Apakah mata atau hati mereka buta tidak melihat kecurangan Pemilu
“Siapa yang menuduh ada kecurangan dalam Pilpres 2019 maka dia harus membuktikan” demikianlah ungkapan yang dilontarkan katanya dari pakar hukum.
Padahal bukanlah menuduh adanya kecurangan Pemilu namun mempertanyakan apakah mata atau hati mereka tidak dapat melihat apa yang telah diperlihatkan oleh Allah Ta’ala seperti kasus, “TERCOBLOSNYA” surat suara, GEMBOK kotak suara yang mudah terbuka hanya karena pemindahan, PERAMPASAN formulir C1 dan kasus lainya
Bawaslu menetapkan untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) terhadap kasus “TERCOBLOSNYA” surat suara sekaligus MEMBUKTIKAN adanya KECURANGAN PEMILU.
Pertanyaan selanjutnya adalah SIAPAKAH di NKRI yang BERWENANG untuk melakukan PENYELIDIKAN dan PENYIDIKAN TERHADAP para pelaku KECURANGAN Pemilu serperti terhadap para PELAKU pencoblosan surat suara di luar waktu pemungutan suara ?
Dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 KUHAP disebutkan bahwa yang diberi WEWENANG melakukan PENYELIDIKAN dan PENYIDIKAN adalah Pejabat POLRI.
Pejabat POLRI diberikan wewenang untuk MENCARI serta MENGUMPULKAN BUKTI yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 angka 2 KUHAP.
Jadi jelaslah rakyat biasa tidak boleh menghakimi sendiri terhadap para pelaku KECURANGAN PEMILU namun pihak Kepolisianlah yang diberikan wewenang menelusuri dan mengungkap siapakah DALANG yang menyuruh para pelaku KECURANGAN PEMILU tersebut dan tentu ada PERMUFAKATAN JAHAT (samenspanning atau conspiracy / konspirasi) antara para pelaku KECURANGAN Pemilu dengan SANG DALANG atau OTAK KEJAHATAN PEMILU
Dengan pihak Kepolisian TIDAK MELAKUKAN PENEGAKKAN HUKUM terhadap para pelaku KECURANGAN PEMILU tersebut yang diduga mendukung calon Petahana sehingga timbul dugaan KETIDAKADILAN dan KETIDAKNETRALAN institusi Polri sekaligus menimbulkan KETIDAKPERCAYAAN Rakyat terhadap institusi Polri.
Begitupula pada kenyataannya Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Bawaslu tidak bertugas untuk menelusuri dugaan KECURANGAN Pemilu sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2019/05/21/sengketa-dengan-kecurangan/
Oleh karenanya bolehlah alasan menolak pengumuman KPU tentang pemenang pilpres 2019 adalah karena KPU merekapitulasi atau menghitung hasil perolehan suara dari Pemilu yang dipenuhi dengan KECURANGAN PEMILU.
Rekapitulasi manual perolehan suara berjenjang dari mulai tingkat Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi sampai tingkat Nasional yang dilakukan oleh KPU adalah PRODUK HILIR atau RESULTAN dari proses Pemilu yang dipenuhi dengan KECURANGAN PEMILU.
Jadi sebaiknya janganlah senang atau gembira terhadap kemenangan di atas KECURANGAN Pemilu sehingga BUTA mata dan hati yakni membiarkan atau tidak peduli dengan KEMUNGKARAN seperti KECURANGAN-KECURANGAN PEMILU 2019 karena akan turut berdosa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).
Al Imam Al Hafizh An Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])
Selain itu negeri kita akan diazab Allah jika membutakan mata dan hati sehingga membiarkan kemungkaran yakni membiarkan KECURANGAN-KECURANGAN PEMILU 2019.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengazab manusia secara umum karena perbuatan khusus (yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang) hingga mereka melihat kemungkaran di tengah-tengah mereka, mereka mampu mengingkarinya, namun mereka tidak mengingkarinya. Jika itu yang mereka lakukan, Allah mengazab yang umum maupun yang khusus. (HR Ahmad).
Jadi membiarkan kemungkaran yakni membiarkan KECURANGAN-KECURANGAN PEMILU 2019 akan mengakibatkan kerusakan atau azab.
Kerusakan atau azab yang terjadi akibat perbuatan maksiat atau munkar itu tidak hanya menimpa pelakunya, namun juga orang lain yang tidak terlibat langsung.
Realitas ini digambarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya:
Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Allah dan orang-orang yang melanggarnya bagaikan suatu kaum yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal, sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal, dan sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya. Orang-orang yang berada di bagian bawah kapal, jika hendak mengambil air, melewati orang-orang yang berada di atas mereka. Mereka berkata, “Seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada di atas kita.” Apabila mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginannya, niscaya mereka semua akan binasa; jika mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya mereka selamat dan menyelamatkan semuanya. (HR al-Bukhari).
Pemlilu yang curang akan melahirkan penguasa negeri yang ZALIM atau penguasa negeri yang tidak menegakkan keadilan
Dari Ka’ab bin Ujroh radhiyallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar mendekati kami, lalu bersabda:
“Akan ada setelahku nanti para pemimpin (penguasa) yang berdusta. Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung KEZALIMAN (KETIDAKADILAN) mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di hari kiamat).
Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (pemimpin/penguasa dusta) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung KEZALIMAN (KETIDAK ADILAN) mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat).” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)
Pengertian ZALIM (Arab: ظلم, Dzholim) adalah meletakkan sesuatu (perkara) bukan pada tempatnya.
Lawan kata ZALIM adalah ADIL yakni meletakkan sesuatu (perkara) pada tempatnya, proporsional, berada ditengah-tengah, tidak berat sebelah, jujur, memberikan atau menerima sesuatu sesuai haknya.
Contohnya menghargai yang baik maupun menghukum yang jahat sesuai haknya, menghukum yang jahat sesuai dan kesalahan dan pelanggarannya.
Dengan demikian keadilan berarti bertindak atas dasar kebenaran, bukan mengikuti kehendak hawa nafsu atau kepentingan.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia. Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa ; 135)
Bagi rakyat yang menginginkan #2019gantipresiden karena PENGUASA NEGERI dianggap ZALIM yakni TIDAK MENEGAKKAN KEADILAN maka lakukanlah dengan cara-cara yang baik mengikuti hukum konstitusi yang berlaku dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al Baqarah [2]:11)
Begitupula Rasulullah membolehkan umat Islam untuk mengingkari kebijakan penguasa negeri (umara) yang menurut pendapat para fuqaha (ahli fiqih) bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits namun dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.
Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Penguasa yang zalim adalah salah satu akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha (ahli fiqih), para ulama yang faqih (berkompetensi) dalam memahami dan menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits sebagaimana sabda Rasulullah yang disampaikan oleh asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, yaitu
1. Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka.
2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka.
3.Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.
Oleh karenanya siapapun presiden yang terpilih harus mempertimbangkan pendapat para ulama dan pemuka agama lainnya dalam memecahkan masalah yang menyangkut kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana yang tercantum dalam Pakta Integritas sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2019/04/17/siapapun-presiden-terpilih/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Kok sudah ga ada zuhud2nyablg sih
Pada tanggal Sel, 21 Mei 2019 22:14, Mutiara Zuhud – Letakkan dunia