Berprasangka baiklah terhadap apa yang telah diperlihatkan oleh Allah Ta’ala
Sebaiknya kita berprasangka baik terhadap apa yang telah diperlihatkan oleh Allah Ta’ala melalui lisannya mbah Moen bahwa Beliau mendoakan keduanya.
Suasana kunjungan ke “1+1” Jokowi adalah sebagai Presiden RI sehingga sebagaimana suasana acara kenegaraan pada umumnya yakni suasana seremonial, bersifat resmi, kaku dan bahkan membicarakan masalah politik dalam kegiatan dzikir bersama seperti yang dapat disaksikan dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=24Hy0gqug7A
Sedangkan suasana kunjungan calon presiden nomor urut 2, Prabowo bersifat pribadi sebagaimana suasana seseorang yang sowan atau silaturrahim kepada ulama untuk memohon doa restu yakni suasana kekeluargaan dan saling menceritakan masa lalu sampai saat silaturrahim itu dapat terselenggara seperti yang dapat disaksikan dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=y0F3ZuK_OjM
Begitupula dalam video tersebut, Prabowo menyampaikan bahwa kunjungan Beliau bukanlah untuk meminta dukungan karena dia ingin menempatkan ulama di atas segala kepentingan.
Dalam sambutannya, Prabowo mengakui kedatangannya itu murni untuk sowan atau silaturrahim meminta doa restu kepada Mbah Moen yang merupakan salah satu sosok ulama sepuh kharismatik di Indonesia.
Prabowo mengakui, sebenarnya rencana kedatangannya untuk sowan ke Mbah Moen sudah sejak lama dan ingin dilakukannya secara diam-diam. Kedatangannya kali ini pun, diakuinya membuatnya terharu karena sambutan para santri yang penuh antusias dan sangat meriah.
“Saya sangat kaget juga terharu atas sambutan yang sangat besar ini kepada saya. Saya sebetulnya hanya ingin datang pribadi untuk sowan ke Romo Kiai Haji Maimoen Zubair yang saya anggap orang tua saya, guru saya, ustaz saya, pembimbing saya,” kata Prabowo.
“Kalau ada suatu pekerjaan yang besar, kalau ada suatu usaha yang besar, kita selayaknya datang ke orang tua, yang kita tuakan, yang kita hormati, memohon doa restu, memohon doanya.
Dalam video tersebut pada menit 37:05, Prabowo menambahkan bahwa seorang prajurit pasti dekat dengan kiai. Seorang prajurit itu selalu cari kiai untuk mendapatkan doanya karena seorang prajurit ketika dikirim tugas “bisa nggak kembali” , (seolah-olah) “teken” pulang nama
Dalam kedua video tampak “text” besar yakni
“Selamat datang, Bapak Ir. H. Joko Widodo. Presiden Republik Indonesia, Sarang Berzikir untuk Indonesia Maju”
dengan
“Silaturrahim, Letjen (Purn) H. Prabowo Subianto, Calon Presiden RI Pemilu 2019, Nomor Urut 2 ”
Jadi “text” pertama menunjukkan doa untuk kepentingan politik “Indonesia Maju” seperti dukungan pencapresan sedangkan “text” kedua menunjukkan silaturrahim untuk mendapat doa restu semata.
Oleh karenanya setelah mbah Moen menutup doa, elite atau petinggi partai PPP, Romahurmuziy bergegas “membisikan” mbah Moen akibat salah menyebut nama dalam doanya.
Dalam “klarifikasi” doa untuk kepentingan politik “Indonesia Maju” tersebut, mbah Moen menjelaskan,
“Jadi kalau saya luput , sudah tua, saya umur 90 lebih,” tutur Mbah Moen.
Mendengar pernyataan Mbah Moen itu, Jokowi tampak tertawa kecil.
“Jadi dengan ini saya pribadi, siapa yang ada di samping saya nggak ada kecuali Pak Jokowi,” lanjut Mbah Moen.
Jokowi lalu terlihat mengangguk.
Pernyataan atau “klarifikasi” doa untuk kepentingan politik “Indonesia Maju” di DEPAN PUBLIK yang diawali dengan “Saya pribadi” adalah salah satu cara Mbah Moen “melepaskan” dari status Beliau dalam organisasi pondok pesantren, organisasi PPP sebagai ketua Majelis Syariah maupun ormas NU sebagai dewan Mustasyar (Dewan Penasehat) supaya tidak “membebani” para santri di ponpes, warga PPP maupun warga NU.
Hal ini serupa dengan ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur (Jatim) , Kiai Taufik Hasyim mengatakan , “Secara pribadi saya mendukung nomor urut 1 Jokowi-Ma’ruf. Namun, secara kelembagaan PCNU Pamekasan netral,” sebagaimana yang diberitakan pada http://faktualnews.co/2019/01/13/ketua-pc-nu-pamekasan-secara-pribadi-dukung-pasangan-jokowi-maruf/118040/
***** awal kutipan ****
Lebih lanjut kiai Taufik menjelaskan, NU sebagai ormas Islam dalam segala kontestasi politik itu netral. Sebab, organisasi NU bukan partai politik sehingga partai tidak ikut mendukung baik di Pilkada mupun Pilres.
“Secara kelembagaan NU tidak menentukan sikap terhadap salah satu Paslon,” terangnya.
Namun, meski demikian warga NU mempunyai hak untuk memilih siapa yang di kehendaki. Sebab, NU Pamekasan tidak mendukung terhadap salah satu paslon di Pilres 2019. Meskipun, Kiai Ma’ruf Amin merupakan sesepuh di NU.
“Warga NU silahkan menentukan pilihannya, asal tidak membawak simbol-simbol NU,”tandasnya.
***** akhir kutipan ****
Gus Sholah mengingatkan bahwa ketika memakai “baju” ormas NU maka tidak boleh mendukung siapa-siapa kita harus tegak mengikuti Khittah NU. Tidak ada keharusan warga NU memilih calon yang manapun juga. Hak warga NU harus kita hormati dan itu dijamin oleh Khittah NU. Netral itu tidak memihak siapa-siapa tapi memihak kepada aturan”
Begitupula ketika gus Sholah memohon kepada Kiai Tholhah supaya bisa hadir dalam halaqah yang kelima Komite Khittah untuk menyampaikan tentang proses lahirnya Khittah NU 1926.
Gus Sholah menyampaikan persyaratan yang diajukan oleh kiai Tholhah bahwa pesantren tempat halaqah itu diadakan, tidak condong kepada salah satu paslon dalam Pilpres 2019.
“Netral itu artinya kita tidak memihak kepada pasangan yang mana pun tapi kita memihak kepada kebenaran. Kebenaran yang kita yakini dalam hal ini mengenai khittah itu,” jelas Gus Sholah.
Komite Khittah NU tidak melarang berpolitik atau memisahkan politik dari agama namun salurkanlah kepentingan politik melalui partai politik seperti PKB atau PPP dan sebaiknya janganlah mengatasnamakan ormas NU karena NU bukan organisasi untuk berpolitik praktis.
Hasil keputusan Muktamar NU di Situbondo 1984 untuk ‘Kembali ke Khittah 1926’ adalah untuk kebaikan ormas NU agar tidak terpecah belah karena politik praktis atau perbedaan kepentingan.
“Khittah NU 1926” adalah garis, nilai-nilai, dan model perjuangan NU yang dipondasikan pada tahun 1926 ketika NU didirikan.
Pondasi perjuangan NU tahun 1926 adalah sebagai gerakan sosial-keagamaan.
KH. Maimun Zubair atau lebih akrab disapa dengan Mbah Moen yang dijadwalkan hadir dalam halaqah IV Komite Khitthah 1926 Nahdaltul Ulama (KK26-NU) di PP Al-Wahdah, LasMoenem, Jawa Tengah Kamis (17/1/2019), berhalangan.
Meski begitu, peserta halaqah bisa mendengarkan pesan-pesan beliau yang disampaikan KH Suyuthi Toha dari Banyuwangi sebagaimana yang diberitakan pada http://duta.co/sampaikan-pesan-mbah-moen-di-depan-halaqah-kk-26-nu-kiai-suyuthi-nu-sudah-karut-marut/
***** awal kutipan *****
Menurut Kiai Suyuthi, Mbah Moen berharap NU bersungguh-sungguh mengamalkan khitthah NU. Kalau ada indikasi melenceng harus terus diingatkan sampai berhasil.
“Jadi upaya komite khitthah ini sudah mendapat restu dari beliau. Mbah Moen minta kita juga bersungguh-sungguh memperjuangkan tegaknya khitthah NU,” jelasnya.
Kiai Suyuthi juga mengutip pesan-pesan penting yang pernah disampaikan almaghfurlah KH Sahal Mahfudh. Menurutnya, ketika menjadi Rais Aam, Kiai Sahal begitu kokoh menegakkan khitthah NU.
“Politik NU bukan rebutan jabatan, bukan politik praktis. Politik praktis itu ecek-ecek atau cekether. Bahasa Mbah Sahal politik NU itu tingkat tinggi, politik menjaga NKRI, politik keummatan, politik membela orang lemah. Hari ini kita saksikan NU sudah karut marut,” tegasnya.
***** akhir kutipan ******
KH Suyuthi Toha menyampaikan pesan dari almaghfurlah KH Sahal Mahfudh bahwa urusan politik yang diurus oleh ormas NU bukanlah masalah seperti pilpres. Politik NU itu tingkat tinggi, politik menjaga NKRI, politik keummatan, politik membela orang lemah.
Peran POLITIK TINGKAT TINGGI atau sisi “hulu” seperti
“menjaga, membela, mempertahankan Islam Aswaja dan ideologi NKRI yang berazaskan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945”
Kurang efektif jika diperankan dari sisi “hilir” yakni melalui peran eksekutif seperti wakil presiden.
Terlebih lagi inti dari tugas wakil presiden hanyalah “membantu” Presiden sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 4 ayat 2
“Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”
Sebagai “pembantu” Presiden bisa terjadi suatu keadaan di mana wakil presiden “terpaksa” membenarkan kebijakan Presiden.
Peran politik tingkat tinggi tersebut justru KH Ma’ruf Amin sebaiknya tetap di ormas NU sebagai fuqaha (ahli fiqih) agar bisa bebas dan independen memberikan nasehat, arahan atau pendapat agar KEBIJAKAN penguasa (umaro) SIAPAPUN YANG TERPILIH tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Contoh lain peran POLITIK TINGKAT TINGGI atau sisi “hulu” yang sebaiknya diperankan oleh ormas NU seperti mempertimbangkan dan menyarankan sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat harus dikembalikan ke UUD 1945 sebelum reformasi yakni melalui permusyawaratan/perwakilan sesuai amanat Pancasila sila ke 4 karena kita dapat melihat salah satu efek negatifnya adalah dapat meruntuhkan Ukhuwah Islamiyah
Dengan melalui permusyawaratan/perwakilan” maka dapat dilakukan fit & proper test terhadap paslon dan dilakukan oleh yang berkompeten bukan dilakukan oleh rakyat awam melalui celaan dan hujatan karena belum dewasa dalam berpolitik.
Apalagi rakyat awam dapat terkena pengaruh politik pencitraan ataupun strategi politik play victim.
PENCITRAAN dalam arti negatif adalah KEPURA-PURAAN untuk memanipulasi persepsi publik terhadap dirinya untuk kepentingan popularitas atau elektabilitas.
Strategi politik PLAY VICTIM atau strategi politik menzalimi atau memfitnah diri sendiri adalah strategi politik menyakiti diri sendiri dan kemudian menyalahkan orang lain sebagai pelakunya.
Pada hakikatnya jika kelak menjadi wakil presiden itu KH Ma’ruf Amin turun maqom yakni kalau di ormas NU dari maqom Rais ‘Aam ke maqom Tanfidziah
Rais ‘Aam adalah pemimpin dewan Syuriah. Syuriah adalah badan musyawarah yang mengambil keputusan tertinggi dalam struktur kepengurusan NU. Dalam konteks kenegaraan, syuriah bisa dikatakan sebagai dewan legislatif. Asal-usul kata Syuriah diambil dari kata syawara, artinya adalah bermusyawarah.
Tanfidziah adalah badan pelaksana harian organisasi NU. Tidak seperti pada syuriah, pemimpin tertinggi tanfidziah disebut ketua umum, bukan rais aam. Asal mula kata tanfidziyah diambil dari kata naffadza, berarti melaksanakan kebijakan dewan Syuriah.
Oleh karenanya ketika KH Ma’ruf Amin mau menerima pinangan Jokowi maka Beliau sebaiknya “melepaskan” keterkaitannya dengan ormas NU supaya terhindar dari konflik kepentingan.
Terlebih lagi posisi Beliau di ormas NU adalah sebagai Rais Aam
Apalagi kalau tidak salah dalam anggaran dasar ormas NU tercantum bahwa Rais Aam, tidak boleh dicalonkan atau mencalonkan jabatan politik manapun.
Dalam anggaran dasar, wakil Rais Aam bisa menjadi penjabat Rais Aam apabila Rais Aam “berhalangan tetap” .
Contohnya ketika Rais Aam KH Sahal Mahfudz berpulang ke rahmatullah tentu termasuk kondisi “berhalangan tetap” dan akhirnya digantikan KH Mustofa Bisri.
Namun pada saat ini Rais Aam KH Ma’ruf Amin tidaklah dalam kondisi “berhalangan tetap”.
Sehingga menjadi “kendala” penggantian KH Ma’ruf Amin oleh KH Miftahul Ahyar sebagai Rais Aam.
Oleh karenanya disarankan PBNU mengundang ulama NU dan seluruh pimpinan pesantren se-Indonesia untuk membahas pengangkatan Rais Aam yang baru.
Begitupula proses pengangkatan KHUSUSNYA Rais Aam sebaiknya tidak dilakukan dengan metode “suara terbanyak” namun melalui Ahlul Halli wal Aqdi, sehingga memungkinkan terpilihnya atau menetapkan pemimpin sesuai syar’i yakni pemimpin yang tidak mencalonkan dirinya sendiri namun diminta untuk memimpin dikarenakan KOMPETENSI dan REKAM JEJAK (riwayat) pendapat, pemahaman dan perilaku selama ini.
Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepada Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu yang artinya, “Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberinya karena engkau mencarinya engkau akan dibiarkan mengurusi sendiri (tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala bantu). Tetapi jika engkau diberinya tanpa mencarinya maka engkau akan dibantu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dalam mengurusinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam Shahih Al-Bukhari juga, dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada dua orang mengatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, jadikan kami sebagai pemimpin.” Maka beliau menjawab yang artinya, “Sesungguhnya kami tidak akan memberikan kepemimpinan kami ini kepada seseorang yang memintanya atau berambisi terhadapnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sebelumnya KH Ma’ruf Amin meminta PBNU harus habis-habisan memenangkan pasangan calon nomor urut 01 sebagaimana yang diberitakan pada http://www.msn.com/id-id/berita/nasional/kiai-maruf-warga-nu-harus-habis-habisan-dukung-jokowi/
****** awal kutipan *****
Calon Wakil Presiden nomor urut 01, KH Ma’ruf Amin meminta agar warga NU bekerja keras untuk memenangkan dirinya bersama Presiden Joko Widodo pada Pilpres 2019 mendatang. Karena, menurut dia, para ulama senior NU sebelumnya telah menyarankan agar dirinya mau menjadi cawapres dari Jokowi.
“Konsekuensinya PBNU harus habis-habisan, NU harus habis-habisan memenangkan Pak Jokowi bersama saya. Sanggup atau tidak? siap apa tidak?,” ujar Kiai Ma’ruf saat sambutan dalam acara Sambung Hati bersama para ulama dan tokoh masyarakat di Pondok Pesantren Al Masthuriyah Sukabumi, Cibolang Kaler, Cisaat, Sukabumi, Rabu (19/12).
******* akhir kutipan *******
Pernyataan KH Ma’ruf Amin meminta “PBNU harus habis-habisan memenangkan pasangan calon nomor urut 01” dinilai beberapa elite NU sebagai upaya terang-terangan KH Ma’ruf Amin menyeret NU masuk pusaran politik praktis. Hal ini jelas bertentangan dengan Khittah NU sebagai ormas keagamaan.
Saking prihatinnya dengan kondisi itu, dzurriyah muassis alias anak cucu pendiri NU beberapa waktu lalu menggelar pertemuan.
Pertemuan itu dihadiri KH Agus Solachul A’am Wahib Wahab (Gus A’am), Gus Rozaq, KH AWachid Muin, KH Muhammad Najih Maimoen (Gus Najih) dari Sarang, KH Abdul Zaini (Besuk, Pasuruan), KH Abdul Hamid (Lasem), KH Abdullah Muchid, KH Ahmad Zahro, MAal-Chafidh, KH Choirul Anam, KH Achmad Dahlan, Nasihin Hasan, Aminuddin Kasdi, KH Muhammad Idrus Ramli (Jember), KH Luthfi Bashori Alwi (Malang), Gus Ahmad Muzammil (Yogyakarta), Gus Mukhlas Syarkun.
Hasilnya, mereka sepakat membentuk Komite Khittah , agar NU kembali ke rel Khittah 1926 sebagaimana yang dirumuskan oleh pendirinya.
“Para kiai sedih, menangis menyaksikan NU yang terlalu jauh diseret ke politik praktis. Melalui Komite Khittah , kita ingatkan agar kembali ke jalan yang benar,” tegas juru bicara Komite Khittah , KH Choirul Anam (Cak Anam).
Sejumlah ulama dan dzuriyah (keturunan) pendiri NU menggelar Halaqah ke-2 di pondok pesantren Hasbullah, Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Rabu (14/11/2018).
Hasilnya, mereka sepakat membentuk Komite Khittah NU sebagaimana yang diberitakan pada http://beritajatim.com/politik-pemerintahan/Pertemuan_di_Tambakberas_Ulama_NU_Dirikan_Komite_Khittah/
***** awal kutipan *****
”Hasil halaqah ulama Nahdliyyin hari ini, kita sepakat membentuk Komite Khittah. Selanjutnya, hasil ini akan kita mintakan restu ke sesepuh NU, yakni KH Maimun Zubair, KH Mustofa Bisri, dan KH Tolchah Hasan” ujar juru bicara halaqah, Choirul Anam atau Cak Anam, usai acara.
Apa target dibentuknya Komite Khittah?
Cak Anam menjelaskan, target Komite KHittah adalah melaksanakan khittah NU yang sudah dicetuskan dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984. Yakni, NU adalah organisasi sosial kemasyarakatan, bukan organisasi politik. NU tidak ada kaitan dengan partai politik manapun.
Namun belakang ini, lanjut Cak Anam, pengurus PBNU maupun PBNU secara kelembagaan tidak memberikan contoh pelaksanaan khittah tersebut. Justru sebaliknya, NU terseret dalam arus politik.
Halaqah Ulama NU ke-2 ini merupakan kelanjutan dari halaqah sebelumnya yang digelar di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang bulan kemarin, yang menelurkan tiga poin.
Dalam halaqah kedua di kediaman KH Hasib Wahab Tambakberas ini, tampak hadir pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) serta KH Suyuti Toha dari Banyuwangi. Kemudian KH Nasihin Hasan dari Jakarta, KH. Maimun dari Sumenep, Kiai Muzammil dari Yogyakarta, serta Tengku Bulkaini dari Aceh.
Berikutnya, ada Musthofa Abdullah dari Bogor,serta Endang Muttaqin dari Tangerang dan beberapa kiai lainnya dari sejumlah daerah di Indonesia.
***** akhir kutipan ******
Dalam Halaqah ke-4 komite Khittah 1926 di pondok pesantren Al-Wahdah, Lasem, Kamis (17/1) selain dihadiri KH Salahuddin Wahid (Jombang), kegiatan yang digelar mulai pukul 11.00 juga dihadiri KH. Nashikin Hasan (Jakarta), KH. Abdullah Muchit (Malang), KH. Suyuti Thoha (Banyuwangi), KH. Rozi Syihab (Pasuruan), KH. Yahya Romli (Tuban).
Kemudian, KH. Fadlolimoh Ruhan (Sekjen Aliansi Ulama Madura), Prof. Dr. KH. Ahmad Zahro (Surabaya), Prof. DR Rohmat Wahab (Jogjakarta), KH. Ghozy Wahib Wahab (Jogjakarta), KH. Shodiq (Bumiayu), KH. Najih Maemoen Zuber (Sarang) dan KH. Ahfaz Abdul Hamid dan masih banyak kiai kenamaan lainnya.
Sambutan kali pertama disampaikan tuan rumah kegiatan halaqah KH. Ahfaz Abdul Hamid. Kemudian, panitia kegiatan H. Agus Sholahul. Kemudian dilanjutkan seminar/ halaqah, Prof. Dr. KH. Ahmad Zahro.
KH. Ahfaz Abdul Hamid menuturkan KH. Baedlowi bin Abdul Aziz menginginkan apa yang menjadi cita-cita para sesepuh. Termasuk ikut serta komite khittah, karena mempunyai perhatian terhadap NU yang kini tidak pada garis perjuangan sesepuh sebagaimana yang diberitakan pada http://radarkudus.jawapos.com/read/2019/01/19/114685/pilih-jokowi-atau-prabowo-ini-pernyataan-gus-sholah-di-pilpres
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar