Mereka yang mensifatkan tempat bagi Tuhan
Mereka yang mensifatkan tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala salah satunya akibat mereka salah memahami firman Allah Ta’ala,
a-amintum man fiis samaa-i an yakhsifa bikumul ardha fa-idzaa hiya tamuuru (QS Al Mulk [67]:16)
Mereka memahami fiis samaa adalah “berada di atas langit” sebagaimana contoh tulisan mereka pada http://almanhaj.or.id/2665-keberadaan-allah-azza-wa-jalla.html
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang berada di atas langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?
Berikut kutipan penjelasan dari ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi terhadap firman Allah Ta’ala tersebut,
**** awal kutipan *****
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang seringkali disalahpahami oleh kaum mujassimah adalah firman Allah
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
aamintum man fiis samaa-i (QS Al Mulk [67]:16)
Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna dzahirnya karena dasar kata fis sama dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”; padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun.
Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi (makna dzahir) seperti ini, karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit (bisa jadi sama besar, lebih besar, atau lebih kecil dari langit itu sendiri)
Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
***** akhir kutipan ******
Al-Kirmâni berkata, “Sabda: مَنْ فى السَّمَاء makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian (keagungan / kemuliaan) Dzat dan sifat-Nya.“ dan seperti inilah para ulama selainnya menjawab / menerangkan setiap kata yang datang dalam nash yang menyebut kata atas dan semisalnya.”(Fathu al Bâri,28/193)
Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya turut menjelaskan perkara yang sama dalam menafsirkan ayat tersebut, yang dimaksud dengan perkataan ‘man’ (siapa) dalam ayat tersebut adalah ‘Allah’ maka tidak boleh dikatakan keberadaan Allah itu di langit karena Allah tidak memerlukan langit tetapi maknanya adalah ‘kerajaan Allah’ bukan ‘Dzat Allah’. Maha suci Allah dari sifat makhlukNya.
Berikut kutipan dari tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1129, juz 29, Al Mulk [67]:16
***** awal kutipan ******
a-amintum, (Apakah kalian merasa aman) dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara tashil
man fiis samaa-i, (terhadap kekuasaan Allah yang di langit) yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang di langit
an yakhsifa, (bahwa Dia akan menjungkir balikkan) berkedudukan menjadi badal dari lafaz man
bikumul ardha fa-idzaa hiya tamuuru, (bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang) menjadi gempa dan menindih kalian
****** akhir kutipan ******
Oleh karenanya terhadap firmanNya pada (QS Al Mulk [67]:16) para mufassir (ahli tafsir) telah sepakat menyisipkan “(berkuasa)” agar tidak dipahami “berada” atau “bertempat” sehingga menafsirkannya menjadi
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?,
Berikut contoh penjelasan mereka untuk pembenaran bahwa fiis samaa adalah “berada di atas langit” yang bersumber dari http://buletin.muslim.or.id/aqidah/kelirunya-keyakinan-tuhan-di-mana-mana
***** awal kutipan ******
Dalil tegas yang menyatakan Allah fis sama’.
Menurut Ahlus Sunnah, maksud fis sama’ di sini ada dua:
(1) Fi di sini bermakna ‘ala, artinya di atas. Sehingga makna fis sama’ adalah di atas langit, dan
(2) Sama’ di sini bermakna ketinggian (al ‘uluw). Sehingga makna fis sama’ adalah di ketinggian.
Dua makna ini tidaklah bertentangan.
Sehingga dari sini jangan dipahami bahwa makna “fis samaa” adalah di dalam langit sebagaimana sangkaan sebagian orang.
****** akhir kutipan ******
Berikut penjelasan mereka lainnya untuk pembenaran bahwa fiis samaa adalah “berada di atas langit” yang bersumber dari http://almanhaj.or.id/3343-aqidah-imam-syafii-allah-subhanahu-wa-taala-ada-di-atas.html
***** awal kutipan ******
Di antara dalil bahwa (في) bermakna “di atas” juga adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menceritakan perkataan Fir’aun kepada para penyihirnya,
“dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian di atas pohon kurma” (QS Thaha [20]:71).
Dalam ayat ini Fir’aun mengancam para penyihir yang beriman dengan kenabian Musa. Mereka diancam akan disalib di atas pohon kurma.
Apakah mungkin orang yang berakal mengatakan makna (في) dalam ayat tersebut adalah “di dalam”?
Lalu apa gunanya ancaman Fir’aun ini kalau para penyihir disalib di dalam pohon kurma?
Bukankah Fir’aun melakukan ancaman ini supaya yang lain takut dengan kekejamannya?
Bagaimana yang lain akan takut kalau tidak bisa melihat apa yang terjadi?
****** akhir kutipan ******
Jadi mereka memahaminya “menyalib di atas pohon kurma” dalam arti tidak menempel atau “melayang di atas pohon kurma” karena mereka mengi’tiqodkan Tuhan berada atau bertempat di atas langit (di atas langit ke tujuh) bukan dalam arti Tuhan menempel di atas langit ke tujuh.
Para mufassir (ahli tafsir) menafsirkan fii judzuu’i pada (QS Thaahaa [20]:71) adalah “dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pohon kurma” atau “dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian di pohon kurma”
Dalil-dalil yang mereka pergunakan untuk pembenaran aqidah mereka bahwa Tuhan bertempat di langit, seperti dengan menyerupakan fiis samaa (di langit) dengan fii judzuu’i (di pohon kurma) adalah sebuah kekeliruan karena konteks ayat yang berbeda. Fii judzuu’i (di pohon kurma) adalah konteks ayat yang berlaku pada makhluk.
Hal serupa dengan orang-orang yang melakukan pembenaran terhadap aqidah mereka bahwa Tuhan istawa (bersemayam) dalam arti bertempat di atas ‘Arsy berdalilkan “waistawat alal judiy” (Qs Huud [ 11] : 44) maka mereka telah menetapkan ada keserupaan Allah dengan makhluk-makhlukNya, karena konteks ayat-ayat yang mereka sebutkan adalah berlaku pada makhluk, padahal Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya, “Janganlah kalian membuat keserupaan-keserupaan bagi Allah” (QS. An-Nahl [16] : 74).
Dengan demikian mereka telah jatuh dalam keyakinan tasybîh dan tamtsîl karena telah menyerupakan Istawâ pada hak Allah dengan Istawâ pada hak makhluk yang berarti bertempat, atau menyerupakan Istawâ pada hak Allah dengan Istawâ pada perahu Nabi Nuh di atas pegunungan al-Judiyy. Ini jelas sebagai keyakinan tasybîh yang sangat buruk.
Bahkan kata Istawâ dalam ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh mereka untuk menetapkan Allah Ta’ala istawa (bersemayam) dalam arti bertempat di atas arsy memiliki makna tidak hanya dalam pengertian bertempat saja.
Contohnya (Qs Huud [ 11] : 44) adalah untuk mengungkapkan bahwa perahu Nabi Nuh yang semula berjalan kemudian berhenti dan menetap di atas gunung al-Judiyy.
Dengan demikian ketika mereka menjadikan ayat-ayat serupa dengan (Qs Huud [ 11] : 44) sebagai dalil dalam menetapkan Allah Ta’ala istawa (bersemayam) dalam arti bertempat atau berada di atas arsy berarti sama saja dengan mengatakan bahwa Allah Ta’ala semula berada di suatu arah kemudian bergerak dan pindah ke arah atas, dan lalu bertempat di atas arsy tersebut, sebagaimana seorang yang menaiki binatang tunggangan atau menaiki perahu, sebelumnya ia berada di bawah tunggangannya tersebut lalu pindah dan menetap di atasnya. (kami berlindung kepada Allah dari aqidah seperti itu)
Dalam kitab-kitab terjemahan Al Qur’an, para mufassir (ahli tafsir) menterjemahkan arti kata Istawa adalah bersemayam bukanlah kekeliruan karena kata bersemayam mempunyai dua makna yakni makna dzahir dan makna majaz (makna kiasan).
Kita harus dapat membedakan antara arti dengan makna.
Hal terlarang jika kata istawa yang artinya bersemayam dimaknai dengan makna dzahir (makna harfiah) atau makna yang tersurat (makna yang tertulis) yang menurut kamus bahasa Indonesia adalah
1. duduk; Contohnya, “Pangeran bersemayam di kursi kerajaan”
2. bertempat, tinggal; berkediaman; Contohnya, “Presiden bersemayam di Istana Negara”
Makna yang mendekati kata Istawa adalah makna kata bersemayam dalam makna majaz (makna kiasan) atau makna yang tersirat (makna di balik yang tertulis) terkait dengan hati yakni menguasai hati.
Contohnya “sudah lama dendam itu bersemayam di hatinya” atau “cinta bersemayam di hatinya”.
”Bersemayam di hatinya” dapat dimaknai dengan “menguasai hatinya”
Jika hal buruk bersemayam di hati atau menguasai hati maka akan buruk pula tingkah lakunya sebaliknya jika hal baik bersemayam di hati atau menguasai hati maka akan baik pula tingkah lakunya.
Hati adalah inti dan pusat kendali seluruh gerak dan aktivitas . Bersih dan kotornya hati seseorang akan segera berdampak pada perilaku dan perbuatannya
Rasulullah bersabda “Ketahuilah kamu di dalam badan manusia terdapat segumpal darah. Apabila baik maka baiklah keseluruhan segala perbuatannya dan apabila buruk maka buruklah keseluruhan tingkah lakunya. Ketahuilah kamu bahwa ia adalah hati”.
Al-Qushayri dalam Lata’if al-Isharat, telah menyebutkan : Adapun mengenai singgasana Qalbu, “Kami angkut mereka di daratan dan di lautan” . telah disimpulkan pula bahwasanya : “Dia (Allah) Yang Maha Rahman menetapkan Dirinya sendiri atasnya (`alayhi istawa); sedang mengenai arsy di hati: Yang Maha Rahman menguasainya (`alayhi istawla). Arsy di langit adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk, sedang arsy di hati adalah tempat melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Sehingga, ada ada perbedaan besar antara kedua arsy itu” (Lata’if al-Isharat jilid 4 hal:118)”
Jumhur ulama berpendapat bahwa terlarang atau tidak dibenarkan istawa yang artinya bersemayam dimaknai dengan makna dzahir sebagaimana yang disampaikan oleh Imam al-Hâfizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam kitabnya, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn menyebutkan bahwa seorang yang memaknai istawa dengan makna dzahir seperti memaknai Istawâ dengan Istaqarra (menetap atau bertempat), penafsiran semacam ini sama sekali tidak dapat dibenarkan, karena sama dengan mensifati Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya, sedangkan seorang yang menafsirkan Istawâ dengan Istawlâ tidak berbuat kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh. Menurut Imam az-Zabidi penafsiran semacam ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah.
Ibn Battal mengatakan, “pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau “Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah berkuasa (Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21).
Dalam Shubah al-Tashbih hal:23 , Ibn al Jawzi juga membolehkan menafsirkan istiwa sebagai “al-qahr”, menguasai.
Begitupula lafaz-lafaz yang jika dipahami dengan makna dzahir adalah “di langit”, “di atas” yang disandarkan kepada Allah Ta’ala bukanlah untuk mengungkapkan arah, berpindah atau tempat namun dipahami dengan makna majaz (kiasan / metaforis) terkait dengan ketinggian dalam arti kemuliaan dan keagungan Allah Ta’ala.
Contoh yang sering disalahpahami oleh mereka
وهو فوق العرش وفوق كل شيء
diterjemahkan dan dipahami mereka dengan, “sedangkan Ia (berada) di atas ‘Arsy. Dan Allah (berada) di atas segala sesuatu”
Sisipan kata “berada” bukanlah pemahaman para Sahabat atau Salafush Sholeh namun pemahaman mereka sendiri
“Allah di atas segala sesuatu” bukanlah berarti “Allah berada di atas segala sesuatu”
Ibn al Jawzi menjelaskan
***** awal kutipan ****
Mereka lupa bahwa pengertian “fawq”, “فوق ” dalam makna indrawi (makna dzahir) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja.
Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “علوّ المرتبة ”; “derajat yang tinggi”.
Padahal dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “فلان فوق فلان ”; artinya; “derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B).
***** akhir kutipan ****
Jadi fawq dipahami dengan makna majaz (kiasan atau metaforis) untuk mengungkapkan derajat atau keagungan dan kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dipahami dalam makna dzahir sehingga mensifatkan Tuhan dengan sifat jawhar atau benda seperti sifat tempat karena terlarang mensifatkan Tuhan dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Sebagai pembenaran aqidah, ada pula mereka mengutip perkataan ulama salaf ataupun Imam Mazhab yang empat namun permasalahannya mereka tidak membedakan apakah perkataan tersebut berfungsi menyampaikan untuk menjelaskan atau sekedar ‘ala sabilil hikayah, menetapkan lafazhnya (itsbatul lafzhi) saja; yaitu hanya mengucapkan kembali apa yang diucapkan oleh al Qur’an, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa” atau “A’amintum man fis sama’“. Tidak lebih lebih dari itu; yaitu tidak memaknakan (tafsir) atau tidak menetapkan maknanya (itsbatul ma’na) secara dzahir bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada dalam arti bertempat di langit atau bertempat di atas ‘arsy.
Sebagaimana mereka memahami Al Qur’an dan Hadits selalu dengan makna dzahir maka seperti itu pula mereka memahami perkataan-perkataan para ulama terdahulu.
Contohnya mereka menyampaikan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,
الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”
Ternyata riwayat ini adalah riwayat yang sama sekali tidak benar sebab ghoiru tsabit.
Jika kita lihat di dalam kitab-kitab Adh-Dhu’afa’, Abdullah bin Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if.
Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah bin Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”.
Al-Imam bin Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan gharaib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”.
Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah bin Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis”. (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya)
Dalam matan / redaksi di atas disebutkan “ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya” artinya ilmuNya pun meliputi langit maupun ‘Arsy
Allah Ta’ala berfirman bahwa yang meliputi ‘Arsy maupun langit dan segala sesuatu adalah ilmuNya bukan DzatNya
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”. (QS Ath Thalaq [65]:12)
“ilmu Engkau meliputi segala sesuatu” (QS al Mu’min / al Ghaafir [40]:7)
Sedangkan namaNya, sifatNya, perbuatanNya bukanlah DzatNya. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Contoh lainnya mereka mengutip perkataan Imam Abu Hanifah sebagaimana disebutkan dalam kitab Mukhtashar al-Uluw
Imam Abu Hanifah ditanya tentang seseorang yang berkata, “Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah Dia di langit atau di bumi?” Imam Abu Hanifah menjawab, “Dia kafir, karena Allah berfirman, ‘Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.’(Thaha: 5), dan ArsyNya di atas langitNya.”
Imam Abu Hanifah ditanya lagi, dia berkata, “Aku berkata, Allah bersemayam di atas Arsy, tetapi aku tidak mengetahui apakah Arsy di langit atau di bumi?” Imam Abu Hanifah menjawab, “Jika dia mengingkari bahwa ia di langit maka dia kafir.”
Mereka mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah menetapkan sifat istiwa` bagi Allah, bahwa Allah bersemayam dalam arti bertempat atau berada di atas ArsyNya, di atas langitNya, beliau menetapkan kekufuran orang yang mengingkari hal ini. Hal ini sesuai pula dengan hadits yang meriwayatkan jawaban seorang budak “di langit” atas pertanyaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, aina Allah (di mana Allah)
Padahal yang dimaksud dengan kutipan perkataan Imam Abu Hanifah bahwa ada dua ungkapan seseorang menjadi kafir atau terjerumus kekufuran dalam i‘tiqod yakni
“Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah Dia di langit atau di bumi?”
“Allah di atas ‘arsy, dan aku tidak tahu arah ‘arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”
Seseorang menjadi kafir atau terjerumus kekufuran dalam i‘tiqod dengan kedua ungkapan tersebut karena menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah.dan setiap yang membutuhkan kepada tempat dan arah maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yang baharu (huduts).
Hal yang sama juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz.
Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan (kufur dalam i’tiqod) orang mengatakan dua ungkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198).
Contoh yang lain, mereka ada yang menyampaikan bahwa Imam Malik pernah berkata
“al Istiwa ma’lum wa al kaifiyyah majhulah”
“Istiwa (bersemayam) Allah seperti yang kita ketahui maknanya, mengimaninya wajib dan bagaimana Istiwa (bersemayam) Allah tidak diketahui”.
Perkataan semacam itu sama sekali bukan riwayat yang berasal dari al Imam Malik atau lainnya.
Dengan mereka menetapkan istiwa (bersemayam) Allah berdasarkan makna yang diketahui pada umumnya alias berdasarkan makna dzahir yakni berada atau bertempat atau menetap tinggi maka mereka justru menetapkan adanya kaifiyyah bagi istawa Allah walaupun mereka mengikutinya dengan perkataan “kaifiyyah-nya tidak diketahui”.
Oleh karenanya mereka seringkali mengatakan: “Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy, tapi cara bersemayam-Nya tidak diketahui” atau terkadang ada juga mereka yang berkata: “Allah duduk di atas Arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui”
Riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al-Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) berkata: “al-Istiwa ghair majhul wa al-kaif ghair ma’quul” artinya, Istawa sudah jelas diketahui dan adanya al-kaif (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal”
Jadi yang dimaksud “ghair majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an.
Dalam riwayat lain dari al-Lalika-i sendiri mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa ghair majhul” atau “al-Istiwa madzkur” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an
Al-Hafizh al-Baihaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata: “Suatu saat ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang menghadap beliau, seraya bekata:
Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘alal ‘arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?
Lalu al-Imam Malik menundukan kepala hingga badanya bergetar dan mengeluarkan keringat. Kemudian beliau berkata:
“al-Istawa’ telah jelas -penyebutannya dalam al-Qur’an- (al-Istawa ghair majhul), dan pertanyaan kaif (bagaimana – sifat benda)” tidak logis dinyatakan kepada Allah (al-kaif ghair ma’qul),
beriman kepada al-Istawa adalah wajib, dan mempertanyakan kaifiyyah (bagaimana) Istawa bagi Allah tersebut adalah perbuatan bid’ah.
Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali seorang ahli bid’ah”.
Lalu al-Imam Malik menyuruh murid-muridnya untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya.
Al-Imam al-Bayhaqi berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman, guru dari al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).
Asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan sebagai berikut:
“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang itu mempertanyakan kaifiyyah Istawa bagi Allah (kesalahan orang itu karena bertanya “bagaimanakah Istawa Allah”).
Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini secara indrawi dan dalam makna dzahirnya. Tentu makna dzahir istawa adalah menetap, duduk, bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yang lain. Makna dzhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut, namun ia meragukan tentang kaifiyyah dari sifat duduk tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik.
Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya kaifiyyah bagi (istawa) Allah. Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).
Al-Qaraafiyy, salah satu ulama besar dalam sejarah, dan ahli mazhab Imam Malik berkata:
“Makna ucapan Imam Malik “istawa diketahui” adalah bahwa pikiran kita menuntun kita untuk istawa ‘yang layak bagi Allah Yang Mulia dan layak dengan kebesaranNya yakni istiilaa’ (menguasai) dan bukan makna duduk atau sejenisnya yang tidak bisa kecuali untuk jisim (benda).
Adapun Imam Malik mengatakan “kaif tidak mungkin” artinya bahwa Allah sendiri tidak dikaitkan dengan apa yang digunakan oleh orang-orang Arab dengan kata “kaif” yaitu pertanyaan untuk sifat yang baharu dan untuk jisim (benda)
dan ini tidak mungkin, karena mustahil Allah dikaitkan dengan arti tersebut (Dħakħiirah, 13/243).
Jadi yang ditetapkan sebagai ahli bid’ah adalah orang yang mempertanyakan bagaimana (kaifiyyah) istawa Allah dan dikafirkan (kufur dalam i’tiqod) oleh para ulama terdahulu adalah orang yang mengingkari lafaz atau penyebutan “istawa Allah” dalam Al Qur’an bukan mengingkari memahami istawa dengan berada atau bertempat atau menetap tinggi.
Mereka yang keukeuh (bersikukuh) atau ngeyel berpendapat bahwa Allah Ta’ala berada atau bertempat atau menetap tinggi di atas ‘Arsy pada hakikatnya telah mengingkari firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)
Allah Ta’ala tidak berubah, sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya.
Allah Ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya.
Allah Ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ‘’Arsy
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya (sifat qadim), sebagaimana Dia ada sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36].
Al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22)
Begitupula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya, termasuk pula tempat.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari 3191)
Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, 3109)
Begitupula Al-Imam al Baihaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata : “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam “Ya Allah, Engkaulah, Azh-Zhahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin, tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya)
Sedangkan para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah merujuk dari kitab Bayan Talbisul Jahmiyyah jilid 4, Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa makna : “فلَيس دونك شيء adalah “tidak ada sesuatu yang lebih dekat dari-Mu.” Mereka mengikuti pendapat Ibnu Taimiyyah bahwa kata ‘duuna’ di sini diambil dari kata ‘ad dunuww‘ yang artinya dekat, bukan dari kata ‘ad-duun‘ yang artinya ‘rendah’ atau ‘di bawah’
Padahal “tidak ada sesuatu yang lebih dekat dari-Mu” atau “tidak ada sesuatu di dekat -Mu” sama saja dengan “tidak ada sesuatu di bawah-Mu” karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Allah ada, dan tiada sesuatu di selainNya.
Sayyidina Ali ~radiyallahu ‘anhu~ berkata: “Allah ada tanpa tempat. Dia saat ini pada apa adanya Dia ada.”
Syaikh Ibnu Athoilah berkata “Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya. Dia kini adalah tetap sebagaimana adanya”
Salah satu satu pokok permasalahan para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam perkara aqidah , salah satunya mereka berpegang pada hadits ahad (satu jalur perawi) yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang baru masuk Islam yang dapat diketahui dengan pernyataannya “Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang Islam”
Hal pokok yang shahih dan tidak diperselisihkan dari hadits tersebut adalah pada bagian sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”
Sedangkan hadits yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami pada bagian kisah budak Jariyah diperselisihkan.
Dalam istilah para ulama hadits, riwayat yang diperselisihkan matan (redaksinya) oleh para perawi disebut mudhtharib, hadits kacau (guncang) matan (redaksinya).
Kekacauan (keguncangan) matan (redaksi) dalam hadits tersebut disebabkan sebagian perawi meriwayatkan hadits tidak dengan matan (redaksi) asli sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, ia meriwayatkannya dengan ma’nan (hanya kandungan maknanya saja). Karenanya ia terjatuh dalam kesalahan. Sementara matan (redaksi) hadits yang benar ialah tidak ada pertanyaan: “Di mana Allah?”
Jadi pada bagian kisah budak Jariyah adalah matan (redaksi) dari dia secara pribadi berdasarkan penyaksiannya terhadap percakapan secara isyarat yang dapat pula dipengaruhi oleh keadaan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang baru masuk Islam ketika meriwayatkan kisah budak Jariyah.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa pada bagian kisah budak Jariyah yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami diragukan ke-shohih-annya dan seandainya shohih hadits tersebut maka pertanyan “di mana Allah” sekedar untuk mengetahui apakah budak Jariyah masih menunjuk berhala atau tidak.
Imam Syafi’i ~rahimahullah tentang hadits Jariyah berkata : “Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia (hamba) dan kawan- kawannya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanannya,maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?” sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”.
Begitupula Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan untuk menanyakan kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi).
Ibn Al Jawzi berkata “Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah menetapkan bahwa Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh segala arah. Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di arah langit adalah untuk tujuan mengagungkan.
Alasan lain matan (redaksi) hadits yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami pada bagian kisah budak Jariyah diperselisihkan adalah karena melanggar larangan dari Rasulullah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang memikirkan atau menanyakan DzatNya, seperti menanyakan “di mana” atau menanyakan tempat bagi Allah Ta’ala.
Rasulullah menyarankan untuk meyakini keberadaan Allah dengan memikirkan nikmat-nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza wa Jalla sebagai wujud perbuatanNya.
Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah“.
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan yang maknanya “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221:“Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-Nya: Di mana?.”
Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan : “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.
Sedangkan ungkapan-ungkapan seperti,
“Allah wujud (ada) di mana mana”
atau
“apa yang terlihat di mana mana adalah wujud (keberadaan) Allah”
bukan berarti Allah Ta’ala bertempat di mana mana namun maknanya adalah bahwa kita bisa mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Ta’ala serta mengenal Allah (makrifatullah) adalah dengan memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya atau disebut juga ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos).
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53)
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS Yunus [10] : 101).
Ada pula yang melakukan pembenaran keyakinan mereka bahwa Tuhan bertempat di langit dengan berdalilkan penduduk surga kelak akan melihat Allah dengan mata kepala sebagaimana riwayat berikut,
Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi berkata, telah menceritakan kepada kami Marwan bin Mu’awiyah berkata, telah menceritakan kepada kami Isma’il dari Qais dari Jarir bin ‘Abdullah berkata, Pada suatu malam kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau lalu melihat ke arah bulan purnama. Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini. Dan kalian tidak akan saling berdesakan dalam melihat-Nya (HR Bukhari 521)
Dari Jarir bin Abdullah dia berkata; Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari ke empat belas, beliau melihat bulan, kemudian bersabda: Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. Kalian tidak akan kesulitan ketika melihatnya. (HR Bukhari 4473).
Imam Nawawi mengatakan, artinya kalian akan melihat Allah secara nyata, tidak ada keraguan dalam melihatNya, dan tidak pula ada kesulitan padanya. Seperti halnya kalian melihat bulan (purnama) ini secara nyata, tidak ada kesulitan dalam melihatnya. Yang diserupakan disini adalah cara melihatnya (tidak ada kesulitan), bukan Allah diserupakan dengan bulan (mempunyai bentuk dan ukuran) (Syarh Shahih Muslim, Nawawi, hlm. 136-137)
Al-Imâm al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Hanafi, berkata:
“Allah di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri)” (al-Fiqh al-Akbar karya al-Imâm Abu Hanifah dengan penjelasannya karya Mulla Ali al-Qari, h. 136-137 )
Al-Imâm asy-Syaikh Abu ath-Thayyib Sahl ibn Muhammad asy-Syafi’i (w 404 H), seorang mufti wilayah Nisafur pada masanya berkata:
“Saya telah mendengar asy-Syaikh Abu at-Thayyib as-Sha’luki berkata dalam menerangkan hadits tentang Ru’yatullâh (melihat Allah bagi orang-orang mukmin). Dalam hadits tersebut terdapat kata “Lâ Tudlammûn”, al-Imâm as-Sha’luki mengartikannya bahwa kelak orang-orang mukmin di surga akan melihat Allah tanpa tempat dan tanpa arah, mereka ketika itu tidak saling berdesakan satu sama lainnya. Orang-orang mukmin tersebut berada di dalam surga, namun Allah tidak dikatakan di dalam atau di luar surga. Karena Allah bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah”. (Pernyataan al-Imâm as-Sha’luki ini dikutip pula oleh al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dan kitab Fath al-Bâri dan disepakatinya)
Berdasarkan penjelasan para ulama di atas dapat kita pahami bahwa Allah Ta’ala tidak dikatakan di dalam atau di luar Surga atau di Sidratul Muntaha seperti pada peristiwa Mi’raj Rasulullah atau di dekat bukit Thursina pada persitiwa Nabi Musa as ataupun di atas ‘Arsy karena Allah Ta’ala bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah.
Begitupula ada dari mereka, selain meyakini Tuhan mereka bertempat di atas ‘Arsy (alal ‘arsy), bertempat di langit (fis sama) bertempat di (atas) Surga (dilihat penduduk langit), adapula meyakini Tuhan bertempat di Sidratul Muntaha (dekat dengan surga) berdalilkan peristiwa Mi’raj Rasulullah yang dipahami bahwa Rasulullah pergi ke tempat Tuhan.
Berikut contoh penjelasan dari seorang ulama keturunan cucu Rasulullah yang juga merupakan Imam Mazhab Maliki di Haram Makkah, yang mendapatkan pengajaran ilmu agama dari para guru dan orang tuanya secara turun-temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah yakni Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki
Penjelasan Beliau tersebut termuat dalam kitab karyanya yang berjudul “Wahuwa bi al’ufuq al-a’la” dan telah diterjemahkan oleh penerbit Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam”
****** awal kutipan ******
Mi’raj dan Syubhat tempat bagi Allah (hal 284)
‘Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah Ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya beliau diatas Buraq oleh Allah Ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat beliau tanpa menggunakan buraq.
Mi’raj dan Arah (hal 286)
Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa Ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa Ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah Ta’ala. Kaerena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-‘Arabi al Maliki mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oelh hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah Ta’ala memberitakan tentang dia.
Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka. Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu.
***** akhir kutipan *****
Ada pula dari mereka yang mengatakan bahwa Nabi Musa alahissalam yang memberitahu Fir’aun bahwa Tuhan berada atau bertempat di langit sehingga Fir’aun minta dibuatkan bangunan yang tinggi untuk melihat tuhannya nabi Musa
Fir’aun sendiri yang berkeyakinan Tuhannya Nabi Musa berada atau bertempat di langit bukan karena mendengar dari Nabi Musa alaihissalam
Nabi Musa alaihissalam tidak pernah mengatakan bahwa Tuhan berada atau bertempat di langit.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Dan Musa berkata: “Hai Fir’aun, sesungguhnya aku ini adalah seorang utusan dari Tuhan semesta alam” (QS Al A’raf [7]:104)
Fir’aun bertanya: “Siapa Tuhan semesta alam itu?”(QS Asy Syu’ara [26]:23)
Musa menjawab: “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian(orang-orang) mempercayai-Nya” (QS Asy Syu’ara [26]:24)
Musa berkata (pula): “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu” (QS Asy Syu’ara [26]:26)
Musa berkata: “Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal”. (QS Asy Syu’ara [26]:28).
Berkata Fir’aun: “Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?. (QS Thaahaa [20]:49)
Musa berkata: “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk (QS Thaahaa [20]:50)
Jadi justru aqidah Fir’aun yang mengatakan bahwa setiap yang ada harus bertempat.
Memang sangat wajar bila seorang Fir’aun menyangka demikian, karena ia telah mengaku diri nya Tuhan, tentu dipikirannya Tuhan Nabi Musa as juga seperti diri nya, harus punya tempat yang jelas.
Akan tetapi yang sangat tidak wajar bila asumsi Fir’aun itu (setiap yang ada pasti punya tempat) datang dari mereka yang menisbatkan sebagai SALAFI, mereka yang merasa (mengaku-ngaku) mengikuti pemahaman para Sahabat, merasa (mengaku-ngaku) penegak tauhid dan tentu percaya bahwa Tuhan berbeda dengan makhluk yang membutuhkan tempat (semoga kita dijauhkan dari pemikiran Fir’aun).
Dari asumsi tersebut, Fir’aun mencoba meraba apa yang disampaikan oleh Nabi Musa as bahwa Nabi Musa as adalah utusan “Tuhan yang memiliki langit dan bumi”, tentu saja Fir’aun mempertanyakan di mana keberadaan Tuhan Nabi Musa itu, karena ia yakin “setiap yang ada pasti punya tempat”.
Dan pilihan yang ada cuma dua yakni di langit atau di bumi, bila di bumi tentu Nabi Musa as telah menunjukkannya, bila di langit bagaimana Nabi Musa as bisa tahu, bagaimana mendapatkan risalahnya,
Fir’aun yang telah termakan dengan asumsinya yang salah dan tidak percaya sesuatu yang ada tapi tanpa bertempat.
Fir’aun telah membuktikan kepada kaum nya bahwa tidak ada Tuhan lain di bumi selain dari dia, dan hanya satu tempat lagi yang belum ia buktikan yaitu di langit, sehingga ia perintahkan pembantu nya untuk membangun bangunan yang tinggi di atas gunung, agar ia bisa melihat Tuhan Nabi Musa as
Imam Ar-Razi berkata,
***** awal kutipan ******
”sesungguhnya mereka (musyabbihah) adalah orang-orang yang sangat bodoh,yang membuat mereka semakin lengkap dalam kehinaan dan kesesatan, oleh karena mereka telah menjadikan perkataan Fir’aun yang terlaknat, sebagai dalil mereka atas kebenaran agama mereka, sementara Nabi Musa as dalam memperkenalkan Tuhan,tidak pernah melebihkan dari menyebutkan sifat penciptaan, sebagaimana dalam surat Thoha :50 “Tuhan kita adalah yang memberikan tiap sesuatu bagi makhluk-Nya kemudian memberi petunjuk” dan sebagaimana dalam surat Asy-Syu’araayat 26, 28 “Tuhan kalian dan Tuhan bapak kalian yang terdahulu – Tuhan timur dan barat dan diantara kedua nya”.
Maka nyatalah bahwa memperkenalkan Tuhan dengan keadaannya di langit adalah agama Fir’aun, dan memperkenalkan Tuhan dengan penciptaan dan makhluk adalah agama Nabi Musa as,
Siapa yang berpendapat dengan yang pertama, adalah ia diatas agama Fir’aun, dan siapa yang berpendapat dengan yang kedua, adalah ia diatas agama Nabi Musa as,
kemudian kita menjawab, kita tidak bisa menerima bahwa semua yang disebutkan Fir’aun tentang sifat Allah Ta’ala karena ia pernah mendengar dari Nabi Musa as, tapi karena Fir’aun berada dalam keyakinan Musyabbihah, maka tentu ia berkeyakinan jika memang Tuhan ada, pasti Dia berada di langit, maka keyakinan Fir’aun ini sungguh datang dari diri nya, bukan karena mendengar dari Nabi Musa as [Lihat Tafsir Ar-Razi,surat Ghafir : ayat 36-37 ]
***** akhir kutipan ****
Aqidah pengikut paham Wahabisme mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat sehingga tanpa disadari mereka meneladani Ibnu Taimiyyah dan sekaligus meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yakni mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/08/19/salah-ulama-panutan/
Sebelum wafat, Ibnu Taimiyyah masih sempat bertaubat di depan Qodhi empat mazhab yakni para fuqaha, para ulama yang paling faqih di suatu negara dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah berdasarkan mazhab yang empat.
Semoga Allah Ta”ala menerima taubat beliau.
Begitupula dengan Adz Dzahabi masih sempat bertaubat dan menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada gurunya sendiri yakni Ibn Taimiyah yang ketika itu belum bertaubat. Hal ini sekaligus sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kesesatan gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat) dengannya sebagaimana informasi yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-ibnu-taimiyyah.pdf
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti pemahaman seorang ulama sebelum bertaubat.
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.
Salah seorang ulama panutan mereka yakni Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat sebagaimana yang dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan, khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sependapat dengan mereka.
***** akhir kutipan ******
Bahkan ada ulama yang mengkafirkan Ibnu Taimiyyah yakni Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H).
Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’
Akibatnya para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan kekhawatiran atas fatwa sejak zaman dahulu kala tersebut pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/12/ibnu-taimiyah-dikafirkan-ibnu-hajar.html
***** awal kutipan *****
Penyebab kitab ini dikarang sebagaimana yang tercantum dalam kitab tersebut adalah Fatwa yang menyebar di khalayak Umum saat itu tentang kafirnya orang yang memberi julukan ibnu Taimiyah sebagai Syaikhul Islam dan tidak sah sholat dibelakang orang tersebut.
Fatwa tersebut secara jelas bukan saja pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, tapi juga pengkafiran terhadap pengikutnya.
***** akhir kutipan ****
Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana tulisan sejenis pada http://abul-harits.blogspot.co.id/2013/03/pembelaan-al-hafidz-ibnu-hajar-terhadap.html
Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab yang mereka kutip sendiri yakni
“Meskipun demikian, beliau adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
Catatan penting tersebut bukanlah masalah furuiyyah namun masalah pokok yakni aqidah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 sebagaimana yang dinformasikan pada http://www.aswj-rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html
****** awal kutipan ******
Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah, ada sebagian kelompok yang menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya : Ibnu Taimiyyah mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “ Aku tidak setuju batasan dan bagian termasuk kekhushusan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan batasan bagi Dzat Allah.
****** akhir kutipan ******
Jadi Ibnu Hajar Al-Asqalani pun menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap permasalahan pokok bukan furuiyah yakni dalam perkara aqidah atau kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Dzat Allah alias meng-kaif-kan (membagaimanakan) Dzat Allah.
Begitupula Imam Ibn Hajar Al-Haitami berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al Fatawa Al Haditsiyah halaman 116).
Para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat, mengelompokkan ulama seperti Ibnu Taimiyyah maupun para pengikutnya sebagai ahli hadits dalam arti ahli membaca hadits bukan ahli hadits yang menerima dan menghafal hadits-hadits dari ahli hadits sebelumnya sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/07/19/mengaku-ikuti-salaf/
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami (W 974H) pernah ditanya tentang ungkapan yang berbunyi, “Hadits itu menyesatkan kecuali untuk para ahli fikih,” apakah itu hadits atau bukan, dan apa maknanya, padahal mengetahui hadits termasuk salah satu syarat seseorang disebut sebagai ahli fikih? Mana yang lebih mulia dan utama, ahli fikih atau ahli hadits ?
Beliau menjawab: Itu bukan hadits, melainkan ucapan Ibnu ‘Uyainah (*) atau selainnya. Makna ungkapan itu adalah bahwa hadits seperti Al Quran, ada yang lafalnya umum tapi maknanya khusus dan sebaliknya, ada yang nasikh dan ada yang mansukh, ada juga yang tidak diamalkan, ada yang lafalnya musykil (bermasalah), jika dipahami secara dzahir (literal) dapat menimbulkan pemahaman tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) seperti hadits yang berbunyi, “yanzilu Rabbuna… dst.” Tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fikih. Berbeda dengan mereka yang hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Dari sini, dapat diketahui keutamaan para ahli fikih yang memiliki pemahaman dibandingkan dengan para ahli hadits yang tidak memiliki pemahaman. (Al Fatawa Al Haditsiyah halaman 202)
*) Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh, dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.
Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa hadits itu dapat menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fikih) seperti hadits yang mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya (jika dipahami selalu dengan makna dzahir) membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… dan kesesatan tersebut di alami Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat dan para pengikutnya.
Contoh kesalahpahaman Ibnu Taimiyyah diungkapkan oleh salah satu pengikut firqah Wahabi yakni Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam 100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah (kitab karya Ibnu Taimiyyah) menyampaikan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat sebagaimana yang termuat pada http://mahadilmi.wordpress.com/2011/04/18/allah-turun-ke-langit-dunia/
**** awal kutipan ****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya kosong, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara akal kita terbatas untuk melliputi ilmu Allah Ta’ala”
**** akhir kutipan ****
Pemahaman “tidak menjadikan ‘arsy-Nya kosong” tentu bukanlah pemahaman para Sahabat atau Salafush Sholeh namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan menjelaskan hadits
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Mereka menemukan “pertentangan” dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya karena mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Mereka menemukan “pertentangan” ketika memahami “Allah turun ke langit dunia” dan di sisi lain mereka memahami bahwa Tuhan berada, bertempat, menetap tinggi di atas ‘Arsy sehingga mereka mengatakan “tidak kosong” ruang di atas ‘Arsy.
Allah Ta’ala berfirman “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa [4] : 82)
Firman Allah Ta’ala dalam (QS An Nisaa 4 : 82) menjelaskan bahwa dijamin tidak ada pertentangan di dalam Al Qur’an. Jikalau manusia mendapatkan adanya pertentangan di dalam Al Qur’an maka pastilah yang salah adalah pemahamannya.
Imam Malik bin Anas ra menghadapi hadits ”Allah turun di setiap sepertiga malam” adalah, yanzilu amrihi ( turunnya perintah dan rahmat Allah ) pada setiap sepertiga malam “adapun Allah Azza wa Jalla, adalah tetap tidak bergeser dan tidak berpindah, maha suci Allah yang tiada tuhan selainNya“ (lihat pada “siyaru a’lamun nubala” 8 / 105 “arrisalatul wafiyah” hal 136 karangan Abi Umar Addani dan dalam kitab al-inshaaf karangan ibnu Sayyit al-Bathliyusi hal 82)
Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahîh Muslim dalam menjelaskan Hadîts an-Nuzûl ini berkata:
****** awal kutipan ******
Sebagaimana telah diberlakukan oleh Malik, dan al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan takwil terhadap hadits ini dengan menentukan makna yang sesuai dengan ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan metode takwil ini para ulama madzhab kedua ini memiliki dua takwil terhadap Hadîts an-Nuzûl di atas.
Pertama; Takwil yang nyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah turunnya rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa rahmat tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan: “Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…” (Raja melakukan suatu perbuatan), maka yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja itu sendiri yang melakukan perbuatan tersebut.
Ke dua; takwil hadits dalam makna isti’ârah (metafor), yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (Karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah)” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, j. 6, h. 36).
***** akhir kutipan ******
Al-Imâm al-Qurthubi, dalam menafsirkan firman Allah: ”Wa al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” (QS. Ali ’Imran: 17), artinya; ”Dan orang-orang yang ber-istighfâr di waktu sahur (akhir malam)”, beliau menyebutkan Hadîts an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut:
****** awal kutipan ******
“Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa?! Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?! Maka ia akan diberi”.
Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).
****** akhir kutipan *******
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri menuliskan sebagai berikut:
******* awal kutipan ******
“Abu Bakar ibn Furak meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah memberikan harakat dlammah pada huruf awalnya; yaitu pada huruf yâ’, (menjadi kata yunzilu) dan objeknya disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudzriy, bahwa Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah mendiamkan waktu malam hingga lewat menjadi lewat paruh pertama dari malam tersebut. Kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa!! Ia akan dikabulkan”.
Demikian pula pemahaman ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi sabda Rasulullah: ”…maka Malaikat penyeru berseru: ”Adakah orang yang berdoa! Maka akan dikabulkan baginya”.
Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata: “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
****** akhir kutipan ******
Jadi tidak ada satupun ulama di atas yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar