan kaki kamera yang untuk sandaran juga tidak sama walaupun sama-sama kaki namanya”
Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan tentang kaki sebagai berikut
***** awal kutipan *****
Anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk berjalan (dari pangkal paha ke bawah), bagian tungkai (kaki) yang paling di bawah:
Bagian yang bawah seperti kaki bukit (gunung)
kaki gunung, lereng gunung bagian bawah;
kaki jenjang, bagian bawah suatu jenjang;
kaki langit, batas pandangan secara horizontal yang seolah-olah langit bagian bawah berbatas dengan permukaan bumi (laut); horizon; cakrawala;
Bagian suatu benda yang menjadi penopang (penyangga) yang berfungsi sebagai kaki seperti kaki meja, kaki kursi, kaki kamera
kaki tiga, penyangga (pada kamera dan sebagainya) yang terdiri atas tiga batang yang dapat dilipat (tripod)
****** akhir kutipan ******
Jadi walaupun kaki manusia, kaki meja, kaki kursi, kaki kamera berbeda bentuk dan ukurannya namun mempunyai sifat yang sama yakni bagian bawah, untuk penopang (penyangga) sedangkan Allah Ta’ala “Laisa kamitslihi syaiun” tidak serupa dengan makhlukNya dari sisi apapun.
Mereka lupa bahwa walaupun bentuk dan ukuran kakinya berbeda, sifat kaki bagi kaki semut, kaki gajah, kaki meja atau kaki kamera adalah untuk menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran.
Jika tidak menopang sesuatu maka tidak disifatkan dengan kaki seperti kaki semut, kaki gajah, kaki meja, kaki kamera dan lain lain.
Jadi mereka mensifatkan yang tidak dilayak bagi Allah yakni sifat kaki, suatu bagian yang menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran walaupun dikatakan bentuknya tidak serupa dengan makhlukNya sedangkan bentuk dan ukuran adalah sifat makhluq bukan sifat Allah Ta’ala.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)
Al-Imam Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata:
مَنْ زَعَمَ أنَّ إِلهَـَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ الْمَعْبُوْدَ (رَوَاه أبُو نُعَيم
“Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
Al-Ghazali rahimahullah berkata: “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
Jadi permasalahan terbesar yang dapat menjerumuskan kekufuran dalam i’tiqod dan tidak bermakrifat atau tidak mengenal Tuhan yang wajib disembah yang akan berakibat tidak sah ibadahnya adalah cara mereka menetapkan sifat Allah yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau penetapan sifat Allah selalu berdasarkan makna dzahir
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (makna dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)”
Kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah seperti makna majaz timbul jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Imam ath Thahawi dalam kitabnya Aqiidah ath Thaahawiyah berkata “Barangsiapa yang enggan (tidak mau) menafikan sifat makhluk kepada Allah atau menyamakan-Nya dengan sifat makhluk, maka ia telah sesat dan tidak melakukan tanzih (mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk). Karena sesungguhnya Tuhan kami yang Maha Agung dan Maha Mulia itu disifati dengan sifat-sifat wahdaniyyah (tunggal) dan fardaniyyah (kesendirian). Hal ini artinya, tidak ada satupun makhluk yang menyamaiNya. Maha Suci Allah dari segala macam batasan, tujuan, pilar, anggota dan aneka benda. Allah ta’ala tidak butuh enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (Abu Ja’far Ahmad bin Salamah Ath Thahawi , Aqidah Ath Thahaawiyyah halaman 26)
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jism (contohnya tangan) sebagaimana jisim-jisim lainnya (sebagaimana tangan lainnya), maka orang tersebut hukumnya Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (contohnya tangan) namun tidak serupa dengan jisim-jisim lainnya (tidak serupa dengan tangan makhlukNya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
– I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Sedangkan uraian tentang cara memahami apa yang telah Allah ta’ala sifatkan bagi diriNya yakni tentang Istawa atau dalam bahasa Indonesianya artinya bersemayam mempunyai dua makna yakni makna dzahir dan makna majaz telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/11/22/makna-majaz-bersemayam/
Berikut adalah nasehat para ulama tentang ajaran Wahabi yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah
Al-Imam Al-Amir Muhammad bin Ismail Ash-Shon’ani (Penulis Kitab Subulus Salam syarah Bulughul Marom, Yaman) Beliau meralat pujiannya kepada Muhammad bin Abdul Wahhab yang sebelumnya dimuat pada Diwan Ash-Shon’ani, hal 128-129, sebagaimana dalam Majmu’atur Rosaail At-Taujihaat Al-Islamiyah Li Ishlahil Fardi wal Mujtama’, 3/239
Gubahan bait-bait Ash Shon’ani ini sangat masyhur dan tersebar kemana-mana. Namun setelah qasidah itu tersebar kemana-mana, para ulama menegur Ash-Shon’ani, beliau pun diam mempertimbangkan. Apakah aku telah memuji orang yang salah?
Adalah Syaikh Marbad bin Ahmad At Tamimi, yang atas kehendak Allah menyingkap tabir, datang ke Yaman, bertemu dengan Imam Al Amir Ash shon’ani, dan menjelaskan semua.
Bahkan sebelumnya, juga datang dari najd bernama Syeikh Abdurrahman An Najdi menjelaskan tentang ulama Muhammad bin Abdul Wahhab. Kedatangan dua ulama Nejd ini telah mengungkapkan kenyataan di hadapan Iman Ash Shon’ani.
Imam Al Amir Ash shon’ani pada akhirnya menasehatkan Muhammad bin Abdul Wahhab untuk tidak mentaklidi orang tidak patut untuk ditaklidi seperti Ibnu Taimiyyah dan pengikutnya Ibnu Qoyyim Al Jauziah
**** awal kutipan *****
Telah datang kepadaku, seorang alim dari Najd bernama Marbad bin Ahmad At Tamimi. Dia tiba bulan Shofar tahun 1170 H dan tinggal di negeri kami selama 8 bulan. Dia kembali ke negerinya bulan Syawal tahun 1170 bersama dengan jamaah haji. Dia mengabariku, bahwa bait-bait qasidahku telah disampaikan kepada Muhammad bin Abdul Wahab, namun dia hanya diam tak menjawab
Sebelumnyanya, pernah datang juga kepadaku, Asy Syaikh al Fadhil Abdurrahman An Najdi. Dia bercerita kepadaku tentang Muhammad bin Abdul Wahab banyak hal. Suka menumpahkan darah, perampokan, pembunuhan dan tudingan kafirnya pada umat nabi Muhammad di mana-mana. Aku diam memikirkan apa yang disampaikan Syaikh Abdurrahman, hingga datanglah Marbad at Tamimi membawa beberapa pernyataan Muhammad bin Abdul Wahab
Semua menjadi jelas bagiku, tampaknya Muhammad bin abdul Wahab ini orangnya baru mengenal syari’at baru setengah, tak melihat secara teliti. Tak mau belajar dari orang yang telah berjasa padanya (ayahnya yakni syeikh Abdul Wahab) membimbingnya dan mengajarinya ilmu yang bermanfaat.
Sebaliknya, dia malah mempelajari tulisan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan bertaklid buta pada keduanya, padahal mereka berdua tidaklah layak ditaklidi.
Saat telah jelas bagiku tentang pribadi Muhammad bin Abdul Wahab, dan telah kulihat ucapan-ucapannya, bagaimana ketika bait-baitku telah sampai padanya, dia berusaha mengelak dari apa yang kusampaikan, kulihat tanggapannya atas perkataanku, adalah jawaban yang jauh dari keinsafan.
***** akhir kutipan ******
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkamal-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat.
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy) berkata ” Maka berhati-hatilahkamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telahAllah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)
Para ulama ahlus sunnah terdahulu juga telah membantah pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah yang telah banyak menyelisihi pendapat para ulama terdahulu yang mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana contohnya termuat pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf atau pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/kontrofersi-paham-taimiyah/
Sebagaimana tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm mengatakan
***** awal kutipan ****
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahimsebagaimana contohnya yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html
***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendakmengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyimal-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
Kabar yang lain dari Malaysia tentang pemahaman Wahhabi
Taklimat tentang Fahaman Wahhabiy anjuran Jabatan Mufti Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz Abdullah Jalil dari USIM
http://www.youtube.com/watch?v=d3ep3LODV5E
http://www.youtube.com/watch?v=zkA1gxH87_k
http://www.youtube.com/watch?v=JKJ24FDd3B8
Taklimat Khas Fahaman Wahhabiy Dan Ancamannya Terhadap Aqidah Umat Islam anjuran Jabatan Mufti Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz Zamihan al-Ghari
http://www.youtube.com/watch?v=lolOeJ8CXSc
http://www.youtube.com/watch?v=lP7dqXHT01g
http://www.youtube.com/watch?v=Zep7-4-asVo
http://www.youtube.com/watch?v=IltK_VKhwtY
http://www.youtube.com/watch?v=elalhSVpY3o
Ucapan pengangguhan oleh SS Dato’ Haji Mohd Yusof Bin Hj Ahmad, Mufti Negeri Sembilan dalam Taklimat Khas Fahaman Wahhabiy
http://www.youtube.com/watch?v=ZCh2nVfgRt4
http://www.youtube.com/watch?v=2JT28bp_Ep4
Bedah buku terbaru tulisan Ustaz Zamihan al-Ghari bertajuk “Penyelewengan Fahaman Tajsim Wahhabiy” membongkar segala permasalahan Aqidah Tajsim Wahhabiy.
http://www.youtube.com/watch?v=XpGuEfRQSv4
http://www.youtube.com/watch?v=ACGtp3Ze7eA
Begitupula sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/11/18/fatwa-terhadap-wahabi/ bahwa mufti Negeri Perak, Malaysia telah mengeluarkan fatwa terhadap ajaran Wahabi sebagaimana yang termuat pada http://mufti.perak.gov.my/perkhidmatan/e-book/372-fatwa-penegahan-menyebarkan-aliran-dan-dakyah-wahabiah.html
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar