Hanya mereka yang mengikuti pemahaman Salafush Sholeh
Berikut contoh kutipan fatwa ulama panutan mereka, Al Albani bahwa Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan Hizb-Hizb Islamiyah lainnya adalah sesat sebagaimana tulisan mereka pada http://abihumaid.wordpress.com/2011/02/18/fatwa-ulama-tentang-kesesatan-hizbut-tahrir/
***** awal kutipan *****
Golongan atau kelompok atau perkumpulan atau jamaah apa saja dari perkumpulan Islamiyah, selama mereka semua tidak berdiri di atas Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta di atas manhaj Salafus Shalih, maka dia (golongan itu) berada dalam kesesatan yang nyata!
Berdasarkan pengetahuan saya, setiap golongan atau kelompok yang ada di muka bumi Islam ini, saya berpendapat sesungguhnya mereka semua tidaklah berdakwah pada dasar yang ketiga, sementara dasar yang ketiga ini adalah pondasi yang kokoh.
Mereka hanya menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam saja, di sisi lain mereka tidak menyeru (berdakwah) pada manhaj Salafus Shalih kecuali hanya satu jamaah saja.
Dan sangat kita sayangkan Hizbut Tahrir tidak berdiri di atas dasar yang ketiga, demikian pula Ikhwanul Muslimin dan hizb-hizb Islamiyah lainnya.
******* akhir kutipan ******
Jadi mereka menyalahkan atau menganggap sesat umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka karena merasa hanya mereka yang mengikuti pemahaman Salafush Sholeh.
Hal yang perlu kita ingat bahwa nama para perawi yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in tercantum dalam hadits-hadits, pada umumnya bukanlah menyampaikan hasil ijtihad dan istinbat mereka namun mereka mendengar, menghafal dan menyampaikan kembali apa yang telah disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah bersabda bahwa tidak selalu Sahabat yang menyampaikan atau meriwayatkan hadits paham dengan apa yang disampaikan dan tentulah mereka juga tidak maksum.
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas dapat kita pahami bahwa Imam Mazhab yang empat yang menyusun ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip dasar ( asas) beserta cabangnya (furu) yang akan diikut umat Islam sampai akhir zaman.
Orang-orang yang membeli atau memiliki kitab-kitab hadits kemudian mereka membacanya maka tidak dapat dikatakan bahwa mereka telah mengikuti pemahaman Salafush Sholeh hanya dikarenakan dalam hadits tercantum nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in karena ketika orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri terhadap hadits yang dibacanya, bukan pendapat atau permahaman Salafush Sholeh.
Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits yang mereka baca.
Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka hanya dikenal sebagai ahli membaca hadits bukan dikenal berkompetensi sebagai ahli istidlal sebagaimana Imam Mujtahid Mutlak atau Mufti Mustaqil
Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh dan sekaligus fitnah terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Contoh mereka yang memfitnah atau dusta atas nama Rasulullah adalah mereka yang mengatakan sunnah Rasulullah menempelkan mata kaki ketika sholat berjamaa’ah akibat salah memahami hadits sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/24/menempelkan-mata-kaki/
Contoh lainnya mereka yang memfitnah atau dusta atas nama Rasulullah seolah-olah melarang umatnya istighfar lebih dari tiga kali ketika dzikir setelah shalat sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/07/25/lebih-dari-tiga-kali/
Contoh lainnya mereka yang mengatakan bahwa berjenggot adalah sunnah Nabi dan termasuk perkara sunnah (mandub)
Apakah pria yang tidak dikaruniai jenggot oleh Allah Ta’ala termasuk ingkar sunnah atau tidak mengikuti sunah Nabi atau meninggalkan perkara sunnah (mandub). ?
Hal yang perlu kita ingat bahwa perkara sunnah (mandub) yakni dkerjakan berpahala dan ditinggalkan tidak berdosa adalah suatu perkara yang memungkinkan dilaksanakan oleh umat Islam
Sedangkan pria yang tidak ditakdirkan berjenggot oleh Allah Ta’ala tidak memungkinkan menjalankan suatu perkara yang dianggap sunnah (mandub) yakni berjenggot maka berjenggot bukan perkara sunnah (mandub) melainkan mubah (boleh)
Berikut kutipan tulisan yang bersumber dari http://makassar.tribunnews.com/2014/08/29/jenggot-bukan-sunnah-rasul
****** awal kutipan *******
Memelihara jenggot merupakan sunnah Nabi, banyak dalil menerangkan masalah ini, misalnya hadis dari Aisyah diriwayatkan Muslim, Rasulullah bersabda, “sepuluh perkara adalah fitrah, di antaranya mencukur kumis dan menumbuhkan jenggot”. Demikian tulisan Ilham Kadir dengan judul Membela “Jenggot” Sunnah Rasul yang dimuat Tribun Timur Edisi Jumat/22/08/2013, halaman 27.
Ilham Kadir, guru SMPN 2 Enrekang, bukan pakar hadis. Latar belakang keilmuannya tentang hadis masih tergolong miskin. Ini dikarenakan sangat tekstual dalam memahami hadis seperti dalam opininya.
Matan hadis yang dikutipnya tidak lengkap sementara dalam memahami sebuah hadis harus dilihat munasabah (hubungan) matan hadis sebelumnya, tidak pula mengemukakan asbab wurud al-hadis (latarbelakang histori dan situasi) hadis tersebut disabdakan, sementara tekstual dan kontekstual matan hadis baru bisa dipahami secara akurat setelah mencermati asbab wurud-nya.
Matan hadis tentang itu berdasarkan hasil takhrij (penelurusan melalui kamus Hadis) ditemukan dalam Bukhari (5443 dan 5893), Muslim (260, 380, 381, 382, 383), Turmuzi (2687 dan 2688), al-Nasai (15, 4959, 4960, 5131).
Dari sini diketahui ada dua redaksi hadis yang berbeda matannya.
Pertama, Inhaku al-syawariba wa a’fu al-lihay (habiskanlah kumis dan biarkan jenggot seadanya).
Kedua, juzzu al-syawariba wa arkhu al-lihay khalifu al-majusa (pendekkanlah kumis dan pelihara jenggot, selisihilah kaum Majusi) karena mereka, terutama Majusi pedesaan memiliki kebiasaan memanjangkan kumis dan mencukur jenggot, tetapi di Mekah kebiasaan itu rupanya tidak berlaku karena Abu Lahab, Abu Jahal dan pemuka kaum Kafir di Mekah saat itu juga berjenggot, apa bedanya dengan Sahabat lain.
Jadi perintah dalam matan hadis ini diperuntukkan kepada sahabat Nabi di pedesaan yang berinteraksi dengan kaum Majusi karena ternyata sahabat Nabi, Ibnu Umar yang juga mendengar langsung hadis itu disabdakan, memotong jenggotnya jika merasa terlalu panjang.
Ditinjau segi asbab wurud hadis berkenaan dengan historinya, pada masa Nabi atau bersamaan saat hadis itu disabdakan, di daerah pedesaan khususnya di negeri Ajam memang terlihat dikotomi antara muslim dan non-muslim sehingga dibutuhkan suatu identitas untuk membedakan di antaranya.
Ketika itu, hadis diyakini sebagai suatu hal yang harus dipenuhi, sehingga menjalankan apa yang diperintahkan oleh Nabi untuk mereka merupakan kewajiban yang harus dilakukan, sehingga kandungan matan hadis tersebut selain bersifat lokal juga temporal, tidak bersifat universal.
Konteks kekinian, hal tersebut dianggap tidak relevan dengan melihat bahwa banyak pula umat non-muslim yang memanjangkan jenggotnya.
Ditinjau segi asbab wurud hadis berkenaan dengan situasinya, perintah Nabi untuk memanjangkan jenggot memang relevan untuk orang-orang Arab, terutama Pakistan, yang secara ilmiah dan alamiah dikaruniai jenggot yang subur. Tingkat kesuburan dan ketebalan rambut milik orang-orang Indonesia tidak sama dengan mereka.
Bahkan sebagian besar di antara kita tidak bisa tumbuh jenggotnya padahal agamawan,
Apakah ulama-ulama yang tidak ditakdirkan untuk berjenggot bisa divonis tidak mengikuti sunnah ?
Sangat naïf bila jenggot dijadikan sebagai ukuran sunnah, karena akan terlihat bahwa yang menjalankan Islam dengan kaffah hanyalah mereka yang berjenggot sementara yang lain pengingkar sunnah.
Kembali pada definisi hadis, adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Jenggot tidak masuk dalam definisi tersebut, tetapi masuk pada ciri khas fisik Nabi dan ciri ini tidak bisa mengikat pada semua umat Islam.
Sama halnya dengan perintah menikahi empat orang perempuan (QS. al-Nisa/4:3) bukan kewajiban bagi semua kaum laki-laki sehingga perintah tersebut tidak bisa mengikat pada semua umat Islam.
Harus dimengerti bahwa jenggot terdiri dari tiga kategori.
Pertama, jenggot biologis seperti orang-orang Arab,
Kedua, jenggot ideologis seperti orang-orang yang memaksakan dirinya berjenggot dengan berbagai cara misalnya membeli obat penumbuh-penyubur jenggot.
Ketiga, gabungan idiologis-biologis. Kategorisasi ini, hendaknya disesuaikan dengan individu masing-masing, bagi mereka yang tidak bisa tumbuh jenggotnya, tidak usah dipaksakan.
Mereka yang dikarunia tumbuh subur jenggotnya, silakan pelihara dan rawat dengan rapih jika memungkinkan tetapi jangan dijadikan sebagai simbol sunnah karena itu hanya sebagai assesoris fisik.
Dengan begitu, bagi yang berjenggot jangan divonis salah, sebaliknya yang tidak berjenggot jangan divonis tidak mengikuti sunnah Nabi. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thariq. (*)
Oleh;
Mahmud Suyuti, Ketua MATAN Sulawesi Selatan/ Dosen Hadis dan Mantan Kepala Laboratorium Hadis UIM Makassar
****** akhir kutipan ********
Ada pula mereka yang memfitnah atau dusta atas nama Rasulullah seolah-olah menyuruh umatnya “menggerak-gerakkan” telunjuk ketika tasyahud.
Contohnya mereka yang mengatakan sebagai sunnah Nabi menggerak-gerakkan telunjuk ketika tasyahud yakni salah seorang murid dari Al Albani dalam publikasinya pada http://www.youtube.com/watch?v=ln67iABwwZg menyampaikan
***** awal kutipan *****
Beliau tidak berkata kamu salah tidak begitu tapi beliau hanya bertanya padaku apakah aku punya dasar dalam cara kami menggerak-gerakkan jari seperti ini. Maka aku jawab tidak, hanya saja aku pernah membaca di kitab anda (Sifat Sholat Nabi shallallahu alaihi wasallam) bahwa Nabi dahulu menggerakan maka aku menggerakannya. Maka beliau berkata tidak, itu bukan menggerak-gerakkan itu namanya menaikkan menurunkan, menaikkan dan menurunkan, maka aku berkata lalu bagaimana aku menggerakkannya wahai syaikh kami, maka beliau menjawab seperti ini, ketika tanganmu di atas lutut dan luruskan jarimu ke arah qiblat seperti ini dan beliau mulai menggerak-gerakkannya dengan gerakkan yang kuat ditempatnya yaitu tidaklah jarinya itu sampai berpindah dari arah qiblat. Ujung jari itu mesti menghadap ke arah qiblat dan menggerakkan seperti ini dengan kuat.
***** akhir kutipan *****
Sedangkan ulama panutan mereka Khalid Basalamah menjelaskan bahwa menggerak-gerakan jari adalah menggetarkan jari sebagaimana video yang dipublikasikan pada http://www.youtube.com/watch?v=41tOtJHxrO4
Ulama panutan mereka lainnya, Abdul Hakim bin Amir Abdat menegaskan bahwa ulama yang menyatakan syadz (meragukan) terhadap lafaz tahrik adalah ulama syadz atau diragukan keulamaannya sebagaimana video yang dipublikasikan pada http://www.youtube.com/watch?v=Dqo8EZ1c6Z8
Jadi secara tidak langsung ulama panutan mereka Hakim Abdat meragukan keulamaan ulama panutan mereka lainnya, Muqbil bin Hadi yang berbeda pendapat dengan Al Albani sebagaimana yang disampaikan oleh ulama panutan mereka lainnya Abu Yahya Badrusalam dalam video yang dipublikasikan pada http://www.youtube.com/watch?v=5aJtYvB8ScE
Pada kenyataannya berdasarkan informasi dari kalangan mereka sendiri, dapat kita ketahui bahwa mereka mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi)
Berikut kutipan riwayat ulama panutan mereka, Abdul Hakim bin Amir Abdat yang bersumber dari http://kitabdanherbal.blogspot.co.id/2011/02/biografi-al-ustadz-abdul-hakim-bin-amir.html
**** awal kutipan ****
Kecintaan beliau terhadap ilmu islam adalah semenjak beliau masih kanak-kanak yakni dibangku sekolah dasar yang merupakan pendidikan formal satu-satunya yang beliau lalui. Oleh karena itu beliau pernah mengatakan di majelis hadits shahih bukhari yang beliau pimpin yang maknanya bahwa beliau hanyalah lulusan S1 yaitu SD karena “S”nya cuma satu.
Beliau tidak lanjutkan pendidikan beliau ke jenjang formal SMP, namun beliau memilih untuk mendalami ilmu agama yang pada awal perjalanan beliau belajar disalah satu pesantren milik seorang kiyai terkenal di jakarta yaitu kyai Abdullah Syafi’i yang merupakan guru-guru awal beliau, namun beliau oleh ayahnya tidak di izinkan untuk berasrama dipesantren tersebut.
Beliau mengatakan bahwa beliau bersyukur kepada Allah bahwa beliau tidak belajar terus ditempat belajar beliau yang pertama, karena kalau sampai terus disana mungkin beliau akan berada diatas pemahaman quburiyyun dan kesesatan dalam beragama seperti umumnya pemahaman islam di negri kita ini.
***** akhir kutipan *****
Berikut kutipan pendapat ulama panutan mereka lainnya, Muhammad Umar As Sewed terhadap Abdul Hakim bin Amir Abdat yang bersumber dari http://erwinprasetyo.wordpress.com/2009/02/26/mengenal-lebih-dekat-abdul-hakim-bin-amir-abdat/
**** awal kutipan *****
“Adapun Abdul Hakim Amir Abdat dari satu sisi lebih parah dari mereka, dan sisi lain sama saja. Bahwasannya dia ini, dari satu sisi lebih parah karena dia otodidak dan tidak jelas belajarnya, sehingga lebih parah karena banyak menjawab dengan pikirannya sendiri. Memang dengan hadits tetapi kemudian hadits diterangkan dengan pikirannya sendiri,…”
“…Ini kekurangan ajarannya Abdul Hakim ini disebabkan karena dia menafsirkan seenak sendiri dan memahami seenaknya sendiri. Tafsirnya dengan Qultu, saya katakan, saya berkata, begitu. Ya.., di dalam riwayat ini…ini… dan saya katakan, seakan-akan dia kedudukannya seperti para ulama, padahal dari mana dia belajarnya?”
**** akhir kutipan *****
Berikut kutipan riwayat ulama panutan mereka, Muqbil bin Hadi Al Wadii yang bersumber dari http://www.fastabiqu.com/2015/07/syaikh-muqbil-bin-hadi-ulama-yaman-yang.html
***** awal kutipan *****
Belum pernah mendapati seorang seperti beliau selama sejak beratus-ratus tahun. Dahulu hanya bekerja sebagai satpam sebuah bangunan di Mekkah, suatu ketika beliau diberi hadiah beberapa buku bekas pelajaran sekolah tentang pelajaran Tauhid, termasuk pula kitab Fathul Majid, beliau pun tersentuh dengan buku-buku itu, lantas teringat negaranya. Beliau pun pulang, kemudian mengajarkan manusia tentang Tauhid serta mengingkari perbuatan Syirik penduduk desanya.
****** akhir kutipan *****
Ahli (membaca) hadits bagi para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yakni Al Albani dalam kitab sifat sholat Nabi halaman 158-159 menyampaikan sebuah hadits,
“Beliau (shallallahu alaihi wasallam) mengangkat jarinya (dan) menggerak-gerakkannya seraya berdo’a. Beliau bersabda; ‘Itu yakni jari sungguh lebih berat atau lebih keras bagi setan daripada besi’ ”.
Berikut kutipan kajian terhadap apa yang disampaikan oleh Al Albani tersebut yang bersumber dari http://www.sarkub.com/tidak-menggerak-gerakkan-jari-telunjuk-ketika-tasyahud
***** awal kutipan ******
Padahal redaksi hadits yang sebenarnya tidak seperti yang disebutkan oleh Syeikh tersebut.
Syeikh ini telah menyusun dua hadits yang berbeda dengan menyusupkan kata-kata yang sebenarnya bukan dari hadits, supaya dia mencapai kesimpulan yang dikehendakinya.
Redaksi hadits yang sebenarnya ialah seperti yang terdapat dalam Al-Musnad II:119, Al-Du’a karangan Imam Thabarani II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272 dan kitab hadits lainnya yang berbunyi:
“Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar ra., jika (melakukan) sholat ber- isyarat dengan (salah satu) jarinya lalu diikuti oleh matanya, seraya berkata, Rasullah shallallahu alaihi wasallam bersabda; ‘Sungguh itu lebih berat bagi setan daripada besi’ “. Jadi dalam hadits tersebut tidak di sebutkan kata-kata Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat dengan jarinya’.
Tetapi Syeikh ini telah berani melakukan penyelewengan terhadap hadits (tahrif) sehingga dia mendapatkan apa yang dikehendaki meski pun dengan tadlis (menipu) dan tablis (menimbulkan keraguan pada umat Islam).
Al-Bazzar berkata; “Katsir bin Zaid meriwayatkan secara sendirian (tafarrud) dari Nafi’, dan tidak ada riwayat (yang diriwayatkan Katsir ini) dari Nafi’ kecuali hadits ini”.
Padahal Syeikh ini sendiri di kitab yang lain, Shohihah-nya IV:328 mengatakan; ‘Saya berkata, Katsir bin Zaid adalah Al-Aslami yang dha’if atau lemah’!
Hadits yang menyebutkan, ‘Sungguh ia (jari) itu lebih berat bagi setan daripada besi’, sebenarnya tidak shohih dan ciri kelemahannya itu setan atau iblis itu tidak bodoh sampai mau meletakkan kepalanya dibawah jari orang yang menggerak-gerakkannya sehingga setan itu terpukul dan terpental. Orang yang mengatakan bahwa ungkapan semacam itu dhahir maka dia salah dan tidak memahami ta’wil.
Sedangkan riwayat Abdullah bin Zubair yang memuat kata-kata La Yuharrikuha (tidak menggerak-gerakkannya) itu adalah tsabit (kuat) tidak dinilai syadz dan hadits shohih lainnya pun menguatkannya seperti hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar ra. dan lain-lain.
***** akhir kutipan ******
Berikut pendapat ulama panutan mereka Muqbil bin Hadi yang bersumber dari http://al-muwahhidun.blogspot.co.id/2010/04/syazkah-hadis-menggerak-gerakkan-jari.html
***** awal kutipan ******
Syeikh Muqbil bin Hadi al-Wad’iy dalam risalahnya البشارة في شذوذ تحريك الإصبع في التشهد و ثبوت الإشارة mengupas panjang lebar tentang syaz atau keganjilan hadis menggerak gerakkan telunjuk yang diriwayatkan oleh Zaidah bin Qudamah, dinilai menyelisihi periwayatan 22 orang perawi yang meriwayatkan hadis serupa dari jalur Ashim bin Kulaib dan mereka tidak menyebutkan kalimat “menggerak-gerakkan telunjuk”. Sementara itu, Syeikh Ahmad al-Ghumari dalam kitab Takhrij Hadits Bidayatul Mujtahid (hal. 137-140) menyebutkan 6 orang perawi yang meriwayatkan hadis dari ‘Ashim bin Kulaib tanpa ada tambahan kalimat “menggerak-gerakkan telunjuk”. Sehingga Syeikh Muqbil dan Syeikh Ahmad al-Ghumari menilai bahawa hadis menggerak-gerakkan telunjuk ini adalah Syadz (ganjil) karena hanya Zaidah bin Qudamah yang meriwayatkan hadis tersebut dengan tambahan “menggerak-gerakkan telunjuk”. Inilah alasan bagi para pengikut Syeikh Muqbil bin Hadi al-Wad’iy untuk tidak menggerak-gerakkan telunjuknya ketika tasyahud, disamping alasan bahawa Isyarat yang disebutkan dalam hadis pertama diatas adalah isyarat tanpa gerakan.
***** akhir kutipan ******
Begitupula sebuah kajian pada http://www.youtube.com/watch?v=fI80RS5k45E pada menit 13:57 menyimpulkan bahwa ulama hadits dalam hal ini memandang mengangkat tanpa menggerakkan lebih kuat daripada mengangkat dengan menggerakkan.
Salah satu alasannya adalah hadits tentang menggerakkan yang diriwayatkan oleh Ziyadah bin Qudamah dari Wa’il bin Hujr, dari 12 hadits itu , itu cuma satu orang yang menyebutkan menggerakkan tangannya. Sementara 11 orang lain yang meriwayatkan hadits yang sama itu mengatakan tidak ada tambahan di hadits itu menggunakan kata Yuharrikuha, tidak ada tambahan menggerak-gerakkan. Jadi ada 12 orang meriwayatkan dari orang yang sama 11 orang mengatakan nggak ada tambahan menggerak-gerakan yang satu mengatakan digerak-gerakan. Kalau 11 berbanding dengan 1, kira-kira yang lebih kuat yang mana ?
Para ulama mengatakan jika ada satu riwayat bertentangan dengan banyak yang tsiqoh maka yang ini ditinggalkan. Ditinggalkan itu maksudnya dianggap lemah.
Alasan lainnya kata Yuharrikuha bukan dimaknai menggerak-gerakan secara berulang akan tetapi mengangkat jari telunjuk saja.
Begitupula dalam video tersebut disampaikan bahwa kaidah ushul fiqih menyebutkan sesuatu yang jelas tanpa ditafsirkan itu lebih kuat dibandingkan sesuatu mesti ada penafsiran bagaimana cara Rasulullah menggerak-gerakkannya.
Pada akhir video dikatakan bahwa tidak ada hubungannya mengerak-gerakan dengan mengusir setan
Memang ada yang berdalil dengan hadits dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa: “Menggerak-gerakkan telunjuk diwaktu shalat dapat menakut-nakuti setan”. Ini hadits dho’if karena hanya di riwayatkan seorang diri oleh Muhammad bin Umar al-Waqidi ( Al-Majmu’ III/454 dan Al-Minhajul Mubin hal.35).
Ibn ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247; “Menggerak-gerakkan jari (telunjuk) dalam sholat dapat menakut-nakuti setan” adalah hadits maudhu’
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra.; “Jika Rasulallahshallallahu alaihi wasallam. duduk dalam tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya diatas lututnya yang kiri, dan meletakkan tangan kanannya pada lutut yang kanan, seraya membuat (angka) lima puluh tiga sambil berisyarat dengan telunjuknya”. (HR. Imam Muslim dalam Shohih-nya I/408).
Yang dimaksud dengan lima puluh tiga dalam hadits itu ialah menggenggam tiga jari (jari tengah, jari manis dan kelingking) itulah angka tiga. Sedangkan jari telunjuk dan ibu jari di julurkan sehingga membentuk semacam lingkaran bundar yang mirip angka lima (angka bahasa arab), dengan demikian menjadilah semacam angka lima puluh tiga.
Dalam satu riwayat seperti yang diriwayatkan Imam Muslim I/408 dari Ali bin Abdurrahman Al-Mu’awi, dia mengatakan; “Abdullah bin Umar ra. melihat aku bermain-main dengan kerikil dalam sholat. Setelah berpaling (selesai sholat), beliau melarangku, seraya berkata; ‘Lakukanlah seperti apa yang dilakukan oleh Rasulallah itu’. Dia berkata; ‘Jika Rasulallahshallallahu alaihi wasallam. duduk dalam sholat beliau meletakkan tangan kanannya pada paha kanannya seraya menggenggam semua jemarinya, dan mengisyaratkan (menunjukkan) jari yang dekat ibu jarinya ke kiblat. Beliau juga meletakkan tangan kirinya diatas paha kirinya’ ”Al-Isyarah (mengisyaratkan) itu menunjukkan tidak adanya (perintah) menggerak-gerakkan, bahkan meniadakannya untuk tahrik.
Diriwayatkan dari Numair Al-Khuzai seorang yang tsiqah dan salah seorang anak dari sahabat ; “Aku melihat Rasulallahshallallahu alaihi wasallam. meletakkan dzira’nya [tangan dari siku sampai keujung jari] yang kanan diatas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya dan mem- bengkokkannya [mengelukkannya] sedikit”. (HR.Ahmad III:471 ; Abu Dawud I:260 ; Nasa’i III:39 ; Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:354 dan penshohihannya itu ditetapkan oleh Ibn Hajar dalam Al-Ishabah no.8807 ; Ibn Hibban dalam As-Shohih V:273 ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra II:131 serta perawi lainnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Zubair bahwa “Rasulallahshallallahu alaihi wasallam. berisyarat dengan telunjuk dan beliau tidak menggerak-gerakkannya dan pandangan beliau pun tidak melampaui isyaratnya itu” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban). Hadits ini merupakan hadits yang shohih sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jilid III:454 dan oleh sayyid Umar Barokat dalam Faidhul Ilaahil Maalik jilid 1:125.
Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Zubair ra. bahwa “Rasulallahshallallahu alaihi wasallam.berisyarat dengan jarinya (jari telunjuknya) jika berdo’a dan tidak menggerak-gerakkannya”. (HR.Abu ‘Awanah dalam shohihnya II:226 ; Abu Dawud I:260 ; Imam Nasa’i III:38 ; Baihaqi II:132 ; Baihaqi dalam syarh As-Sunnah III:178 dengan isnad shohih).
Ada pun hadits yang menyebutkan Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) itu tidak kuat (laa tatsbut) dan merupakan riwayat syadz (yang aneh). Karena hadits mengenai tasyahhud dengan mengisyaratkan (menunjukkan) telunjuk itu serta meniadakan tahrik adalah riwayat yang sharih (terang-terangan) dan diriwayatkan oleh sebelas rawi tsiqah dan kesemuanya tidak menyebutkan adanya tahrik tersebut.
Seseorang yang mengaku bahwa mutsbat (yang mengatakan ada) itu harus didahulukan (muqaddam) atas yang menafikan / meniadakannya, maka orang tersebut tidak memahami ilmu ushul. Karena kaidah ushul itu mempunyai kelengkapan yang tidak sesuai untuk dipakai dalam masalah itu.
Hadits-hadits lainnya yang tidak menyebutkan adanya menggerak-gerakkan jari telunjuk itu menguatkan keterangan dari hadits yang menafikannya.
Dalam kitab Syarqawi 1/210: “Mengangkat telunjuk itu adalah dengan tanpa tahrik. Telah datang pula hadits yang menunjuk adanya tahrik. Namun dalam kasus ini yang menafikan didahulukan dari yang menetapkan. Berbeda dengan kaidah ushul Fiqih (bahwa yang menetapkan didahulu- kan dari yang menafikan). Hal ini karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan mentahrik itu yakni; ‘Bahwa yang dituntut dalam sholat adalah tidak bergerak karena bergerak-gerak dapat menghilangkan kekhusyu’an dan juga tahrik itu adalah sejenis perbuatan yang tidak ada gunanya dan sholat haruslah terpelihara dari hal tersebut selama itu memungkinkan. Oleh karena itu ada pendapat yang membatalkan shalat karena melakukan tahrik walau pun pendapat ini dho’if”
Contoh penerapan yang tepat dari kaidah ushul fiqih “ Yang menetapkan ada didahulukan atas yang meniadakan “ adalah dalam perkara hukum mengucapkan Bismillah dalam shalat karena tidak mengucapkannya akan membatalkan shalat atau dalam perkara membaca qunut ketika sholat Subuh banyak nash yang menjelaskan dan menetapkan bahwa Rasulullah membacanya dan yang ditinggalkan adalah qunut dengan melaknat
Imam Ishak bin Rahuwiyah pernah ditanya tentang seseorang yang meninggalkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Maka dia menjawab; “Siapa yang meninggalkan ba’, atau sin, atau mim dari basmalah, maka shalatnya batal, karena Al-hamdu (Al-Fatihah) itu tujuh ayat”. (Hal ini akan ditemukan pada kitab Sayr A’lam Al-Nubmala’ [XI:369] karangan Ad-Dzahabi).
Diriwayatkan dari Ummu Salamah ra. bahwa, “Rasulallah shallallahu alaihi wasallam membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim dalamn shalat, dan beliau menganggapnya sebagai satu ayat…”. (HR.Abu Dawud dalam as-Sunan [IV:37], Imam Daraquthni [I:307], Imam Hakim [II:231], Imam Baihaqi [II:44] dan lain-lainnya dengan isnad shahih).
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah [ra] serta yang lainnya: “ Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menjaharkan (bacaan) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim”. (Hadits dari Ibnu ‘Abbas, diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar [I:255]; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra [II:47] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:308] dan lain-lainnya ; Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid [II:109] mengatakan, hadits tersebut di riwayatkan oleh Al-Bazzar dan rijal-nya mautsuuquun (terpercaya)
Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al-Mujmir seorang Imam, Faqih, terpercaya termasuk periwayat hadits Shohih Enam sempat bergaul dengan Abu Hurairah ra. selama 20 tahun : “Aku melakukan sholat dibelakang Abu Hurairah ra., maka dia membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim lalu dia membaca Ummu Alqur’an hingga sampai kepada Wa laadh dhaalliin kemudian dia mengatakan amin. Dan orang-orang pun mengucapkan amin. Setiap (akan) sujud ia mengucapkan Allahu Akbar. Dan apabila bangun dari duduk dia meng ucapkan Allahu Akbar. Dan jika bersalam (mengucapkan assalamu‘alaikum). Dia kemudian mengatakan, ‘Demi Tuhan yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku orang yang lebih mirip shalatnya dengan Rasulallah shallallahu alaihi wasallam daripada kalian”. (Imam Nasa’i dalam As-Sunan II:134; Imam Bukhori mengisyaratkannya hadits tersebut dalam shahihnya [II:266 dalam Al-Fath] ; Ibnu Hibban dalam shohihnya [V:100] ; Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:251 ; Ibn Al-Jarud dalam Muntaqa halaman 184 ;Al-Daraquthni [I:300] mengatakan semua perawinya tsiqah ; Hakim dalam Al-Mustadrak [I:232] ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan [II:58] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:371] dan mengatakan isnadnya shahih. Dan hadits itu dishahihkan oleh sejumlah para penghafal hadits seperti Imam Nawawi, Ibn Hajar dalam Al-Fath [II:267] bahkan dia mengatakan bahwa Imam Nawawi membuat bab khusus ‘Menjaharkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim’, itulah hadits yang paling shahih mengenai hal tersebut)
Perkataan orang yang menyebutkan bahwa Rasulallah shallallahu alaihi wasallam. kadang-kadang melirihkan dan kadang-kadang menjaharkan (bacaan basmalah), itu tidak benar. Karena mereka juga berdalil dengan hadits-hadits mu’allal yang ditolak. Bahkan sebagiannya hanya disimpulkan dari hasil pemahaman (al-mafhum) yang berlawanan dengan hadits al-manthuq, yang jelas menyatakan adanya menjahar bacaan basmalah. Sedangkan yang manthuq itu harus didahulukan atas yang mafhum, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih.
Ada pun hadits Anas ra. yang antara lain mengatakan: “Aku melakukan shalat dibelakang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam., Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Mereka membuka (bacaan Alquran) dengan Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan mereka tidak menyebut (membaca) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim baik di awal pembacaannya mau pun di akhirnya”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka aku tidak mendengar salah satu di antara mereka membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, yang diriwayatkan Imam Muslim dalam shohih-nya [I:299 no.50 dan 52].
Hadits tersebut mu’allal (hadits yang mempunyai banyak ‘ilat atau yang menurunkannya dari derajat shohih). Diantara ‘ilat atau penyakit yang melemahkan derajat hadits itu adalah, ungkapan terakhir dalam hadits tersebut ‘Mereka tidak menyebut atau membaca Bismillah’. Sebenarnya itu bukan dari perkataan (hadits) Anas, tetapi hanya perkataan salah seorang perawi yang memahami kata-kata Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan tidak bermaksud untuk meniadakan basmalah dari Al-Fatihah.
Di dalam Buku Tafsirnya, Buya Hamka membahas masalah Jahr dan Sirr ini secara panjang lebar pada halaman 122-131 (10 halaman).
****** awal kutipan *****
Dalil-dalil golongan yang memilih (Madzhab) jahar.
Hadis 1, (Hadis fi’li). Dirawikan oleh jama’ah dari pada sahabat-sahabat, di antaranya Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, Samurah bin Jundab dan isteri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Ummu Salmah. Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam men-jahar-kan membaca Bismillahir Rahmanir Rahim.
Hadis fi’li adalah hadis yang menceritakan perbuatan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam
Hadis 2, (bukan Hadis Nabi tetapi Atsar sahabat). Ada pula satu riwayat dari Na’im bin Abdullah Al-Mujmar. Dia berkata: “Aku telah sembahyang di belakang Abu Hurairah. Aku dengar dia membaca Bismillahir Rahmanir Rahim, setelah itu dibacanya pula Ummul Qur’an.
Setelah selesai sembahyang diapun, mengucapkan salam lalu berkata kepada kami: “Sesungguhnya akulah yang lebih mirip sembahyangku dengan sembahyang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Hadits ini dirawikan oleh An-Nasai dan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya. Lalu disambungnya; “Adapun jahar Bismillahir Rahmanir Rahim itu maka sesungguhnya telah tsabit dan sah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam
Hadits ini dirawikan pula oleh Ibnu Hibbaan dan Al-Hakim atas syarat Bukhari dan Muslim. Dan berkata Al-Baihaqi: ‘Shahih isnad-nya”.
Hadis 3, (Hadis fi’li). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi senantiasa memulai sembahyangnya dengan men-jahar-kan Bismillah.
Tentang ini ada riwayat dari Ad-Daruquthni, dan ada juga riwayat dari Al-Hakim.
Adapun yang me-NAFI-kan Jahar dan yang memandang lebih baik SIRR saja, mereka berpegang pula kepada Hadits:
Hadis 4, (Bukan Hadis Nabi tetapi Hadis sahabat). “Dari pada Ibnu Abdullah bin Maghfal: “Aku dengar ayahku berkata; padahal aku membaca Bismillahir Rahmanir Rahim. Kata ayahku: “Hai anakku. Sekali-kali jangan engkau mengada-ada. Dan kata Ibnu Abdullah tentang ayahnya itu:
“Tidak ada aku melihat sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan bersama Abubakar, bersama Umar dan bersama Utsman, maka tidaklah pernah aku mendengar seorangpun di antara mereka membaca. Sebab itu janganlah engkau baca akan dia. Kalau engkau membaca, maka baca sajalah Alhamdulillahi Rabbil Alamin”. (Dirawikan oleh yang berlima, kecuali Abu Daud). Hadits ini di Hasankan oleh At-Turmudzi.
Definisi Hadis Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani adalah : “Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hapalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung cacat, dan tidak janggal.”
Kemudian Hamka menguraikan kelemahan Hadis ini sebagai berikut:
Hadits inipun diperkajikan orang karena Al-Jariri merawikannya seorang diri, dan setelah tua, fikirannya kacau, sebab itu Hadits yang dirawikannya diragukan. Kemudian Abdullah bin Maghfal, yang jadi sumber pertama Hadits ini. Setengah ahli Hadits mengatakan bahwa dia itu Majhul (seorang yang tidak dikenal).
Kontroversi Hadis Anas bin Malik r.a.
Anas bin Malik r.a. adalah pelayan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam selama 10 tahun dan juga sahabat Nabi yang banyak meriwayatkan Hadis. Beliau meriwayatkan masalah Bismillah ini di 2 Hadis yang saling bertentangan
(1) Hadis Anas r.a. yang men-jahar-kan :
Hadis 5, (Hadis fi’li). “Ditanyakan orang kepada Anas, bagaimanakah bacaan Nabi shallallahu alaihi wasallam maka diapun menjawab: “Bacaan Nabi adalah panjang”
Kemudian beliau baca Bismillahir Rahmanir Rahim; dipanjangkannya pada Bismillah dan dipanjangkannya pula pada Ar-Rahman, dan Ar-Rahim” (Dirawikan oleh Bukhari).
Menurut pendapat yang menjahar : tidak mungkin Anas berkata sejelas itu kalau tidak didengarnya.
(2) Hadis Anas r.a. yang men-sirr-kan.
Hadis 6, (Hadis fi’li). “Dari pada Anas bin Malik, berkata dia: “Aku telah sembahyang bersama Rasululah shallallahu alaihi wasallam, Abubakar, Umar dan Utsman, maka tidaklah saya mendengar seorangpun dari pada mereka yang membaca Bismillahir Rahmanir Rahim”. (Dirawikan oleh Ahmad dan Muslim).
Karena kontroversi ini maka ditanyakan kepada Anas r.a. diwaktu beliau sudah tua sebagai berikut:
Hadis 7, (Bukan Hadis Nabi tetapi Hadis Sahabat). Hadits yang dirawikan oleh Ad-Daruquthni dari Abi Salmah, demikian bunyinya. “Aku telah tanyakan kepada Anas bin Malik, apakah ada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membuka sembahyang dengan Alhamdulillah, atau dengan Bismillahi Rahmanir Rahim? Beliau menjawab: “Engkau telah menanyakan kepadaku satu soal yang aku tidak ingat lagi, dan belum pernah orang lain menanyakan soal itu kepadaku sebelum engkau”. Lalu saya tanyakan pula: “Apakah ada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sembahyang dengan memakai sepasang terompah; Beliau jawab: “Memang ada!”.
Setelah membahasnya secara panjang lebar (10 halaman), Hamka menyimpulkan:
(1) Kedua pihak yang men-jahar-kan dan men-sirr-kan tidak membawa Hadis qauli (dimana Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menyuruh membaca atau tidak membaca Bismillah) melainkan hanya Hadis fi’li (menyaksikan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan/atau sahabat membaca / tidak membaca Bismillah), atau bukan Hadis Nabi melainkan Hadis Sahabat saja.
(2) Karena Hadis Anas bin Malik r.a. adalah Hadis Sahih yang kontroversi maka dipakai Qaidah Ushul Fiqh dan Ilmu Hadits bahwa :
“Yang menetapkan lebih didahulukan dari pada yang menidakkan (meniadakan)”.
(3) Maka sandaran pihak yang men-sirr-kan tinggal Hadis Sahabat saja (Hadis nomor 7).
Akhirnya Hamka menganggap bahwa yang dalilnya lebih kuat adalah dari pihak yang men- j-a-h-a-r-kan Bismillah.
**** akhir kutipan ****
Contoh lainnya dalam perkara membaca qunut ketika sholat Subuh banyak nash yang menjelaskan dan menetapkan bahwa Rasulullah membacanya dan yang ditinggalkan adalah qunut dengan melaknat
Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bila bangun dari ruku’-nya pada shalat shubuh di rakaat kedua, beliau mengangkat kedua tanggannya dan berdoa: Allahummahdini fii man hadait…dan seterusnya.” (HR Al-Hakim dan dishahihkan)
Dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajari kami doa untuk dibaca dalam qunut pada shalat shubuh. (HR Al-Baihaqi)
Dengan adanya beberapa hadits ini, maka para ulama salaf seperti Imam Asy-Syafi’i, Al-Qasim, Zaid bin Ali dan lainnya mengatakan bahwa melakukan doa qunut pada shalat shubuh adalah sunnah.
Tersebut dalam Al majmu’ syarah muhazzab jilid III/504 sebagai berikut :“Dalam madzab Imam Syafi’i disunnatkan qunut pada waktu shalat subuh baik ketika turun bencana atau tidak. Dengan hukum inilah berpegang mayoritas ulama salaf dan orang-orang yang sesudah mereka. Dan diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar as-shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin affan, Ali bin abi thalib, Ibnu abbas, Barra’ bin Azib – semoga Allah meridhoi mereka semua. Ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih. Banyak pula orang tabi’in dan yang sesudah mereka berpendapat demikian. Inilah madzabnya Ibnu Abi Laila, Hasan bin Shalih, Malik dan Daud.”
Dalam kitab al-umm jilid I/205 disebutkan bahwa Imam Syafi’i berkata :“Tidak ada qunut pada shalat lima waktu selain shalat subuh. Kecuali jika terjadi bencana, maka boleh qunut pada semua shalat jika imam menyukai”.
Imam Jalaluddin al-Mahalli berkata dalam kitab Al-Mahalli jilid I/157 :“Disunnahkan qunut pada I’tidal rekaat kedua dari shalat subuh dan dia adalah “Allahummahdinii fiman hadait….hingga akhirnya”.Demikian keputusan hukum tentang qunut subuh dalam madzab Imam Syafi’i.
Ada orang yg berpendapat bahawa Nabi shallallahu alaihi wasallam melakukan qunut satu bulan saja berdasarkan hadith berikut,
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Abdurrahman telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Qatadah dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan doa qunut selama sebulan, beliau mendo’akan kebinasaan terhadap sejumlah penduduk dusun arab, setelah itu beliau meninggalkannya. (HR Muslim 1092)
Hadits tersebut kita akui sebagi hadits yang sahih dan terdapat dalam kitab Bukhari dan Muslim. Akan tetapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah kata “thumma tarakahu” tidak cukup dipahami dengan arti bahasa saja yakni “setelah itu beliau meninggalkannya”
Apakah yang ditinggalkan oleh Nabi itu ?
Untuk menjawab permasalahan ini marilah kita perhatikan baik-baik penjelasan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jld.3, hlm.505 maksudnya: “Adapun jawaban terhadap hadits Anas dan Abi Hurairah r.a dalam ucapannya dengan (thumma tarakahu) maka maksudnya adalah meninggalkan doa melaknat kepada orang-orang kafir itu saja. Bukan meninggalkan seluruh qunut atau meninggalkan qunut pada selain subuh. Pentafsiran seperti ini mesti dilakukan karena hadits Anas di kesempatan yang lain adalah ’sentiasa Nabi qunut di dalam solat subuh sehingga beliau meninggal dunia’ adalah shahih lagi jelas maka wajiblah menggabungkan di antara kedua-duanya.”
Imam Baihaqi meriwayatkan dan Abdur Rahman bin Madiyyil, bahwasanya beliau berkata, maksudnya: “Hanyalah yang ditinggalkan oleh Nabi itu adalah melaknat.” Tambahan lagi pentafsiran seperti ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairah ra yang berbunyi, maksudnya: “Kemudian Nabi menghentikan doa kecelakaan ke atas mereka.”Dengan demikian dapatlah dibuat kesimpulan bahwa qunut Nabi yang satu bulan itu adalah qunut nazilah dan qunut inilah yg ditinggalkan, bukan qunut pada waktu sholat subuh.
Perbedaan pendapat yang boleh dan dapat diterima adalah perbedaan pendapat yang bersifat furu’iyyah di antara ahli istidlal seperti perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat
Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal atau orang awam adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak
Oleh karenanya kita mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
“Jika ia benar mendapat dua pahala, jika salah hanya mendapat satu pahala” hanyalah berlaku untuk ahli istidlal yang dipunyai para fuqaha, yakni ulama yang faqih dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Adapun orang yang bukan ahli istidlal lantas berpendapat dan menghukumi, dia tidak dapat pahala. Ia justru berdosa karena bukan ahlinya.
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (12/13), Para ulama’ berkata: ”Telah menjadi ijma’ bahwa hadits ini adalah untuk hakim yang alim dan ahli hukum, jika keputusannya benar maka dia mendapat 2 (dua) pahala yaitu pahala ijtihadnya dan pahala benarnya, jika salah maka dapat satu pahala yaitu pahala ijtihadnya saja”
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam menjelaskan hadits ini: “(Beliau) mengisyaratkan bahwa tidaklah mesti – disaat ditolak hukumnya atau fatwanya lantaran berijtihad lalu keliru – maka dia mendapat dosa dengan (kesalahan) tersebut. Akan tetapi apabila dia telah mengerahkan kemampuannya, maka ia mendapat pahala, jika (hukumnya) benar, maka digandakan pahalanya. Namun apabila dia menetapkan hukum atau berfatwa dengan tanpa ilmu maka dia mendapat dosa.” (Fathul Bari: 13/331)
Ibnul-Mundzir rahimahullahu berkata : “Seorang hakim yang keliru hanyalah diberi pahala jika ia seorang yang ‘aalim terhadap metodologi ijtihad, lalu melakukan ijtihad. Jika ia bukan seorang yang ‘aalim, tidak diberikan pahala”. Ia berdalil dengan hadits tiga golongan qaadliy dimana padanya disebutkan dua golongan yang masuk neraka: “Qaadliy (hakim) yang memutuskan perkara bukan berdasarkan kebenaran, maka ia masuk neraka. Dan qaadliy (hakim) yang memutuskan perkara dalam keadaan ia tidak mengetahui (ilmunya), maka ia pun masuk neraka”.
Begitupula hal yang perlu diketahui bahwa ahli hadits berbeda dengan para fuqaha.
Ahli hadits tidak berhak untuk bertindak sebagai fuqaha. Oleh karenanya tidak ditemukan penisbatan nama mazhab kepada nama seorang ahli hadits.
Ahli hadits hanyalah menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya kemudian mengumpulkan, meneliti dan menyampaikan dalam kitab-kitab hadits atau menyusunnya berdasarkan nama perawi sehingga menjadi kitab-kitab musnad atau menyusunnya berdasarkan klasifikasi masalah sehingga menjadi kitab-kitab sunan.
Contoh perbedaan di antara dua Ibnu Hajar yakni Ibnu Hajar Al ‘Asqalani adalah ahli hadits dari mazhab Syafi’i sedangkan Ibnu Hajar al-Haitami adalah seorang fuqaha dari mazhab Syafi’i sehingga berhak berpendapat atau berfatwa.
Ibnu Hajar al-Haitami, sebelum umur 20 tahun, Beliau sudah diminta para gurunya untuk mengajar dan memberi fatwa di Mesir. Beliau berhak berfatwa karena menguasai berbagai ilmu antara lain tafsir, hadis, ilmu kalam, fikih, ushul fiqh, ilmu waris, ilmu hisab, nahwu, sharaf, ilmu ma’ani, ilmu bayan, ilmu manthiq dan lain lain.
Oleh karenanya tidak ditemukan kitab cara sholat berdasarkan pemahaman ahli hadits sekaliber Imam Bukhari maupun Imam Muslim.
Ulama panutan mereka, Al Albani menamakan kitabnya “Sifat sholat Nabi” namun ironisnya belum mengenal dengan baik kemuliaan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Salah satu bukti belum mengenal dengan baik kemuliaan Rasulullah akibat ulama panutan mereka, Al Albani mengikuti paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yakni selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir adalah mereka memfatwakan bahwa Rasulullah sesat sebelum turunnya wahyu sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/05/22/fatwa-rasulullah-sesat/
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/21/perbedaan-adalah-rahmat/
Walaupun Imam Mazhab yang empat tidak maksum namun mereka diakui oleh jumhur ulama sejak dahulu kala , berkompetensi sebagai mujtahid mutlak atau mufti mustaqil sehingga patut untuk dijadikan pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat bagi kaum muslim.
Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah
Jadi bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh
Memang ada mazhab selain yang empat, namun pada masa sekarang sudah sulit ditemukan ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari imam mazhab selain yang empat sehingga tidak mudah untuk menjadikannya tempat bertanya.
Sebagaimana pepatah mengatakan “malu bertanya sesat di jalan” maka kesesatan dapat timbul dari keengganan untuk bertanya kepada orang-orang yang dianugerahi karunia hikmah oleh Allah Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah sebagai seorang penunjuk
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf [7]:43)
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah, penunjuk para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat.
Mereka yang meninggalkan Imam Mazhab yang empat salah satunya karena mereka salah memahami potongan perkataan Al-Imam Al-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Mereka yang meninggalkan Imam Mazhab yang empat ada pula yang termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) dengan potongan perkataan Imam Syaukani yang berkata:
“Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)”.
Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkatan mujtahid mutlak
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
Ada seseorang bertanya kepada Albani: “Apakah anda ahli hadits (muhaddits)?”
Albani menjawab: “Ya!”
Ia bertanya: “Tolong riwayatkan 10 hadits kepada saya beserta sanadnya!”
Albani menjawab: “Saya bukan ahli hadits penghafal, saya ahli hadits kitab.”
Orang tadi berkata: “Saya juga bisa kalau menyampaikan hadits ada kitabnya.”
Lalu Albani terdiam
(dari Syaikh Abdullah al-Harari dalam Tabyin Dlalalat Albani 6)
Ini menunjukkan bahwa Albani adalah ahli hadits dalam arti ahli membaca hadits
Albani adalah shahafi atau otodidak ketika mendalami hadits dan ia sendiri mengaku bukan penghafal hadits.
Dalam ilmu Musthalah Hadits jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status haditsnya adalah dlaif, bukan perawi sahih
Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh Albani yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadits) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan.
Jadi Al Albani adalah contoh ahli hadits dalam arti ahli membaca hadits bukan ahli hadits dalam arti sebenarnya yakni menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya secara turun temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah.
Mereka sendiri yang menyatakan bahwa ulama panutan mereka yakni Al Albani sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan alias mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sebagaimana contoh informasi pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan.
***** akhir kutipan *****
Dalam buku yang diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsary, berjudul “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany Dalam Kenangan” pada halaman 147 tercantum pujian bagi Al Albani sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” sebagaiamana yang dapat dibaca pada http://drive.google.com/file/d/0Bz1Iv5iVVJceODQzZTQ1ZWQtYzRhMC00MDMyLWIxODctNGZjMjU1MDAxNWY5/view?ddrp=1&hl=en
Ibnu Taimiyyah adalah seorang ulama yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Perhatikanlah kitab-kitab Muhammad bin Abdul Wahhab maupun Ibnu Taimiyyah pada umumnya mereka tidak merujuk kepada pendapat mazhab yang empat melainkan pendapat atau fatwa mereka sendiri secara otodidak (shahafi)
Walaupun pada awalnya Muhammad bin Abdul Wahhab mendalami ilmu agama dengan berguru pada guru yang mumpuni namun pada akhirnya beliau lebih banyak mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) menduplikati (meneladani) Ibnu Taimiyyah sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Jadi pada kenyataannya, mereka yang menisbatkan sebagai SALAFI atau merasa (mengaku-ngaku) mengikuti manhaj (mazhab) Salafush Sholeh atau mereka merasa (mengaku-ngaku) mengikuti pemahaman Salafush Sholeh adalah mereka yang berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri.
Rasulullah bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Dalam sabda Rasulullah di atas telah ditegaskan bahwa mereka yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) hanyalah mereka yang “merasa benar” sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/05/20/firqah-merasa-benar/
Rasulullah telah bersabda bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah diambilnya ilmu agama dari al ashaaghir yakni orang-orang yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama
Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan pertanyaan, “Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?”, menjawabnya bahwa “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203.
Jadi pengikut syaitan atau wali syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha
Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha.
Piihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat (teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) atau ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar