Sirwal atau celana bukan sunnah Rasulullah namun ciri khas ahli kitab.
Ternyata pakaian adat bagi laki-laki di beberapa daerah nusantara selain menggunakan celana ditambah lilitan sarung itu mengikuti sunnah Rasulullah.
Rasulullah memerintahkan menggunakan sirwal (celana) dan izar (sarung) agar berbeda dengan ahli kitab.
Telah bercerita kepada kami Zaid bin Yahya telah bercerita kepada kami ‘Abdullah bin Al ‘Alaa` bin Zabr telah bercerita kepadaku Al Qasim, ia berkata; Saya mendengar Abu Umamah berkata;
قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يَتَسَرْوَلَونَ وَلَا يَأْتَزِرُونَ
Aku berkata; Wahai Rasulullah, ahli kitab mengenakan celana (sirwal) dan tidak memakai sarung (izar) .
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَرْوَلُوا وَائْتَزِرُوا وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihiWasallam bersabda; “Pakailah celana (sirwal) dan sarung (izar) dan berbedalah dengan ahli kitab. (Musnad Ahmad 21252)
Sedangkan Rasulullah lebih menyukai gamis yakni pakaian hanya satu bagian sehingga mengenakannya pun hanya sekali dan memakai gamis di sini tentu lebih mudah dibanding menggunakan pakaian dua bagian, pakaian atas (rida’) dan pakaian bawah (izar/sarung)
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ أَحَبَّ الثِّيَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم – الْقَمِيصُ
“Pakaian yg paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu gamis.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Jadi pada kenyataannya Rasulullah tidak pernah “menyunnahkan” untuk menggunakan sirwal atau celana bagi laki-laki.
Namun boleh menggunakan sirwal atau celana bagi laki-laki karena tidak ada perintah khusus dari Rasulullah tentang model pakaian.
Begitupula mengenai pakaian ini, Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al Qur’an yang artinya, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (al-A’raaf : 31)
Allah Ta’ala menjadikan konteks ayat ini umum bagi seluruh anak Adam, baik laki-laki maupun perempuan, muslim ataupun non musli. Dan Allah memerintahkan mereka untuk mengenakan pakaian yang indah. Maksudnya, mengenakan pakaian yang bisa menutupui aurat, dan pakaian yang indah di setiap tempat berkumpulnya anak Adam as, baik di masjid, sekolah, universitas, tempat bekerja dan tempat-tempat lainnya.
Ayat di atas menetapkan sebuah asal hukum untuk perbaikan agama dan masyarakat. Menurut kalangan ahli tafsir, sebab turunya ayat itu berkaitan dengan kebiasaan orang-orang Arab dulul yang berthawaf mengelilingi Ka’bah dalam keadaan tidak memakai pakaian (telanjang), baik laki-laki maupun perempuan. Perbuatan telanjang seperti ini banyak terjadi pada bangsa-bangsa lain. Bahkan sampai hari ini pun masih kita jumpai di sebagian negara yang belum mendapat cahaya Islam.
Ayat di atas tidak menentukan jenis dan bentuk pakaian yang harus dipakai, karena Islam mempunyai syariat yang relevan di setiap masa dan tempat. Perintah umum dalam ayat di atas adalah, hendaknya seseorang mengenakan pakaian yang indah setiap bertemu dengan orang lain, sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, hendaknya selaras dengan kebiasaan di masanya dan adat istiadat kaumnya.
Jenis dan bentuk pakaian yang sedang ngetrend di tengah masyarakat selama masih berada dalam lingkaran pakaian syar’i, yaitu tidak terlalu ketat, tidak terlalu tipis, tidak membuat aurat kelihatan, dan tidak dipakai untuk bergaya maka hukumnya boleh.
Ada dua jenis pakaian yang dibenci oleh Rasulullah yakni
1. Pakaian yang “tampil beda” yakni keluar dari kebiasaan suatu masyarakat.
2. Pakaian baik, buruk atau berbeda dengan kebiasaan untuk mencari popularitas atau agar dilihat orang.
Abu Walid al Baji berkata “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membenci pakaian yang tidak biasa dikenakan (di masyarakat) dan pakaian yang dikenakan karena ingin mencari popularitas semata. (al Baji, al Muntaqaa Syarkhil Muwaththa 7/219)
Imam asy Syaukani berkata, “Ketika pakaian yang dikenakan adalah dimaksudkan untuk mencari popularitas di tengah masyarakat, maka tidak ada bedanya apakah pakaian itu baik atau buruk. Karena yang menjadi standarad adalah pakaian itu sesuai atau berbeda dengan yang umum dikenakan di masyarakat itu. Sebab, keharaman SYUHROH, berputar pada illat (sebab) mencari popularitas. Yang menjadi standard hukum adalah maksud dari perbuatan, sekalipun maksud itu secara nyata tidak sesuai dengan kenyataan yang ada (asy Syaukani , Nailul ‘Athaar 2/111)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ
“Barangsiapa memakai pakaian SYUHROH, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Imam Ahmad bin Hanbal pernah melihat seorang laki-laki mengenalkan mantel Arab (Hejaz) berbodir benang butih dan hitam. Dia lalu berkata, “Tanggalkanlah bajumu ini, dan pakailah pakaian penduduk negerimu.” Laki-laki itu membantah, “Pakaian ini tidak haram dipakai”. Imam Ahmad menjawab, “Seandainya kamu sedang di Mekkah atau Madinah, aku tidak akan mencelamu seperti ini (Muhammad as-Safarini, Ghidzaa’il ‘Albaab, 2/163)
Syaikh Abdul Qadir al Jailani berkata, “Di antara pakaian yang harus dijauhi adalah pakaian yang dikenakan untuk mencari popularitas di tengah masyarakat, seperti keluar dari kebiasaan negara atau keluarganya. Hendaklah ia mengenakan pakaian yang cocok buatnya, agar ia tidak ditunjuk dengan jari-jari telunjuk. Karena hal ini bisa memicu orang lain mencela dirinya sehingga ia pun ikut-ikutan mendapatkan dosa mencela, bersama dengan mereka yang mencela dirinya (Muhammad as Safarini , Ghidzaa’il Albaab 2/162)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar