Firqah MUJASSIMAH mengatakan contoh yang membedakan dzat Allah dengan makhluk adalah Allah memiliki wajah tanpa kepala
Mereka mengatakan contoh yang membedakan dzat Allah dengan makhluk adalah Allah memiliki wajah tanpa kepala sebagaimana tulisan mereka pada https://facebook.com/story.php?story_fbid=205544789087279&id=100088952772600
***** awal kutipan *****
Mengitsbat bahwa Allah memiliki fisik (sesuai yang tertulis pada Nash dan sesuai dengan yang diyakini para Salaful ummah) tidaklah merupakan tajsim.
Nash menyebutkan dengan gamblang bahwa Allah memiliki wajah (wajhullah), namun sama sekali tidak ada nash yang menyebutkan bahwa Allah memiliki kepala. Ahlussunah menyimpulkan bahwa Allah memiliki wajah tanpa kepala. Hal ini tentunya merupakan poin yang membedakan dzat Allah dengan makhluk.
***** akhir kutipan *****
Lalu dalam kolom komentar ada yang bertanya, “ustadz, apakah tangan (yad) Allah tidak kekal seperti wajah Allah ?”
Pembesar mazhab Hambali, Al Imam Ibn al Jawzi (W. 597H) menuliskan kitab berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk MEMBERSIHKAN fitnah-fitnah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241 H) yang dilakukan oleh tiga orang yang semula mereka bermazhab Hambali namun kemudian terjerumus mengikuti firqah MUJASSIMAH karena pemahaman mereka secara TEKSTUAL atau LITERAL yakni SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK MAKNA MAJAZ maupun TAFWIDH.
Imam Ibn al Jawzi al-Hanbali menyampaikan bahwa firqah MUJASSIMAH tidak mendapatkan nash / dalil shorih bahwa Allah memiliki kepala.
***** awal kutipan *****
Sementara tentang kepala mereka berkata, “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”
***** akhir kutipan *****
Firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang menyebarluaskan FITNAH seolah-olah Allah Ta’ala dan Rasulullah MELARANG TAKWIL dan mereka MEWAJIBKAN untuk mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka menimbulkan FITNAH dan menyebarluaskan KEBOHONGAN mengenai Allah seperti mereka mengatakan bahwa,
Allah Ta’ala memiliki WAJAH tanpa KEPALA, dua mata, dua telinga, pinggang, dua tangan KEDUA-DUANYA kanan, kelak MENYINGKAP betis, dua kaki yang seolah-olah “MENJUNTAI” ke bawah Arsy yakni ke kursi dan terkadang menggunakan kakinya sebagai JARIHAH (anggota badan) untuk membenamkan penghuni neraka dan SEMUA itu akan BINASA kecuali wajahnya.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (SELALU dengan MAKNA DZAHIR) untuk menimbulkan FITNAH dengan MENCARI-CARI TAKWILNYA, padahal tidak ada yang mengetahui TAKWILNYA melainkan Allah.” (QS. Ali Imran [3] : 7)
Pengertian orang-orang yang “MENCARI-CARI TAKWILNYA” atau “mengada-ngada takwil” adalah mereka MENTAKWIL (memaknai) TANPA ILMU hanya berdasarkan MAKNA DZAHIR sehingga mereka menimbulkan FITNAH sebagaimana contohnya yang disampaikan oleh Imam Suyuthi dalam kitab tafsir Jalalain, ketika menafsirkan (QS. Ali Imran [3] : 7) menjelaskan bahwa FITNAH berasal dari
لجهالهم بوقوعهم في الشبهات واللبس
kalangan orang-orang jahil (TANPA ILMU hanya berdasarkan MAKNA DZAHIR) yang justru menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal yang syubhat dan kabur pengertiannya.
Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-ali-imran-dengan-tafsir/1
Apabila mereka berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabihat yakni ayat dengan banyak makna terkait sifat Allah HARUS dimaknai dengan MAKNA DZAHIR dan TIDAK BOLEH dimaknai dengan MAKNA MAJAZ maka apakah menurut mereka wajah Allah BERADA di Timur dan Barat karena Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS Al Baqarah [2] : 115)
Begitupula jika SEMUA itu (yakni WAJAH tanpa KEPALA, dua mata, dua telinga, pinggang, betis, jari, dua tangan yang kedua-duanya kanan, dua kaki yang ditempatkan di kursi dan terkadang kakinya sebagai JARIHAH untuk membenamkan penghuni neraka) AKAN BINASA kecuali WAJAHNYA,
Apakah Tuhan mereka seperti Angry Bird yakni burung yang hanya tampak wajah pemarahnya ?
KERUSAKAN dalam PERKARA I’TIQOD atau AKIDAH karena mereka terjerumus mengikuti firqah MUJASSIMAH adalah AKIBAT mereka TERKECOH oleh ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) yang MELABELI pemahamannya SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK makna MAJAZ maupun TAFWIDH sebagai mazhab atau manhaj SALAF sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa 4/149,
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR
***** akhir kutipan *****
Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat TERJERUMUS DURHAKA (‘aashin) kepada Allah karena PENGINGKARAN makna MAJAZ dalam Al Qur’an
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul Al Iman hal. 94 mengatakan,
***** awal kutipan *****
فهذا بتقدير أن يكون في اللغة مجاز ، فلا مجاز في القرآن ، بل وتقسيم اللغة إلى حقيقة ومجاز تقسیم مبتدع محدث لم ينطق به السلف
“maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk majaz dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur’an tidak ada bentuk majaz.
Bahkan pembagian bahasa kepada hakikat (makna dzahir) dan majaz adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.
***** akhir kutipan *****
Padahal dalam percakapan antar manusia saja dikenal MAKNA DZAHIR (makna tersurat) dan MAKNA MAJAZ (makna tersirat)
Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah (W. 751 H) murid dari Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)
Jadi pada kenyataannya “Dakwah Tauhid” mereka adalah MENYERUKAN untuk “mengikuti” ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga MEREKA secara tidak langsung MENGAJAK orang-orang untuk mengikuti firqah MUJASSIMAH.
Contohnya firqah MUJASSIMAH mengatakan bahwa Tuhan memiliki JISIM tangan yang digunakan sebagai JARIHAH atau ANGGOTA BADAN untuk menciptakan Nabi Adam ketika mereka memahami firman Allah yang ARTINYA, “Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” .(QS. Shad [38] : 75)
Padahal sesungguhnya penciptaan Nabi Adam dan semua makhluk diciptakan dengan cara yang sama yakni cukup dengan Qudrah dan kehendak Allah untuk menjadikan sesuatu, maka seketika itulah apa yang dikehendaki terjadi (kun fayakun) sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia”. (QS Ali Imron [3] : 59)
Al Imam Al Hafizh Suyuthi (W 911 H) dalam kitab tafsir Jalalain menjelaskan bahwa firman Allah yang ARTINYA, “Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” .(QS. Shad [38] : 75)
MAKNANYA hanyalah sebuah UNGKAPAN di hadapan kesombongan Iblis untuk MEMULIAKAN KEDUDUKAN Nabi Adam alaihissalam yang diciptakan oleh Allah Ta’ala dengan sebaik-baiknya dan dengan kelebihan – kelebihannya dibandingkan makhluk lainnya.
Tafsirnya dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-sad-dengan-terjemahan-dan-tafsir/8
Sedangkan ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) mengatakan Tuhan memiliki JISIM tangan yang digunakan sebagai JARIHAH atau ANGGOTA BADAN untuk MENGGENGGAM bumi MELIPAT langit dan menciptakan Nabi Adam alaihissalam.
Ibnu Taimiyah berkara,
فَالْمَفْهُوْمُ مِنْ هَذَا الْكَلَامِ أَنَّ لله تَعَالَى يَدَيْنِ مُخْتَصَّتَيْنِ بِهِ ذَاتِيَتَيْنِ لَهُ كَمَا يَلِيْقُ بِجَلَالِهِ وَأَنَّهُ سُبْحَانَهُ خَلَقَ آدَمَ بِيَدِهِ دُوْنَ الْمَلَائِكَةِ وَإِبْلِيْسَ وَأَنَّهُ سُبْحَانَهُ يَقْبِضُ الْأَرْضَ وَيُطَوِّي السَّمَاوَاتِ بِيَدِهِ الْيُمْنَى وَأَنَّ يَدَيْهِ مَبْسُوْطَتَانِ
“Dapat dipahami dari firman Allah Ta’ala ini bahwa Ia MEMILIKI tangan tertentu yang bersifat DZAT, yang layak dengan keagungan-Nya, dan Allah Ta’ala Maha Suci, Ia MENCIPTAKAN Adam dengan tangan-Nya sendiri, tidak melalui Malaikat atau Iblis. Dan Ia Maha Suci yang MENGGENGAM bumi dan MELIPAT langit MENGGUNAKAN tangan kanan-Nya, dan tangan Allah TERBENTANG” (Abdul Aziz bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Juz 3, Hal 84)
Jumhur ulama telah sepakat bahwa TERLARANG MEMAKNAI firman Allah Ta’ala yang ARTINYA “kedua tangan-Ku” (QS. Shad [38] : 75), MAKNANYA adalah sebagai JARIHAH atau ANGGOTA BADAN atau ORGAN atau ALAT untuk menciptakan Nabi Adam alaihissalam.
Contohnya Imam Ahmad bin Hanbal (W 241 H) menjelaskan,
كَانَ يَقُول إِن لله تَعَالَى يدان وهما صفة لَهُ فِي ذَاته
Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai yadâni (”dua tangan”) dan keduanya adalah SIFAT bagi-Nya dalam Dzat-Nya.
ليستا بجارحتين وليستا بمركبتين وَلَا جسم وَلَا جنس من الْأَجْسَام وَلَا من جنس الْمَحْدُود والتركيب والأبعاض والجوارح
Keduanya bukan ORGAN tubuh UNTUK BEKERJA, bukan SUSUNAN, bukan JISM atau pun JENIS dari JISM, bukan KATEGORI sesuatu yang bisa DIUKUR, TERSUSUN, FRAGMEN atau ANGGOTA tubuh untuk BEKERJA (JAWARIH alias bukan ALAT untuk menciptakan nabi Adam).
وَلَا يُقَاس على ذَلِك لَا مرفق وَلَا عضد وَلَا فِيمَا يَقْتَضِي ذَلِك من إِطْلَاق قَوْلهم يَد إِلَّا مَا نطق الْقُرْآن بِهِ أَو صحت عَن رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم السّنة فِيهِ
“Tangan” itu tak bisa dikiaskan dengan apa pun (dari bagian makhluk-Nya), bukan siku, bukan lengan, dan bukan pula apa yang dipahami dari kata “tangan” secara umum, kecuali apa yang diucapkan oleh (LAFADZ) al-Qur’an atau apa yang shahih dari hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.” (al-Khallal, al-‘Aqîdah, 104).
Imam Ahmad bin Hanbal di atas menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala “yadayya” yang ARTINYA secara harfiah (tekstual) adalah “kedua tangan” adalah
صفة لَهُ فِي ذَاته
SIFAT bagi-Nya dalam Dzat-Nya atau Sifat DZATIYYAH
Sifat DZATIYYAH adalah qadim, tidak berlaku zaman atau tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu yakni TIDAK TERKAIT dengan JARIHAH atau ANGGOTA BADAN atau ORGAN atau ALAT untuk penciptaan Nabi Adam maupun penciptaan ciptaan-Nya yang lain.
Begitupula Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari berkata,
ﺃَﻥَّ ﻣَﻌْﻨَﻰ ﻗَﻮْﻟِﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ: (ﺑِﻴَﺪَﻱَّ) ﺇِﺛْﺒَﺎﺕُ ﻳَﺪَﻳْﻦِ ﻟَﻴْﺴَﺘَﺎ ﺟَﺎﺭِﺣَﺘَﻴْﻦِ، ﻭَلَا ﻗُﺪْﺭَﺗَﻴْﻦِ، ﻭَلَا ﻧِﻌْﻤَﺘَﻴْﻦِ لَا ﻳُﻮْﺻَﻔَﺎﻥِ ﺇِلَّا ﺑِﺄَﻥْ ﻳُﻘَﺎﻝَ: ﺇِﻧِّﻬُﻤَﺎ ﻳَﺪَاﻥِ ﻟَﻴْﺴَﺘَﺎ ﻛَﺎلْأَﻳْﺪِﻱ
Sesungguhnya makna firman Allah Ta’ala dengan dua yad-ku adalah menetapkan dua yad bukan dua jarihah, bukan dua qudroh, bukan dua nikmat, Allah tidak disifati dengan dua sifat itu kecuali dikatakan keduanya adalah dua yad bukan seperti tangan-tangan mahluk. (Al Ibanah)
Lalu Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari berkata :
بِالْمَعْنَی الَّذِيْ أَرَادَهُ
Dengan makna yang Allah kehendaki. (Al Ibanah) .
Serupa dengan Imam Ahmad bin Hanbal di atas yang mengatakan
إِلَّا مَا نطق الْقُرْآن بِهِ أَو صحت عَن رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم السّنة فِيهِ
kecuali apa yang diucapkan oleh (LAFADZ) al-Qur’an atau apa yang sahih dari hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”
Jadi Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari maupun Imam Ahmad bin Hanbal memilih TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Begitupula Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241H) ketika ditanya Nuzulnya Allah, Beliau memilih TAFWIDH yakni beriman dan membenarkannya dengan MEMBIARKAN sebagaimana teks atau lafadz yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya TANPA KAIFA dan TANPA MAKNA (tanpa makna dzahir maupun makna majaz) dan MENYERAHKAN MAKNANYA kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang disampaikan oleh ulama mazhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (W. 620H) dalam kitab Lum’atul I’tiqad,
***** awal kutipan *****
وَمَا أَشْبَهَ هَذِهِ الْأَحَادِيْثَ
Hadits-hadits yang semisal hadits ini (hadits nuzul)
نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا
Kami beriman dan membenarkannya
بِلَا كَيْفٍ وَلَا مَعْنًى
BILA KAIFA WALA MA’NA yakni TANPA KAIFA dan TANPA MAKNA DZAHIR maupun MAKNA MAJAZ (Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Lum’atul I’tiqad, Hal 3)
***** akhir kutipan *****
Lalu Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan bahwa Nuzulnya Allah BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maknanya tanpa sifat-sifat JISIM yakni tanpa sifat-sifat makhluk atau benda seperti TANPA HAD (tanpa batas) dan tanpa ujung (kiri, kanan, atas, bawah, depan, belakang)
Contoh kajian kitabnya dapat disaksikan dalam video pada https://bit.ly/3qe3qCZ
Ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W 728H) dalam kitabnya Majmu Fatawa Juz 3 hal 229 MENGAKUI TIDAK mengikuti AKIDAH imam mazhab yang empat dan termasuk tidak mengikuti AKIDAH Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241H)
***** awal kutipan *****
مَعَ أَنِّي فِي عُمْرِي إلَى سَاعَتِي هَذِهِ لَمْ أَدْعُ أَحَدًا قَطُّ فِي أُصُولِ الدِّينِ إلَى مَذْهَبٍ حَنْبَلِيٍّ وَغَيْرِ حَنْبَلِيٍّ، وَلَا انْتَصَرْت لِذَلِكَ، وَلَا أَذْكُرُهُ فِي كَلَامِي، وَلَا أَذْكُرُ إلَّا مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ سَلَفُ الْأُمَّةِ سَلَفُ الْأُمَّةِ وَأَئِمَّتُهَا.
Sesungguhnya aku (Ibnu Taimiyah) sepanjang umurku hingga sekarang, aku tidak pernah mengajak seorangpun dalam masalah USHULUDDIN (AQIDAH) untuk mengikuti MAZHAB HAMBALI dan (mazhab) selainnya, aku tidak pernah membela kepada mazhab-mazhab tersebut dan tidak pernah menyebutkan (pendapat-pendapat mazhab tersebut) dalam perkataanku, dan aku juga tidak pernah menyebutkan (dalam masalah aqidah) kecuali perkara – perkara yang telah disepakati oleh Salaful Ummah dan para imamnya.
***** akhir kutipan *****
Dalam pengakuannya tersebut, Ibnu Taimiyah (W. 728H) mengaku mengikuti Salaful Ummah atau Salafus Sholeh
NAMUN pada kenyataannya ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) TERBUKTI tidak mengikuti Salafus Sholeh karena Ibnu Taimiyah justru MENGINGKARI TAFWIDH secara MUTLAK.
Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat berkata,
أن قول أهل التفويض الذين يزعمون أنهم متبعون للسنة والسلف من شر أقوال أهل البدع والإلحاد
“Maka menjadi jelaslah bahwa ucapan para penganut Tafwidh yang menyangka dirinya mengikuti sunnah, adalah merupakan sejelek-jelek ucapan ahli bid’ah dan ahli ilhad.” (Dar’ut Ta’arudhil Aqli Wan Naqli : 1/115)
Al Hafizh Adz Dzahabi menjelaskan pengertian TAFWIDH adalah,
فَقَولُنَا فِي ذَلِكَ وَبَابِهِ: الإِقرَارُ، وَالإِمْرَارُ، وَتَفْويضُ مَعْنَاهُ إِلَى قَائِلِه الصَّادِقِ المَعْصُومِ
“Pendapat kami dalam masalah dan bab ini adalah: mengakuinya dan membiarkannya (sebagaimana teks atau lafadznya) dan TAFWIDH MAKNA (mengembalikan maknanya) kepada pengucapnya ash Shadiq al Ma’shum (yakni Rasulullah)” (Siyaru alaminubala Adz Dzahabi 8/105)
Firqah Mujassimah “SYULIT” menerima kenyataan Salafus Sholeh mayoritas atau pada umumnya beriman dan membiarkan sebagaimana yang datang atau sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Firqah Mujassimah MENGINGKARINYA tidak dengan mengutip contoh-contoh perkataan dari Salafus Sholeh NAMUN dengan logika atau akal pikiran mereka semata sehingga mereka mengatakan,
“TIDAK MUNGKIN Salafus Sholeh tidak mengetahui maknanya dan TIDAK MUNGKIN pula Rasulullah tidak menjelaskan maknanya kepada Salafus Sholeh.
Salafus Sholeh yang berbahasa ibu dengan bahasa Arab tentu BUKAN TIDAK mengetahui MAKNA DZAHIRNYA
NAMUN para ulama terdahulu seperti contohnya pembesar mazhab Hambali, Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi Al Hanbali (W. 597H) menjelaskan bahwa, “Sesungguhnya pada dasarnya teks-teks itu memang harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan NAMUN jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maksudnya jika dipahami dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah dengan sifat yang TIDAK LAYAK (tidak patut) bagi-Nya maka berarti teks tersebut BUKAN dalam makna dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan)”.
Jadi JIKA dipaksakan DIMAKNAI dengan MAKNA DZAHIR akan TERJERUMUS mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat yang TIDAK LAYAK (tidak patut) bagi-Nya seperti memaknai sifat Allah atau mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda MAKA ulama Salaf (terdahulu) maupun ulama Khalaf (kemudian) telah SEPAKAT meyakininya BUKAN dalam MAKNA DZAHIR dan MEMALINGKANNYA dari makna dzahirnya.
PERBEDAAN di antara ulama Salaf (terdahulu) dan Khalaf (kemudian) hanya terjadi pada masalah apakah diberikan maknanya SESUAI kaidah-kaidah bahasa Arab ataupun TIDAK diberi makna tetapi TAFWIDH yakni diserahkan maknanya kepada Allah Ta`ala sendiri.
Berikut kutipan contoh pendapat atau pemahaman Salafus Sholeh sebagaimana yang disampaikan oleh Al Hafizh Ad Dzahabi dalam kitab Mukhtashar Al Uluw.
**** awal kutipan *****
Sufyan Ats Tsauriy (W. 191H) mengatakan bahwa ia pernah suatu saat berada di sisi Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman kemudian ada seseorang yang bertanya pada beliau,
الرحمن على العرش استوى كيف استوى
“Ar Rahman (yaitu Allah) beristiwa’ atas ‘Arsy, lalu bagaimana Allah beristiwa’?”
Robi’ah menjawab,
الإستواء غير مجهول والكيف غير معقول ومن الله الرسالة وعلى الرسول البلاغ وعلينا التصديق
“Istiwa’ itu telah diketahui (disebutkan dalam Al Qur’an), Al Kaifu ghairu maquul (Al Kaifa yakni sifat makhluk atau benda tidak masuk akal ditujukan bagi istiwa Allah) Risalah (wahyu) dari Allah, tugas Rasul hanya menyampaikan, sedangkan kita wajib membenarkan (dengan MEMBIARKAN sebagaimana teks atau lafadznya).”
***** akhir kutipan *****
Begitupula Muhammad bin Katsir Al Missisiy telah menceritakan pada kami. Ia berkata, aku mendengar Al Auza’i mengatakan,
كنا والتابعون متوافرون نقول إن الله عزوجل فوق عرشه ونؤمن بما وردت به السنة من صفاته
“Kami dan pengikut kami mengatakan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla di atas ‘Arsy-Nya. Kami beriman sebagaimana (TEKS atau LAFADZ) yang disebutkan dalam As Sunnah tentang sifat-sifat-Nya (Imam Baihaqi dalam al-Asmâ’ wa ash-Shifât)
Perkataan Al Auza’i HARUS DITERJEMAHKAN dengan MENYISIPKAN kata (TEKS atau LAFADZ) sehingga menjadi “sebagaimana (TEKS atau LAFADZ) yang disebutkan dalam As Sunnah tentang sifat-sifat-Nya” YAKNI sebagaimana yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya
KARENA dalam kitab yang sama yakni al-Asma wa ash-Shifat 2/338 diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dengan sanadnya bahwa Sufyan bin Uyainah (W. 198H) menyebutkan:
مَا وَصَفَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ نَفْسَهُ فَتَفْسِيرُهُ قِرَاءَتُهُ، لَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يُفَسِّرَهُ إِلَّا اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، أَوْ رُسُلُهُ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ
Apa yang disebutkan Allah tentang sifatnya, maka tafsirnya adalah membacanya. Tidak ada hak bagi siapapun menafsirkannya kecuali Allah Tabaraka wa Ta’ala atau para rasulNya shalawat Allah atas mereka.
Begitupula Sufyan bin Uyainah berkata:
ما وصف الله تبارك وتعالى به نفسه في كتابه فقراءته تفسيره،
“Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan (teks atau lafadz) tersebut adalah tafsirannya.
ليس لأحد أن يفسره بالعربية ولا بالفارسية
Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al Imam Baihaqi kitab Al Asma’ wa ash Shifat 2:117)
Contoh Salaf lainnya
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟
Dari Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah?
فكلهم قالوا لي
Maka semuanya berkata dan memerintahkan kepadaku:
أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Biarkanlah ia sebagaimana ia datang TANPA TAFSIR”
Jadi boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti Yadullah yang artinya Tangan Allah dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala
Begitupula boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti istiwa yang artinya bersemayam (yang mempunyai makna dzahir dan makna majaz) dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Jadi Salafus Sholeh dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan BANYAK MAKNA) terkait sifat-sifat Allah pada umumnya (mayoritas) memilih ITSBAT LAFADZ TANPA TAFSIR yakni mereka membenarkan dan mengitsbatkan (menetapkan) dengan MEMBIARKAN sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang datang yakni sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dan BUKAN berdasarkan MAKNANYA secara bahasa artinya mereka MEMALINGKAN teks atau lafadznya dari makna dzahir maupun makna majaz secara keseluruhan atau global (IJMALI) dan lalu TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala yang disebut juga TAKWIL IJMALI.
Sedangkan para ulama khalaf (kemudian), dikarenakan pada masa mereka sudah berkembang ahli bid’ah yang mensifati Allah dengan sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda MAKA mereka menakwilkan atau memaknai ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) tersebut dengan makna yang patut (layak) bagi Allah Ta’ala yang SESUAI dengan kaidah-kaidah bahasa Arab atau tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) yang disebut dengan TAKWIL TAFSHILI.
Kesimpulannya TAFWIDH dan TAKWIL itu hanya sebuah PILIHAN karena sama-sama MENGINGKARI atau MEMALINGKAN dari MAKNA DZAHIRNYA dan TAFWIDH disebut juga TAKWIL IJMALI, sedangkan TAKWIL seperti contohnya TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ disebut TAKWIL TAFSHILI.
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mustashfa hal 128 mengatakan,
إنّ التأويل عبارة عن احتمال يغضّده دليل يصير به أغلب على الظنّ من المعنى الّذي يدلّ عليه الظاهر
“Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”
Sedangkan Imam Al-Mudi mengatakan
اللفظ على غير مدلوله الظاهر منه مع احتماله بدليل يغضّده
“Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah memalingkan (mengalihkan) dari makna dzahir sebuah lafaz / ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni
- Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.
- Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Quran.
Contoh dalam masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Qur’an, mereka biasa menggunakan kata wajhun (wajah) dalam makna majaz (kiasan / metaforis) untuk mengungkapkan DIRI atau SOSOK seseorang demi memuliakannya.
Contohnya mereka untuk menghormati yang datang mengatakan,
jaa’a wajhul qoumi
telah datang wajah kaum.
Begitupula para mufassir (ahli tafsir) seperti contohnya Ibnu Katsir menafsirkan firman Allah Ta’ala surat al-Qashash [28] ayat 88 menakwilkan ILLA WAJHAHU yang artinya kecuali wajah-Nya dengan إلا إياه (ILLA IYYAHU) yang artinya kecuali Dia yakni kecuali Allah. (Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261)
Contoh lainnya, Imam Suyuthi dalam tafsir Jalalain
كل شيءٍ هالك إلا وجهه – إلا إياه
Segala sesuatu akan binasa ILLA WAJHAHU yang artinya kecuali wajahNya yaitu إلا إياه (ILLA IYYAHU) yang artinya kecuali Dia yakni kecuali Allah.
Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-al-qasas-dengan-terjemahan-dan-tafsir/9
Sedangkan contoh Sahabat yang mentakwil ILLA WAJHAHU yang artinya kecuali wajah-Nya dengan ILLA MULKAHU artinya kecuali kekuasaan-Nya adalah Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ketika menjelaskan menjelaskan firman Allah surat Al Qasas [28] ayat 88 berkata,
الا وجهه الا ما ابتغى به وجهه ويقال كل وجه متغير الا وجهه وكل ملك زاىل الا ملكه
(Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas), terbitan Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, 2011), hlm. 416)
Begitupula Imam Bukhari (W. 256H) yang hidup sebelum 300 H mentakwil ILLA WAJHAHU yang artinya kecuali wajah-Nya dengan ILLA MULKAHU artinya kecuali kekuasaan-Nya,
Imam Bukhari berkata,
كل شيء هالك الا وجهه الا ملكه
Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya yaitu kecuali kekuasaan-Nya.
Penelusuran manuskrip Shahih Bukhari yang asli contohnya dilakukan oleh Assoc. Prof. Dr. Menachem Ali, Ahli Filologi dari Universitas Airlangga Surabaya sebagaimana tulisan Beliau pada https://republika.co.id/berita/pyofqg385/mulkahu-atau-malikahu-pada-kitab-sahih-bukhari
Tulisan Assoc. Prof. DR Menachem Ali untuk menanggapi mereka yang KELIRU atau MEMAKSA membaca ملكه adalah MALIKAHU dan diterjemahkan oleh mereka artinya adalah “Pemilik Wajah” sebagaimana contoh kabar dalam video pada https://youtube.com/watch?v=xWJBtq-NZ0c
Jadi perkataan Imam Bukhari
كل شيء هالك الا وجهه الا ملكه
diterjemahkan oleh mereka artinya adalah,
“Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya yaitu kecuali MALIKAHU (Pemilik Wajah)” .
Padahal dari kata MALIKAHU tidak ada yang dapat diterjemahkan artinya adalah wajah.
Jika ILLA WAJHAHU ditakwil ILLA MALIKAHU maka mereka terjerumus KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD karena ILLA MALIKAHU artinya “kecuali pemilik-Nya” atau “kecuali pemilik Allah” sebab dhamir HU di situ merujuk kepada Allah. Jadi maknanya Allah ada yang memilikinya.
Begitupula jika ILLA MALIKAHU diartikan “kecuali raja-Nya atau penguasa-Nya” dan dhamir HU di situ merujuk kepada Allah maka maknanya Allah punya Raja atau Penguasa lain selain Diri-Nya, Ini secara aqidah sangat berbahaya.
Sedangkan ahli (membaca) hadits, Albani (W 1420H) dalam karyanya yang berjudul al Fatawa, halaman 523 ketika ditanya tentang penakwilan
كل سيء هالك إلا وجهه
QS al-Qashash [28] : (88)
البخاري بعد هذه الأية : أي ملكه
Seperti dalam Shahih al-Bukhari adalah kecuali MULKAHU
Ahli (membaca) Albani menjawab,
Siapa yang mentakwil firman Allah “Kullu Sya’in Halikun Illa Wajhahu” dengan takwil “kecuali MULKAHU” maka
هذا لا يقوله مسلم مؤمن
“Ini TIDAK SEPATUTNYA dikatakan oleh seorang muslim yang beriman sebagaimana tangkapan layar (screenshot) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2021/01/bukan-muslim-yang-beriman.jpg
Jadi secara tidak langsung ahli (membaca) hadits Albani MENYALAHKAN Imam Bukhari dan memvonis BUKAN MUSLIM yang beriman.
Para “pembela” ahli (membaca) hadits, Albani mengatakan bahwa perkataan ahli (membaca) hadits Albani, “Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman“ BUKANLAH DITUJUKAN kepada Imam Bukhari namun kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna karena menurut mereka Imam Bukhari hanya meriwayatkan ucapannya saja dan tidak membenarkan ucapannya.
Jika dianggap bukan perkataan Imam Bukhari, tidak ada pula catatan pengingkaran Beliau terhadap sisi perawi maupun matan (redaksi) haditsnya.
Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menyebutkan bahwa pada riwayat An-Nasafi terhadap Shahih Al Bukhari terdapat lafal: “kecuali MULKAHU” yang dinisbatkan kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin Al Mutsanna.
Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani berkata; “Perkataan “kecuali wajah-Nya” adalah kecuali MULKAHU, ada pada riwayat An-Nasafi. Ma’mar berkata;…(seperti telah disebutkan). Dan Ma’mar adalah Abu Ubaidah, Ibnul Mutsanna. Dan ini adalah perkataannya dalam kitab-Nya Majaz Al Qur’an namun dengan lafal: “kecuali Dia”. Fathul Bari (8/505)
Jadi jelaslah Imam Bukhari yang meriwayatkan penakwilan “kecuali wajah Nya” dengan memalingkannya kepada “kecuali MULKAHU”
Sedangkan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (W. 208H) dalam kitab-Nya Majaz Al Qur’an menafsirkan dengan menakwilkan “kecuali wajah Nya” dengan memalingkannya kepada “Kecuali Dia”
Begitupula mereka yang “SYULIT” menerima kenyataan bahwa Imam Bukhari maupun Salafus Sholeh seperti Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ada yang mentakwil ILLA WAJHAHU dengan ILLA MULKAHU dan MENGINGKARINYA dengan mengatakannya sebagai PERLUASAN MAKNA yakni “kecuali kerajaan Allah” seperti surga dan neraka.
Pengertian ILLA MULKAHU bukanlah “perluasan makna” yakni “kecuali kerajaan Allah” seperti surga dan neraka karena kekekalan surga dan neraka tidak kekal dengan sendirinya. Kekekalan keduanya adalah karena dikekalkan oleh Allah Ta’ala.
Imam Bukhari maupun Ibnu Abbas radhiyallahu anhu menakwil ILLA WAJHAHU yang artinya kecuali wajah-Nya dengan ILLA MULKAHU yang artinya kecuali kekuasaan-Nya untuk menunjukkan sifat Allah yaitu Al Baqi artinya MAHA KEKAL dan serupa dengan para mufassir (ahli tafsir) yang menakwil ILLA WAJHAHU yang artinya kecuali wajah-Nya dengan ILLA IYYAHU yang artinya kecuali Dia yakni kecuali Allah.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar