Ada dari mereka bertasyabuh dengan kaum Yahudi yakni keyakinan bentuk Tuhan mereka
Tidak ada satupun ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat yang mengatakan bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki mata dua buah, telinga dua buah, tangan dua buah , jari ada lima, pinggang, telapak kaki dan lain lain
Orang-orang yang mengatakan seperti itu , pada umumnya adalah orang-orang yang mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah
Berikut contoh kutipan penjelasan tentang pola pemahaman Ibnu Taimiyyah yang bersumber dari http://ustadchandra.wordpress.com/2010/02/13/sosok-dan-pemikiran-ibn-taimiyah/
Berikut kutipannya
******* awal kutipan ******
Kontrofersi pemikiran Ibnu Taimiyah.
Pemikiran Ibnu taimiyah sering menjadi ajang polemik di kalangan para Ulama, sejak zaman Ibnu Taimiyah sendiri, dan gara-gara itu dia sering keluar masuk penjara, terutama mengenai masalah-masalah Akidah dan Fiqih. Keberanian Ibnu Taimiah ini tidak hanya berbeda dengan para ulama di zamannya, namun Ibnu Taimiyah juga sering menyalahi Ijma`. Itulah yang membuat ulama di zamnnya geram pada Ibnu Taimiah.
Pemikiran pertama yang menjadi kontrofersi terjadi pada tahun 698 H. Hal itu gara-gara satu fatwa yang dikenal dengan masalah hamawiah. Fatwa ini membuat Qadhi waktu itu turun tangan, yaitu Imamauddin al-Quzwaini. Qadhi itu memberi fatwa “Barang siapa yang mengambil pendapatnya Ibnu taimiah maka dia akan dita`zir.” Pada tahun 705 Ibnu Taimiah kembali membikin heboh yang membuat dirinya kembali masuk penjara, dan pada tahun 709 dia dipindahkan ke Iskandariah, di sanapaun dia jaga mengeluarkan fatwa-fatwa aneh yang dipermasalahkan oleh ulama setempat. (Ibnu Hajar al Asqalani, Addurarul Kaminah, Hal 88)
Begitulah seterusnya Ibnu taimiiyah, dia terus keluar masuk penjara baik ketika dia di Syam atau di Mesir. Dalam beberapa kasus, Ibnu Taimiyah terkesan tidak konsekwen pada pendapatnya, kadang dia mengaku bermazhab Syafii, atau bermazhab Hambali dan kadang dia juga mengaku berakidah Asyairah namun di lain kesempatan dia juga mencaci tokoh-tokoh Asya’irah, seperti Imam Ghazali dan yang lainnya. Tidak hanya itu, Ibnu Taimiyah juga berani lancang mencaci sahabat Nabi (Ibnu Hajar al Asqalani, Addurarul Kaminah, Hal 90-98)
Oleh sebab itulah, ulama dari masa ke masa senantiasa memperselisihkan sosok dan pemikiran Ibnu Taimiyah, ada yang menganggapnya fasik, ada yang menganggapnya mubtadi` (ahli bid’ah) dan bahkan ada yang menganggap kafir. Tidak hanya para penentangnyya yang mengkritik Ibnu taimiyah, murid-muridnya juga sering berbeda dan menasehatinya, seperti Ibnu Katsir dan adz-Dzahabi. Bahkan adz-Dzahabi menulis sebuah risalah husus yang berisi nasehat-nasehat agar Ibnu Taimiyah kembali dan bertobat. Surat ini di kenal dengan an-Nashîhah adz-Dzahabiyah li Ibn Taimiyah.( lihat Attaufiqu rabbani hal 23)
Penentang Ibnu Taimiyah sejak zaman Ibnu Taimiyah sendiri sampai pada saat ini terus mengalir, mulai dari kalangan fuqaha madzahabil arb’ah sampai para ulama kalam. Sedang yang mengarang kitab yang berisi kritikan pada Ibnu taimiyah juga sangat banyak, seperti as-Subki dan ulama-ulama setelahnya. (Lihat Ahmad Muhammad al ya?qubi Fatawa Ibnu Taimiyah fil Mizan Hal 20-28)
Pemikiran kontrofersi Ibnu Taimiyah
Adapun pemikiran Ibnu Taimiyah yang dianggap bertentangan dengan Ijma`dan mayoritas ahlu sunnah wal jamaah sangat banyak diantaranya adalah:
1. Keyakinnanya tentang Zat Allah yang mempunyai jasad seperti jasadnya makhluk, duduk seperti duduknya makhluk, bertangan, mempunyai mata dang telinga. Bahkan Ibnu Taimiyah berkata bahwa Allah turun dari langit sebagai mana turunnya dia dari mimbar. Mazhab ini di sebut al-Hasyawiyah al-Mujassamah. Dewasa ini beberapa ulama telah menulis penelitian dan mempelajari pemikiran ini dengan seksama, di antaranya adalah Kasyfu al-Shaghîr ‘an ‘Aqîdah Ibnu Taimiyah, karya Said Fudah, Ibnu Taimiyah Laisa Salafiyan, desertasi Doktor oleh Mansur Muhammad Ghawaiesy, dan Fatâwâ Ibnu Taimiyah fil-Mîzan, karya Muhammad Ahmad Ya‘qubi.
2. Berani mencaci Ulama dan Sahabat Nabi. Kelancangan Ibnu taimiyah ini membuat nyawanya terancam karena telah berani mencaci Imam al-Ghazali dan pengikut Asya`irah lainnya. Bukan hanya itu, Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa Imannya Sayyidina Ali tidak sah, sebab beliau masuk Islam sebelum baligh, dan Iman sayyidina Abu Bakar juga tidak sah karena Abu Bakar beriman dalam keadaan pikun hingga beliau tidak mengerti apa yang di ucapkan. Imam Ali ra. menurutnya mempunyai 17 kesalahan. Dan beliau berperang karena cinta kedudukan. Sedang sayyidina Utsman menurutnya sangat cinta dunia. Dalam kitab Durarul Kaminah dan kitab Fatawa Ibnu Taimiyah fil-Mizan dijelaskan panjang lebar masalah ini.
3. Inkar terhadap Majaz. Ibnu Taimiyah berasumsi bahwa dirinya dengan pemikiran itu berada dalam Manhaj salaf. Sebab sebagaimana yang telah masyhur bahwa ulama dalam menyikapi ayat-ayat musytabihat ada dua kelompak, kelompok pertama adalah Tafwidh (menyerahkan penafsirannya pada Allah sendiri) mazhab ini yang diikuti oleh kebanyakan ulama salaf. Dan kelompok kedua adalah mazhab Ta`wil (mentafsiri ayat musytabihat sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah) cara ini dipakai oleh ulama khalaf.
Sedang pendapat Ibnu Taimiyah dalam masalah ini berkonsekwensi pada pemahaman yang berbahaya dalam memahamii al-Quran dan nama dan sifat Allah, sebab hanya membawa pada pengertian yang mustahil pada zat dan sifat Allah. Adapun pendapat salaf mengenai masalah Tafwidh, salaf tidak mau panjang lebar mengenai masalah ini, sehingga menyerahkan urusan ini pada Allah. Beda halnya dengan Ibnu taimiyah yang berani menafsiri Al-Quran dengan lahirnya saja, sehingga mengakibatkan hal yang fatal.
Disamping itu keingkaran Ibnu taymiyah pada majaz dapat menimbulkan pengertian yang salah terhadap teks Syariah, Ibnu Qayyim sendiri sebagai murid setia Ibnu Taimiyah merasa kebingungan menyikapi masalah ini, sebab tidak sedikit dari ulama salaf dan pengikut mazhab Hanafi (Ibnu Taimiyah mengaku bermazhab ini) yang mempercayai adanya majaz dalam al-Quran. Seperti Ibnu Abi Ya`la, Ibnu Agil, Ibnu al-Khattab dan lain-lain sangat menganggap keberadaan majaz dalam al-Quran. (Mansur Muhammad Ghawas Ibnu Taimiyah Laisa Salafiyan Hal. 41)
Seseorang yang membaca kitab Shawaiq al-Mursalah karya Ibnu Qayyim, maka akan tampak kebingungannya dalam menyikapi pendapat gurunya tersebut.
4. Ibnu Taimiyah menyalahi Ijma` ulama. Seperti pendapatnya talak waktu haid itu tidak terjadi, masalah ta`liq talak, seorang haid boleh tawaf tampa membayar kaffarat, kata-kata talak tiga hanya terjadi satu dan beberapa pendapat nyeleneh lainnya. Al-hasil banyak pendapat Ibnu taimiyah yang bertentangan dengan mayoritas ulama Ahlu sunnah wal jamaah.
********** akhir kutipan *****
Berikut salah satu contoh orang-orang yang mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah http://ajaranislamyanghaq.wordpress.com/2013/02/04/bagaimanakah-bentuk-allah-swt-itu/
Berikut kesimpulan dari tulisan mereka
1] Allah Ta’ala memiliki tempat kediaman (‘Arsy);
2] Allah Ta’ala itu berada di tempat yang paling tinggi (‘Arsy), dan seseorang yang berada di dataran tinggi lebih dekat jaraknya dengan Allah Ta’ala ketimbang orang yang berada di dataran rendah;
3] Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘arsy mirip seperti bulan; Bulan itu bertempat di langit, namun dia bersama kita, walaupun kita berjalan ke perkotaan; ke perkampungan; ke puncak gunung; ke puncak bukit; ke tengah lautan luas; ataupun ke pemukiman penduduk, namun bulan selalu bersama-sama dengan kita semua. Begitu juga dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bertempat di atas ‘arsy-Nya, namun Dia selalu bersama kita dimana pun kita berada.
4] Allah Ta’ala mempunyai bentuk;
5] Wujud Nabi Adam As (wujud manusia) tercipta sebagaimana wujud Allah;
6] Allah Ta’ala juga mempunyai ruh;
7] Allah Ta’ala memiliki pembatas;
8] Allah Ta’ala memiliki wajah;
9] Allah Ta’ala memiliki pantat;
10] Allah Ta’ala mempunyai pinggang;
11] Allah Ta’ala memiliki tangan kiri dan tangan kanan
Sedangkan yang lain seperti dalam tulisannya pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/ di bagian akhir tulisan menuliskan kesimpulan bahwa Allah mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah adalah kanan
12] Allah Ta’ala terikat arah kiri dan kanan;
13] Allah Ta’ala mempunyai lima jari;
14] Allah Ta’ala mempunyai mata dan telinga;
15] Allah Ta’ala memiliki kaki;
16] Allah Ta’ala memiliki betis;
17] Allah Ta’ala memiliki fisik sebagaimana manusia;
18] Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk berduaan dengan Allah Ta’ala;
19] Allah Ta’ala turun ke langit dunia setiap tengah malam;
20] Allah Ta’ala turun ke langit dunia serupa dengan seseorang yang baru turun satu tingkat dari atas mimbar;
21] Kalo Allah Ta’ala berkehendak, niscaya Dia akan bersemayam di atas punggung nyamuk;
22] Allah Ta’ala akan cemburu jikalau Dirinya tidak disembah;
23] Allah Ta’ala juga bisa tertawa
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaima yang disangkakan oleh orang awam
Dalam masalah i’tiqod di antara mazhab yang empat tidak ada perbedaan karena i’tiqod bukanlah masalah yang bersifat furu’iyyah. Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod
Pada kenyataannya mereka mengikuti orang-orang yang semula bermazhab Hambali yang menjadi imam atau guru besar kaum musyabbihah yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah dari sudut artinya saja atau memahaminya dengan selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) seperti,
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdadial-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali. Beliau ini pengarangbuku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana diuraikan banyak tentang tasybihm yaitu keserupaan Tuhan dengan manusia.
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmadal-Baghdadi al-Hanbali, dikenal dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang kitab Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan bahwa “Aib yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air sebanyak air laut sekalipun”. Tampaknya cacat pahamnya terlalu besar.
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghunial-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang sebuah buku dalam usuluddin yangberjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan tajsim.
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahannya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf untuk menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama yang semula Hanabila yang merupakan guru guru besar kaum Musyabbihah atau Mujassimah.
Ibn al Jawzi berkata bahwa
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادمعلى صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata,mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki.
Sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”,
Mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu–dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan“Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
Mereka yang beri’tiqod bahwa Tuhan memiliki dua mata berdalilkan salah satunya dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Ketahuilah bahwasanya dajjal itu buta sebelah, sedang rabb kalian tidak buta sebelah, tertulis diantara kedua matanya KAFIR” (HR Bukhari)
Dajjal memiliki mata yang buta sebelah bukanlah menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki dua mata namun Dajjal memiliki mata yang buta sebelah dan tertulis diantara kedua matanya KAFIR adalah menunjukkan ketidakberdayaannya sehingga dengan keadaan Dajjal tersebut maka kita dapat memastikan bahwa dia bukan Tuhan.
Ibn al Jawzi menyampaikan bahwa “Mereka yang menyimpulkan bahwa Allah memiliki dua mata hanya karena didasarkan kepada makna dzahir hadits Nabi: ”ليس بأعور ”, [makna dzahir hadits ini mengatakan ”Allah tidak buta”] padahal yang dimaksud hadits tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa Allah maha suci dari segala bentuk kekurangan, cela dan aib, sedikitpun bukan untuk menetapkan bahwa Allah memiliki anggota-anggota badan dan atau memiliki bagian-bagian. Seorang yang berkeyakinan tanzîh maka dia akan paham bahwa al-’ain pada hak Allah yang dimaksud bukan sebagai anggota badan dan bukan sebagai bagian dari Dzat-Nya [karena Allah maha suci dari bagian-bagian].
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata,
الكرسي موضع القدمين ، والعرش لا يقدر أحد قدره
“Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.”
Menurut Ibn al Jawzi dalam kitab di atas sebagai berikut
***** awal kutipan ****
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang yang duduk di atas ranjang
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.
***** akhir kutipan *****
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.
Jika memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya dan apa yang telah disampaikan oleh lisan RasulNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir maka menyerupai (bertasyabuh) kepada kaum Yahudi
Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits diatas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره ” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Jikalau beri’tiqod (beraqidah) selalu dengan makna dzahir (selalu berpegang pada nash secara dzahir) maka “jari Allah” juga berada disetiap hati manusa
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya. (HR Muslim 4798)
Ibn Al Jawzi berkata , “Hadits ini menunjukan bahwa hati setiap manusia di bawah kekuasaan Allah. Ketika diungkapkan “بين أصبعين ”,artinya bahwa Allah sepenuhnya menguasai hati tersebut dan Allah maha berkehendak untuk “membolak-balik” hati setiap manusia.
Dari Syahru bin Hausyab berkata; saya telah mendengar Ummu Salamah meceritakan bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam memperbanyak dalam do’anya: Allahummaa muqallibalqulubtsabit qalbi ‘ala dini (Ya Allah,yang membolak balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu). Ia berkata;saya berkata; “Wahai Rasululah! Apakah hati itu berbolak balik?” beliau menjawab: “Ya, tidaklah ciptaan Allah dari manusia anak keturunan Adam kecuali hatinya berada di antara dua jari dari jari-jari Allah. Bila Allah Azza wa Kalla berkehendak, Ia akan meluruskannya, dan jika Allah berkehendak,Ia akan menyesatkannya. Maka kami memohon kepada Allah; ‘Wahai Tuhan kami,janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah kami diberi petunjuk.’ Dan kami memohon kepada-Nya supaya memberikan kepada kita rahmat dari sisinya, sesungguhnya dia adalah Maha Pemberi’.” (HR Ahmad No 25364)
Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah
Awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam mazhab yang empat yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Waspadalah jika tidak bermakrifat atau tidak mengenal Tuhan yang disembah maka ibadahnya tidak akan diterima.
Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata:
مَنْ زَعَمَ أنَّ إِلهَـَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ الْمَعْبُوْدَ (رَوَاه أبُو نُعَيم
“Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
Al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata:
لاَ تَصِحُّ الْعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
Oleh karenanya jika belum mengenal Allah dengan benar maka ibadahnya tidak sah atau belum beriman kepadaNya, maksudnya barangsiapa mengatakan “tiada tuhan selain Allah” namun Allah yang diyakini (di’itiqodkan) berlainan dengan Allah sebenarnya maka dia telah menyekutukan Allah dengan sesuatu yang diyakininya.
Jadi permasalahan terbesar yang dapat menjerumuskan kekufuran dalam i’tiqod adalah cara mereka menetapkan sifat Allah yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau penetapan sifat Allah selalu berdasarkan makna dzahir
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jism (contohnya tangan) sebagaimana jisim-jisim lainnya (sebagaimana tangan lainnya), maka orang tersebut hukumnya Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (contohnya tangan) namun tidak serupa dengan jisim-jisim lainnya (tidak serupa dengan tangan makhlukNya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
– I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-pindah.
Imam ath Thahawi dalam kitabnya Aqiidah ath Thaahawiyah berkata “Barangsiapa yang enggan (tidak mau) menafikan sifat makhluk kepada Allah atau menyamakan-Nya dengan sifat makhluk, maka ia telah sesat dan tidak melakukan tanzih (mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk). Karena sesungguhnya Tuhan kami yang Maha Agung dan Maha Mulia itu disifati dengan sifat-sifat wahdaniyyah (tunggal) dan fardaniyyah (kesendirian). Hal ini artinya, tidak ada satupun makhluk yang menyamaiNya. Maha Suci Allah dari segala macam batasan, tujuan, pilar, anggota dan aneka benda. Allah ta’ala tidak butuh enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (Abu Ja’far Ahmad bin Salamah Ath Thahawi , Aqidah Ath Thahaawiyyah halaman 26)
Hal yang perlu kita ingat bahwa Allah Azza wa Jalla menetapkan sifatNya dalam bahasa Arab sehingga kita memahaminya harus dengan ilmu seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’)
Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab beliau Qawaid Al Ahkam (2/337-339) sebagaimana diuraikan dalam tulisan pada http://syeikhnawawial-bantani.blogspot.com/2011/12/pembagian-bidah-menurut-imam-izzuddin.html menyatakan bahwa menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) adalah termasuk bid’ah hasanah dan hukumnya wajib. Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.
Al Qur’an dan As Sunnah, diturunkan Allah Azza wa Jalla dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi.
Nash-nash yang fushahah dapat kita pahami dengan makna dzahir namun nash-nash yang balaghah tidak selalu dapat dipahami dengan makna dzahir melainkan dengan makna majaz (metaforis)
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (makna dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)”
Kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah seperti makna majaz timbul jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya “tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah” (QS Ali Imran [3]:7) adalah bagi orang-orang yang mencari-cari takwil
Sedangkan pada ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman bahwa Dia mengkaruniakan kemampuan takwil kepada yang dikehendakiNya yakni Ulil Albab
Kemampuan takwil adalah kemampuan memahami dengan mengambil pelajaran berdasarkan karunia hikmah dari Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya
Sedangkan “orang-orang yang mencari-cari takwil” adalah orang-orang yang memahami dengan akal pikirannya sendiri bukan berdasarkan karunia hikmah
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab“ (QS Ali Imran [3]:7)
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl [16] : 43)
Ulil Albab atau ahli dzikir atau orang yang mempunyai pengetahuan karena karunia hikmah dari Allah ta’ala adalah
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3] : 191)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendoakan untuk Ibnu Abbas ra agar Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan takwil
Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al ta’wil
Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia takwil Qur’an
atau
Allahumma ‘allimhu al hikmah.
Ya Allah alimkanlah dia dengan hikmah
atau
Allahumma faqqihu fiddini, wa allimhu al hikmata at ta’wila qurana
Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al Qur’an (HR Ibnu Majah)
Tentulah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mendoakan hal yang terlarang bagi Ibnu Abbas ra.
Kesimpulannya mereka yang memahami apa yang telah Allah ta’ala sifatkan untuk diriNya dan apa yang telah disampaikan oleh lisan RasulNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir tampaknya memang tidak dianugerahkan kemampuan takwil atau hikmah oleh Allah Azza wa Jalla
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dan banyak dikaruniakan hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab
Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu’aib Telah menceritakan kepada kami Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah orang-orang yang berperasaan dan hatinya paling lembut, kefaqihan dari Yaman, hikmah ada pada orang Yaman.” (HR Bukhari 4039)
Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)
Kita dapat telusuri apa yang telah disampaikan oleh ahlul Yaman melalui apa yang disampaikan oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahman Al Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddin, kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang orang yang setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar Al Fagih Almuqoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutthoriqoh dan orang orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra
Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang muktabaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Seberapapun panjangnya rantai sanad ilmu (sanad guru) seorang ulama seperti Muhammad bin Abdul Wahhab namun tidak berarti apa-apa kalau pada akhirnya Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah yakni memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama salaf (terdahulu) bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri.
Berikut contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam seperti pada http://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Begitupula dari biografi Ibnu Taimiyyah pun kita mengetahui bahwa beliau termasuk kalangan otodidak (shahafi) seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Begitupula dengan Al Albani yang sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan sebagaimana contoh informasi pada http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nashiruddin_Al-Albani
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Dari http://www.facebook.com/photo.php?fbid=364436613697536 ada sebuah pernyataan “mengapa firqah Wahabi hampir tidak pernah menukil pendpat dari Sayyidina Ali ?”
Untuk menjawab mengapa mereka tidak menukil atau berfatwa berdalilkan perkataan atau mengambil hadits yang dirawayatkan oleh Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu maka kita telusuri apa pendapat Ibnu Taimiyyah terhadap Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu sebagaimana contoh yang termuat pada http://ustadchandra.wordpress.com/2010/02/13/sosok-dan-pemikiran-ibn-taimiyah/
Jadi berdasarkan contoh informasi dari situs tersebut maka kemungkinannya Ibnu Taimiyyah tidak menukil atau berfatwa berdalilkan perkataan atau mengambil hadits yang dirawayatkan oleh Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu adalah karena Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa Imannya Sayyidina Ali tidak sah, sebab beliau masuk Islam sebelum baligh. Imam Ali ra. menurutnya mempunyai 17 kesalahan. Dan beliau berperang karena cinta kedudukan.
Sedangkan Sayyidina Ali karramallahu wajhu sebagaimana sabda Rasulullah , “Aku adalah kota ilmu, manakala Ali pula pintunya. maka barangsiapa yang inginkan ilmu maka hendaklah datang melalui pintunya (Ali).”
Bahkan Rasulullah bersabda “Wahai Ali sungguh berdusta orang yang mengaku mencintaiku namun membencimu”
Kita dapat menemukan mereka yang meninggalkan para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah karena menganggapnya sebagai kaum syiah sebagaimana contoh tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/07/ke-alam-barzakh/
Padahal para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapatkan pengajaran agama dari dua jalur yakni
1. Melalui nasab (silsilah / keturunan). Pengajaran agama baik disampaikan melalui lisan maupun praktek yang diterima dari orang tua mereka secara turun temurun tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
2. Melalui sanad ilmu ( sanad guru). Pengajaran agama dengan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat yang mengikuti Salafush Sholeh dengan cara bertemu langsung bukan melalui perantaraan mutholaah (menelaah kitab).
Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Bahkan dapat pula kita temukan orang-orang yang membenci, ahlul bait. Mereka adalah An-Nawaashib mufradnya naashib atau biasa disebut dengan nashibi adalah orang-orang yang membenci ahlul bait , keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Imam at Tirmidzi dan Imam ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra., ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Cintailah Allah agar kalian memperoleh sebagian nikmat-Nya, cintailah aku agar kalian memperoleh cinta Allah, dan cintailah keluargaku (ahlul baitku) agar kalian memperoleh cintaku.”
Imam Syafi’i ~rahimahullah bersyair, “Wahai Ahlul-Bait Rasulallah, mencintai kalian adalah kewajiban dari Allah diturunkan dalam al-Quran cukuplah bukti betapa tinggi martabat kalian tiada sholat tanpa shalawat bagi kalian.”
Jabir ibnu Abdillah berkisah: “Aku melihat Rasulullah dalam haji Wada` pada hari Arafah. Beliau menyampaikan khutbah dalam keadaan menunggangi untanya yang bernama Al-Qashwa. Aku mendengar beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia! Sungguh aku telah meninggalkan pada kalian dua perkara yang bila kalian mengambilnya, maka kalian tidak akan sesat yaitu kitabullah dan ‘itrati ahlul baitku.” (Hadits diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3786, kitab Al-Manaqib ‘an Rasulillah , bab Manaqib Ahli Baitin Nabi shallallahu alaihi wa sallam)
Abu Said Al-Khudri dan Zaid bin Arqam meriwayatkan, “Sungguh aku meninggalkan pada kalian perkara yang bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu dari perkara itu lebih besar daripada perkara yang lainnya, yaitu kitabullah tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi. Dan (perkara lainnya adalah) ‘itrati, yaitu ahlul baitku. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di haudl. Maka lihatlah dan perhatikanlah bagaimana kalian menjaga dan memperhatikan keduanya sepeninggalku.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 3/14,17 dan At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3788)
Cara untuk menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran dari Allah ta’ala dan disampaikan oleh RasulNya
Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustakan perkataan manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Jadi fitnah tanduk syaitan adalah fitnah dari orang-orang yang menjadikan gurunya syaitan karena memahami Al Qur’an dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri sebagimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/07/fitnah-tanduk-syaitan/
Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaikan secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).
Dalam memahami kalimat “pewaris para Nabi” kita pahami dahulu arti kata mewarisi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia atau contoh penjelasan pada http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/185 pengertian mewarisi adalah:
1. memperoleh warisan atau
2. memperoleh sesuatu yang ditinggalkan
Jadi ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh sebelumnya secara turun-temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan.
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya. Kaitan antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin).
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.
Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan kami taat
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar