Penguasa negeri sebaiknya mempertimbangkan dan mengikuti pendapat fuqaha
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Pemimpin yang terbaik adalah pemimpin yang mengikuti firman Allah Ta’ala di atas yakni menjalankan kepemimpinannya selalu mempertimbangkannya dengan Al Qur’an dan Hadits.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara (penguasa negeri).
Oleh karenanyalah pada zaman sekarang, penguasa negeri (umara) yang seharusnya mengakui ketidak mampuannya dalam memahami dan menggali hukum langsung dari Al Qur’an dan Hadits dalam memimpin negara maka seharusnya di bawah nasehat dan pendapat para fuqaha (ahli fiqih) yakni ulama yang faqih (berkompeten) atau menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) sehingga warga negara mentaati ulil amri dalam bimbingan para fuqaha.
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah sehingga negara dapat membuat hukum buatan manusia yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.
Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah ahli fiqih dan ahli agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna ulil amri adalah para ulama.
Jadi kesimpulannya Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk mentaati firmanNya (Al Qur’an) dan sabda Rasulullah (Hadits) dengan mengikuti mentaati “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) dan pada zaman sekarang adalah dengan mengikuti dan mentaati ulil amri setempat yakni para fuqaha (ahli fiqih).
Ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yang sebenarnya yakni para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada penguasa negeri (umaro) maupun pemimpin organisasi masyarakat (ormas) dalam rangka menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin
Begitupula tidak masalah firqah Wahabi, firqah Syiah maupun non muslim mendukung Jokowi maupun Prabowo karena yang terpenting mereka mau mengikuti dan taat kepada penguasa negeri terpilih yang akan menjalankan amanat UUD 1945 dan Pancasila.
Firqah-firqah tersebut yang umumnya mengikuti organisasi trans nasional (lintas negara) seharusnya dilarang bertindak dan membuat perjanjian atau ikatan tanpa sepengetahuan pemerintah.
Keharusan tersebut mencontoh dalam Piagam Madinah bahwa setiap warga negara dilarang bertindak dan membuat perjanjian atau ikatan dengan pihak luar tanpa sepengetahuan Rasulullah
***** awal kutipan *****
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 17
Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka
Pasal 36 ayat 1
Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****
Dalam sejarah negara kita, dahulu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo.
Dia mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.
Pemberontakan DI / TII ini bukan hanya membahayakan kesatuan negara dan ancaman yang serius terhadap negara yang sedang belajar mengisi kemerdekaan, tetapi juga membahayakan masa depan Islam di negara Republik Indonesia yang justru karena mengatasnamakan agama Islam.
Apalagi karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia, maka kedudukan Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam.
Hal itu mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu “mengundang para ulama dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang kedudukan Presiden Sukarno dalam pandangan keagamaan (Islam).”
Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal.
Antara lain oleh karena untuk daerah-daerah tertentu ummat Islam harus melakukan pilihan terhadap adanya “Kepala Negara” selain Presiden Soekarno. Misalnya S.M. Kartosuwiryo yang di daerah Jawa Barat menyebut dirinya sebagai Kepala Negara dari Negara Islam Indonesia.
Juga oleh karena sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno harus mengangkat pegawai-pegawai yang menangani urusan-urusan yang langsung berkaitan dengan masalah—keagamaan seperti wakaf, waris, pernikahan dan lain-lain.
Sedang dalam pandangan ulama di Indonesia urusan-urusan itu harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang diangkat oleh kekuasaan yang sah dilihat dari hukum Islam.
Pertemuan ulama yang diprakarsai oleh K.H. Masjkur itu berlangsung di Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun 1954).
Pertemuan — yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia itu memutuskan memberi gelar kepada Presiden Sukarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati, “pemerintah yang sekarang ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasarkan (QS An Nisaa [4]:59)
Menarik untuk disimak penjelasan A. Yusuf Ali mengenai istilah ini dalam komentarnya tentang (QS An Nisaa [4]:59), Ulu-l-amr adalah orang-orang yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau penyelesaian urusan.
Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima kekuasaan dari Dia. Karena Islam tidak mengenal perbedaan yang tajam antara urusan yang sakral dan sekuler, maka diharapkan pemerintahan-pemerintahan biasa akan melakukan kebenaran, berlaku sebagai imam yang benar, dan kita harus menghormati dan mematuhi keluasaan itu; jika tidak demikian tidak akan ada ketertiban dan kepatuhan.
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para fuqaha (ahli fiqih) untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri (umaro) sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri.
Kesimpulannya rakyat mentaati umaro (penguasa negeri) dan penguasa negeri mentaati para ulama yakni para fuqaha (ahli fiqih).
Jadi dalam pilpres 2019, kita tidak perlu mempertanyakan kefaqihan (kompetensi) Jokowi maupun Prabowo dalam memahami Al Qur’an dan Hadits namun bagaimana mereka memperhatikan, mempertimbangkan dan mengikuti nasihat atau pendapat para fuqaha (ahli fiqih) agar kebijakannya tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha (ahli fiqih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, iaitu
1.Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka.
2.Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka.
3.Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.
Contoh Prabowo menempatkan ulama sebagai penasehat sebagaimana yang dikabarkan bahwa sebelum deklarasi menghubungi Habib Rizieq Shihab (HRS) karena mendengar nama Prof Mahfud MD dibatalkan jadi cawapres Jokowi dan diganti KH Ma’ruf Amin.
HRS (yang DIBENCI dan “dikriminalisasi” oleh SEBAGIAN pihak di NKRI yang BERKETUHANAN YANG MAHA ESA) memberikan pendapat dan meminta, ”agar cawapres mendampingi Prabowo jangan dari kalangan ulama karena khawatir akan terjadi gesekan umat Islam”
Saran HRS inilah yang memudahkan koalisi Gerindra, PAN, dan PKS legowo karena HRS sudah dianggap sebagai salah satu Imam Besar Umat Islam sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2019/02/04/mengapa-ulama-pilih-prabowo/
Sedangkan Jokowi memang menjadikan ulama sebagai cawapres yakni KH Ma’ruf Amin namun contoh kecil diberitakan bahwa alasan yang sangat sepele yaitu tidak ada kursi, cawapres KH Ma’ruf Amin tidak dilibatkan dalam pertemuan Joko Widodo (Jokowi) dengan ketua-ketua partai pendukung, Rabu (16/1/2019) sebagaimana contoh berita pada http://nasional.sindonews.com/read/1370791/12/erick-thohir-sebut-para-ketua-umum-parpol-beri-masukan-ke-jokowi-1547571141
Dari kejadian kecil tersebut dapat kita ketahui bagaimana Jokowi dan tim suksesnya memperlakukan ulama yakni cawapres KH Ma’ruf Amin
Ketika disebut nama KH Ma’ruf Amin, Habib Hasan tidak mengelak. Kepada Kiai Ma’ruf harus hormat, takdzim. Tetapi, semua paham peran wakil dalam perpolitikan di negeri ini, amat kecil.
“Kami sangat hormat, takdzim kepada Kiai Ma’ruf. Tetapi semua tahu, posisi wakil itu seperti ban serep. Pak JK yang dikenal jauh lebih senior, punya pengalaman lebih, nyatanya juga tidak bisa berbuat banyak,” jelasnya sebagaimana yang telah diberitakan pada pada http://duta.co/blak-blakan-ini-hujjah-habaib-dan-masyayikh-dukung-prabowo-sandi-dari-sidogiri//
***** awal kutipan *****
Negeri ini, tambah Habib Hasan, butuh pemimpin tegas, bukan petugas partai. Di samping itu, membutuhkan sosok yang pengalaman, terutama dalam menggerakkan roda ekonomi rakyat. Keberanian Prabowo memilih Cawapres Sandi, dinilai sangat tepat.
“Semua tahu, Pak Prabowo itu orangnya tegas. Dan dia tahu persis apa yang dibutuhkan bangsa sekarang ini. Pilihan Cawapres yang jatuh pada sosok Sandi, adalah tepat. Dia memiliki pengalaman pajang menata ekonomi umat,” tambahnya.
***** akhir kutipan *****
Contohnya peran Jusuf Kalla sebagai wakil presiden menjadi lebih kecil dibandingkan dengan zaman SBY yang sempat dijuluki “the Real President” kemungkinan karena peran wakil presiden dibatasi pada zaman Jokowi.
Politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari, jauh-jauh hari sebelum JK terpilih mendampingi Jokowi menyampaikan bahwa PDI Perjuangan menyiapkan beberapa perjanjian ‘pra nikah’ terutama soal pembagian kerja yang jelas.
Sanksi-sanksi juga diatur oleh mereka untuk “membatasi” kewenangan seorang Wakil Presiden sebagaimana contoh informasi pada http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/05/19/pdip-siapkan-sanksi-jika-jk-suka-over-kewenangan
KH Suyuthi Toha menyampaikan pesan dari almaghfurlah KH Sahal Mahfudh bahwa urusan politik yang diurus oleh ormas NU bukanlah masalah seperti pilpres. Politik NU itu tingkat tinggi, politik menjaga NKRI, politik keummatan, politik membela orang lemah.
Peran POLITIK TINGKAT TINGGI atau sisi “hulu” seperti “menjaga, membela, mempertahankan Islam Aswaja dan ideologi NKRI yang berazaskan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945”
Kurang efektif jika diperankan dari sisi “hilir” yakni melalui peran eksekutif seperti wakil presiden.
Terlebih lagi inti dari tugas wakil presiden hanyalah “membantu” Presiden sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 4 ayat 2
“Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”
Sebagai “pembantu” Presiden bisa terjadi suatu keadaan di mana wakil presiden “terpaksa” membenarkan kebijakan Presiden.
Peran politik tingkat tinggi tersebut justru KH Ma’ruf Amin sebaiknya tetap di ormas NU sebagai fuqaha (ahli fiqih) agar bisa bebas dan independen memberikan nasehat, arahan atau pendapat agar KEBIJAKAN penguasa (umaro) SIAPAPUN YANG TERPILIH tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Contoh lain peran POLITIK TINGKAT TINGGI atau sisi “hulu” yang sebaiknya diperankan oleh ormas NU seperti mempertimbangkan dan menyarankan sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat harus dikembalikan ke UUD 1945 sebelum reformasi yakni melalui permusyawaratan/perwakilan sesuai amanat Pancasila sila ke 4 karena kita dapat melihat salah satu efek negatifnya adalah dapat meruntuhkan Ukhuwah Islamiyah
Dengan melalui permusyawaratan/perwakilan” maka dapat dilakukan fit & proper test terhadap paslon dan dilakukan oleh yang berkompeten bukan dilakukan oleh rakyat awam melalui celaan dan hujatan karena belum dewasa dalam berpolitik.
Apalagi rakyat awam dapat terkena pengaruh politik pencitraan ataupun strategi politik play victim.
PENCITRAAN dalam arti negatif adalah KEPURA-PURAAN untuk memanipulasi persepsi publik terhadap dirinya untuk kepentingan popularitas atau elektabilitas.
Strategi politik PLAY VICTIM atau strategi politik menzalimi atau memfitnah diri sendiri adalah strategi politik menyakiti diri sendiri dan kemudian menyalahkan orang lain sebagai pelakunya.
Pada hakikatnya jika kelak menjadi wakil presiden itu KH Ma’ruf Amin turun maqom yakni kalau di ormas NU dari maqom Rais ‘Aam ke maqom Tanfidziah
Rais ‘Aam adalah pemimpin dewan Syuriah. Syuriah adalah badan musyawarah yang mengambil keputusan tertinggi dalam struktur kepengurusan NU. Dalam konteks kenegaraan, syuriah bisa dikatakan sebagai dewan legislatif. Asal-usul kata Syuriah diambil dari kata syawara, artinya adalah bermusyawarah.
Tanfidziah adalah badan pelaksana harian organisasi NU. Tidak seperti pada syuriah, pemimpin tertinggi tanfidziah disebut ketua umum, bukan rais aam. Asal mula kata tanfidziyah diambil dari kata naffadza, berarti melaksanakan kebijakan dewan Syuriah.
Oleh karenanya ketika KH Ma’ruf Amin mau menerima pinangan Jokowi maka Beliau sebaiknya “melepaskan” keterkaitannya dengan ormas NU supaya terhindar dari konflik kepentingan.
Terlebih lagi posisi Beliau di ormas NU adalah sebagai Rais Aam
Apalagi kalau tidak salah dalam anggaran dasar ormas NU tercantum bahwa Rais Aam, tidak boleh dicalonkan atau mencalonkan jabatan politik manapun.
Dalam anggaran dasar, wakil Rais Aam bisa menjadi penjabat Rais Aam apabila Rais Aam “berhalangan tetap” .
Contohnya ketika Rais Aam KH Sahal Mahfudz berpulang ke rahmatullah tentu termasuk kondisi “berhalangan tetap” dan akhirnya digantikan KH Mustofa Bisri.
Namun pada saat ini Rais Aam KH Ma’ruf Amin tidaklah dalam kondisi “berhalangan tetap”.
Sehingga menjadi “kendala” penggantian KH Ma’ruf Amin oleh KH Miftahul Ahyar sebagai Rais Aam.
Oleh karenanya disarankan PBNU mengundang ulama NU dan seluruh pimpinan pesantren se-Indonesia untuk membahas pengangkatan Rais Aam yang baru.
Begitupula proses pengangkatan KHUSUSNYA Rais Aam sebaiknya tidak dilakukan dengan metode “suara terbanyak” namun melalui Ahlul Halli wal Aqdi, sehingga memungkinkan terpilihnya atau menetapkan pemimpin sesuai syar’i yakni pemimpin yang tidak mencalonkan dirinya sendiri namun diminta untuk memimpin dikarenakan KOMPETENSI dan REKAM JEJAK (riwayat) pendapat, pemahaman dan perilaku selama ini.
Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepada Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu yang artinya, “Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberinya karena engkau mencarinya engkau akan dibiarkan mengurusi sendiri (tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala bantu). Tetapi jika engkau diberinya tanpa mencarinya maka engkau akan dibantu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dalam mengurusinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam Shahih Al-Bukhari juga, dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada dua orang mengatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, jadikan kami sebagai pemimpin.” Maka beliau menjawab yang artinya, “Sesungguhnya kami tidak akan memberikan kepemimpinan kami ini kepada seseorang yang memintanya atau berambisi terhadapnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah telah memerintahkan kita untuk memilih pemimpin.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidak dibenarkan tiga orang bepergian di tengah padang pasir yang tandus, kecuali jika mereka mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin)”.
Oleh karenanya kita seharusnya berpartisipasi dalam pemilu 2019 dan jika tidak ikut memilih maka sama dengan membiarkan atau menyerahkan kepada pilihan orang banyak.
Rasulullah membolehkan umat Islam untuk mengingkari kebijakan penguasa negeri (umara) yang menurut pendapat para fuqaha (ahli fiqih) bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits namun dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.
Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])
Sedangkan bagi yang mampu melenyapkan kemungkaran atau ingin mengganti penguasa negeri yang diingkari maka lakukanlah dengan cara-cara yang baik mengikuti hukum konstitusi yang berlaku dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al Baqarah [2]:11)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar