Dua cara memecah belah dan meruntuhkan Ukhuwah Islamiyah dari dalam
Selain dari SISI AQIDAH/ I’TIQOD yakni tentang Wasiat Tuanku Imam Bonjol bahwa kalau pengetahuan belum cukup maka pelajarilah dua puluh sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2020/01/04/wasiat-imam-bonjol/
Memang ada yang menyampaikan dari SISI POLITIK dengan mengutip perkataan Buya Hamka bahwa “Vonis sesat terhadap Wahabi direkayasa untuk gurita Kolonialisme”
Apa yang disampaikan oleh Buya Hamka terkait kolonialisme Belanda yang mempergunakan isu Wahabi tujuannya adalah untuk meniadakan pengaruh Amerika Serikat di Sumatra Barat.
Perang Paderi merupakan provokasi Belanda untuk menutup kontak dagang Amerika Serikat dan Inggris yang merupakan sekutu kerajaan dinasti Saudi sebagaimana yang dapat diketahui dari buku berjudul “Api Sejarah”, karya Ahmad Mansur Suryanegara yang diterbitkan Salamadani Pustaka Semesta, cetakan I Juli 2009 pada halaman 169 Lihat scan pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/06/perang-paderi-dan-wahabi.jpg
***** awal kutipan *****
“jauh sebelum meletusnya perang Padri, 1821-1837 M, Amerika Serikat juga sudah mengadakan kontak dagang di Agam Sumatra Barat. Di sini terjadi niaga kopi, gambir, tekstil. dan garam dengan kaum Pidari atau Padri. Kedatangan Amerika Serikat menimbulkan revolusi niaga yang menjadikan kelompok Wahabi kuat perekonomiannya.
Oleh karena itu, pemerintahan kolonial Belanda dalam usahanya meniadakan pengaruh Amerika Serikat di Sumatra Barat, dengan menggunakan potensi kaum adat melawan Wahabi dalam Perang Padri yang berlangsung selama 17 tahun.
Adapun hakikat kepentingan politik penjajahan Belanda dengan Perang Padri, selain melumpuhkan gerakan Wahabisme sekaligus juga untuk mengeliminasi pengaruh Amerika Seikat
**** akhir kutipan *****
Halaman 200-202
***** awal kutipan *****
Menyusul di Sumatera Barat, pecah Perang Padri, 1821 – 1837 M, yang dipimpin oleh Imam Bondjol. Perang ini terjadi sebagai dampak dari provokasi pemerintahan kolonial Belanda agar terjadi perang antar kaum adat kontra kaum Padri.
Apa kepentingannya dengan provokasi tersebut?
Operasi serdadu Belanda di Sumatera Barat, sepintas seperti hanya bertujuan menumpas perkembangan Wahabisme. Namun tujuan sebenarnya mengusir Amerika Serikat dan Inggris yang mengadakan kontak dagang dengan kaum Pidari atau kaum Padri atau Wahabi di daerah Agam.
Dalam upaya mengatasi persaingan kedua imperialis Protestan ini, kerajaan Protestan Belanda segera mengadakan Teatry of London, 1824 M, Isinya penjajahan Inggris atas Bengkulu yang dekat dengan Sumatera Barat berakhir. Ditukar dengan Semenanjung Malaka dan Singapura diserahkan ke Inggris. Tinggal satu langkah lagi bagaimana menetralisasikan ancaman Amerika Serikat di Sumatera Barat
***** akhir kutipan *****
Dari buku “API SEJARAH” itu pula pada halaman 166-167 dapat kita ketahui bahwa untuk mewujudkan keinginan Yahudi atau yang kita kenal dengan Zionis Yahudi membangun Judenstat – The Jewish State – Negara Yahudi sejak dibawah Tsar Alexander II, 1855 -1881 M dengan mengubah gerakan Zionisme menjadi gerakan politik
Kemudian cara Dr. Theodore Hertzl 1896 M mewujudkan keinginan membangun negara Yahudi ADALAH dengan memecah belah dan meruntuhkan dari dalam ukhuwah Islamiyah yang ketika itu di bawah kekuasaan Kesultanan Turki Utsmani melalui DUA CARA yakni,
1. Penyebarluasan paham SPILIS (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme) dengan mendukung Mustafa Kemal Attaturk yang kabarnya berdarah Yahudi Dumamah/Dunama lahir di kota Selanik, tempat pengungsian etnis Yahudi.
2. Penyebarluasan paham Wahabisme bekerjasama dengan Raja Ibnu Saud yang tidak mengklaim wilayah Palestina dan Syria sebagai wilayah Saudi Arabia.
Kerajaan dinasti Saudi tidak mengklaim wilayah Palestina adalah bahasa halus dari penyerahan Palestina kepada kaum yang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla demi kepentingan politik atau kekuasaan.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)
Perbedaan Sekulerisme Amerika dengan Mustafa Kemal Ataturk
Sekulerisme Amerika itu toleran terhadap agama sedangkan sekulerisme Mustafa Kemal Ataturk itu memusuhi agama (anti-cleric)
Mustafa Kemal Ataturk setelah berkuasa mengganti agama Negara dengan sekulerisme, mengubah azan ke dalam bahasa Turki, melarang pendidikan agama di sekolah umum, melarang kerudung bagi kaum wanita, mengganti naskah-naskah bahasa Arab dengan bahasa Roma, pengenalan pada kode hukum Barat, pakaian, kalender, serta Alfabet, mengganti seluruh huruf Arab dengan huruf Latin.
Hal yang menarik ketika mengubah azan, Mustafa Kemal Ataturk mengubah Allahu Akbar menjadi Tanrı Uludur (Tuhan yang Agung) namun pada saat mengubah Hayya ala-l-falah menjadi Haydi Felaha tampak “MEMBIARKAN” Falah dengan Felah bukan mengubahnya dengan kurtulus (kemenangan) dan menurut kabar karena ingin membuat orang orang yang mendengar adzan tidak tahu jikalau sholat bisa membawa kemenangan.
Felah adalah serapan dari bahasa Arab yang mana sebagian besar masyarakat Turki tidak mengetahui makna dari arti felah yakni kemenangan.
Pada hakikatnya timbul perselisihan dan fitnah adalah karena termakan atau korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi karena kaum yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla mempunyai rasa permusuhan terhadap umat Islam adalah kaum Yahudi
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Liberalisme, Sekuralisme dan Pluralisme agama lahir dari kumpulan Freemason salah satu gerakan Zionisme yang paling disegani dikalangan Yahudi dengan prinsip “Liberty, Equality, Fraternity”.
Sekularisme adalah paham yang menjauhkan manusia dari Allah , menghindarkan manusia dalam kehidupannya me”referensi” kepada Allah / Agama
Liberalisme adalah paham yang “membebaskan” manusia terhadap aturan Allah / Agama dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata
Pluralisme adalah paham yang membuat manusia “floating” / “ragu” akan Allah / Agama dan sampai ada yang berujung menjadi pengikut atheisme.
Begitupula dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 DEFINISI LIBERALISME AGAMA adalah mereka yang memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Hadits) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran mereka semata.
DEFINISI SEKULARISME AGAMA adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
Sedangkan DEFINISI PLURALISME AGAMA adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda, “ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”
Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada RasulullahShallallahu alaihi wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.’
Dalam fatwa MUI telah pula diingatkan bahwa bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]:8 )
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Maa-idah [5]:8 )
Gus Dur adalah contoh tokoh Islam yang sangat menghormati pluralitas (keberagaman) dan terdepan dalam memerangi sikap-sikap intoleran terhadap penganut agama lain namun bukan tokoh Islam yang membenarkan agama selain Islam
Syaiful Arif dalam diskusi dan bedah buku hasil karyanya bertajuk “Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan” di hotel Akmani, Jl. KH Wahid Hasyim No. 91, Jakarta (12/11/2013) menyampaikan pendapatnya bahwa penyematan “Gus Dur Bapak Pluralisme” dinilai kurang tepat
“Saya tidak sependapat dengan penyematan gelar tersebut. Pasalnya, Gus Dur itu sangat konsen memperjuangkan kemanusiaan. Ketika beliau membela minoritas non-muslim, Tionghoa, Ahmadiyah, dan lain-lain, maka yang dibela adalah manusianya. Bukan institusi Tionghoa dan Ahmadiyahnya”. kata Arif.
Jelaslah bahwa yang diperjuangkan oleh Gus Dur adalah kemanusiaannya yakni mengakui, menghormati, toleran, merangkul, membela keberagaman manusia dengan keyakinannya (pluralitas) bukan memperjuangkan membenarkan agama selain Islam atau memperjuangkan membenarkan pemahaman firqah Ahmadiyah dan firqah-firqah lainnya yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham).
Dr Deliar Noer dalam bukunya berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942 menyebutkan, Ibnu Sa’ud yang berhasil mengusir penguasa Makah sebelumnya, yakni Syarif Husein pada tahun 1924, mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktik beragama sesuai dengan paham Wahabisme.
Paham Wahabisme adalah ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah yang dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi dari http://saudiembassy.net/islam
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Ketika ada undangan dari Ibnu Sa’ud pada kalangan Islam di Indonesia untuk menghadiri kongres di Makah, langsung mendapat reaksi dengan dibicarakan undangan tersebut di Kongres ke-4 Al-Islam di Yogyakarta (Agustus 1925) serta Kongres Ke-5 di Bandung (Februari 1926).
Kedua kongres itu didominasi golongan pembaru Islam yang membawa ajaran pembaruan Islam dalam arti memahami Al Qur’an dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri
Pada kongres di Bandung, KH Abdul Wahab Chasbullah atas nama ulama kalangan kaum tua mengusulkan mempertahankan beragama istiqomah mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang telah disampaikan oleh para pengikutnya berikut dengan kebiasan-kebiasaan yang telah dilakukan oleh mereka
Kongres di Bandung itu ternyata tidak menyambut baik usulan tersebut.
KH Abdul Wahab Chasbullah selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat di kalangan ulama kaum tua, dimulai dari Surabaya, kemudian Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati.
Mereka sepakat mendirikan suatu panitia yang disebut ”Komite Merembuk Hijaz” yang bertugas menyampaikan lima permohonan:
Salah satu permohonan yang utama adalah diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang tasawuf, aqoid maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal kebenarannya. Hal tersebut tidak lain adalah semata-mata untuk memperkuat hubungan dan persaudaraan umat Islam yang bermazhab sehingga umat Islam menjadi sebagi tubuh yang satu, sebab umat Muhammad tidak akan bersatu dalam kesesatan.
Jam’iyah Nahdlatul Ulama memohon balasan surat dari Raja Ibnu Sa’ud yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-benar menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada Raja Ibnu Sa’ud dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada kedua delegasi tersebut.
Karena untuk mengirim utusan ini diperlukan adanya organisasi yang formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Saud.
Dalam mengupayakan pertemuan dengan Raja Ibnu Sa’ud, kedua utusan itu juga diminta hadir dengan perantaraan Belanda di Jedah. Tetapi mereka tidak dapat berangkat karena terlambat memesan tempat di kapal.
Sebagai gantinya, NU mengirimkan isi keputusan rapat mereka kepada Raja Ibnu Sa’ud dengan tambahan permintaan, agar isi keputusan itu dapat dimasukkan dalam undang-undang Hijaz. Namun tidak ada jawaban atas permintaan itu.
Kemudian pada 27 Maret 1928, NU mengumumkan Abdul Wahab dan Ahmad Ghanaim al-Amir pergi ke Makah. Keduanya sampai di Tanah Suci pada 27 April 1928, dan 13 Juni 1928 mereka diterima Raja. Pada kesempatan itu, mereka meminta Raja Ibnu Sa’ud untuk membuat hukum yang tetap di Hijaz.
Dalam jawabannya melalui surat, Raja mengatakan bahwa perbaikan di Hijaz memang merupakan kewajiban tiap pemerintahan di negeri itu. Dan dia juga menyatakan akan memperbaiki perjalanan haji, sejauh perbaikan itu tidak melanggar ketentuan Islam.
Secara diplomatis Raja mengatakan bahwa mereka beragama berdasarkan apa yang tertera dalam kitab Allah dan sunnah Rasul mengikuti Salafush Sholeh yang dimulai dari para Sahabat dan diakhiri imam yang empat.
Mereka merasa atau mengaku-aku mengikuti mengikuti pemahaman Salaful Ummah atau pemahaman Salafush Sholeh atau pemahaman para Sahabat.
Apa yang dimaksud oleh mereka dengan PEMAHAMAN para SAHABAT atau mereka juga melabeli PEMAHAMAN SALAFUSH SHOLEH?
Mereka membeli atau memiliki kitab-kitab hadits dan kemudian mereka membaca hadits-hadits dimana dalam hadits tercantum sanad hadits yakni nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan dikatakan oleh mereka dikatakan bahwa mereka mengikuti PEMAHAMAN Salafush Sholeh dan dilabeli mazhab Salaf atau manhaj Salaf
Apa yang disampaikan dari hadits-hadits yang dibaca oleh mereka adalah PEMAHAMAN MEREKA sendiri BUKAN PEMAHAMAN Salafush Sholeh.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri yakni PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI dengan METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa PEMAHAMAN MEREKA terhadap hadits yang dibaca oleh mereka adalah pemahaman Salafush Sholeh.
Contohnya ustadz mereka membaca dan memahami sebuah hadits secara otodidak (shahafi) menurut akal pikirannya sendiri dengan metode pemahaman SELALU DENGAN MAKNA DZAHIR sehingga mengatakan bahwa Tuhan bertangan dua dan kedua-duanya kanan https://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/
Ironisnya tulisan ulama panutan mereka tersebut dinisbatkan sebagai pemahaman para Sahabat atau pemahaman Salafush Sholeh.
Jelas sekali apa yang mereka sampaikan BUKAN akidah atau PEMAHAMAN PARA SAHABAT (Salafush Sholeh) melainkan akidah atau PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI menurut akal pikiran mereka sendiri terhadap nash atau dalil yang mereka baca.
Mereka secara terang-terangan melanggar larangan Allah yakni mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (selalu dengan makna dzahir) sehingga menimbulkan fitnah (Q.S. Al Imran [3] : 7)
Mereka memfitnah seolah-olah Rasulullah yang bersabda bahwa Tuhan BERTANGAN DUA dan KEDUA-DUANYA KANAN.
Padahal Rasulullah sudah menjelaskan bahwa yang dimaksud “kedua tangan-Nya adalah kanan” adalah “orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka.” (HR Muslim 3406 atau Syarah Shahih Muslim 1827)
Jadi akibat pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sehingga mereka beribadah bukanlah kepada Allah Ta’ala namun mereka beribadah kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan.
Berikut kutipan catatan kaki (footnote) ketika menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255 dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa menjadi oleh-oleh bagi Jama’ah haji atau umroh Indonesia sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/17/tempat-telapak-kaki/
***** awal kutipan ****
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak telapak Kaki-Nya.”
***** akhir kutipan ****
Contoh ustadz panutan mereka lainnya salah memahami Al Qur’an dan Hadits akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir sebagaimana yang dapat disaksikan dalam sebuah video yang dipublikasikan pada http://www.youtube.com/watch?v=IxPYMh-KWFg
Pada menit 02:55 Beliau berpendapat bahwa, “Allah itu Maha Besar. Jadi kenapa Allah itu tidak kelihatan karena Allah terlalu besar untuk dilihat”
Pada menit 03:35 Beliau berpendapat bahwa, “Ayat kursi berarti informasi tentang pijakan kakinya Allah di singgasana”.
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.”
Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi terkait riwayat tersebut,
***** awal kutipan ****
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang yang duduk di atas ranjang
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.
***** akhir kutipan *****
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.
Bahkan sebaliknya ada yang mengkafirkan umat Islam yang tidak mau mengikuti pemahaman mereka yang “tanpa (perlu) takwil” yakni memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir karena dianggap telah mengingkari sifat-sifat Allah sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://almanhaj.or.id/content/794/slash/0/mengingkari-tauhid-asma-wa-sifat/
***** awal kutipan ****
Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetahui hal tersebut tanpa perlu takwil-nya.
***** akhir kutipan *****
Umat Islam tentu bukanlah mengingkari sifat-sifat Allah.
Umat Islam tentu mengakui sifat perbuatan (sifat fi’il) bagi Allah Ta’ala seperti Maha Melihat, Maha Mendengar namun TERLARANG mensifatkan atau menjismkan Dzat Allah Ta’ala seperti Tuhan memiliki dua tangan dan kedua-duanya kanan atau Tuhan memiliki dua kaki yang ditempatkan di kursi dan terkadang ditempatkan di neraka jahannam karena tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Orang-orang yang secara terang-terangan melanggar larangan Rasulullah untuk memikirkan Dzat Allah yakni mereka yang MENSIFATKAN atau MENJISMKAN Dzat Allah dinamakan firqah mujassimah atau musyabihah.
Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah“.
Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa janganlah memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan MAKNA DZAHIR karena akan terjerumus kekufuran dalam perkara i’tiqod.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah akidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Ibnu Taimiyyah adalah PENGINGKAR MAKNA MAJAZ sebagaimana contoh informasi pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
***** awal kutipan *****
Ada ulama yang mengingkari keberadaan majaz secara mutlak. Para ulama yang berpendapat demikian, mengingkari keberadaan majaz, baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah rahimahumallahu. (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115).
Bahkan Ibnul Qayim mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)
***** akhir kutipan ******
Suatu lafaz BARU BOLEH diberi makna majaz APABILA ada satu indikasi yang yang menyebabkan tidak mungkin diterapkan makna dzahir atau makna hakikat, misalnya dalam kalam tersebut makna dzahir atau makna hakikat merupakan makna yang mustahil diterapkan dalam kalam tersebut.
Ulama Hambali, Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi memberikan pedoman cara menghadapi AYAT-AYAT MUTASYABIHAT yakni AYAT-AYAT YANG MEMPUNYAI BANYAK MAKNA terkait sifat Allah yang ditetapkanNya.
Beliau berkata, “Sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maksudnya jika dipahami dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak (tidak patut) bagiNya maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan)”.
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah yakni dengan makna majaz (makna kiasan) adalah serupa dengan mereka yang berpendapat tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan.
Rasulullah bersabda, “ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan” (HR Bukhari 98)
Salah dalam memahami Al Qur’an dan Hadits karena bukan ahli istidlal akan menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan sehingga timbullah FIRQAH DALAM ISLAM dengan nama-nama pemimpinnya masing-masing.
Contohnya sebagaimana turunan Salafi Wahabi (nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahhab) seperti,
Suruuriyyah (nisbat kepada Muhammad Suruur), yang menurut mereka adalah bermudah-mudahan dalam mengklaim orang sebagai Ahlussunnah atau Salafy.
Sedangkan menurut mereka sikap ghuluw dalam mentabdi’ adalah manhaj Haddaadiyyah (nisbat kepada Mahmuud Al-Haddaad Al-Mishri) yang melampaui batas dalam mengeluarkan seorang Salafy dari kesalafiyyahannya.
dan salafi-salafi lainnya
Contoh lainnya pengikut Ali Hasan Al Halabi dinamakan oleh salafi yang lain sebagai Halabiyun sebagaimana contoh publikasi mereka pada http://atsarsunnah.wordpress.com/2013/11/20/demi-halabiyun-rodja-asatidzah-ahlussunnah-pun-dibidiknya/
Asy-Syathibi mengatakan bahwa orang-orang yang berbeda pendapat atau pemahaman sehingga menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan. maka mereka menjadi firqah-firqah dalam Islam sebagaimana yang Beliau sampaikan dalam kitabnya, al-I’tisham yang kami arsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/27/ciri-aliran-sesat/
Begitupula kami telah melakukan penelusuran terhadap firqah Wahabi, para penerus KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah sejak awal tahun 2009 dan salah satunya untuk menjawab pertanyaan mengapa mereka terjerumus RADIKALISME yakni mereka mempergunakan cara-cara kekerasan (ekstrim/radikal) seperti mentahdzir dengan celaan dan tuduhan syubhat, bid’ah, sesat, bahkan kafir terhadap siapapun yang tidak sepemahaman/sependapat dengan mereka.
Salah satu jawabannya adalah karena mereka BELUM MENGENAL Allah (MAKRIFATULLAH) “dengan sebenar keagungan-Nya”(QS Az Zumar [39]:67) AKIBAT METODE PEMAHAMAN mereka selalu dengan MAKNA DZAHIR sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2019/11/25/siapa-termasuk-khawarij/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar