Mereka menganggap Rasulullah keliru dan tidak mentaati perintah membunuh tawanan perang
Kami mendapatkan sebuah link video dari http://www.youtube.com/watch?v=_Kd1ptKjceg
Berikut kutipan transkrip dari video tersebut yang berisikan ceramah ulama panutan mereka , Firanda yang berpendapat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam keliru dan ditegur oleh Allah Ta’ala karena menyelisihi usulan atau pendapat dari Sayyidina Umar radhiyallahuanhu sehingga secara tidak langsung mereka menganggap Rasulullah tidak mentaati perintah Allah untuk membunuh semua tawanan perang.
****** awal kutipan ******
Bahkan terkadang Nabi keliru, Umar yang benar, seperti tatkala kisah perang Badar.
Umar waktu ditanya oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, bagaimana tentang tawanan-tawanan perang Badar.
Umar punya ide, begini saja kata Umar, orang yang paling dekat, datang bunuh sembelih, misalnya dia mengatakan yang sepupu, jadi kalau ada sepupunya ditawan di perang badar maka sepupunya dari kaum muslimin bunuh langsung sepupunya dari orang kafir, jadi menunjukkan bahwasanya Islam telah memisahkan antara karib kerabat. Jadi Islam bisa memisahkan antara kakak dan adiknya, antara ayah dan anaknya.
Umar punya ide yang sangat sangar , kata Umar , jangan bunuh sembarang orang, yang bunuh kerabatnya, biar tahu bahwa Islam adalah pembeda.
Namun Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak setuju dengan ide Umar ini.
Nabi ingin agar ada tawanan-tawanan tersebut ditebus, ditebus oleh orang-orang kafir maka ide ini dijalankan dan ide ini disetujui oleh Abu Bakar radhiyallahuanhu , maka akhirnya tawanan-tawanan perang tersebut tidak jadi dibunuh tetapi barangsiapa yang ingin menebus maka silahkan. maka datanglah orang-orang kafir , orang musyrikin Arab dari Mekah, kemudian mereka menebus tawanan-tawanan perang tersebut dengan uang.
Ternyata setelah itu Allah menegur Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam surat Al Anfal saya lupa ayatnya.
Intinya, kemudian Abu Bakar dan Nabi menangis, Nabi shallallahu alaihi wasallam menangis dan Abu Bakar radhiyallahuanhu menangis, ternyata ijtihadnya Nabi dan Abu Bakar keliru yang benar ijtihadnya Umar.
****** akhir kutipan ******
Ayat yang “terlupakan” oleh ustadz mereka adalah
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sehingga ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS Al-Anfal [8] : 67).
“Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. ” (QS Al-Anfal [8] : 68)
(QS Al-Anfal [8] : 67-68 ) bukanlah teguran (‘itab) Allah kepada Rasulullah karena Beliau tidak menyetujui usulannya Sayyidina Umar radhiyallahuanhu untuk membunuh semua tawanan perang.
Ayat (QS Al-Anfal [8] : 67) mengingatkan bahwa harta rampasan dan tawanan perang ditetapkan setelah musuh lumpuh sepenuhnya.
Kita tahu bahwa kaum muslimin melawan sekitar 900-1000 bala tentera kaum kuffar dan membunuh lebih kurang 70 orang daripada mereka. 73 orang ditawan manakala yang lain melarikan diri.
Kerugian dan angka korban kafir Quraish ketika itu hanyalah sekitar 14-15%.
Dua Ayat tersebut menyentuh kata أَثْخَنْتُمُوهُمْ / يُثْخِنَ. Asal kata ini adalah dari wazan اثخن yakni melemahkan, mengalahkan, melumpuhkan.
Perhatikan ayat tersebut ;
حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ
Sehingga ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi (QS Al-Anfal [8] : 67).
Dan kaitannya dengan ayat yang lain
حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ –
Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka (QS Muhammad [47] : 4)
Jadi, mafhum dari kedua ayat tersebut adalah, jika kekuatan musuh telah lumpuh, tidak mampu lagi kaum kafir untuk melawan kaum muslimin maka ketika itulah dilakukan penawanan.
Bukanlah maksud di dalam sesuatu peperangan(mu’ariqah) itu dibunuh semuanya musuh namun cukuplah dengan pembunuhan terhadap sebahagian besar musuh sehingga tidak ada ruang lagi untuk mereka melawan.
Dengan kata lain, tidak ada penawanan sebelum musuh dinyatakan kalah. Inilah yang dimaksudkan dengan tawanan perang.
Ayat (QS Muhammad [47] : 4) adalah dasar hukum dalam Islam perlakuan terhadap tawanan perang.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti. (QS Muhammad [47] : 4)
Dalam firman Allah Ta’ala di atas telah jelas bahwa pembunuhan terhadap orang-orang kafir adalah di medang perang.
Setelah status mereka dikalahkan dan ditawan maka tawanan perang hanya berlaku sampai perang selesai.
Pilihan hukuman ke atas tawanan perang yang ditunjukkan ayat tersebut adalah mann (bebaskan) dan fida’ (terima tebusan). Tidak ada hukuman lain selain itu.
Kemudian ayat berikutnya (QS Al-Anfal [8] : 68) menegaskan bahwa tawanan perang memperoleh ampunan dengan dibebaskan atau terima tebusan
Berikut kutipan kajian terhadap (QS Al-Anfal [8] : 68) yang bersumber dari sebuah tulisan yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/09/al-anfal-68.pdf
***** awal kutipan *****
Ali Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah. (Al-Anfal: 68) ,Maksudnya, di dalam Ummul Kitab (Lauh Mahfuz) yang di dalamnya tercatat bahwa ganimah dari tawanan itu halal bagi kalian. niscaya karena tebusan yang kalian ambil itu kalian akan ditimpa. (Al-Anfal: 68) Yaitu tebusan dari para tawanan. siksa yang besar. (Al-Anfal: 68);
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kalian ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik. (Al-Anfal: 69), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas; dan hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, Sa’id ibnu Jubair, Ata. Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, dan Al-A’masy, bahwa makna yang dimaksud oleh firman-Nya: Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah. (Al-Anfal: 68) Yakni bagi umat ini yang menghalalkan ganimah.Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Pendapat ini diperkuat dengan adanya sebuah hadis yang diketengahkan di dalam kitab Sahihain oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. pernah bersabda:
Aku dianugerahi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku. Aku diberi pertolongan melalui rasa gentar yang mencekam hati musuh sejauh perjalanan satu bulan, bumi ini dijadikan bagiku sebagai tempat sujud (salat) lagi menyucikan: dan dihalalkan bagiku ganimah. sedangkan sebelumnya tidak dihalalkan bagi seorang (nabi)pun. Aku dianugerahi syafaat: dan dahulu seorang nabi diutus hanya kepada kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh umat manusia.
Al-A’masy telah meriwayatkan dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: “Tidak dihalalkan ganimah bagi yang berkepala hitam (manusia) kecuali hanya kami”.
Karena itulah dalam ayat ini disebutkan oleh firman-“Nya yang artinya,
Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kalian ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik. (Al-Anfal: 69), hingga akhir ayat.
Maka saat itu juga mereka menerima tebusan dari para tawanan.
****** akhir kutipan ******
Jadi jelaslah bahwa maksud ayat “Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah” (QS Al-Anfal [8] : 68) adalah salah satu dari lima perkara yang dianugerahi kepada Rasulullah yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumnya , yakni dihalalkannya ganimah (rampasan perang)
Sedangkan tangisan Rasulullah dan para Sahabat adalah bahwa sebelum turunnya ketetapan Allah, pilihan membunuh tawanan adalah terendah resiko atau azabnya karena hanya mengharapkan kepentingan akhirat semata dan berjuang membela agama.
Pilihan tebusan adanya kemungkinan, kecenderungan atau mengambil kesempatan untuk kepentingan dunia dan dapat melemahkan semangat juang kaum muslimin.
Namun setelah turunnya ketetapan Allah maka pilihan tebusan dan bebaskan adalah pilihan terbaik karena pada hakikatnya tujuan peperangan bukanlah untuk pembunuhan, permusuhan, kekuasaan ataupun harta melainkan tujuannya agar “sampai tidak ada fitnah” (QS Al Baqarah [2] : 139) maknanya agar sampai ajaran Islam kepada mereka sehingga lenyaplah fitnah terhadap ajaran Islam yang diturunkan oleh Sang Pencipta Manusia untuk seluruh manusia.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada menge-tahui. (QS. Saba’ [34] : 28)
Oleh karenanya pada zaman sekarang tidak diperlukan lagi peperangan fisik sehingga mengorbankan jiwa. Cukuplah dengan “perang informasi” agar sampai ajaran Islam sesungguhnya kepada non muslim sehingga lenyaplah fitnah terhadap ajaran Islam
Begitupula Rasulullah menegaskan dalam sabdanya bahwa tangisan Beliau adalah untuk mengingatkan umatnya agar jangan terpedaya oleh harta tebusan karena pada hakikatnya nilai tebusan tersebut tidak sepadan dengan gugurnya para Syuhada.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Aku menangis karena tebusan yang dipungut Sahabatmu terhadap para tawanan itu, lebih murah daripada harga kayu ini”, – yaitu kayu yang berada di dekar Nabi Allah shallallahu alaihi wasallam ( Hr Muslim 3309, Musnad Ahmad 203)
Para fuqaha menyampaikan bahwa justru turunnya surah al-Anfal ayat 61-69 adalah contoh pembenaran atas ijtihad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Memang ada beberapa riwayat bahwa Allah Azza wa Jalla mengilhamkan sesuatu kebenaran kepada sayyidina Umar Radhiyallahuanhu namun itu adalah jalan (wasilah) sebelum turunnya wahyu bukan berarti seluruh ide atau pendapat sayyidina Umar Radhiyallahuanhu adalah sebuah kebenaran
Begitupula jika dianggap Rasulullah pernah keliru maka itu adalah jalan (wasilah) sebelum turunnya wahyu seperti ketika Rasulullah mengizinkan orang-orang orang-orang munafik untuk tidak ikut dalam peperangan. Lalu turunlah ayat (QS at-Taubah : 43-45) dan Rasulullah selanjutnya mentaatinya
Begitupula seorang kekasih Allah (Wali Allah) ditimpakan sebuah penyakit kepadanya bukan berarti sebagai hukuman dari Allah namun boleh jadi merupakan jalan (wasilah) untuk selalu mengingat Allah sehingga meraih maqom (manzilah, kedudukan, derajat) di sisiNya karena dalam sebuah hadits Qudsi, Allah Ta’ala berfirman bahwa “jika wali Allah (kekasih Allah) meminta atau berdoa pasti dikabulkanNya” namun para kekasih Allah (Wali Allah) mencukupkan dirinya kepada pengaturan Allah Azza wa Jalla
Jika ayat (QS Al-Anfal [8] : 67) sebagai dalil atau perintah dari Allah Ta’ala untuk membunuh semua tawanan perang namun kenyataannya setelah ayat itu turunpun Rasulullah tidak memerintahkan membunuh tawanan perang. Tentu mustahil bagi Rasulullah yang maksum untuk mengingkari perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala
Memang ada Rasulullah memerintahkan untuk membunuh beberapa tawaran perang namun itu ada sebab khusus seperti terhadap Nadhr bin Harits dan Uqbah bin Abu Mu’aith karena besarnya kejahatan perang yang mereka lakukan.
Contoh lainnya Rasulullah telah membebaskan tawanan perang seorang penyair Abu Izzah , dengan janjinya
“Wahai Muhammad, aku memiliki lima anak putri, mereka semua tidak memiliki sesuatu, berikanlah shadaqah kepadaku untuk mereka. Aku berjanji kepadamu, bahwa aku tidak akan memerangimu dan tidak berkata banyak atasmu selamanya”
Namun akhirnya, Abu Izzah turut serta dalam perang Uhud bersama kaum Quraisy.
Kaum musliminppun berhasil menawannya dan dialah satu-satunya tawanan.
Dia berkata, “Wahai Muhammad, sungguh aku keluar berperang karena terpaksa. Aku memiliki putri, maka kasihanilah aku.”.
Rasulullah bersabda, “Mana janji yang telah kau berikan kepadaku ? Tidak, demi Allah. Tidak akan pernah terhapus demonstran di Makkah yang mengatakan, “Aku menghina Muhammad, dua kali”
Sa’id bin Al Musayyib berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya seorang mukmin tidak akan pernah terperosok dua kali dalam satu lubang. Wahai Ashim bin Tsabit bawa ia, penggal kepalanya”. Maka Ashim bin Tsabit membawanya dan memenggal kepalanya.
Bagaimana pun perlawanan Abu Izzah kepada Islam dan kaum muslimin, Nabi masih memaafkannya dan membebasannya tanpa syarat demi putra-putrinya. Itulah kasih sayang yang sangat besar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada seorang penyair, yang ibaratnya adalah salah satu alat informasi yang kuat untuk menyerang negara Islam pada saat itu.
Adapun saat ia tertangkap untuk kedua kalinya, maka harus menghentikan gerak “alat” ini. Sehingga orang-orang musyrik tidak berprasangka untuk bisa membodohi Rasulullah dan para Sahabat dengan mudah. Serta, supaya wibawa umat Islam bisa tetap berada dalam hati mereka.
Jadi tawanan perang dibunuh dengan alasan atau sebab khusus seperti para penggerak perang atau orang yang memang paling dicari.
Ada diantara tawanan Perang pada hari Badar tidak memiliki tebusan. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjadikan tebusan mereka adalah mengajarkan anak-anak kaum Anshar menulis. (HR Ahmad)
Dalam perang Badar, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam juga tidak membiarkan para tawanan perang berpakaian lusuh.
Nabi memerintahkan para Sahabat untuk memberikan pakaian yang layak.
“Setelah Perang Badar, para tawanan perang dibawa, di antara mereka adalah Al-Abbas bin Abdul Muthalib. Dia tidak punya baju, jadi Nabi mencari baju untuknya. Ternyata baju Abdullah bin Ubayy memiliki ukuran yang sama. Selanjutnya, Nabi (saw) memberikannya kepada Al-Abbas untuk dipakai,” (HR Bukhari)
Jadi untuk tawanan perang, Islam punya penilaian sendiri. Tawanan perang tidak dapat dibunuh tanpa alasan yang sah. Islam mengatur dengan ketat persoalan ini.
Perlakuan baik terhadap tawanan perang justru mendorong sebagian mereka masuk Islam, seperti kisah Tsumamah bin Utsal. Ia adalah seorang kepala suku musyrikin Bani Hanifah di wilayah Yamamah yang ditawan oleh kaum muslimin di Masjid Nabawi.
Selama tiga hari menjadi tawanan, ia mendapatkan perlakuan yang baik dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaum muslimin.
Pada hari keempat, ia dibebaskan tanpa syarat apapun. Atas kesadarannya sendiri, hari itu pula ia justru mengumumkan keislamannya.
Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengirim pasukan berkuda ke arah Nejed, maka mereka menangkap seorang laki-laki dari Bani Hanifah bernama Tsumamah bin Utsal. Mereka membawanya dan mengikatnya pada salah satu tiang masjid Nabawi. Nabi shallallahu alaihi wasallam menemuinya dan bertanya, “Bagaimana keadaanmu, wahai Tsumamah?”
Tsumamah menjawab:
“Keadaanku baik, wahai Muhammad. Jika engkau membunuhku, maka engkau telah membunuh orang yang memiliki hutang darah. Jika engkau akan berbuat baik kepadaku, maka engkau telah berbuat baik kepada orang yang tahu berterima kasih. Namun jika engkau menginginkan harta tebusan, maka mintalah berapapun harta yang engkau inginkan!”
Nabi shallallahu alaihi wasallam membiarkannya. Beliau memerintahkan agar ia diperlakukan dengan baik.
Keesokan harinya, Nabi shallallahu alaihi wasallam menemui Tsumamah dan menanyakan pertanyaan yang sama. Tsumamah juga memberikan jawaban yang sama.
Lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam kembali membiarkannya.
Keesokan harinya, Nabi shallallahu alaihi wasallam menemui Tsumamah dan menanyakan pertanyaan yang sama. Tsumamah juga memberikan jawaban yang sama. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam membiarkannya.
Keesokan harinya, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat:
“Lepaskanlah Tsumamah!”
Setelah dilepaskan, Tsumamah segera pergi ke sebuah kebun kurma di dekat masjid. Ia mandi di kebun tersebut, lalu kembali masuk ke dalam masjid. Ia lalu mengumumkan keislamannya:
“Aku bersaksi bahwasanya tiada Ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah.”
Tsumamah lalu berkata:
“Wahai Muhammad, demi Allah, sebelum ini tiada satu wajah pun di muka bumi ini yang lebih aku benci daripada wajahmu. Namun kini wajahmu adalah wajah yang paling aku cintai. Demi Allah, sebelumnya tiada satu agama pun yang lebih aku benci daripada agamamu. Namun kini agamamu adalah agama yang paling aku cintai. Demi Allah, sebelumnya tiada satu negeri pun yang lebih aku benci daripada negerimu. Namun kini negerimu adalah negeri yang paling aku cintai.” (HR. Bukhari, Kitab Al-Maghazi: Bab Wafdi Bani Hanifah, hadits no. 4372)
Perlakuan yang baik telah mendorong pemimpin musuh Islam, Tsumamah bin Utsal, untuk masuk Islam secara sukarela. Seandainya ia diperlakukan secara kasar, buruk, disiksa, dan diintimidasi; ia tidak akan berfikir sedikit pun untuk masuk Islam.
Hal yang sama dilakukan oleh Al-Walid bin Abul Walid Al-Qurasyi Al-Makhzumi. Ia adalah seorang tokoh musyrikin Quraisy. Ia bersama pasukan musyrikin Quraisy berperang melawan pasukan Islam dalam perang Badar. Dalam perang itu ia tertawan dan diperlakukan dengan baik oleh kaum muslimin. Setelah keluarganya menebus dirinya dan ia kembali ke Makkah, ia mengumumkan keislamannya atas dasar kesadaran sendiri. Ia tidak mengumumkan keislamannya di Madinah, agar tidak disangka masuk Islam karena takut nasibnya sebagai tawanan perang.
Begitupula perlakuan Rasulullah terhadap Sofwan bin Umayyah , salah satu musuh Nabi yang paling kejam terhadap diri Rasul dan juga umat islam waktu itu. Sofwan bin Umayyah ini sangat banyak melakukan rongrongan,fitnahan,penganiayaan ,serta penyiksaan terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaum muslimin.Karenanya ia termasuk dalam daftar orang-orang yang harus dihukum mati ,yang dia sendiri mengetahuinya
Ketika kaum muslimin menguasai kota Mekkah,sebagai pusat kekuasaan musyrikin Quraisy yang ia sendiri salah seorang pemimpinnya.Sofwan bin Umayyah bersama Ikrimah binAbu Jahal melarikan diri dan hendak menyeberang ke benua hitam,Afrika.
Namun setelah mendengar berita,bahwa Ikraimah mengurungkan niatnya dan bertemu Rasul kemudian dia dibebaskan .maka Sofwan mulai kebingungan dan jika bisa akan mengikuti jejak kawannya,Ikrimah itu.
Oleh sebab itu Sofwan bin Umayyah bertemu anak pamannya, Umair bin Wahab yang segera pula ia bertemu dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam .
Lalu Umair bin Wahab berkata:”Ya Nabiyullah ,Sofwan itu adalah kepala suku yang sangat di hormati dikalangan Quraisy .Ia telah melarikan diri dari padamu,karena ketakutan dan akanvberlayar . Aku minta kepadamu agar engkau memberikan ampunan baginya, sebagaimana engkau memberi ampunan kepada orang lain dengan tidak memandang bulu dan warna kulit”.
Mendengar permintaan Umair bin Wahab,maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata:” Cegatlah anak pamanmu itu ia telah mendapat pengampunan dariku”.
Namun Umair bin Wahab masih kurang yakin,sehingga ia meminta jaminan keamanan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai tanda aman dan ampunannya.Rasulullah shallallahu alaihi wasallam segera memberi tanda aman dan ampunan tersebut berupa kopiahnya yang dipakai pada waktu masuk ke kota Mekkah.
Kemudian ia bergegas menemui Sofwan bin Umayyah di tempat persembunyiannya lalu memperlihatkan tanda itu kepadanya sambil berkata:” Aku ini datang dari seorang manusia yang paling baik di muka bumi ini,dari seorang yang suka berbuat baik,yang mulia hati dan tinggi budi bahasanya,yaitu anak pamanmu yang telah memberikan keistimewaan kepadamu supaya kamu kembali”.
Mulanya Sofwan bin Umayyah agak takut juga, tidak percaya terhadap apa yang dilihat dan dikatakan oleh Umair bin Wahab,tetapi ketika Sofwan mendengar tentang kepribadian Nabi lebih mulia dari pada apa yang di perhitungkan Sofwan bin Umayyah sebelumnya,maka ketakutannya pun sirna lenyap,dan keduanya kemudian datang menghadap Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Lalu Sofwan bin Umayyah berkata kepada Nabi:” Umair menyampaikan kepadaku bahwa engkau telah menjamin keamananku”.
Rasululullah shallallahu alaihi wasallam berkata:” Apa yang dikatakannya itu benar”.
Kemudian Sofwan bin Umayyah berkata lagi kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam: ” Apakah engkau mau memberikan waktu bagiku dua bulan untuk berfikir,apakah aku akan memeluk Islam atau akan tinggal di luar Islam?” .
Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam menjawab:” Kepadamu kuberikan waktu empat bulan untuk berfikir”.
Ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam keluar dari Mekkah untuk pergi ke peperangan Hunain ,Nabi meminjam empat puluh ribu dirham dari pada Sofwan bin Umayyah,juga meminta meminjam banyak alat perlengkapan perang dari pemimpin suku Quraisy yang masih musyrik tersebut.
Tatkala Sofwan bimbang,apakah pengambilan ini merupakan rampasan perang,yang harus ditunaikannya,Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam berkata:” Tidak, bukan rampasan,ini hanya pinjaman ,terjamin dan akan di kembalikan”.
Selanjutnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pergi berperang untuk membebaskan wilayah dari pendudukan Hawazin di Hunain bersama-sama Sofwan bin Umayyah yang masih musyrik itu.
Setelah perang usai,Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak hanya mengembalikan semua pinjamannya dan membayar segala utang piutangnya ,tetapi juga melimpahkan kemurahannya dengan kurnia yang luar biasa,baik kepada Sofwan bin Umayyah maupun kepada kaum muslimin yang ikut dalampeperangan tersebut.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan kepada Hakim bin Hizam dua ratus ekor unta,dan kepada Nazar bin Harist seratus ekor unta seperti halnya kepada Usaid bin Jariyah,Haris bin Hisyam,Sofwan bin Umayyah,Qais bin Adi,Suhail bin Amr dan lain-lain.
Para penerima hadiah-hadiah tersebut merupakan para penjahat perang yang diampuni oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika menguasai Mekkah, tetapi sekarang menjadi pahlawan-pahlawan Islam yang setia dan berjasa.
Melihat hal itu,Sofwan bin Umayyah heran memnghadapi kenyataan itu,heran ia melihat kemurahan hati Rasululah shallallahu alaihi wasallam yang ia dengar sebelumnya sebagai orang yang tamak kepada harta-benda.
Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberi kepada Sofwan bin Umayyah tiga ratus ekor unta ,dengan tambahan berbagai barang berharga lainnya.Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam melihat wajah Sofwan bin Umayyah yang menunjukkan keheranannya dan berkata:” Apakah engkau merasa aneh ?”
Sofwan menjawab:”Sesungguhnya ya Rasulullah”.
Setelah Nabi Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam berkata,bahwa semua barang yang bertimbun-timbun itu adalah untuknya,
Sofwan berkata:” Raja-rajapun tak ada yang sekaya dan semurah hati ini,dan jika ada yang demikian ,maka orang itu ialah hanya Nabi yang kuhadapi sekarang ini”.
Kemudian Sofwan bin Umayyah tegak dengan keyakinan dihadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan dengan muka yang berseri-seri lalu diucapkannya dengan bibir dan lidah yaang tidak ragu-ragu: “Aku mengaku bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan aku mengaku pula bahwa Muhammad itu adalah pesuruh-Nya!”.
Begitulah akhirnya Sofwan bin Umayyah tidak sempat memanfaatkan waktu empat bulan yang diberikan Nabi kepadanya,untuk menentukan sikapnya apakah ia masuk Islam atau sebaliknya.Tetapi kemudian setelah mengamati akhlakul karimah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang demikian tinggi, sehingga ia segera pula memeluk Islam dengan suka rela.
Justru pada masa sekarang, kita umat Islam prihatin menyaksikan orang-orang yang mengatasnamakan Islam dan berteriak Allah Akbar sambil membunuh orang-orang yang telah bersyahadat karena berbeda paham (pendapat) dengan mereka.
Al-Habib Abubakar al-Adni bin Ali al-Masyhur telah menasehatkan untuk menjaga lisan, dengan tidak mengucapakan kata-kata yang bersifat provokatif atau menghina salah satu belah pihak yang terlibat dalam peperangan di antara umat Islam karena Rasulullah telah bersabda:
‘Barangsiapa yang ikut serta dalam pembunuhan seorang muslim, meskipun hanya dengan sepotong kalimat saja, maka di hari kiamat nanti dahinya akan tertulis ungkapan: ”terputus (jauh) dari rahmat Allah.”
Beliau menasehatkan untuk menjaga tangan, tidak mengangkat senjata mengikuti salah satu pihak golongan muslim untuk melawan sesama muslim, karena darah, harta dan kehormatan seorang muslim haram hukumnya.
Beliau menasehatkan untuk menjaga hati, jangan sampai ada rasa senang dengan adanya pembombardiran, kemenangan salah satu pihak, dan sebagainya. Apakah kamu senang dengan pembunuhan seorang muslim kepada sesama muslim lainnya..? tidak boleh bela-membela / gembira (atas kemenangan salah satu pihak) sebab semua itu adalah sebuah fitnah.
Rasulullah bertanya lagi: ‘Apakah kamu yang telah membunuhnya? ‘ Dia menjawabnya, ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Lalu apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah’, jika di hari kiamat kelak ia datang (untuk minta pertanggung jawaban) pada hari kiamat nanti? ‘ (HR Muslim 142)
Jika dua orang muslim saling bertemu (untuk berkelahi) dengan menghunus pedang masing-masing, maka yang terbunuh dan membunuh masuk neraka. aku pun bertanya: Wahai Rasulullah, ini bagi yang membunuh, tapi bagaimana dengan yang terbunuh? Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Dia juga sebelumnya sangat ingin untuk membunuh temannya.(HR Bukhari 30)
Pepatah orang tua kita dahulu menyatakan: “Menang jadi arang, kalah jadi abu”. artinya mereka sama-sama dalam kerugian.
Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR Muslim)
Rasulullah bersabda: “Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Bukhari dan Muslim)
Habib Umar bin Hafidz menyampaikan, “Demi Allah, tidak ada di antara mereka yang benar-benar membesarkan Allah. Barangsiapa yang mengerti dengan ucapan Allah Akbar pasti dapat menahan diri. Mereka bukan membesarkan Allah. Mereka membesarkan akal pikiran mereka sendiri. Mereka membesarkan ideologi mereka sendiri. Mereka membesarkan dunia ini.”
Mereka membesarkan dunia karena sesungguhnya konflik di Timur Tengah adalah berkaitan perebutan kekuasaan dan sumber daya alam.
Jadi perbedaan pokok Rasulullah dengan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari ban Tamim atau kaum khawarij adalah mereka mengkhawatirkan (baca menuduh) musyrik (berbuat syirik) terhadap umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sedangkan Rasulullah bersabda sebagai berikut
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku lebih dahulu wafat daripada kalian, dan aku menjadi saksi atas kalian, dan aku demi Allah, sungguh telah melihat telagaku sekarang, dan aku diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi atau kunci-kunci bumi. Demi Allah, saya tidak mengkhawatirkan kalian akan berbuat syirik sepeninggalku, namun yang justru aku khawatirkan atas kalian adalah kalian bersaing terhadap kekayaan-kekayaan bumi.” (HR Bukhari 5946)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku mendahului kalian ke telaga. Lebar telaga itu sejauh antara Ailah ke Juhfah. Aku tidak khawatir bahwa kalian akan kembali musyrik sepeninggalku. Tetapi yang aku takutkan ialah kamu terpengaruh oleh dunia. Kalian berlomba-lomba untuk mendapatkannya kemudian berbunuh-bunuhan, dan akhirnya kalian musnah seperti kemusnahan umat sebelum kalian”. (HR Muslim 4249)
Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk Najed dari bani Tamim juga termasuk salaf karena bertemu dengan Rasulullah namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri yang berakibat menjadikannya sombong dan durhaka kepada Rasulullah yakni merasa lebih pandai dari Rasulullah sehingga berani menyalahkan dan menghardik Rasulullah.
Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. (HR Bukhari 3341)
Abu Sa’id berkata; Orang-orang Quraisy marah dengan adanya pembagian itu. kata mereka, kenapa pemimpin-pemimpin Najd yang diberi pembagian oleh Rasulullah, dan kita tidak dibaginya? maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab: Sesungguhnya aku lakukan yang demikian itu, untuk membujuk hati mereka. Sementara itu, datanglah laki-laki berjenggot tebal, pelipis menonjol, mata cekung, dahi menjorok dan kepalanya digundul. Ia berkata, Wahai Muhammad! Takutlah Anda kepada Allah! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa pulakah lagi yang akan mentaati Allah, jika aku sendiri telah mendurhakai-Nya? Allah memberikan ketenangan bagiku atas semua penduduk bumi, maka apakah kamu tidak mau memberikan ketenangan bagiku? (HR Muslim 1762)
Rasulullah telah memfatwakan, telah murtad (keluar dari Islam) “bagaikan anak panah meluncur dari busurnya” bagi orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij yang diberikan julukan atau diungkapkan oleh Rasulullah dengan ungkapan majaz (kiasan atau metaforis), “anak muda” atau “orang-orang muda” yakni orang-orang yang belum memahami agama dengan baik, mereka seringkali mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, tapi itu semua dipergunakan untuk menyesatkan, atau bahkan untuk mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompok mereka atau yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka.
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari Khaitsamah dari Suwaid bin Ghafalah berkata, ‘Ali radliallahu ‘anhu berkata; Sungguh, aku terjatuh dari langit lebih aku sukai dari pada berbohong atas nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan jika aku sampaikan kepada kalian tentang urusan antara aku dan kalian, (ketahuilah) bahwa perang itu tipu daya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: Akan datang di akhir zaman orang-orang muda dalam pemahaman (lemah pemahaman atau sering salah pahaman). Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (Khairi Qaulil Bariyyah, maksudnya suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits)) namun mereka keluar dari agama bagaikan anak panah melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak sampai ke tenggorokan mereka. (HR Bukhari 3342)
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed dari bani Tamim adalah orang-orang yang menyalahkan umat Islam lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sehingga mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang disebut dengan khawarij
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Oleh karena orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed dari bani Tamim salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka bersikap takfiri yakni mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka dan berujung menghalalkan darah atau membunuhnya.
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”.
Rasulullah bersabda: “Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’ maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun apabila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.” (HR Muslim).
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, orang yang bangkrut (muflis) dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) ibadah shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi dia pun datang dengan membawa dosa berupa mencaci orang ini, memfitnah (menuduh) orang ini, menumpahkan darah orang ini, menyiksa orang ini, lalu diberikanlah kebaikannya (pahala) kepada orang-orang yang dizhaliminya. Sewaktu kebaikannya (pahala) tidak lagi cukup membayar kesalahan (dosa) nya maka diambillah dosa-dosa orang-orang yang dizhaliminya dan ditimpakan kepada dirinya. Setelah itu dia dilemparkan ke neraka. (HR Muslim 2581)
Oleh karenanya orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij yang ditetapkan telah murtad oleh Rasulullah adalah contoh Sahabat yang kelak akan diusir dari telaga Rasulullah
Dari Abu Hurairah bahwasanya ia menceritakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Pada hari kiamat beberapa orang sahabatku mendatangiku, kemudian mereka disingkirkan dari telaga, maka aku katakan; ‘ya Rabbi, (mereka) sahabatku! ‘ Allah menjawab; ‘Kamu tak mempunyai pengetahuan tentang yang mereka kerjakan sepeninggalmu. Mereka berbalik ke belakang dengan melakukan murtad, bid’ah dan dosa besar. (HR Bukhari 6097).
Dalam riwayat di atas jelas bahwa Rasulullah bersabda “ya Rabbi, mereka sahabatku” artinya mereka bertemu Rasulullah namun mereka tidak mengikuti Rasulullah melainkan mereka mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga mereka suka mencela, menyalahkan dan bahkan mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sehingga mereka melakukan dosa besar, menghalalkan darah atau membunuhnya.
Jadi orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij adalah telah murtad, ahli bid’ah dan dosa besar.
Selain dosa besar mereka menghalalkan darah atau membunuh umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka, dosa besar orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij adalah mereka tidak menepati janjinya “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau menguranginya” yakni mereka melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’aa dan RasulNya dan mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/23/tidak-menepati-janjinya/
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa kejahatan paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah melarang atau mengharamkan hanya karena pertanyaan saja bukan berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Rasulullah bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Para Imam Mujtahid telah mengingatkan jangan sampai salah dalam berijtihad dan beristinbat (menggali hukum) dari Al Qur’an dan Hadits sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya karena hal itu termasuk perbuatan menyekutukan Allah
Firman Allah yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Bahkan Adz Dzahabi murid Ibnu Taimiyyah sendiri dalam kitab beliau Al Kabair (mengenai dosa-dosa besar) berkata, “Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal berarti ia melakukan kekufuran.
Jadi orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij adalah pelaku bid’ah dalam urusan agama yakni menganggap baik sesuatu sehinga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perkara agama atau urusan agama meliputi perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) maupun larangan (jika dilanggar berdosa) yang berasal dari Allah Azza wa Jalla bukan menurut akal pikiran manusia
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).
Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.
Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Rasulullah shallallau alaihi wasallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/15/amrun-mubah/
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”
Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.
Oleh karenanya dikatakan pelaku bid’ah dalam urusan agama lebih disukai Iblis daripada pelaku maksiat karena mereka menjadikan sembahan-sembahan selain Allah dan karena para pelaku tidak menyadarinya sehingga mereka sulit bertaubat.
Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang melakukan bid’ah dalam urusan agama..
Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 )
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS Asy Syuura [42]:21)
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31)
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya
Firman Allah Ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)
Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya
Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti
1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
3. Melarang dirinya untuk menikah
Namun Rasulullah menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Begitupula pada masa sekarang bermunculan orang-orang yang gagal paham tentang bid’ah akibat salah memahami dan menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka dapat terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Nasrani yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang yang tidak dilarangNya atau mengharamkan yang tidak diharamkanNya dan sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkanNya sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Contoh orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya adalah mereka mewajibkan bercukur gundul (plontos) sehingga menjadi salah satu ciri khas mereka
“Abdullah bin Umar berkata : “ Aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda : “Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al-Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka (tidak sampai ke hati), mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak panah yang tak akan kembali ketempatnya, tanda-tanda mereka ialah bercukur plontos (gundul). (HR Bukhori , Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, & Ibnu Hibban) .
Ciri khas lainnya dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij suka menampakkan “bekas” amalnya yakni tanda bekas sujud (hitam) pada dahi mereka akibat pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sehingga mereka salah memahami firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka (sesama muslim). Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS Al Fath [48]:29)
Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ (QS Al Fath [48]:29), apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702)
Dalam al-Shawi ‘ala al-Jalalain dikatakan terjadi perbedaan pendapat mengenai makna tanda tersebut. Sebagian ulama mengatakan bagian wajah yang kena sujud itu dilihat pada hari kiamat laksana bulan purnama. Pendapat lain mengatakan pucat wajah karena berjaga malam. Sebagian lain berpendapat khusyu’ yang muncul pada anggota tubuh sehingga seperti dilihat mereka dalam keadaan sakit, padahal mereka tidak sakit.
Selanjutnya al-Shawi menegaskan tidak termasuk dari maksud tanda dari bekas sujud itu apa yang dilakukan oleh sebagian orang bodoh yang sengaja memperlihatkan tanda bekas sujud pada dahinya, maka itu adalah perbuatan kaum Khawarij. Kemudian al-Shawi mengutip hadits Nabi yang berbunyi yang artinya “Sesungguhnya aku sangat membenci seseorang apabila aku melihat di antara dua matanya bekas sujud” (Al-Shawi, Hasyiah al-Shawi ‘ala al-Jalalain, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 106)
Hadits yang dikutip oleh al-Shawi di atas adalah hadits dari Syarik bin Syihab
Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku.
Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali.
Kemudian beliau bersabda, “Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun al Qur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. (HR Ahmad no 19798)
Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut.
Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)
Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Dalam firman Allah di atas telah difirmankan bahwa jika telah bermunculan orang-orang yang murtad dari agamanya seperti melesatnya anak panah dari busurnya yakni bermunculan orang-orang yang membunuh orang-orang Islam yang dituduh kafir, dituduh bukan Islam, dituduh berhukum dengan hukum thaghut , dituduh musyrik menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir namun mereka membiarkan atau bahkan bekerjasama dengan kaum yang dimurkai Allah yakni para penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrikannya maka hijrahlah atau ikutilah (merujuklah) kepada para ulama Allah yakni para wali Allah, suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya
Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , ‘Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah”. Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab, ‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.
Ibnu Jarir meriwayatkan, ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau berkata, ‘Kaummu wahai Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy’ari’.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-Bari, dari Jabir bin Math’am dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, ‘Wahai ahlu Yaman kamu mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan merekalah sebaik-baiknya manusia di muka bumi’
Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai orang-orang Yaman berarti telah mencintaiku, siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku”
Begitupula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa jika telah bermunculan fitnah atau perselisihan atau bahkan pembunuhan terhadap umat la ilaha illallah karena perbedaan pendapat maka hijrahlah ke Hadramaut, Yaman, bumi para Wali Allah atau ikutilah (merujuklah) kepada pendapat Ahlul Hadramaut, Yaman.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan’
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’
Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dan banyak dikaruniakan hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab
Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)
Dari Abi Hurairah (radiyallahu ‘anhu) dari Nabi (Shalallahu ‘alaihi wassallam) beliau bersabda : “Telah datang kepada kalian Ahlul Yaman, mereka orang yang lemah lembut hatinya, Iman itu di negara Yaman, dan hikmah di negara Yaman dan fiqih (ilmu) itu di negara Yaman,”. (Muttafaqun ‘alaih).
Berkata para Ulama’ tentang arti hadits di atas :
Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hanbali (Rahimahullah Ta’ala) telah menggambarkan Ahlul Yaman, berkata (rahimahullah) : “Mereka orang-orang yang sedikit berbicara akan tetapi banyak beramal, oleh karena mereka orang-orang yang beriman, dan diantara arti Iman adalah beramal”.
Berkata As-Safaarini (Rahimahullah Ta’ala) : “Dan yang dimaksud bahwa Nabi (Shalallahu ‘alaihi wassalam) menyifatkan hati-hati mereka (orang-orang Yaman) dengan lemah lembut hatinya adalah bahwa mereka memilki hubungan yang erat untuk membela agama dari segala tipu-daya yang menyesatkan dan dari syahwat (hawa nafsu) yang diharamkan”. [Tsulatsiyaat Musnad Al-Imam Ahmad (1/698-699)].
Berkata Abu Bakar Ibnul ‘Arabi (Rahimahullah Ta’ala) : “Adapun pujian Ar-Rasul (Shalallahu ‘alaihi wassalam) untuk negara Yaman karena penduduk negeri tersebut orang-orang yang menolong agama dan penjaga agama Islam dan yang memberikan perlindungan kepada Ar-Rasul (Salallahu ‘Alaihi Wa Salam). Adapun arti dari “Al-Hikmah” adalah karena amalan mereka berdasarkan ilmu dan itulah orang-orang Yaman”. [‘Aridlo Al-Ahwadzi (9/45).
Alhamdulillah , umat Islam pada umumnya dan khususnya di negeri kita mendapatkan pengajaran agama dari para ulama yang berasal dari Hadramaut, Yaman yang bersumber dari ulama kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yakni dari apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra
Imam Ahmad Al Muhajir , sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman, beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf muktabaroh yang bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah, mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 menjelaskan bahwa pengajaran agama Islam diajarkan langsung oleh para ulama keturunan cucu Rasulullah mulai dari semenanjung Tanah Melayu, Nusantara dan Philipina
Berikut kutipan penjelasan Buya Hamka
***** awal kutipan ****
“Rasulallah shallallahu alaihi wasallam mempunyai empat anak-anak lelaki yang semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak wanita. Dari empat anak wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang memberikan beliau shallallahu alaihi wasallam dua cucu lelaki dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib.
Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-Husain dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayyid jamaknya ialah Sadat. Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya memanggil keturunan Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf.
Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Al-Hasan dan Al-Husain itu datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina.
Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini.
Diantaranya Penyebar Islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh.
Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri.
Di Siak oleh keluaga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.
Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.
Kesimpulan dari makalah Prof.Dr.HAMKA: Baik Habib Tanggul di Jawa Timur dan Almarhum Habib Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah/Iraq ke Hadramaut, dan Ahmad bin Isa ini cucu yang ke tujuh dari cucu Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.”
****** akhir kutipan ******
Contoh silsilah para Wali Songo pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/03/silsilah-para-walisongo.jpg
Mereka yang meninggalkan bahkan mencela atau membenci ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akibat rasa kebencian mereka kepada firqah Syiah
Firman Allah Ta’ala yang artinya, Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maa-idah [5] : 8 )
Kaum Naashibah (-Jamaknya : Nawaashib-) yang sering melecehkan atau membenci ahlul bait Nabi dengan “dalih” membela Sahabat Nabi sedangkan sebaliknya kaum Roofidhoh (-Jamaknya : Rowaafidh-) yang selalu melecehkan Sahabat Nabi dengan “dalih” membela ahlul bait Nabi
Imam at Tirmidzi dan Imam ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra., ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Cintailah Allah agar kalian memperoleh sebagian nikmat-Nya, cintailah aku agar kalian memperoleh cinta Allah, dan cintailah keluargaku (ahlul baitku) agar kalian memperoleh cintaku.”
Imam Syafi’i ~rahimahullah bersyair, “Wahai Ahlul-Bait Rasulallah, mencintai kalian adalah kewajiban dari Allah diturunkan dalam al-Quran cukuplah bukti betapa tinggi martabat kalian tiada sholat tanpa shalawat bagi kalian.”
Wasalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar