
Di malam Nishfu Sya’ban semua makhluk yang memohon ampunan akan diampuni-Nya kecuali orang musyrik dan orang yang menyempal keluar dari Jama’ah
Nisfu Sya’ban yakni malam pertengahan bulan Sya’ban merupakan salah satu hari yang istimewa.
Para ulama Allah yakni para ulama dari kalangan kekasih Allah (wali Allah) menyampaikan bahwa pada tangal 13,14,15 bulan Sya’ban yang tahun ini bertempatan dengan tanggal 6,7,8 bulan Maret 2023 adalah ibarat “tutup buku” dan kemudian buka buku yakni catatan amal kita masa lalu dan masa yang akan datang akan diperbaharui di malam malam tanggal tersebut karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda bahwa malam malam tersebut tersimpan adanya malam Nisfu Sya’ban dimana semuanya tentang amal amal akan DIANGKAT wushul (sampai) kepada Allah Ta’ala
Sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu berkata
يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ
Yaa Rasulallah aku tidak pernah melihatmu berpuasa sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab
قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ
Bulan sya’ban itu adalah bulan yang dilalaikan di antara bulan Rajab dan Ramadhan,
وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
dan bulan Sya’ban adalah bulan DIANGKATNYA amal-amal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan aku ingin amalku diangkat dalam keadaaan aku berpuasa”. (HR Sunan Imam an Nasa’i 2317 atau versi Maktabatu Al Ma’arif 2358)
Rasulullah juga bersabda hidupkanlah malam Nisfu Sya’ban dengan sholat sunnah dan amal kebaikan lainnya dan berpuasalah di siang harinya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Apabila tiba malam Nisfu Sya’ban, maka hidupkan malamnya dan berpuasalah di siang harinya” (HR Ibnu Majah dalam as-Sunan dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).
Oleh karenanya para ulama Allah menyarankan bahwa ketika “tutup buku” yakni ketika amal-amal kita akan DIANGKAT wushul (sampai) kepada Allah dibantu dan diiringi dengan amal kebaikan dengan harta yakni seperti sedekah kepada anak yatim atau kepada ahli ilmu maupun dzikirullah atau sedekah (hadiah) bacaan Al Qur’an dan sebaiknya sudah dilakukan sejak tanggal 13 Sya’ban atau 6 Maret 2023
Rasulullah bersabda bahwa sedekah tidak hanya dengan harta.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ
dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu alaihi wassalam bertanya kepada Beliau, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka.”
قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ
Maka Rasulullah pun bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah. (HR Muslim 1674 atau versi Syarh Shahih Muslim 1006)
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/muslim/1674
Sultannya para Wali Allah (Kekasih Allah), Syekh Abdul Qadir Al Jilani qaddasallahu sirrahu dalam kitabnya Sirrul Asrar menjelaskan bahwa seorang ulama Allah yakni ulama dari kalangan kekasih Allah (wali Allah) yang disebut dengan MURSYID (guru pembimbing) adalah ulama pewaris para Nabi sejati yang “diutus” atau “ditugaskan” oleh Allah Ta’ala bukan untuk kebanyakan orang namun untuk kalangan khawas (khusus) yakni orang-orang yang dikehendaki-Nya
***** awal kutipan *****
فرقا بين النبي والولي ، فإنّ النّبي يرسل إلى العوام والخواص جميعا مستقلا بنفسه . والولي المرشد يرسل للخواص فقط غير مستقل بنفسه ، فإنه لا سعة إلا بمتابعة النبي ، حتى لو ادعى الاستقلال كفر
Perbedaan antara para Nabi dengan para Wali (MURSYID) adalah para Nabi diutus untuk semua orang awam (umum) dan kalangan khawas (khusus) dengan membawa syariat sendiri. Sedangkan Wali MURSYID diutus untuk kalangan khawas (khusus), tanpa membawa syariat sendiri . Sehingga tidak ada baginya kecuali harus mengikuti syariat Nabi (shallallahu alaihi wasallam); jika dia mengaku membawa syariat sendiri maka ia telah kufur .
***** akhir kutipan *****
Syekh Abdul Qadir Al Jilani mengingatkan bahwa,
***** awal kutipan *****
وليس المراد منه من ترسم بظاهر العلم ، لأنه وإن كان من الورثة النبوية لكن هو من قبيل ذوى الأرحام ،
Pengertian ulama ahli waris para nabi BUKANLAH orang yang menguasai sisi lahiriah ilmu agama. Walaupun ilmu agama lahiriah itu juga warisan kenabian, tetapi ia didapat dari jalur dzawil arham (tidak termasuk ashhabul furudh dan ashabah).
فالوارث الكامل من يكون بمنزلة الابن لأنه من أقرب العصبات ، فالولد سر الأب ظاهرا وباطنا ،
Sedangkan, (dalam ilmu waris ) ahli waris yang sempurna adalah yang berkedudukan sebagai anak kandung karena ia ashabah terdekat. Selain itu, anak kandunglah yang menyimpan rahasia ayah, lahir maupun batin .
ولذلك قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه إلا العلماء بالله تعالى ،
Oleh karenanya, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Di antara ilmu itu ada yang tersembunyi. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali ulama Arif Billah Ta’ala (Wali Allah).
فإذا نطقوا به لم ينكره إلا أهل الغزة
Jika ilmu itu mereka sampaikan, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang – orang jahil.”
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya dalam suatu thariqah tidak boleh sembarang orang menunjuk atau mengaku-ngaku sebagai mursyid pengganti tanpa mendapatkan WASIAT “PENUGASAN” dari mursyid (guru pembimbing) yang telah wafat.
Begitupula Rasulullah bersabda bahwa Allah Ta’ala akan mengampuni siapapun yang memohonkan ampunan pada malam itu.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
“Apabila tiba malam Nisfu Sya’ban, maka malaikat berseru menyampaikan dari Allah: adakah orang yang memohon ampun maka aku ampuni, adakah orang yang meminta sesuatu maka aku berikan permintaannya” (HR al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan dalam sabdanya bahwa pada malam Nishfu Sya’ban semua makhluk yang memohon ampunan akan diampuni-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang menyempal keluar dari Jama’ah
Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu anhu
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah di malam Nishfu Sya’ban akan mengampuni semua makhluk-Nya (yang memohon) kecuali orang musyrik atau Al Musyahin yakni orang yang meninggalkan (menyempal keluar dari) Jama’ah. (HR Sunan Ibnu Majah 1380 atau versi Maktabatu Al Ma’arif 1390)
Al Musyahin artinya orang-orang yang neninggalkan jama’ah yakni orang-orang yang merasa sebagai Al Ghuroba (orang-orang yang asing) dan MENGASINGKAN DIRI namun pada kenyataannya mereka MENYEMPAL KELUAR dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham).
Contoh pada ZAMAN Salafus Sholeh adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni mereka yang merasa sebagai Al Ghuroba (orang-orang yang asing) NAMUN sesungguhnya mereka MENGASINGKAN DIRI atau MENYEMPAL KELUAR dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) sehingga mereka disebut FIRQAH atau KAUM KHAWARIJ.
KHAWARIJ adalah bentuk jamak, dan mufradnya adalah dari kata KHARIJ. Kata KHARIJ adalah isim fa’il dari fi’il madhi KHARAJA yang artinya KELUAR.
Sebutan KHAWARIJ berlaku tidak sebatas pemberontak NAMUN berlaku bagi siapa saja yang menganggap sesat, menuduh musyrik dan bahkan menghalalkan darah dan membunuh umat Islam karena mereka KELIRU BERHUJJAH atau KELIRU MEMAHAMI Al Qur’an dan Hadits SEHINGGA mereka MENGASINGKAN DIRI atau MENYEMPAL KELUAR dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham).
Mereka MENGASINGKAN DIRI atau MENYEMPAL KELUAR karena mereka menganggap atau menuduh mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) telah rusak padahal mereka sendirilah yang rusak
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Aku membaca Hadits Malik dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila ada seseorang yang berkata; ‘Celakalah (rusaklah) manusia’, maka sebenarnya ia sendiri yang lebih celaka (rusak) dari mereka. (HR Muslim 4755 atau Syarh Shahih Muslim 2623)
Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk Najed dari bani Tamim walaupun termasuk salaf / sahabat (bertemu dengan Rasulullah) namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga menjadikannya SOMBONG dan DURHAKA kepada Rasulullah yakni MERASA LEBIH PANDAI dari Rasulullah sehingga berani menyalahkan dan mencela atau menghardik Rasulullah ketika pembagian harta rampasan perang.
Dari Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari BANI TAMIM, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. (HR Bukhari 3341 atau Fathul Bari 3610)
Jadi masuk akallah atau logislah kalau orang-orang pada ZAMAN NOW (masa sekarang) yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sehingga TERJERUMUS KESOMBONGAN MENOLAK KEBENARAN dan menyalahkan, menganggap sesat atau bahkan mengkafirkan, menghalalkan darah dan membunuh umat Islam karena “nenek moyang mereka” yakni Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim MENYALAHKAN Rasulullah.
Salah satu CIRI KHAS dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau firqah KHAWARIJ adalah mereka MENYERANG dan MENGKAFIRKAN yakni MEMBATALKAN KEISLAMAN dan MENGHALALKAN DARAH umat Islam dengan MENYALAHGUNAKAN ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir.
Dari Bakir bin Abdullah bin Al Asyaj, bahwa dia bertanya kepada Nafi, tentang bagaimana Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) radhiyallahu ‘anhu dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan,
وكان ابن عمر يراهم شرار خلق الله وقل إنهم انطلقو إلى آيات نزلت فى الكفار فجعلوها على
المؤمنين
“Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman” (Fathul Bari, 12/286)
Begitupula mereka mengajak MENYEMPAL KELUAR dari mayoritas kaum muslim (As-Sawadul A’zham) dengan MENYALAHGUNAKAN firman Allah Ta’ala yang diturunkan bagi orang-, orang kafir yang artinya “kebanyakan manusia” (QS Yusuf [12] : 103) dan yang artinya “kebanyakan orang-orang yang di muka bumi” (QS Al An’am [6] : 116)
Padahal para mufassir (ahli tafsir) menyampaikan bahwa yang dimaksud firman Allah Ta’ala yang “kebanyakan manusia” (QS Yusuf [12] : 103) adalah mengikuti kebanyakan penduduk mekah yang tidak beriman sebagaimana contohnya yang disampaikan oleh Imam Suyuthi dalam tafsir Jalalain yang contohnya dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-yusuf-dengan-terjemahan-dan-tafsir/11
Begitupula para mufassir (ahli tafsir) seperti Imam Suyuthi dalam tafsir Jalalain menyampaikan bahwa yang dimaksud firman Allah Ta’ala,
وإن تطع أكثر من في الأرض
(Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi)
أي الكفار
yakni orang-orang kafir
يضلوك عن سبيل الل
(niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah) (QS Al An’am [6] : 116)
Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-al-anam-dengan-terjemahan-dan-tafsir/12
Begitu pula mereka mengajak menyempal keluar karena menganggap mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) “mengikuti nenek moyang” akibat mereka memahami secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri sehingga keliru memahami firman Allah Ta’ala yang diturunkan bagi orang kafir yang artinya,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ Mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu pun dan tidak mendapat petunjuk?” (QS al Baqarah [2]: 170)
Mereka salah memahami “nenek moyang kami” yang dimaksud sebenarnya adalah orang-orang kafir sebagaimana contohnya yang disampaikan oleh Imam Suyuthi dalam tafsir Jalalain
***** awal kutipan *****
وإذا قيل لهم
(Dan apabila dikatakan kepada mereka)
أي الكفار
kepada orang-orang kafir,
اتبعوا ما أنزل الله
(“Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,”)
من التوحيد وتحليل الطيبات
berupa tauhid dan menghalalkan yang baik-baik,
قالوا
(mereka menjawab)
لا
Tidak
بل نتبع ما ألفينا
(Tetapi kami hanya akan mengikuti apa yang kami jumpai)
وجدنا
atau dapati
عليه آباءنا
(dari nenek moyang kami)
من عبادة الأصنام وتحريم السوائب والبحائر
berupa pemujaan berhala, diharamkannya bahair/unta yang dipotong telinganya dan sawaib/unta yang tidak boleh dimanfaatkan, dibiarkan lepas bebas hingga mati dengan sendirinya.
***** akhir kutipan *****
Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-al-baqarah-dengan-terjemahan-dan-tafsir/17
Begitupula orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim mengajak MENYEMPAL KELUAR dari mayoritas kaum muslim (As-Sawadul A’zham) karena mereka merasa sebagai GHUROBA akibat mereka KELIRU memahami hadits seperti,
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritakan kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing (Ghuroba) .” (HR Muslim 208)
Pengertian Ghuroba atau orang-orang yang asing adalah semakin sedikit muslim yang ihsan, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh di antara mayoritas kaum muslim (as sawadul a’zham)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam besabda “Orang yang asing, orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisihinya lebih banyak dari yang mentaatinya”. (HR. Ahmad)
Umat Islam kelak akan banyak jumlahnya bagaikan buih di atas lautan namun semakin sedikit yang mencapai IHSAN yakni dapat menyaksikan Allah (makrifatullah) dengan hatinya (ain bashirah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Akan datang suatu masa, dalam waktu dekat, ketika bangsa-bangsa (musuh-musuh Islam) bersatu-padu mengalahkan (memperebutkan) kalian. Mereka seperti gerombolan orang rakus yang berkerumun untuk berebut hidangan makanan yang ada di sekitar mereka”.
Salah seorang Sahabat Rasulullah bertanya:
قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ
“Apakah karena kami (kaum Muslimin) ketika itu sedikit?”
Rasulullah menjawab:
بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ
“Tidak! Bahkan kalian waktu itu SANGAT BANYAK jumlahnya. Tetapi kalian bagaikan BUIH di atas LAUTAN (yang terombang-ambing). (Ketika itu) Allah telah mencabut rasa takut kepadamu dari hati musuh-musuh kalian, dan Allah telah menancapkan di dalam hati kalian ‘Al Wahn’”.
Lalu Sahabat Rasulullah bertanya:
قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ
“Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan ‘Al Wahn’ itu?”
Dijawab oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْت
“Cinta kepada dunia dan takut (benci) kepada mati”. (Sunan Abu Daud 4297 atau veri Al Alamiyah 3745, at-Tarikh al-Kabir, Imam Bukhari; Tartib Musnad Imam Ahmad XXIV/31-32)
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/abudaud/3745
Jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya menjelaskan bahwa KELAK umat Islam SANGAT BANYAK jumlahnya NAMUN bagaikan BUIH di atas LAUTAN karena Al WAHN yakni CINTA DUNIA sehingga melupakan perintah Rasulullah yakni “zuhudlah kamu di dunia” agar menjadi kekasih Allah (Wali Allah) yakni dicintai Allah dan dicintai manusia.
Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).
Orang yang zuhud bersikap qana’ah terhadap rizki yang halal dan ridho terhadapnya serta bersikap ‘iffah (menahan diri) dari perbuatan haram dan hati-hati atau menghindari terhadap syubhat.
Secara sederhana qana`ah ini dapat diartikan dengan mencukupkan apa yang ada, mensyukuri karunia Allah yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita tanpa ada keluhan-keluhan yang keluar sedikit juapun.
Imam Syafi’i mengatakan “Jika engkau mempunyai sifat qana’ah maka
sama halnya engkau dengan seorang raja”
Maksudnya, seseorang yang mempunyai sifat qana’ah keadaannya selalu cukup karena sikapnya mencukupkan atau mensyukuri apa yang ada padanya. Hatinya kaya dan gembira karena sifat qana’ah itu.
Jiwa yang merasa cukup dan iffah serta berkorban dengan harta dan jiwa di jalan Allah merupakan hakikat zuhud.
Zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, berarti menjauhkan diri dari merasa iri hati terhadap apa yang dimiliki oleh manusia serta mengosongkan hati dari mengingati harta milik orang.
Firman Allah Ta’ala yang artinya… (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Al-Hadid [57] : 23)
Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”.
Artinya, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah.
Pada hakikatnya tujuan hidup kita adalah untuk dapat “kembali” menyaksikan Allah (makrifatullah) dengan ain bashirah (mata hati) ketika di dunia atau ketika telah menjadi penduduk surga.
Para ruh jauh sebelum ditiupkan-Nya sudah menyaksikan Allah sebagaimana firman Allah Ta’ala,
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ
“Alastu birabbikum” (“bukankah Aku ini Tuhanmu”)
قَالُوا۟ بَلَىٰ
“mereka (ruh-ruh) menjawab “Betul (Engkau Tuhan kami) (QS Al A’raf [7] : 172)
Rasulullah diutus oleh Allah Ta’ala adalah untuk menyempurnakan AKHLAK yakni untuk menjadi muslim yang IHSAN, muslim yang dapat menyaksikan Allah (makrifatullah) dengan hatinya (ain bashirah).
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam [68] : 4)
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendaki-Nya seperti Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah) ketika mereka di dunia dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah).
قَالَ رَأَى مُحَمَّدٌ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِقَلْبِهِ
Ibnu Abbas radhiyallhuanhu berkata; Muhammad melihat Rabb-nya ‘Azza wa Jalla dengan hatinya (HR Muslim 257 atau Syarh Shahih Muslim 176, HR Tirmidzi 3203).
Dalam percakapan Rasulullah dengan Malaikat Jibril ketika menampakkan sebagai seseorang berpakaian putih mengabarkan tentang TIGA POKOK dalam agama Islam yakni
- Perkara ISLAM yang diuraikan dalam ilmu fiqih
- Perkara IMAN yang diuraikan dalam ilmu akidah atau ushuluddin
- Perkara IHSAN yang diuraikan dalam ilmu tasawuf (akhlak atau tazkiyatun nafs) yakni memperjalankan diri agar wushul ilaallah atau sampai kepada Allah dan menyaksikan Allah (makrifatullah) dengan hati (ain bashirah) sehingga meraih rahmat dan ridho Allah dan menjadi kekasih Allah (Wali Allah)
Malaikat Jibril ketika menampakkan sebagai seseorang berpakaian putih bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah IHSAN itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (makrifatullah), maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11 atau Syarh Shahih Muslim 10)
Jadi jika seseorang bermakrifat yakni dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) atau pengawasan Allah tertanam di hatinya karena BERKEYAKINAN bahwa “Allah Ta’ala itu dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak” maka setiap akan bersikap atau berbuat sesuatu ia selalu mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar.
Sikap dan perilaku seperti itulah yang membentuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang IHSAN.
Langkah-langkah agar berahlak baik adalah untuk membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) sampai titik hitam (dosa) pada hati menghilang berganti bintik cahaya, sehingga tidak ada yang menghijabi antara diri dengan Allah Ta’ala
Allah Ta’ala dekat dan dapat disaksikan (dipandang) dengan hati sehingga tercapailah muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin/sholihin) maka diperolehlah kenyataan Tuhan (TAJALLI).
Tajalliyat adalah tersingkapnya hijab yang membatasi manusia dengan Allah, sehingga nyata dan terang cahaya dan kebesaran Allah dalam jiwa. Dengan mudah jiwa akan menerima nur ilahi berupa hidayah dan ma’unah dari Allah untuk senantiasa bersikap terpuji dan berakhlak mulia dalam hidup sehari-hari.
Rasulullah telah menubuatkan dalam sabdanya bahwa kelak akan bermunculan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni mereka yang pandai membaca Al Qur’an namun tidak sampai melewati tenggorakan mereka.
إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ
“dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur’an tetapi tidak sampai melewati tenggorokan mereka” (HR Muslim 1762 atau Syarh Shahih Muslim 1064).
Tidak sampai melewati tenggorokan mereka yakni tidak sampai ke hatinya MAKNANYA tidak mempengaruhi hati mereka sehingga mereka berakhlak buruk kepada manusia yakni gemar menyalahkan, menganggap sesat dan TAKFIRI yakni mengkafirkan atau MENUDUH musyrik NAMUN mereka KELIRU ketika BERHUJJAH dengan Al Qur’an maka “Al Qur’an menjadi bencana” bagi mereka karena tuduhan akan kembali kepada si penuduh sehingga mereka terjerumus MURTAD yakni keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya.
Rasulullah bersabda,
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسِبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِمْ
Mereka membaca Al-Qur’an dan mereka menyangka bahwa Al-Qur’an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al-Qur’an itu adalah (bencana) atas mereka.
لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ تَرَاقِيَهُمْ
Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan.
يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ
Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya. (HR Muslim 1773 atau Syarh Shahih Muslim 1066)
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Rasulullah bersabda,
إنَّ أخوفَ ما أخاف عليكم رجل قرأ القرآن، حتى إذا رُئيت بهجته عليه وكان ردءاً للإسلام، انسلخ منه ونبذه وراء ظهره، وسعى على جاره بالسيف ورماه بالشرك، قلت: يا نبيَّ الله! أيُّهما أولى بالشرك: الرامي أو المرمي؟ قال: بل الرامي
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”. (HR. Al-Bukhari dalam At-Tarikh, Abu Ya’la, Ibnu Hibban dan Al-Bazzar)
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al Maidah [5] ayat 54 bahwa jika telah bermunculan orang-orang yang MURTAD dari AGAMANYA karena tuduhan kembali kepada si penuduh maka DATANGILAH dan MERUJUKLAH kepada ulama dari kalangan Wali Allah yang didatangkan oleh Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Maidah [5]:54)
Jadi ulama dari kalangan WALI Allah (KEKASIH Allah) yakni Allah Ta’ala mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya adalah,
- Mereka bersikap lemah lembut terhadap sesama muslim
- Mereka bersikap keras yakni dalam pengertian tegas atau berpendirian terhadap orang-orang kafir
- Mereka berjihad di jalan Allah dalam pengertian bergembira dalam menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya
- Mereka tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela yakni celaan dari orang-orang yang MURTAD dari AGAMANYA karena tuduhan kembali kepada si penuduh.
Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah”. Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, “mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman”.
Ibnu Jarir meriwayatkan, ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau berkata, “Kaummu wahai Abu Musa, orang-orang Yaman”.
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab, ‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.
Dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin Nufail, ‘Sesungguhnya aku menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman”.
Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai orang-orang Yaman berarti telah mencintaiku, siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku”
Begitupula Rasulullah bersabda bahwa jika telah timbul FITNAH dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim sehingga timbul perselisihan atau bahkan pembunuhan terhadap umat la ilaha illallah karena perbedaan pendapat maka hijrahlah dan ikutilah (merujuklah) kepada pendapat Ahlul Hadramaut, Yaman.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan’
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’
Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’
Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74 atau Syarh Shahih Muslim 52)
Alhamdulillah, umat Islam khususnya di Indonesia maupun Nusantara dan umat Islam pada umumnya mendapatkan pengajaran agama dari para ulama yang berasal dari Hadramaut, Yaman yang bersumber dari ulama kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yakni dari apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra yang bermazhab dengan Imam Syafi’i.
Imam Ahmad Al Muhajir , sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman, beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf muktabaroh yang bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah, mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 menjelaskan bahwa pengajaran agama Islam diajarkan langsung oleh para ulama keturunan cucu Rasulullah mulai dari semenanjung Tanah Melayu, Nusantara dan Philipina
Berikut kutipan penjelasan Buya Hamka
***** awal kutipan *****
“Rasulallah shallallahu alaihi wasallam mempunyai empat anak-anak lelaki yang semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak wanita. Dari empat anak wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang memberikan beliau shallallahu alaihi wasallam dua cucu lelaki dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib.
Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-Husain dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayyid jamaknya ialah Sadat.
Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya memanggil keturunan Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf.
Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Al-Hasan dan Al-Husain itu datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina.
Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini.
Diantaranya Penyebar Islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh.
Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri.
Di Siak oleh keluaga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.
Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.
Kesimpulan dari makalah Prof.Dr.HAMKA: Baik Habib Tanggul di Jawa Timur dan Almarhum Habib Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah/Iraq ke Hadramaut, dan Ahmad bin Isa ini cucu yang ke tujuh dari cucu Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.”
***** akhir kutipan *****
Contoh silsilah para Wali Songo pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/03/silsilah-para-walisongo.jpg
Begitupula Rasulullah MELARANG umat Islam MENGASINGKAN DIRI atau MENYEMPAL KELUAR dari As-Sawadul A’zham (mayoritas kaum muslim) karena mereka akan menyendiri di dalam neraka.
Rasulullah bersabda ,
لا يجمع الله أمر أمتى على ضلالة أبدا اتبعوا السواد الأعظم يد الله على الجماعة من شذ شذ فى النار
“Allah tidak akan membiarkan ummatku dalam kesesatan selamanya. Ikutilah As-Sawad Al-A’zham (mayoritas kaum muslim). Tangan Allah bersama JAMA’AH. Barangsiapa menyendiri (menyempal), ia akan menyendiri (menyempal) di dalam neraka.” Diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Ibnu Abbas juz 1 hal. 202 nomor 398 dan dari Ibnu Umar juz 1 hal. 199 nomor 391 (Jami’ul Ahadits: 17.515)
Para Sahabat bertanya kepada Rasulullah apa yang harus dilakukan ketika kelak bermunculan orang-orang seperti Dzul Khuwaushirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij yakni CONTOH orang-orang yang MENGASINGKAN DIRI yakni MENYEMPAL KELUAR dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) PADA zaman Salafus Sholeh.
فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ
“Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?
قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ
Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama JAMA’AH muslimin dan imam mereka! (HR Bukhari 6557 atau Fathul Bari 7084)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Atsqolani menukil perkataan Imam Ath-Thabari mengenai makna kata “JAMA’AH” dalam hadits Bukhari di atas yang berbunyi, “Hendaknya kalian bersama JAMA’AH”, Beliau berkata, “ JAMA’AH adalah As-Sawadul A’zham.” (mayoritas kaum muslim) (Lihat Fathul Bari juz 13 hal. 37)
Mayoritas kaum muslim (As-Sawadul A’zham) pada masa generasi Salafus Sholeh adalah orang-orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in.
Sedangkan pada masa kemudian (khalaf) atau masa sekarang, mayoritas kaum muslim (As-Sawadul A’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Memang ada mazhab selain yang empat, namun pada masa sekarang sudah sulit ditemukan ulama yang memiliki sanad ilmu tersambung ke imam mazhab selain yang empat sehingga tidak mudah untuk menemukannya dan menjadikannya tempat bertanya.
Sebagaimana pepatah mengatakan “malu bertanya sesat di jalan” maka kesesatan dapat timbul dari keengganan untuk bertanya kepada orang-orang yang dianugerahi karunia hikmah oleh Allah Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf [7]:43)
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah. Penunjuk para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830