Permintaan maaf sebaiknya diawali dengan pernyataan menarik ucapannya
Kita mungkin masih dapat menerima jika seorang yang merasa ahli ilmu (ulama) namun terjerumus mencela Rasulullah karena salah memahami dalil dari Al Qur’an dan Hadits
Contohnya ada orang-orang yang MAU MENERIMA WALAUPUN ahli (membaca) hadits Albani TIDAK MINTA MAAF karena ahli (membaca) hadits Albani terjerumus mencela Rasulullah akibat salah memahami dalil dari Al Qur’an dan Hadits.
Ahli (membaca) hadits Albani terjerumus mencela Rasulullah SESAT dari KEBENARAN sebelum turunnya wahyu akibat pemahamannya selalu dengan makna dzahir sehingga salah memahami firman Allah Ta’ala “wa wajadaka dhollan fa hada” (QS Adh Dhuha [93] : 7)
Bahkan ahli (membaca) hadits Albani berkata bahwa Rasulullah SESAT dari KEBENARAN sebelum turunnya wahyu adalah bentuk penghukuman Allah kepadanya.
***** awal kutipan *****
“tidak ada masalah untuk menghukum mereka (yang bertawassul dengan wali Allah) sebagai SESAT dari KEBENARAN dan ini selaras dengan penghukuman Allah atas Nabi Muhammad sebagai SESAT dari KEBENARAN sebelum turunnya wahyu”
***** akhir kutipan *****
Sedangkan orang-orang yang TIDAK MAU MENERIMA karena GM terjerumus merendahkan atau mencela Rasulullah bukan akibat salah memahami dalil dari Al Qur’an dan hadits namun semata-mata berdasarkan akal pikirannya sendiri
Berikut contoh PERMISALAN dari GM yang tidak berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan Hadits namun menurut akal pikirannya sendiri,
***** awal kutipan *****
Nek kiro2, kok ono jambu ngono, mestine yo nyolong jambu barang.
***** akhir kutipan*****
Terjemahannya,
Andaikan di sana (ketika Rasulullah masih kecil) ada pohon jambu, mestinya (Rasulullah) mencuri jambu juga.
Tidak ada satupun ulama yang menyampaikan bahwa para Nabi dan termasuk Rasulullah berakhlak buruk ketika kecil bahkan sesat mengikuti kaum mereka sebelum turunnya wahyu.
Al Allamah al Qadhi Iyadh menyatakan dalam kitabnya al Syifa bi Tarif Huquq al Mustafa, “Terdapat banyak khabar dan athar yang saling mendukung di antara satu sama lain yang mensucikan para Nabi daripada kekurangan ini semenjak mereka dilahirkan dan mereka membesar di atas tauhid dan iman.”
Beliau menambah lagi: “Tidak pernah seorang pun ahli hadis berpendapat bahwa seorang daripada mereka yang dipilih menjadi Nabi adalah dari kalangan orang yang dikenali dengan kekufuran dan kesyirikannya sebelum itu.”
Oleh karena itu kita tidak pernah mendengar para Nabi dan Rasul terdahulu sebelumnya mereka mengikuti keyakinan yang sesat yang dianuti oleh kaum mereka.
Kemuliaan ini adalah terlebih utama dianugerahkan ke atas Rasulullah dan tiada satu sebab atau dalil yang menghalangi Baginda daripada memperoleh nikmat dan keistimewaan itu karena Baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah penghulu segala Nabi dan Rasul.
GM menyampaikan bahwa pernyataan-pernyataannya itu adalah untuk menjawab pertanyaan kaum milenial.
Justru fatwa atau pendapat (pernyataan) yang merupakan jawaban atas pertanyaan harus berdasarkan ilmu atau kompetensi dalam memahami dalil dari Al Qur’an dan Hadits karena tanpa ilmu akan sesat dan menyesatkan.
Rasulullah bersabda, “ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Begitupula pada permohonan maaf GM sebelumnya, beliau minta maaf hanya atas “pemilihan kata” yang dianggapnya kurang tepat dan GM merasa telah memilih kalimat-kalimat yang menurutnya sederhana tetapi beberapa orang menganggap sebagai kalimat yang cukup berat.
Jadi kemungkinannya GM ngeyel atau keukeuh (bersikukuh) secara sadar dan tetap akan memilih kata yang lain untuk mensifatkan Rasulullah dengan sifat rembes (ingusan, dekil, kotor) dan tidak terawat dalam upaya pembenaran pengingkarannya terhadap irhas (kejadian istimewa) ketika Rasulullah lahir.
Sedangkan permohonan maaf berikutnya GM memohon maaf atas pernyataannya yang dianggap keliru oleh umat Islam pada umumnya
“wonten pengaosan2 kulo dianggep keliru”
Pernyataan ini pun dapat bermakna bahwa beliau ngeyel atau keukeuh (bersikukuh) menganggap pernyataan-pernyataanya tidak keliru namun anggapan orang lain saja.
Oleh karenanya dalam maklumat dari Majelis Keluarga Pondok Pesantren Sidogiri disebutkan bahwa permintaan maafnya GM sebaiknya terlebih dahulu diawali dengan pernyataan untuk menarik ucapannya yakni mengakui dan menjelaskan kepada khalayak umum, ucapan mana saja yang salah dan menyerukan kepada pengikutnya maupun dirinya sendiri untuk mengikuti pendapat yang benar dari jumhur (kebanyakan) ulama.
***** awal kutipan ****
3. Penjelasan tabayun (klarifikasi) yang dilakukan oleh GM setelah “ramainya” (timbul kegaduhan) ceramah tersebut tidak mengandung pernyataan menarik ucapannya dan bertaubat dari kesalahan itu.
***** akhir kutipan ****
Permintaan maaf sebaiknya diawali pernyataan menarik ucapannya diperlukan supaya para pengikut GM dapat MENGHILANGKAN dari akal pikiran dan hati mereka bahwa Rasulullah waktu kecil itu rembes (ingusan, dekil, kotor) dan tidak terawat dan bahkan berakhlak buruk seperti maling jambu dan juga supaya pengikutnya tidak terjerumus mengingkari irhas (kejadian istimewa) ketika Rasulullah lahir.
Maklumat dapat dilihat pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2019/12/fb_img_1575760042040.jpg
Tidak ada ulama yang mengingkari adanya larangan memanggil Rasulullah dengan panggilan yang buruk termasuk mensifati Rasulullah dengan sifat yang buruk.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)” (QS An Nur :63)
Jadi sebaiknya janganlah mensifati atau “menyamakan” sifat Rasululullah dengan sifat buruk yang ada pada manusia.
Walaupun begitu, sebaiknya kasus GM tidak perlu diadukan kepada pihak kepolisian namun cukup mendorong dan meminta fatwa atau pendapat para fuqaha (ahli fiqih) yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan terlebih dahulu memanggil GM dan menyidangkannya.
Begitupula sebaiknya ada komisi atau bagian di Majelis Ulama Indonesia yang khusus untuk menyidangkan pemahaman (pendapat) ulama atau pemahaman (pendapat) secara berkelompok seperti ormas (organisasi kemasyarakatan) yang menyimpang keluar dari pemahaman (pendapat) jumhur ulama.
Kita prihatin dengan orang-orang yang menggunakan diksi atau perkataan bahwa “Rasulullah manusia biasa” sehingga terjerumus merendahkan Rasulullah yakni Rasulullah “disamakan” dengan manusia pada umumnya.
Sebaiknya hilangkan dari akal pikiran dan hati kita selama-lamanya terhadap perkataan bahwa Rasulullah “manusia biasa” karena Rasulullah hanya bersabda “aku hamba Allah” dan “Aku manusia seperti kalian”
Sabda Rasulullah “Aku hamba Allah” sebaiknya dipahami dengan makna majaz (makna kiasan) atau makna di balik yang tertulis (tersurat) atau makna tersirat dari “Aku hamba Allah” adalah “Aku bukan Tuhan”, jadi maknanya adalah janganlah menuhankan Rasulullah sebagaimana kaum Nasrani.
Begitupula sabda Rasullah, “Aku manusia seperti kalian” sebaiknya dipahami pula dengan makna majaz (makna kiasan) atau makna di balik yang tertulis (tersurat) atau makna tersirat dari “aku manusia seperti kalian” adalah “aku bukan jin”, “aku bukan malaikat” yakni “aku manusia”.
Sebaiknya janganlah ditambah/disisipi kata “biasa” menjadi “aku manusia biasa”
Jadi maknanya adalah “Aku manusia” – “seperti kalian” butuh makan, minum, beristri, memiliki keturunan, ditimpa penyakit dan lain lain.
Rasulullah tentu adalah manusia atau “hamba Allah” namun dengan maqomat, jenjang atau derajat yang paling mulia.
Salah satu penyebab orang-orang belum mengenal dengan baik kemuliaan Rasulullah adalah karena Allah Ta’ala belum menghendaki sampai kepada mereka tentang Nur Muhammad.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar