Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawwal 1444 H.
Minal Aidin wal Faizin
Semoga kembali (suci) dan meraih kemenangan
Mohon maaf lahir dan batin
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Hakikat makna ucapan Minal Aidin wal Faizin adalah semoga kembali (suci) dan meraih kemenangan
Ucapan (doa) selengkapnya adalah
”Ja alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin”
(Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang yang kembali (suci) dan meraih kemenangan)
atau
‘Ja’alanallahu wa iyyakum minal aidin ilal fithrah wal faizin bil jannah”
(Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang yang kembali pada fitrah dan menuai kemenangan dengan meraih surga).
Orang-orang yang meraih atau menuai kemenangan adalah umat Rasulullah yang meraih kegembiraan berpuasa yakni wushul ilaallah atau sampai kepada Allah dan “kembali” menyaksikan Allah (makrifatullah) dengan hati (ain bashirah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika ia bertemu dengan Rabbnya” (HR Muslim 1945 atau Syarh Shahih Muslim 1151)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badanmu telanjang, mudah-mudahan qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini
Pada hakikatnya tujuan hidup kita adalah untuk dapat “kembali” menyaksikan Allah (makrifatullah) dengan hati (ain bashirah) ketika di dunia atau ketika menjadi penduduk surga.
Para ruh jauh sebelum ditiupkan-Nya sudah menyaksikan Allah sebagaimana firman Allah Ta’ala,
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ
“Alastu birabbikum” (“bukankah Aku ini Tuhanmu”)
قَالُوا۟ بَلَىٰ
“mereka (ruh-ruh) menjawab “Betul (Engkau Tuhan kami) (QS Al A’raf [7] : 172)
Sultannya wali Allah, Syekh Abdul Qadir Al Jilani dalam kitabnya yang berjudul Sirrul Asrar menyampaikan bahwa setelah ruh ditiupkan-Nya dan ketika ruh telah menyatu merasa “terlena” di dalam jasad maka Allah Maha Pengasih menurunkan kitab-kitab samawi dan mengutus para penunjuk-Nya yakni para Nabi agar manusia dapat “kembali” menyaksikan Allah (makrifatullah)
***** awal kutipan *****
فلما تعلّقت الأرواح وأنست في الأجساد ونسيت ما اتخذت من عهد الله الميثاق في يوم وألست بربكم قالوا بلى ،
Maka ketika ruh telah menyatu dan merasa “terlena” (senang / betah) di dalam jasad sehingga “melupakan” perjanjian awalnya dengan Allah di Alam Lahut (al wathan al ashli / Negeri Asal yakni pada hari perjanjian (ketika Allah Ta’ala mengambil KESAKSIAN dari mereka)
فترحم الرحمن المستعان عليهم بإنزال الكتب السماوية ، تذكرة لهم بذلك الوطن الأصلي كما قال تعالى – وذكرهم بأيام الله
maka Allah Maha Pengasih dengan kasihnya menolong mereka dengan menurunkan kitab-kitab samawi sebagai peringatan tentang NEGERI ASAL (al wathan al ashli atau Alam Lahut dan Wali Songo menyebutnya dalam bahasa Jawa, Omah Keprabon) bagi mereka sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Berilah peringatan pada mereka tentang hari-hari Allah” (QS Ibrahim [14] : 5)
أتي أيام وصاله فيما سبق مع الأرواح
Yakni hari pertemuan (wishal) Allah Ta’ala dengan seluruh arwah (ruh-ruh) di masa lalu di Alam Lahut (Alam asal)
***** akhir kutipan *****
Jadi pada hakikatnya amalan fisik yang dibawa dan disyariatkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam seperti puasa, sholat, zakat, ibadah haji yakni semua amalan fisik yang disyariatkan dan diamalkan oleh jasad lahir adalah agar jasad batin yakni DIRI SEJATI kita dapat “kembali” menyaksikan Allah (makrifatullah) alias mencapai muslim yang IHSAN.
Syariat lahir yang diamalkan oleh jasad lahir dan syariat batin yang diamalkan oleh jasad batin sangat sesuai dengan struktur kejadian manusia itu sendiri yang merupakan kombinasi antara jasad lahir dan jasad batin.
Jasad lahir adalah semua anggota tubuh kita yang nampak dengan mata.
Sedangkan jasad batin adalah jasad ghaib yang tidak tampak dengan mata dan menggerakkan seluruh anggota lahir.
Jasad batin dapat merasa, mengingat, memikirkan, mengetahui, memahami segala sesuatu yang terjadi di dalam diri kita masing-masing.
Sesuai dengan keadaan lahir batin kita yang saling berkaitan erat tanpa terpisah-pisah maka begitu pula amalan lahir dan amalan batin wajib dilaksanakan secara serentak di setiap waktu dan keadaan.
Kalau kita membeda-bedakan atau menolak salah satu dari amalan itu, maka kita tidak mungkin menjadi hamba Allah yang sebenarnya.
Allah Ta’ala tidak memandang gerak dan perbuatan kita seperti dalam sholat dan puasa namun memandang hati manusia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian (gerak dan perbuatan kalian), tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim 4651 atau Syarh Shahih Muslim 2564)
Begitupula pokok kegembiraan sholat adalah wushul ilaallah atau sampai kepada Allah dan menyaksikan Allah (makrifatullah) dengan hati (ain bashirah)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam setiap tiba waktu shalat, beliau menyuruh kepada Bilal: “Arihna Ya Bilal” (Gembirakan kami wahai Bilal).
Dari Anas radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “….kesenanganku dijadikan dalam shalat” (HR Nasa’i 3879 atau Maktabatu Al Ma’arif 3940)
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali pernah ditanya, “bagaimana cara mengetahui, apakah shalat kita khusyuk atau tidak?”
Imam al-Ghazali menjawab, “tanda shalat yang khusyuk adalah tercegahnya pelaku shalat dari perbuatan keji dan mungkar hingga ke shalat berikutnya. Jika shalat Subuh seseorang khusyuk maka dia akan terjaga dari perbuatan nista dan jahat antara Subuh dan Dzuhur. Terus seperti itu sepanjang hari”
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).
Rasulullah bersabda, Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Orang-orang yang sholat namun tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar adalah orang-orang yang celaka yakni orang-orang yang sholatnya bukan karena Allah Ta’ala alias riya dan orang-orang yang sholatnya lalai atau tidak khusyuk
Firman Allah Ta’ala, yang artinya
`…. maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya” (QS Al-Ma’un [107] : 4-6)
Sholat yang lalai atau sholat yang tidak khusyuk adalah sholat sekedar melepaskan kewajiban, shalat hanya dengan raganya saja tidak membekas dalam jiwa.
Prof H Zaini Dahlan MA menjelaskan bahwa sholat yang lalai adalah sholat yang dikerjakan dengan tubuh dan lidahnya namun tidak sampai ke hatinya.
***** awal kutipan *****
Dia lalai tidak menyadari apa yang dia ucapkan lidahnya dan yang dikerjakan oleh sendi anggotanya.
Ia ruku’ dan sujud dalam keadaan lengah, ia mengucapkan takbir tetapi tidak menyadari apa yang diucapkannya.
Semua itu adalah hanya gerak biasa dan kata-kata hafalan semata yang tidak mempengaruhi apa-apa, tidak ubahnya seperti robot.
***** akhur kutipan *****
Rasulullah bersabda, ”akan datang pada manusia (umat Muhammad) suatu zaman, banyak orang yang merasakan dirinya shalat, padahal mereka sebenarnya tidak shalat.” (HR Ahmad).
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya shalat itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah [ 2] : 45).
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila shalat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat (bertemu) dengan Tuhan”
Jadi sholat khusyu adalah sholat yang wushul ilaallah artinya sampai kepada Allah yakni sholat dengan Dzauq (rasa) sebagai perwujudan rasa syukur dan MAHABBAH atau perwujudan mencintai Allah Ta’ala sehingga hatinya selalu merasa sedang dalam pengawasan Allah dan yang terbaik adalah dapat menyaksikan Allah (makrifatullah) dengan hatinya (ain bashirah).
Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendaki-Nya seperti Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah) ketika mereka di dunia dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) TANPA KAIFA yakni TANPA sifat-sifat JISIM (sifat makhluk atau benda) seperti arah (jihah) dan jarak maupun tempat.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah).
قَالَ رَأَى مُحَمَّدٌ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِقَلْبِهِ
Ibnu Abbas radhiyallhuanhu berkata; Muhammad melihat Rabb-nya ‘Azza wa Jalla dengan hatinya (HR Muslim 257 atau Syarh Shahih Muslim 176, HR Tirmidzi 3203).
Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
***** awal kutipan *****
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali karamallahu wajhah menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
***** akhir kutipan *****
Allah Ta’ala DEKAT TIDAK BERSENTUH dan JAUH TIDAK BERJARAK.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat (QS Al Baqarah [2] : 186)
Malaikat Jibril ketika menampakkan sebagai seseorang berpakaian putih bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah IHSAN itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (makrifatullah), maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11 atau Syarh Shahih Muslim 10)
Jadi jika seseorang bermakrifat yakni dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) atau pengawasan Allah tertanam di hatinya karena BERKEYAKINAN bahwa “Allah Ta’ala itu dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak” maka setiap akan bersikap atau berbuat sesuatu ia selalu mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar.
Sikap dan perilaku seperti itulah yang membentuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang IHSAN.
Langkah-langkah agar berahlak baik adalah untuk membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) sampai titik hitam (dosa) pada hati menghilang berganti bintik cahaya, sehingga tidak ada yang menghijabi antara diri dengan Allah Ta’ala
Allah Ta’ala dekat dan dapat disaksikan (dipandang) dengan hati sehingga tercapailah muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin/sholihin) maka diperolehlah kenyataan Tuhan (TAJALLI).
Tajalliyat adalah tersingkapnya hijab yang membatasi manusia dengan Allah, sehingga nyata dan terang cahaya dan kebesaran Allah dalam jiwa. Dengan mudah jiwa akan menerima nur ilahi berupa hidayah dan ma’unah dari Allah untuk senantiasa bersikap terpuji dan berakhlak mulia dalam hidup sehari-hari.
Penduduk surga yang “mampir” dahulu ke neraka ataupun yang langsung masuk surga dengan maqom, derajat atau kedudukan mereka kelak akan dapat melihat Allah adalah karena mereka tidak berdosa.
Manusia terhalang atau menghijabi dirinya sehingga tidak dapat melihat Allah dengan hatinya adalah karena dosa mereka.
Dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu alaihu wasallam bersabda, “Sesungguhnya seorang mukmin jika berbuat dosa maka akan ada satu noda hitam di hatinya, jika ia bertobat dan berlepas dari dosanya maka hatinya akan menjadi bersih, namun jika dosanya bertambah maka noda hitam tersebut akan semakin bertambah hingga menutupi hatinya, itulah noda yang disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an, “Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya dosa yang mereka perbuat itu menutupi hati mereka.” (QS Al-Muthaffifin [83] : 14) (Musnad Ahmad 7611)
Jadi setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS Al Hajj [22] : 46)
Jadi tidak semua manusia dapat memandang Allah dengan hatinya
Orang kafir itu tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya karena TERHIJAB atau tertutup dari cahaya hidayah oleh KEGELAPAN sesat.
Ahli maksiat tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya karena TERHIJAB atau tertutup dari cahaya taqwa oleh KEGELAPAN alpa.
Ahli Ibadahpun boleh jadi tidak dapat memandang Allah dengan hatinya karena TERHIJAB atau tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh KEGELAPAN memandang ibadahnya.
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali dalam Misykat Al Anwar menjelaskan tentang firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang belum dapat memandang Allah Ta’ala dengan hatinya (ain bashirah) AKIBAT mereka TERHIJAB oleh cahaya yang bercampur dengan KEGELAPAN KHAYALI.
***** awal kutipan *****
Sebab, kata mereka sesuatu yang TIDAK DINISBAHKAN ke SUATU ARAH dan tidak dapat dilukiskan sebagai “di luar alam dunia” atau “di dalamnya”, menurut mereka, sama saja dengan “TIDAK ADA” karena tidak dapat DIKHAYALKAN.
***** akhir kutipan *****
Contohnya ulama mereka, Ibnu Utsaimin berkata
إذا نفيت هذه الجهات عن الله تعالی لزم أن يكون معدوما
Apabila engkau MENIADAKAN ARAH-ARAH ini dari Allah Ta’ala. Maka mengharuskan ALLAH itu TIDAK ADA. (Majmu’ Fatawa, Jilid 1, Hal.131)
Jadi letak perbedaannya, jika kaum musyrikin berhala dibuatkan, sedangkan firqah MUJASSIMAH berhala dikhayalkan.
Ciri atau tanda orang-orang yang terjerumus firqah MUJASSIMAH adalah mereka bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah Ta’ala
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang orang-orang yang BERTAMBAH ILMUNYA namun SEMAKIN JAUH dari Allah Ta’ala KARENA mereka terjerumus KESOMBONGAN dan MENOLAK KEBENARAN sehingga mereka belum dapat mencapai IHSAN yakni belum dapat melihat Allah (makrifatullah) dengan hati mereka (ain bashirah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنِ ازْداَدَ عِلْماً وَلَمْ يَزْدَدْ هُدىً، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْداً
Barangsiapa yang bertambah ilmunya NAMUN tidak bertambah atau tidak memperoleh hidayah, maka ia semakin jauh dari Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan.
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Kesombongan adalah MENOLAK KEBENARAN dan meremehkan manusia” (HR. Muslim 131 atau Syarh Shahih Muslim 91)
SELAIN mereka SEMAKIN JAUH dari Allah Ta’ala KARENA mereka terjerumus KESOMBONGAN dan MENOLAK KEBENARAN, firqah MUJASSIMAH adalah,
orang-orang yang BERTAMBAH ILMUNYA namun SEMAKIN JAUH dari Allah Ta’ala KARENA mereka terjerumus durhaka (‘aashin) kepada Allah Ta’ala AKIBAT mereka “MENJAUHKAN” Allah dengan mengitsbatkan (menetapkan) arah (jihah) dan tempat ataupun berbatas dengan makhluk-Nya yakni berbatas dengan Arsy sehingga mereka belum dapat mencapai IHSAN yakni belum dapat melihat Allah (makrifatullah) dengan hati mereka (ain bashirah).
Syaikh Ibnu Atha’illah as Sakandari (W 709H) berkata dalam Al Hikam bahwa “Tuhanmu tidak terhijab. Yang terhijab adalah pandanganmu sehingga engkau tidak dapat memandang-Nya. Kalau Dia terhijab berarti Dia tertutupi oleh sesuatu. Jika Dia tertutup sesuatu, berarti wujud-Nya terbatas. Segala yang terbatas adalah lemah, sedang Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Syekh Nawawi al Bantani (W 1314 H) dalam kitab Kasyifah as-Saja Fi Syarhi Safinah an-Naja menjelaskan ada lima tingkatan Iman.
***** awal kutipan *****
Pertama, Iman TAQLID yaitu mantap dan percaya dengan ucapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Orang yang memiliki tingkatan keimanan ini dianggap sah keimanannya. Tetapi berdosa karena meninggalkan upaya mencari dalil apabila orang tersebut mampu untuk menemukannya.
Kedua, Iman ILMI yaitu mengetahui akidah-akidah beserta dalil-dalilnya. Tingkatan keimanan ini disebut ILMU YAQIN.
Menurut Syekh Nawawi Al Bantani, orang yang memiliki keimanan tingkat pertama dan kedua termasuk orang yang masih TERHALANG JAUH dari Allah Ta’ala.
Ketiga, Iman IRFAN yaitu mengetahui Allah dengan pengawasan hati. Oleh karena itu Allah tidak hilang dari hati sekedip mata pun karena rasa takut kepada-Nya selalu ada di hati. Sehingga SEOLAH-OLAH orang yang memiliki tingkatan keimanan ini MELIHAT Allah di maqom MUROQOBAH atau derajat pengawasan hati. Tingkat keimanan ini disebut dengan AINUL YAQIN.
Keempat, Iman HAQ yaitu MELIHAT Allah (makrifatullah) dengan hati (ain bashirah). Tingkatan keimanan ini seperti yang disampaikan para ulama, yakni orang yang makrifat. Tingkat keimanan ini berada di maqom MUSYAHADAH dan disebut dengan HAQ Al-YAQIIN. Orang yang memiliki tingkatan keimanan ini adalah orang yang TERHALANG JAUH dari SELAIN Allah.
Kelima, Iman HAKIKAT yaitu SIRNA BERSAMA Allah dan mabuk karena cinta kepada-Nya. Oleh karena itu, orang yang memiliki tingkatan keimanan ini HANYA MELIHAT Allah seperti orang yang tenggelam di dalam lautan dan tidak melihat adanya tepi pantai sama sekali.
***** akhir kutipan *****
Syekh Abdul Qadir Al Jilani dalam kitabnya berjudul Sirrul Asrar menyampaikan bahwa PERPADUAN SYARIAT dan MA’RIFAT membuahkan ilmu HAKIKAT untuk dapat “kembali” menyaksikan Allah di Negeri Asal (al wathan al ashli atau Wali Songo menyebutnya dalam bahasa Jawa, Omah Keprabon) yakni Al Qurbah atau Alam Lahut.
***** awal kutipan *****
فأمر بالشريعة على ظاهرنا ، وبالمعرفة على باطننا ، لينتج من اجتماعهما علم الحقيقة , كما قال الله تعالى
Allah Ta’ala memerintahkan syariat untuk jasad dzahir (lahiriah) dan ma’rifat untuk bathin (ruhani) kita dan kedua-duanya harus dipadu dan dari perpaduannya akan membuahkan ILMU HAKIKAT, seperti yang “diisyaratkan” oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
مَرَجَ ٱلْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِبَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَّا يَبْغِيَانِ
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing (QS Ar Rahman [55] : 19-20).
وإلا فبمجرد علم الظاهر لا تحصل الحقيقة ولا يصل إلى المقصود . فالعبادة الكاملة بهما ، لا بواحدهما ،
Jika TIDAK DIPADUKAN, hanya dengan ilmu dzahir (syariat) saja maka tidak akan mencapai hakikat dan tidak akan sampai pada inti tujuan ibadah. Ibadah yang sempurna hanya dapat diwujudkan oleh perpaduan antara ilmu dzahir (syariat) dan ilmu bathin (ma’rifat). Tidak bisa dengan salah satunya saja.
فالمعرفة إنما تحصل بکشف حجاب النفس عن مرأة القلب بتصفيته ، فيرى فيها جمال الكنز المخفي في سرلب القلب
Ma’rifat sendiri hanya dapat dicapai (terwujud) dengan menyingkapkan hijab hawa nafsu dari cermin hati dengan terus menerus berupaya membersihkannya sehingga manusia dapat melihat indahnya (jamal-nya) al kanzu al makhfiyyu (harta yang terpendam dan tertutup) di dalam rasa di lubuk hati.
كما قال الله تعالى في الحديث القدسي ، ” كنت كنزا مخفيا فأحببت أن أعرف ، فخلقت الخلق لكي أعرف
Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam hadits qudsi, “Aku adalah Kanzun Makhfiyyah (yang terpendam dan tertutup) dan aku ingin ditemukan dan dikenal maka Aku ciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku”
فلهذا تبين أنّ الله تعالى خلق الإنسان لمعرفته ، فلما بين الله تعالى خلق الإنسان لمعرفته وجبت عليه معرفته .
Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa Allah Ta’ala menciptakan manusia untuk mengenal-Nya (ma’rifat). Ketika Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa penciptaan manusia agar mengenal-Nya (ma’rifat) maka menjadi keharusan untuk mengenal-Nya (ma’rifat)
فالمعرفة نوعان : معرفة صفات الله ، ومعرفة ذات الله فمعرفة الصفات تكون حظ الجسم في الدارين ، ومعرفة الذات تكون حظ الروح القدسي في الأخرة كما قال الله تعالى « وأيدناه بروح القدس
Ada dua jenis ma’rifat yakni MA’RIFAT SIFAT-SIFAT Allah dan MA’RIFAT DZAT Allah.
MA’RIFAT SIFAT menjadi tugas (kewajiban) jasad di dua alam yakni alam dunia dan akhirat dan MA’RIFAT DZAT menjadi tugas (kewajiban) Ruh Al Qudsi di akhirat (Alam Lahut sejak manusia hidup di dunia) sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Ku-perkuat manusia dengan Ruh Al Qudsi (QS Al Baqarah [2] : 87)
وهاتان المعرفتان لا تحصلان إلا بالعلمين : علم الظاهر وعلم الباطن ، كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ،
Dan KEDUA MA’RIFAT ini hanya dapat dicapai (diperoleh) dengan PERPADUAN dua ilmu, yaitu ilmu dzahir dan ilmu bathn, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
” العلم علمان : علم باللسان ، وذلك حجة الله تعالى على ابن أدم ، وعلم بالجنان ، فذلك العلم النافع لحصول المقصود
“Ilmu itu dua macam yakni ilmu (yang dicari dengan penjelasan) lisan sebagai hujjah Allah bagi hamba-Nya dan ilmu bathin yang bersumber dari lubuk hati, ilmu inilah yang berguna untuk mencapai tujuan pokok (inti) dalam ibadah (HR ad Darimi)
والإنسان يحتاج أولا إلى علم الشريعة ليحصل – للبدن كسب معرفته في عالم معرفة الصفات وهو الدرجات .
Manusia pertama-tama memerlukan memiliki ilmu syariat (ilmu dzahir) agar badannya mempunyai kegiatan dalam mencari ma’rifat di Alam MA’RIFAT SIFAT sehingga mendapatkan pahala derajat.
ثم يحتاج إلى علم الباطن ليحصل للزوج كسب معرفته في عالم المعرفة ،
Kemudian manusia memerlukan ilmu bathin agar (dengan ilmu tersebut) ruh dapat berusaha mengenal Allah di Alam MA’RIFAT DZAT.
وعالم المعرفة وهو عالم اللاهوت ، وهو الوطن الأصلي المذكور الذي خلق فيه الروح القدسي في أحسن التقويم
Yang dimaksud dengan Alam Ma’rifat adalah Alam Lahut yaitu Negeri Asal di sanalah ruh Al Qudsi dalam wujud terbaik.
والمراد من الروح القدسي الإنسان الحقيقي الذي أودع في لب القلب ، ويظهر وجوده بالتوبة والتلقين وملازمة كلمة لا إله إلا الله بلسانه أولا ( وبعده بحياة القلب ) وبعد حياة القلب يحصل بلسان الجنان ، حين تسميه المتصوفة طفل المعاني ، لأنه من المعنويات القدسية .
Yang dimaksud ruh Al Qudsi ialah HAKIKAT MANUSIA (MANUSIA SEJATI atau DIRI SEJATI) yang disimpan di lubuk hati dan kehadirannya muncul dengan taubat, talqin dan mulazamah (mengamalkan dengan terus menerus) dzikir melafalkan “La Ilaha Illallah”. Pertama-tama dengan lidah (lisan) fisiknya dan setelah hatinya sudah hidup beralih dengan lidah (lisan) hatinya. Inilah saat ketika ahli tasawuf menamakan ruh al qudsi (hakikat insaniah) dengan sebutan “Thiflul Ma’ani” (bayi ma’nawi atau jabang sukma). Dinamakan demikian karena ia lahir dari sukma yang suci (al ma’nawiyyah al qudsiyah)
والشابعة أن إطلاقه على سبيل المجاز باعتبار تعلقه بالبدن ، وتمثيله بصورة البشر بناء على أن إطلاقه عليه لأجل ملاحته لا لأجل استصغاره
Penggunaan nama Thiflul Ma’ani (untuk Ruh Kudsi) ini sifatnya majasi (metafora) ditinjau hubungan eratnya (ruh qudsi). Adapun ia ditamsilkan dengan rupa bayi lantaran keindahannya, bukan berarti Roh Qudsi kecil secara fisik seperti anak bayi.
وبالنظر إلى بداية حاله ، وهو الإنسان الحقيقي ، لأن له أنسية مع الله تعالى .
Dan ditinjau dari awal adanya, Ruh Qudsi ini adalah hakikat manusia (manusia sejati) karena dia memiliki keintiman (unsiyyah) berhubungan langsung dengan Allah Ta’ala.
فالجسم والجسماني ليس محرما له لقوله صلى الله عليه وسلم
Sedangkan badan dan ruh jasmani BUKAN MAHRAMNYA bagi Allah Ta’ala berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,
لي مع الله وقت لا يسع فيه ملك مقرب ولا نبي ، مرسل
“Aku memiliki waktu bersama Allah, dimana Malaikat terdekat dan Nabi yang diutus pun tidak memiliki kesempatan itu”
والمراد من النبي المرسل بشرية النبي
Yang dimaksud “Nabi yang diutus” (yang tidak memiliki kesempatan bersama Allah sebagaimana hadits di atas) adalah dimensi basyariyahnya (kemanusiaannya) dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
ومن الملك المقرب روحانيته التي خلقت من نور الجبروت ، كما أن الملك من نور الجبروت فلا يدخل في نور اللاهوت
Adapun yang dimaksud “Malaikat terdekat” (yang tidak memiliki kesempatan bersama Allah sebagaimana hadits di atas) adalah ruh ruhani dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang diciptakan dari cahaya Jabarut sebagaimana malaikat juga diciptakan dari cahaya Jabarut sehingga “Malaikat terdekat” tidak dapat masuk ke dalam cahaya lahut.
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ، “
Rasulullah shallallahi alaihi wasallam bersabda,
أن لله جنة لا فيها خور ولا قصور ولا جنان ولا عسل ولا لبن ، بل نظر إلى وجه الله تعالى
“ADA satu surga milik Allah Ta’ala yang di dalamnya TIDAK ADA bidadari dan istana, TIDAK ADA madu dan susu. Nikmat (yang dianugerahkan) di dalam surga tersebut hanya satu yaitu melihat Allah Ta’ala.
كما قال الله تعالى وجوه يومئذ ناضرة إلى ربها ناظرة
Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat (QS Al Qiyamah [75] : 22-23)
وكما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ، سترون ربكم كما ترون القمر ليلة البدر
Dan juga dijelaskan dalam sabda Rasullah shallallahu alaihi wasallam, Kalian akan melihat Rabb kalian, sebagaimana (mudahnya) melihat bulan pada malam bulan purnama” (HR Bukhari)
ولو دخل الملك والجسمانية في هذه العالم لاخترقا كما قال الله تعالى في الحديث القدسي ، لو كشفت سبحاث وجهي جلالي لاخترق كل ما مد بصري
Jika malaikat dan jasmani yakni segala sesuatu selain Ruh Qudsi masuk di Alam Lahut maka pasti akan terbakar sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam hadits qudsi, “Jika kesucian Dzat-Ku yakni sifat Jalal-Ku disingkap maka semuanya, sejauh mata-Ku memandang, pastilah terbakar (HR Muslim)
وكما قال جبرائيل عليه السلام ، ” لو دنوتُ لاخترقت
Sebagaimana juga yang diungkapkan Jibril alaihissalam, “Jika aku mendekat pasti aku terbakar”
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Reblogged this on Aditya Akbar.