Buya Hamka dalam Konferensi Islam Dunia di Kuala Lumpur tahun 1969 ikut menyepakati ilmu hisab untuk memperkuat bukan untuk meninggalkan sunnah rukyah
Dalam Konferensi Islam Dunia di Kuala Lumpur dari tanggal 21 sampai dengan 27 April 1969, Buya Hamka ikut menyepakati ilmu hisab untuk MEMPERKUAT rukyah, BUKAN untuk MEMBELAKANGI (mengingkari / meninggalkan sunnah) rukyah
Oleh karena kesepakatan tersebut, KH. Muhammad Dahlan yang menjabat menteri agama saat itu mendirikan observatorium rukyah di Pelabuhan Ratu yang berada di Sukabumi.
Dalam konferensi tersebut mayoritas delegasi dunia itu berpegang kepada sunnah rukyah, kecuali dua orang: Buya Hamka dari Indonesia dan seorang lainnya dari negara Iran.
Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul “Saya kembali ke ru’yah” menegaskan bahwa,
***** awal kutipan *****
“dia (hisab) dapat mempermudah rukyah. Karena rukyahlah yang asli diterima Nabi, dan rukyah inilah pegangan Jumhur Ulama Islam, dari zaman Nabi shallallahu alaihi salam sampai kepada zaman sekarang, sebagaimana saya saksikan di Konferensi Islam Kuala Lumpur”
Saya menjadi penganut pendapat Sa’adoeddin Jambek itu dengan penuh pengertian, karena sejak Konferensi Islam di Kuala Lumpur saya telah mendapat keterangan – keterangan dari ulama- ulama lain dan turut menyetujui bahwa HISAB dapat dijadikan ALAT PEMBANTU yang baik sekali untuk melaksanakan PERINTAH Nabi agar memulai dan menutup puasa dengan rukyah.
Saya bersyukur sekali (dalam konferensi Islam) dengan berhadapan, secara Ukhuwwah – Islamiyah saya dengarkan pendapat pemuka Islam, dari Mazhab Sunny di negeri lain, dalam menghadapi zaman modern ini.
Ulama Pakistan berkata: “Nabi telah meninggalkan satu agama yang mudah dilakukan, rata untuk ulama dan sarjana dan orang awam, mulai puasa dan berbuka dengan rukyah, semua orang bisa rukyah kalau mau. Mengapa kita persukar dengan mengalihkannya kepada hisab? Kurangkah yakin kita kepada apa yang diajarkan Nabi?
Ulama Aljazair berkata: “Boleh kita pakai alat-alat modern untuk menguatkan ibadat kita. Boleh kita pakai ilmu hisab untuk MEMPERKUAT rukyah, BUKAN untuk MEMBELANGKANGI (mengingkari / meninggalkan sunnah) rukyah.
Kesimpulan yang didapat waktu itu ialah TIDAK ADA kecenderungan untuk MENINGGALKAN sunnah Nabi,
Rukyah lebih dapat MEMPERSATUKAN Dunia Islam, daripada jika memakai hisab.
Hisab boleh dipakai untuk MELANCARKAN kita melakukan rukyah
Dan sejak pulang dari Kuala Lumpur itu pula dapatlah saya mengoreksi kembali apa yang selama ini saya perjuangkan.
Saya lebih senang kalau seluruh Ummat Islam Indonesia bersamaan permulaan puasanya dan bersamaan pula penutupnya, sehingga sama Hari Raya dalam satu hari. Dan ini hanya akan tercapai kalau orang KEMBALI kepada SUNNAH, yaitu puasa dan berbuka dengan rukyah. Dan payahlah akan dapat orang diajak bersatu semuanya mari puasa menurut hisab, tinggalkan rukyah.
Sebab apabila kesadaran kepada sunnah itu bertambah berkembang dalam negeri ini, hati orang akan lebih mantap beribadat jika pemerintah yang berkuasa memerintahkan mengadakan rukyah tiap tahun, sebagaimana yang telah dipelopori oleh pemimpin Muhammadiyah sendiri, Kiyahi H. Faqih Usman ketika beliau menjadi Menteri Agama (1950).
Di Kuala Lumpur telah diperbincangkan kemungkinan persamaan memulai puasa dan menutupnya berdasarkan rukyah, buat seluruh negeri-negeri Islam yang sama mathla’ nya.
Segala alat modern akan dipakai untuk memudahkan terlaksananya cita-cita itu.
Apatah lagi alat-alat telekomunikasi zaman sekarang telah lebih maju. Dan itu sudah tentu diantara pemerintah dengan pemerintah. Di Indonesia tentu akan dilaksanakan oleh Kementerian Agama.
Maka timbullah pertanyaan : “Apakah kalangan Muhammadiyah atau Persis, atau Al-Irsyad dan berbagai pengikutnya akan mau menuruti aliran yang baru itu ? Yaitu KEMBALI kepada SUNNAH, supaya persatuan Ibadat Dunia Islam dapat tercapai ?
Apakah gerakan-gerakan Islam yang 60 tahun yang lalu jadi pelopor kembali kepada Al-Quran dan Sunnah dan membuka pintu ijtihad, yang telah bertahun-tahun terikat oleh “TAQLID yang DIORGANISIR” (dalam Majelis Tarjih) ini akan mau surut selangkah ?
Tidakkah nanti mereka akan terus melakukan apa yang mereka lakukan selama ini, yaitu barang sebulan terlebih dahulu sebelum puasa, telah membuat maklumat dalam surat-surat kabar bahwa ijtima’ Ramadhan tanggal sekian, Syawwal tanggal sekian, sebab itu tanggal sekian mulai puasa, tanggal sekian penutupnya. “Karena begitulah menurut organisasi” orang mesti sami’na wa atha’na !”
Sehingga dengan demikian usaha MENYATUKAN permulaan dan penutupan puasa menurut sunnah, baik untuk seluruh Indonesia atau untuk seluruh dunia Islam TIDAK perlu diperdulikan, DEMI menjaga KEWIBAWAAN Majlis Tarjih dan lain-lain.
Sehingga dengan tidak disadari, gerakan agama yang mendakwakan dirinya penganut Mazhab Salaf, hanyut kedalam suasana Sektarisme meng-arah-arah Kaum Kristen Sekte Zeven Adventis di Indonesia, yang tidak mau turut dalam Pemilihan Umum tahun yang lalu, karena Hari Pemilihan Umum itu jatuh pada hari Sabtu!
KESIMPULAN
- Muhammadiyah tidaklah melanggar keputusan Tarjih nya kalau dia memulai dan menutup puasa Ramadhan menurut rukyah atau istikmal. Lalu dijadikannya ilmu-hisab untuk MEMPERMUDAH rukyah.
- Jika kita ingin hendak mempersatukan ibadat puasa Kaum Muslimin Indonesia, pada memulai dan menutupnya, lebih mudahlah persatuan itu dicapai dengan memakai rukyat atau istikmaal. Dan kesatuan ini dipimpin oleh SULTHAN (pemerintah), sebagai yang selalu berlaku dalam Dunia Islam sejak zaman Rasulullah saw. Di Indonesia ialah Kementrian Agama Republik Indonesia.
- Mulai dan menutup puasa berdasarkan rukyah telah dipelopori oleh seorang pemimpin Muhammadiyah yang besar, Almarhurn Kiyahi H. Faqih Usman seketika beliau menjadi Menteri Agama (Kabinet Halim, 1950). Dan orang tidak dihalangi berpuasa menurut keyakinannya dengan hisab, sebagaimana tertera dalam Mazhab Syafi’i.
- Membuat maklumat sendiri, dari perkumpulan-perkumpulan yang berkeyakinan kepada hisab, mendahului maklumat pemerintah. adalah satu hal yang TIDAK BIJAKSANA, karena secara psycologis menggambarkan kembali persatuan yang dicita-citakan oleh Ummat Islam bersama. Apatah lagi setelah berkali-kali ternyata, hasil hisab yang disiarkan itu tidak ada persamaan. Malahan pernah kejadian dari satu perkumpulan, dua macam hisab.
- Gagasan hendak mempersatukan permulaan dan penutupan puasa yang dicetuskan di Konferensi Islam di Kuala Lumpur, dan diteruskan oleh Arrabithatul ‘Alamil Islamy di Makkah, sampai dipersoalkan pula oleh Al-MajlisuI Islami Al-A’la lisy syu-unil Islamiyah di Mesir dan majalahnya yang terkenal “Mimbarul Islam”, adalah satu gagasan yang patut menjadi perhatian. Kalau perlu, sangguplah hendaknya kita MELEPASKAN TRADISI, kalau akan hanya MEMBAWA kita PULANG kepada SUNNAH Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
- Dan biarkanlah soal KEMBALI kepada Hadits Rosul shallallahu alaihi wasallam (Ru’yah dan Istikmaal) ini menjadi semata-mata soal ibadat, TIDAK disangkut pautkan dengan POLITIK; pro atau kontra pemerintah yang tengah berkuasa, atau menteri yang tengah memerintah. Dan tidak pula dijadikan alat politik untuk “tunjuk kuasa” atau “tunjuk pengaruh”. Sehingga suasana kita beribadat puasa dan berhari raya dihadapi dengan rasa thuma’nina (tenteram).
***** akhir kutipan *****
Buku Buya Hamka “Saya kembali ke ru’yah” dapat dibaca pada https://drive.google.com/file/d/1ERgDNJ2n__mYo0F1KU1LGMeot0LCh651/view
Jadi sebaiknya TINGGALKANLAH metode hisab wujudul hilal KARENA wujudul hilal NAMUN belum imkan rukyah yakni belum mungkin dapat dilhat dengan mata SAMA ARTINYA hilal terhalang oleh awan
Buya Hamka TIDAK MELARANG metode hisab NAMUN Beliau MENDUKUNG metode hisab Sa’adoeddin Jambek karena LEBIH DEKAT kepada SUNNAH Rasulullah.
Ahli hisab Sa’adoeddin Jambek MENEGASKAN bahwa jika MENURUT ilmu hisab bulan itu belum imkan rukyah artinya belum mungkin dapat dilhat dengan mata maka TAATILAH perintah Rasulullah HITUNGLAH menjadi tiga puluh hari
Para Sahabat MENJELASKAN bahwa yang dimaksud Rasulullah memerintahkan HITUNGLAH adalah JIKA hilal terhalang oleh awan maka HITUNGLAH menjadi TIGA PULUH hari
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ
Jika (hilal) tertutup dari pandangan kalian maka HITUNGLAH menjadi TIGA PULUH HARI.” (HR Muslim 1811 atau Syarh Shahih Muslim 1081)
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/muslim/1811
Oleh karenanya para fuqaha (ahli fiqih) menetapkan Kriteria Visibilitas Hilal (Imkanur Rukyat) yakni kriteria hilal yang dapat dilihat oleh mata sebagai penerapan atau perwujudan MENTAATI perintah Rasulullah bahwa jika mata terhalang atau tidak dapat melihat hilal maka BERPUASALAH tiga puluh hari.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Namun jika mendung (terhalang awan – sulit melihat hilal) maka BERPUASALAH selama tiga puluh hari (HR Muslim 1808 atau Syarh Shahih Muslim 1081)
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/muslim/1808
Dalam sebuah tulisan Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN, Thomas Djamaluddin menyampaikan bahwa
***** awal kutipan *****
Saat ini HISAB sudah DISETARAKAN dengan rukyat, SEPANJANG hisabnya MEMPERHATIKAN Kriteria Visibilitas Hilal (Imkanur Rukyat).
HISAB yang dilakukan dengan kriteria Imkanur Rukyat adalah upaya MENERAPKAN sunnah (ajaran) Rasulullah dalam penentuan awal bulan dengan cara Rukyat.
Parameter rukyat itu DIKUANTIFIKASI dengan parameter-parameter Astronomis berdasarkan data-data rukyat jangka panjang.
***** akhir kutipan *****
Prof T. Djamaluddin menyampaikan bahwa berdasarkan data-data rukyat global secara astronomis hilal yang memungkinkan untuk dilihat dengan “rekor” elongasi 6.4 derajat (jarak sudut bulan dan matahari atau “ketebalan” hilal) dan ketinggian hilal 3 derajat berdasarkan data-data rukyat global yang menyatakan TIDAK ADA kesaksian hilal yang tingginya DI BAWAH 3 derajat sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video pada https://bit.ly/3oBbpLR
Kriteria Visibilitas Hilal (Imkanur Rukyat) yakni Kriteria hilal yang dapat dilihat oleh mata dengan ketinggian hilal minimum 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat telah DISEPAKATI oleh Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS)
Kriteria ini merupakan pembaruan dari kriteria sebelumnya, yakni ketinggian hilal 2 derajat dengan sudut elongasi 3 derajat sebagaimana contoh berita pada https://kemenag.go.id/pers-rilis/hilal-awal-syawal-di-indonesia-penuhi-kriteria-baru-mabims-6iwmm3
Contoh dikabarkan pada tahun ini (2023M / 1444H) dari Makasar dengan bantuan alat dapat diketahui ketinggian hilal 1,22 derajat dengan elongasi 2,14 dan tim rukyat MENYATAKAN hilal tidak terlihat sebagaimana laporan yang dapat disaksikan dalam video pada https://bit.ly/3mYIEIl
Pada hakikatnya teknologi baru apapun atau metode hitungan (hisab) dengan ilmu Falak (ilmu Astronomi) hanyalah untuk MEMBANTU “melihat” hilal sebatas MENGATASI PERMASALAHAN cuaca seperti cuaca mendung atau terhalang awan.
Jadi jikalau ada teknologi baru untuk melihat hilal maka teknologi baru tersebut mengikuti sabda Rasulullah seperti dengan mensimulasikan atau meng-augmented reality-kan pengamatan mata pada suatu posisi di muka bumi ini untuk melihat hilal.
Contohnya pada zaman NOW (sekarang) selain DIHITUNG atau DIKUANTIFIKASI, Prof Komaruddin Hidayat memperlihatkan aplikasi yang dapat MENSIMULASIKAN hilal jauh-jauh hari sebelumnya dengan “menggerak-gerakan” parameter tanggal dan jam “pengamatan” pada suatu posisi di muka bumi ini sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video pada https://facebook.com/story.php?story_fbid=10226886324337862&id=1644949506
Begitupula jika MENURUT ilmu hisab hilal belum memungkinkan untuk terlihat maka kesaksian melihat dapat ditolak
Contohnya KH. M. Thobary Syadzily dengan menggunakan metode HISAB sistem Nautical Almanac yakni ilmu Hisab Kontemporer / Modern menggunakan data-data yang diambil dari hasil pantauan satelis ruang angkasa NASA (National Aeronautics and Space Administration) MENYAMPAIKAN bahwa kalau ada perukyat mengatakan melihat hilal, maka WAJIB DITOLAK. yang dipublikasikan pada https://facebook.com/story.php?story_fbid=6542576202453618&id=100001039095629
***** awal kutipan *****
- Berdasarkan Ilmu Astronomi: Ketinggian Hilal Toposentris / Mar’i tersebut di atas sebesar 2° 35′ 12,16” atau 2,6° ( di atas ufuk ) dan elongasi 4 derajat 59 menit 51,31 detik atau 5 derajat belum imkan ar-ru’yat yaitu hilal kemungkinan besar belum bisa dirukyat atau dilihat dengan menggunakan teropong / teleskop jika awan cerah.
Jadi, kalau ada perukyat mengatakan melihat hilal, maka WAJIB DITOLAK.
Dengan demikian: Awal bulan Dzul-Hijjah 1444 H. di Indonesia jatuh pada hari Selasa Pahing, 20 Juni 2023 M.. Dan, Hari Raya Idul Adha, tgl 10 Dzul-Hijjah 1444 H jatuh pada hari Kamis Pon, 29 Juni 2023 M.
CATATAN
- Data penentuan awal bulan Hijriyah sebelum ru’yatul hilal harus berdasarkan pada kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), yaitu minimal tinggi hilal 3 derajat dan minimal elongasi (jarak antara Bulan dan Matahari) 6,4 derajat.
- Data hisab ini bisa dijadikan sebagai pedoman pokok bagi para perukyat untuk melakukan ru’yatul hilal di lapangan.
- Keputusan selanjutnya akan menunggu hasil pengumuman Menteri Agama RI dalam Sidang Itsbat di Jakarta pada hari Ahad malam Senin, 18 Juni 2023 usai shalat maghrib berjama’ah. Kota Tangerang, 10 Juni 2023.
Wassalam
KH. M. Thobary Syadzily
(Rois Idaroh Wustho Jatman Provinsi Banten)
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar