Firqah MUJASSIMAH gemar berdusta contohnya sebarluaskan fitnah seolah-olah Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan Allah BERADA di atas Arsy karena mereka terjemahkan ISTAWA artinya BERADA
Dalam tangkapan layar (screenshot) di atas, contoh BUKTI JEJAK DIGITAL ketika dari kalangan firqah MUJASSIMAH berdusta yakni ustadz firqah Wahabi, Firanda Andirja terjerumus menyebarluaskan FITNAH seolah-olah Imam Syafi’i (W. 204H) dan Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241H) mengatakan Allah BERADA di atas Arsy karena terjemahkan ISTAWA artinya BERADA.
Sedangkan BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maknanya TANPA sifat-sifat JISIM yakni TANPA sifat-sifat makhluk DITERJEMAHKAN artinya “TANPA ditanya BAGAIMANANYA”
Berikut kutipan terjemahan dari tulisannya pada https://firanda.com/ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-dilanggar-oleh-sebagian-pengikutnya-5-keyakinan-bahwa-allah-di-atas-langit/
***** awal kutipan *****
الرحمن على العرش استوى بلا كيف
Ar-Rahman BERADA di atas ‘Arsy TANPA ditanya BAGAIMANANYA.
Dan atsar dari para salaf tentang yang seperti ini banyak. dan madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i radhiallahu ‘anhu menunjukkan berada di atas jalan ini, dan ini juga merupakan madzhab Ahmad bin Hanbal (Al Asmaa’ wa as Shifaat 2/308)
***** akhir kutipan *****
Imam Syafi’i ketika ditanya terkait firman Allah Ta’ala, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa” (QS. Thaha [20] : 5) menyarankan kepada orang-orang yang tidak memiliki kompetensi atau orang AWAM yakni orang-orang yang TIDAK MAMPU memilih MAKNA ISTAWA dari SEKIAN BANYAK makna Istawa UNTUK menyerahkan maknanya kepada Allah yang disebut TAFWIDH yakni mengimaninya dengan MEMBIARKAN sebagaimana ia DATANG (sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang Allah sifatkan untuk diri-Nya) dan tidak membahas atau membicarakannya secara detail KARENA bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam KESESATAN TASYBIH.
***** awal kutipan *****
إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم
“Ini termasuk ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna), jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya (orang AWAM) adalah agar mengimaninya dengan MEMBIARKAN sebagaimana ia DATANG (sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang Allah sifatkan untuk diri-Nya) dan tidak membahas atau membicarakannya secara detail KARENA bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam KESESATAN TASYBIH.
وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات
Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan dan segala ujung penghabisan (ujung kiri, kanan, atas, bawah, depan, belakang), dan Dia tidak membutuhkan dan tidak dipengaruhi oleh tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
***** akhir kutipan *****
Begitupula ulama mazhab Hambali, Ibnu Qudamah Al Maqdisi dalam Lum’atul I’tiqad menyampaikan Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241H) ketika ditanya Nuzulnya Allah menjawab لَا مَعْنًى LA MA’NA artinya TANPA MAKNA sama artinya dengan TAFWIDH yakni TANPA MAKNA DZAHIR maupun MAKNA MAJAZ dan serahkan maknanya kepada Allah
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
وَمَا أَشْبَهَ هَذِهِ الْأَحَادِيْثَ
Hadits-hadits yang semisal hadits ini (hadits nuzul)
نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا
Kami beriman dan membenarkannya (sebagaimana KABAR yakni TEKS atau LAFADZ yang DATANG)
بِلَا كَيْفٍ وَلَا مَعْنًى
BILA KAIFA WALA MA’NA
***** akhir kutipan *****
Dengan Imam Ahmad bin Hanbal menjawab LA MA’NA artinya TANPA MAKNA sama artinya dengan TAFWIDH yakni TANPA MAKNA DZAHIR maupun MAKNA MAJAZ dan menyerahkan maknanya kepada Allah.
Jadi Imam Ahmad bin Hanbal beriman dengan membiarkan sebagaimana KABAR yang DATANG atau sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dan TAFWIDH yakni MENYERAHKAN MAKNANYA kepada Allah Ta’ala.
Begitupula ketika Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan pengertian BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maknanya TANPA sifat-sifat JISIM yakni TANPA sifat-sifat makhluk, Beliau MENCONTOHKAN seperti TANPA BATAS (bila had) dan TANPA UJUNG (ujung atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang)
وَلَا نَصِفُ اللهَ بِأَكْثَرَ مِمَّا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ بِلَا حَدِّ وَلَا غَايَةٍ
maka kita tidak menyifati Allah lebih daripada “apa yang Allah Ta’ala sifatkan tentang diri-Nya” TANPA HAD (batas) dan TANPA UJUNG (ujung atas, bawah, depan, belakang).
“Apa yang Allah Ta’ala sifatkan tentang diri-Nya” dalam bahasa Arab maka sama artinya Imam Ahmad bin Hanbal beriman dengam membiarkan sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah
Contoh lainnya firqah MUJASSIMAH berdusta yakni sebarluaskan fitnah seolah-olah Imam Abu Hanifah memaknai ISTIWA Allah dengan ISTIQRAR yang artinya MENETAP TINGGI atau bahkan ada yang mengartikannya MELAYANG TINGGI di atas Arsy sebagaimana tulisan mereka pada http://rumaysho.com/933-di-manakah-allah-4.html
***** awal kutipan *****
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah MENETAP TINGGI di atas ‘Arsy”.
***** akhir kutipan *****
Padahal Imam Abu Hanifah (W.150H) dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala TIDAK BOLEH disifatkan dengan sifat-sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda seperti ukuran, BATASAN atau BERBATAS dengan ciptaan-Nya, sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau DILIPUTI oleh ARAH penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah).
Imam Abu Hanifah (W.150H) mengkafirkan dalam pengertian menetapkan kufur dalam perkara i’tiqod (BUKAN membatalkan keislaman si penanya) KARENA dua ungkapan atau pertanyaan sipenanya yakni
“Aku tidak mengetahui di mana Tuhanku, apakah Dia di langit ataukah di bumi?”
“Allah di atas ‘Arsy, dan aku tidak tahu arah ‘Arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”
Sipenanya yang muslim tentu MUSTAHIL mengingkari firman Allah Ta’ala, “Arrahmanu ‘alal’ arsy Istawa” (QS Thaha [20] : 5)
NAMUN dengan kedua ungkapan atau pertanyaan tersebut maka sesungguhnya sipenanya yang mengerti bahasa Arab telah MENETAPKAN adanya ARAH dan TEMPAT bagi istiwa Allah SERUPA dengan firqah MUJASSIMAH yang terjerumus KEKUFURAN dalam perkara i‘tiqod KARENA men-JISIM-kan Allah yakni secara tidak langsung mereka “memenjarakan” Allah Ta’ala BERBATAS dan BERADA di atas Arsy.
Begitupula setiap yang berlaku arah dan tempat maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yang baharu (huduts).
Hal yang sama juga telah dijelaskan oleh Imam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz. Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan (kufur dalam i’tiqod) orang mengatakan dua ungkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang MUSYABBIH (seorang yang kufur karena menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198).
JUMHUR ulama telah sepakat MELARANG mengikuti firqah MUJASSIMAH yang memaknai ISTIWA Allah dengan MAKNA DZAHIR seperti sifat-sifat JISIM contohnya JULUS artinya DUDUK atau ISTIQRAR artinya BERADA yakni MENETAP TINGGI dan bahkan ada yang mengartikannya “MELAYANG” TINGGI di atas Arsy karena mereka mengingkari MENEMPEL di atas Arsy
Contoh Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari dalam kitab Al Ibanah hal 102 MELARANG memaknai Istiwa Allah dengan MAKNA DZAHIR seperti sifat JISIM ISTIQRAR.
وأنه مستو على عرشه بلا كيف ولا استقرار
Dan Sesungguhnya Dia Istiwa atas Arasy-Nya BILA KAIFA wa LA ISTIQRAR.
Istiwa Alllah atas Arsy BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maknanya tanpa sifat-sifat JISIM yakni tanpa sifat-sifat makhluk seperti arah (jihah), jarak, ruang, waktu, BERBATAS (hadd) dengan Arsy.
Sedangkan LA STIQRAR bukan larangan membahas atau menanyakan makna ISTIQRAR namun LA ISTIQRAR artinya TANPA ISTIQRAR yakni TANPA menetap atau melayang tinggi di atas Arsy.
Begitupula ulama firqah Wahabi, Ibnu Utsaimin MELARANG memaknai Istiwa Allah dengan MAKNA DZAHIR seperti sifat JISIM ISTIQRAR dengan kalimat pertanyaan,
الاستواء على الشيء في اللغة العربية يأتي بمعنى الاستقرار والجلوس
Istiwa di atas sesuatu dalam bahasa Arab bermakna ISTIQRAR (menetap / melayang tinggi) dan JULUS (duduk).
Ulama firqah Wahabi, Ibnu Utsaimin bertanya
لكن هل يصح أن نثبته في استواء الله على العرش ؟
Tetapi apakah boleh kita menetapkan makna tersebut pada istiwa Allah atas Arsy?
Ulama firqah Wahabi, Ibnu Utsaimin memilih MEMAKNAI Istiwa dengan MAHA TINGGI.
ولكن نقول : معنى الاستواء : العلو ، هذا أمر لاشك فيه
Tapi kita katakan makna ISTIWA adalah MAHA TINGGI. Inilah yang tidak diragukan (Liqa’ bab al Maftuh pertanyaan nomor 450)
Begitupula Istawa Allah LA ISTIQRAR artinya TANPA Istiqrar yakni TANPA menetap atau melayang tinggi di atas Arsy maka terlarang pula memaknai Maha Tinggi dalam pegertian arah atau tempat sebagaimana contohnya yang disampaikan oleh Al Imam al-Qurthubi (W. 671H) dalam kitab tafsirnya al-Jami Li Ahkam al-Qur’an atau yang lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Qurthubi ketika menafsirkan firnan Allah Ta’ala surat Al Baqarah ayat 255
***** awal kutipan *****
ﻭ” ﺍﻟﻌﻠﻲّ ” ﻳﺮﺍﺩ ﺑﻪ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻭﺍﻟﻤﻨﺰﻟﺔ ﻻ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ، ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻨﺰﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﺤﻴﺰ
“al-‘Aliyy” adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan bukan dalam ketinggian tempat, karena Allah Maha Suci dari bertempat”
وحكى الطبري عن قوم أنهم قالوا: هو العلي عن خلقه بارتفاع مكانه عن أماكن خلقه
Ath Thabari (W. 310H) mengisahkan dari satu kaum bahwa mereka berkata: “Dia Allah Maha Tinggi atas hamba ciptaan-Nya dengan ketinggian tempat-Nya dari tempat makhluk-Nya.”
قال ابن عطية: وهذا قول جهلة مجسمين
Ibnu Athiyah (W. 541H) berkata: “Ini adalah pendapat kaum JAHIL (tidak berilmu) yakni MUJASSIMAH
***** akhir kutipan *****
Tafsirnya dapat dibaca pada https://surahquran.com/tafsir-alqurtubi/42.html
Firqah MUJASSIMAH tidak HENTI-HENTINYA menuduh umat Islam MENGINGKARI firman Allah Ta’ala, “Arrahmanu ‘alal’ arsy Istawa” (QS Thaha [20] : 5)
Umat Islam tentu TIDAK MENGINGKARI firman Allah Ta’ala, “Arrahmanu ‘alal’ arsy Istawa” (QS Thaha [20] : 5)
NAMUN yang DIINGKARI oleh umat Islam adalah TERJEMAHAN dan PEMAHAMAN firqah MUJASSIMAH.
TIDAK ADA satupun mufassir (ahli tafsir) dan HANYA firqah MUJASSIMAH yang menterjemahkan firman Allah “Arrahmanu ‘alal ‘arsy Istawa” (QS Thaha [20] : 5) ARTINYA adalah “Allah BERADA di atas Arsy”
Para mufassir (ahli tafsir) menterjemahkan ISTAWA artinya BERSEMAYAM adalah karena kata BERSEMAYAM serupa dengan ISTAWA mempunyai MAKNA DZAHIR dan MAKNA MAJAZ (makna kiasan).
Contoh kata BERSEMAYAM yang tidak dapat dimaknai dengan MAKNA DZAHIR, makna duduk (JULUS) atau bertempat (ISTIQRAR) dalam sebuah petuah Bung Karno tertanggal 23 Oktober 1946 yakni berbunyi:
Orang tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.
Contoh lainnya penggunaan kata BERSEMAYAM dalam tulisan pada https://fimela.com/lifestyle/read/3771673/kecewa-pekerjaan-tak-sepadan-allah-menuntunku-ke-negara-lain
***** awal kutipan *****
Benar saja bahwa Tuhan memang Maha Pemurah selama hambanya ikhlas meminta pada-Nya tanpa membiarkan dendam BERSEMAYAM di hati.
***** akhir kutipan *****
“Dendam bersemayam di hati” menunjukkan penggunaan kata bersemayam dalam makna majaz atau makna kiasan (metaforis) yakni dendam atau hawa nafsu menguasai hati.
Keengganan untuk menahan diri dari penurutan pada hawa nafsu bisa mengakibatkan seseorang DIKUASAI oleh hawa nafsu itu sendiri.
Hal buruk bersemayam di hati atau menguasai hati maka akan buruk pula tingkah lakunya sebaliknya jika hal baik bersemayam di hati atau menguasai hati maka akan baik pula tingkah lakunya.
Rasulullah bersabda “Ketahuilah kamu di dalam badan manusia terdapat segumpal darah. Apabila baik maka baiklah keseluruhan segala perbuatannya dan apabila buruk maka buruklah keseluruhan tingkah lakunya. Ketahuilah kamu bahwa ia adalah hati”.
Begutupula TIDAK ADA satupun firman Allah maupun sabda Rasulullah yang dapat diterjemahkan artinya Allah BERADA di langit atau di atas Arsy.
Jumhur ulama telah sepakat TERLARANG memaknai fis samaa’i artinya di langit maupun fawqo artinya di atas dalam pengertian arah atau tempat bagi Allah KARENA akan terjerumus DURHAKA (‘aashin) kepada Allah AKIBAT “memenjarakan” dan “menjauhkan” Allah dengan mengitsbatkan atau menetapkan BERBATAS atau ARAH maupun TEMPAT di atas Arsy
Contohnya perkataan-perkataan seperti serahkan kepada “Yang di langit” atau “Yang di atas” TIDAK BOLEH dimaknai dengan MAKNA DZAHIR atau secara HISSI (inderawi / fisikal) dalam pengertian BATASAN, JARAK, ARAH ataupun TEMPAT,
NAMUN sebagai ISYARAT, SIMBOL atau UNGKAPAN untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah berkata
***** awal kutipan *****
“Jika yang dimaksud فوق (fawqo) dalam pengertian tempat dan arah maka sama sekali TIDAK memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya.
Apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?
Jadi makna فوق fawqo bukanlah dalam pengertian tempat karena adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawqo pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala, “wa huwal qaahiru fawqo ‘ibaadihi” (QS. Al An’am [6] : 18)
***** akhir kutipan *****
Begitupula Imam al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid;
***** awal kutipan *****
“Al Kirmani berkata, مَنْ فِى السَّمَاءِ
(man fis samaa’i) makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena SISI ATAS adalah SISI TERMULIA dibanding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai ISYARAT (ungkapan atau simbol) akan ketinggian dalam arti kemuliaan atau keagungan Dzat dan sifat-Nya.“
***** akhir kutipan *****
Berikut kutipan penjelasan pembesar mazhab Hambali, Al Imam Al Hafizh Ibn al Jawzi Al Hanbali (W. 597H) ketika mencontohkan KEKELIRUAN firqah MUJASSIMAH dalam memahami firman Allah
ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ
aamintum man fis samaa’i (QS Al Mulk [67]:16)
***** awal kutipan *****
Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini BUKAN dalam MAKNA DZAHIRNYA karena dasar kata fis sama’i dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan SESUATU yang ”BERADA di DALAM sebuah tempat dengan DILIPUTI oleh tempat itu sendiri”, padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun.
Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi seperti ini, karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit.
Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan KEAGUNGAN dan KEMULIAAN Allah.
***** akhir kutipan *****
Jadi arti sebenarnya fis sama’i adalah “di langit” dalam pengertian diliputi atau dinaungi oleh langit dan BUKANLAH “di (atas) langit”. Sedangkan Arsy di atas langit.
Salah satu ciri khas firqah MUJASSIMAH adalah mereka menyisipkan kata (berada) dan (atas) ketika mereka menterjemahkan fis sama’i arti sebenarnya “di langit” menjadi (berada) di (atas) langit
Oleh karenanya terhadap firman Allah surat Al Mulk [67] ayat 16, para mufassir (ahli tafsir) telah sepakat menyisipkan kata “(BERKUASA)” agar tidak dipahami dan disisipkan kata “(BERADA) ” atau “(BERTEMPAT)” sehingga menafsirkannya menjadi,
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (BERKUASA) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?
Berikut kutipan contoh penjelasan Imam Suyuthi dalam tafsir Jalalain ketika menafsirkan surat Al Mulk ayat 16 dari https://ibnothman.com/quran/surat-al-mulk-dengan-terjemahan-dan-tafsir/2
***** awal kutipan *****
a-amintum, (Apakah kalian merasa aman) dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara tashil
man fiis samaa-i, (terhadap kekuasaan Allah yang di langit) yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang di langit
***** akhir kutipan *****
Firqah MUJASSIMAH mengingkari atau “SYULIT” menerima kenyataan Salafus Sholeh pada umumnya (mayoritas) beriman dan membiarkan sebagaimana KABAR yang DATANG atau sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang Allah sifatkan untuk diri-Nya dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah.
Contoh pengingkaran mereka dengan mengatakan, “TIDAK MUNGKIN Salafus Sholeh tidak mengetahui maknanya dan TIDAK MUNGKIN pula Rasulullah tidak menjelaskan maknanya kepada Salafus Sholeh”
Salafus Sholeh yang berbahasa ibu dengan bahasa Arab tentu BUKAN TIDAK mengetahui MAKNA DZAHIRNYA
NAMUN para ulama seperti contohnya pembesar mazhab Hambali, Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi Al Hanbali (W. 597H) menjelaskan bahwa, “Sesungguhnya pada dasarnya teks-teks itu memang harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan NAMUN jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maksudnya jika dimaknai dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah dengan sifat yang MUSTAHIL bagi Allah atau sifat yang TIDAK LAYAK (tidak patut) bagi Allah MAKA berarti teks tersebut BUKAN dalam makna dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan)”.
Jadi JIKA dipaksakan DIMAKNAI dengan MAKNA DZAHIR akan TERJERUMUS mensifatkan Allah dengan sifat yang MUSTAHIL bagi Allah atau sifat TIDAK LAYAK (tidak patut) bagi Allah seperti memaknai sifat Allah atau mensifatkan Allah dengan sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda MAKA ulama Salaf (terdahulu) maupun ulama Khalaf (kemudian) telah SEPAKAT meyakininya BUKAN dalam MAKNA DZAHIR dan MEMALINGKANNYA dari makna dzahirnya.
PERBEDAAN di antara ulama Salaf (terdahulu) dan Khalaf (kemudian) hanya terjadi pada masalah apakah diberikan maknanya SESUAI kaidah-kaidah bahasa Arab ataupun TIDAK diberi makna tetapi TAFWIDH yakni diserahkan maknanya kepada Allah Ta`ala sendiri.
Jadi boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti Yadullah yang artinya Tangan Allah dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala
Begitupula boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti istiwa yang artinya bersemayam (yang mempunyai makna dzahir dan makna majaz) dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Berikut kutipan contoh pendapat atau pemahaman Salafus Sholeh terhadap firman Allah , “Arrahmanu ‘alal’ arsy Istawa” (QS Thaha [20] : 5) sebagaimana yang disampaikan oleh Al Hafizh Ad Dzahabi dalam kitab Mukhtashar Al Uluw.
***** awal kutipan *****
Sufyan Ats Tsauriy (W. 191H) mengatakan bahwa ia pernah suatu saat berada di sisi Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman kemudian ada seseorang yang bertanya pada beliau,
الرحمن على العرش استوى كيف استوى
“Ar Rahman (yaitu Allah) beristiwa’ atas ‘Arsy, lalu bagaimana Allah beristiwa’?”
Robi’ah menjawab,
الإستواء غير مجهول والكيف غير معقول ومن الله الرسالة وعلى الرسول البلاغ وعلينا التصديق
“Istiwa’ itu telah diketahui (disebutkan dalam Al Qur’an), Al Kaifu ghairu maquul (Al Kaifa yakni sifat makhluk atau benda tidak masuk akal ditujukan bagi istiwa Allah) Risalah (wahyu) dari Allah, tugas Rasul hanya menyampaikan, sedangkan kita wajib membenarkan (dengan MEMBIARKAN sebagaimana teks atau lafadznya).”
***** akhir kutipan *****
Contoh penjelasan dari Salafus Sholeh seperti dari Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah?
فكلهم قالوا لي أمروها كما جاءت بلا تفسير
Maka semuanya berkata dan memerintahkan kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang TANPA TAFSIR”
Begitupula Sufyan bin Uyainah (W. 198H) berkata:
ما وصف الله تبارك وتعالى به نفسه في كتابه فقراءته تفسيره،
“Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan (teks atau lafadz) tersebut adalah tafsirannya.
ليس لأحد أن يفسره بالعربية ولا بالفارسية
Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al Imam Baihaqi kitab Al Asma’ wa ash Shifat 2:117)
Jadi Salafus Sholeh dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan BANYAK MAKNA) terkait sifat-sifat Allah pada umumnya (mayoritas) memilih ITSBAT LAFADZ TANPA TAFSIR yakni mereka membenarkan dan mengitsbatkan (menetapkan) dengan MEMBIARKAN sebagaimana KABAR yang DATANG atau sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dan BUKAN berdasarkan MAKNANYA secara bahasa artinya mereka MEMALINGKAN teks atau lafadznya dari makna dzahir maupun makna majaz secara keseluruhan atau global (IJMALI) dan lalu TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala yang disebut juga TAKWIL IJMALI.
Sedangkan para ulama khalaf (kemudian), dikarenakan pada masa mereka sudah berkembang ahli bid’ah yang mensifati Allah dengan sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda MAKA mereka menakwilkan atau memaknai ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) tersebut dengan makna yang patut (layak) bagi Allah Ta’ala yang SESUAI dengan kaidah-kaidah bahasa Arab atau tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) yang disebut dengan TAKWIL TAFSHILI.
Jadi TAFWIDH disebut juga TAKWIL IJMALI, sedangkan TAKWIL seperti contohnya TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ disebut TAKWIL TAFSHILI.
Kesimpulannya TAFWIDH dan TAKWIL itu hanya sebuah PILIHAN karena sama-sama MENGINGKARI atau MEMALINGKAN dari MAKNA DZAHIRNYA.
Oleh karena firqah Mujassimah mengingkari Salafus Sholeh mayoritas atau pada umumnya memilih TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah sehingga mereka MENCIPTAKAN istilah TAFWIDH KAIFIYAH yakni menyerahkan kaifiyah Istiwa kepada Allah BERDASARKAN perkataan yang DINISBATKAN (disandarkan) sebagai perkataan Imam Malik (W. 179H) seperti yang termuat dalam kitab Majmu Fatawa, Ibnu Taimiyah 3/25
***** awal kutipan *****
sebagaimana ucapan Imam Malik dan selainnya ketika ditanya tentang Istiwa adalah
الاستواء معلوم والكيف مجهول
Al Istiwa ma’lum wal kaifu majhul
***** akhir kutipan *****
Firqah MUJASSIMAH pada umumnya mengartikannya,
***** awal kutipan *****
“Istiwa itu telah DIKETAHUI MAKNANYA secara bahasa sedangkan “kaifiyah istiwa Allah tidak diketahui” dan TAFWIDH KAIFIYAH yakni kaifiyah Istiwa diserahkan kepada Allah
***** akhir kutipan *****
Padahal makna Istiwa secara bahasa diketahui ADA BANYAK sehingga termasuk ayat mutasyabihat yakni ayat dengan banyak makna
Begitupula ketika firqah MUJASSIMAH mengatakan “kaifiyah istiwa tidak diketahui” maka sama artinya ADA KAIFA yakni ada sifat makhluk bagi Istiwa Allah BERTENTANGAN dengan BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maknanya tanpa sifat-sifat JISIM yakni tanpa sifat makhluk atau benda seperti arah (jihah), jarak, ruang, waktu, BERBATAS (hadd) dengan Arsy.
Begitupula perkataan yang dinisbatkan (disandarkan) sebagai perkataan Imam Malik yakni
والكيف مجهول
wal kaifu majhul
𝗱𝗮𝗻 𝗸𝗮𝗶𝗳𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗱𝗶𝗸𝗲𝘁𝗮𝗵𝘂𝗶
𝗕𝗘𝗥𝗧𝗘𝗡𝗧𝗔𝗡𝗚𝗔𝗡 dengan perkataan Imam Malik yakni
والكيف غير معقول
wal kaifu ghairu ma’qul
𝗱𝗮𝗻 𝗸𝗮𝗶𝗳𝗮 (sifat makhluk) 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗮𝘀𝘂𝗸 𝗮𝗸𝗮𝗹 atau 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵 ditujukan bagi istiwa Allah.
Perkataan Imam Malik tersebut contohnya disampaikan oleh ulama mazhab Maliki, Syaikh Sa’id Al Kamali yang dapat disaksikan dalam video pada https://facebook.com/story.php?story_fbid=1055973662444788&id=100040964923547 atau salinannya pada https://youtube.com/watch?v=RXkTdqg8v4g
Jadi BUKAN kaifu majhul (kaifa tidak diketahui) NAMUN kaifu ghairu ma’qul yakni Kaifa (sifat makhluk atau benda) 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗮𝘀𝘂𝗸 𝗮𝗸𝗮𝗹 (𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵) ditujukan bagi istiwa Allah.
Dr. Saif bin ‘Ali al-‘Ashri dalam kitabnya al-Qaul at-Tamam fi Itsbat at-Tafwidh madzhaban li as-Salaf al-Kiram (hlm 289) menyatakan bahwa,
***** awal kutipan *****
Ungkapan GHAIRU MA’QUL tersebut (artinya TIDAK MASUK AKAL) sama seperti ungkapan:
الشريك لله غير معقول
Sekutu bagi Allah itu TIDAK MASUK AKAL.
Maksudnya adalah sekutu bagi Allah itu mustahil menurut akal (mustahil aqli), artinya tidak ada sekutu bagiNya.
TIDAK BOLEH kita artikan sekutu bagi Allah itu ADA namun akal kita TIDAK MEMAHAMINYA.
***** akhir kutipan *****
Hal ini diperjelas dari riwayat Al-Lalaka-i dari Ummu Salamah; Ummul Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) yang juga mengatakan “kaifu ghairu ma’qul” yakni,
الِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُولٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ
“al Istiwa Ghairu Majhul wal kaifu ghairu ma’qul”
Al Istiwa telah diketahui (telah disebutkan dalam Al Qur’an) dan Kaifa (sifat makhluk atau benda) tidak masuk akal atau tidak boleh ditujukan bagi istiwa Allah.
Jadi ungkapan Istiwa Ma’lum (diketahui) atau Ghairu Majhul artinya tidaklah “tidak diketahui” – maksudnya telah diketahui yakni telah disebutkan dalam Al Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hambali dalam kitabnya Dzamm at-Ta-wil halaman 26:
وَقَوْلهم الاستواء غير مَجْهول أي غير مَجْهُول الْوُجُود لأن الله تَعَالَى أخبر بِهِ وَخَبره صدق يَقِينا لا يجوز الشك فِيهِ وَلَا الإرتياب فِيهِ فَكَانَ غير مَجْهُول لحُصُول العلم بِهِ وَقد رُوِيَ فِي بعض الْأَلْفَاظ الاسْتوَاء مَعْلُوم
Dan ucapan mereka “istiwa ghairu majhul” (tidaklah “tidak diketahui” maknanya telah diketahui) maksudnya tidak majhul (tidak diketahui) KEBERADAANNYA karena Allah Ta’ala telah mengabarkannya dan kabar dari-Nya yakin pasti benar tidak ada keraguan dan sangsi padanya. Tidak majhul karena telah sampai ilmu tentangnya. Dan telah diriwayatkan di beberapa redaksi dengan “istiwa ma’lum” (telah diketahui atau disebutkan dalam Al Qur’an).
Jadi PADA KENYAATANNYA firqah Mujassimah BUKANLAH ahli tauhid karena mereka menyembah sesuatu yang BERJISIM seperti contohnya mereka yang terpecah DUA KELOMPOK yakni kelompok PERTAMA menyembah sesuatu yang BERTEMPAT dan kelompok KEDUA menyembah sesuatu yang BERARAH di arah atas Arsy.
Berikut kutipan contoh pengingkaran KELOMPOK KEDUA terhadap KELOMPOK PERTAMA.
***** awal kutipan *****
Tidak betul, sudah dijelaskan para ulama salaf bahwa memang zat Allah itu di arah atas, tapi mereka memang tidak menamakan itu semua tempat karena Allah itu di luar alam sehingga tak berlaku lagi tempat di luar alam karena tempat itu masih alam.
***** akhir kutipan *****
Mereka berkeyakinan Tuhan BERARAH yakni BERADA DI ARAH ATAS dan di atas Arsy ada yang namanya “BUKAN TEMPAT” dan yang lainnya menamakannya dengan istilah yang TIDAK PERNAH difirmankan Allah dan disabdakan oleh Rasulullah ataupun dikatakan oleh ulama Salaf yakni MAKAN ‘ADAMI dan kalau diartikan adalah “TEMPAT KETIADAAN”
Begitupula IRONISNYA firqah MUJASSIMAH seolah-olah melarang atau mengharamkan ilmu kalam namun mereka justru TERPENGARUH ilmu kalam yakni Filsafat Materialisme
FILSAFAT MATERIALISME adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam KEBENDAAN semata. Mereka MENGINGKARI segala SESUATU yang TIDAK DAPAT dicapai atau di luar alam indra.
Sedangkan FIRQAH MUJASSIMAH adalah mereka yang mengatakan dan meyakini bahwa segala SESUATU di luar alam indra yakni segala SESUATU yang TIDAK DAPAT dinisbahkan ke suatu ARAH atau TEMPAT maka sama saja TIDAK ADA.
Contohnya ulama firqah Wahabi, Ibnu Utsaimin berkata
إذا نفيت هذه الجهات عن الله تعالی لزم أن يكون معدوما
Apabila engkau MENIADAKAN ARAH-ARAH ini dari Allah Ta’ala. Maka mengharuskan ALLAH itu TIDAK ADA. (Majmu’ Fatawa, Jilid 1, Hal.131)
Begitupula KAIDAH KELIRU yang dibuat oleh ulama rujukan mereka, Ibnu Abdil Barr (W. 463 H) ketika membahas tentang Allah, Beliau berkata dalam at-Tamhid:
وقد قال المسلمون وكلُّ ذي عقلٍ: إنه لا يُعقَلُ كائنٌ لا في مكانٍ منا، وما ليس في مكانٍ، فهو عدمٌ
“Kaum muslimin dan setiap orang berakal berkata: Sesungguhnya TIDAK dapat DINALAR adanya SESUATU yang TAK BERTEMPAT dari perspektif kita. Dan, apa yang TAK BERTEMPAT maka ia TIDAK ADA.”
Jikalau mereka mengatakan bahwa SESUATU yang TAK BERTEMPAT itu TIDAK ADA maka sama artinya mereka mengatakan bahwa dulu SEBELUM ADA tempat asalnya Allah TIDAK ADA juga.
Begitupula JIKA mereka meyakini SESUATU yang tidak berarah atau tidak bertempat itu TIDAK ADA maka menunjukkan KHAYALI mereka menyembah JISIM yakni SESUATU yang BERARAH atau BERTEMPAT di atas Arsy.
Jadi pada kenyataannya LISAN firqah MUJASSIMAH mengatakan menyembah Allah namun KHAYALI mereka menyembah JISIM yakni SESUATU yang BERARAH atau BERTEMPAT di atas Arsy
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali dalam Misykat Al Anwar menjelaskan tentang firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang belum dapat memandang Allah dengan hatinya (ain bashirah) AKIBAT mereka TERHIJAB oleh cahaya yang bercampur dengan KEGELAPAN KHAYALI.
***** awal kutipan *****
Sebab, kata mereka sesuatu yang TIDAK DISANDARKAN ke SUATU ARAH dan tidak dapat dilukiskan sebagai “di luar alam dunia” atau “di dalamnya”, menurut mereka, sama saja dengan “TIDAK ADA” karena tidak dapat DIKHAYALKAN.
***** akhir kutipan *****
Jadi JELASLAH firqah Mujassimah BUKANLAH ahli tauhid karena 11 – 12 atau BEDA TIPIS antara firqah MUJASSIMAH yakni orang yang mengkhayalkan atau MEYAKINI yang disembahnya berJISIM dengan orang yang menyembah BERHALA.
Letak perbedaannya adalah jikalau kaum musyrikin berhala DIBUATKAN sedangkan firqah MUJASSIMAH berhala DIKHAYALKAN dalam KEYAKINAN mereka.
Negeri +62 atau NUSANTARA tidak baik baik saja NAMUN darurat akidah Wahabi Al Mujassimah
Contohnya ustadz firqah Wahabi, Firanda Andirja mengatakan bahwa “semakin ke tempat tinggi semakin dekat kepada Allah” sebagaimana contoh kabar pada https://facebook.com/story.php?story_fbid=320623200652717&id=100081151183022
atau dapat disaksikan dalam video pada,
https://youtube.com/watch?v=5ou01jKqZ6A
Mereka mengaku-ngaku atau merasa mengikuti Salaf atau Manhaj Salaf dan melabelkan sebagai Salafi NAMUN mereka mengikuti ulama Salaf tokoh MUJASSIMAH seperti Ad Darimi yang mengatakan semakin tinggi semakin dekat kepada Allah
Contohnya mereka mengatakan,
***** awal kutipan *****
Apa yang dikatakan oleh Ad Darimi memang begitulah faktanya bahwa memang yang di atas langit LEBIH DEKAT kepada Allah secara hisssi (materi / fisikal) dari pada yang di bumi. Adapun kedekatan kala sujud maka itu adalah kedekatan maknawi”
***** akhir kutipan *****
Ad Darimi yang dimaksud BUKANLAH Ad Darimi ulama besar ahli hadits terkemuka yang telah menulis kitab Sunan ad Darimi yakni Abdullah ibn Abdul Rahman ad-Darimi (W. 255H)
NAMUN tokoh MUJASSIMAH Utsman bin Sa’id Ad-Darimi (W. 280 H) yang berkata
***** awal kutipan *****
Uluw Allah adalah Allah berada di atas. Artinya, yang naik ke atas LEBIH DEKAT JARAKNYA kepada Allah. Yang berada di langit lebih dekat kepada Allah daripada yang di bumi. Yang berada di langit ketujuh lebih dekat kepada Allah daripada yang berada di langit bawahnya (Syarah kitab at Tauhid min Shahih al Bukhari juz 2 hal 461)
***** akhir kutipan *****
Ulama setelah 300 Hijriah mengetahui Ad Darimi sebagai TOKOH MUJASSIMAH setelah kitab aqidahnya dipergunakan dan salah satu diantara yang paling direkomendasikan untuk diikuti oleh ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibn Taimiyah (W 728H) dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah (W 751 H) sebagaimana contoh kabar pada https://fitrahislami.wordpress.com/2020/02/12/tokoh-yang-menjadi-idola-kaum-mujasimah-musyabihah/
Contohnya Utsman bin Sa’id Ad-Darimi mengatakan “Dan jika Allah benar-benar berkehendak bertempat di atas sayap seekor nyamuk maka dengan sifat kuasa-Nya dan keagungan sifat ketuhanan-Nya Dia mampu untuk melakukan itu, dengan demikian maka terlebih lagi untuk menetap di atas arsy” . (Kitab An-Naqdl, h. 85).
Sedangkan ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) dalam kitabnya, At-Tasis fi Al-Raddi `ala Asas At-Taqdis Juz 1 Hal. 568 MENYEPAKATI perkataan Ad Darimi dengan mengatakan,
قَدْ شَاءَ لا سْتَقَرَّ عَلَى ظَهْرِ بَعُوْضَةٍ فَاسْتقَلَّتْ بِهِ بِقُدْرَتِهِ وَلَطْفِ رُبُوْبِيَّتِهِ
“Jikalau Allah berkehendak maka pastilah Dia akan menempat di atas punggung seekor nyamuk dan nyamuk itu akan kuat mengangkat terbang membawa-Nya dengan kekuasaan-Nya dan pengaturan-Nya yang menjadikan nyamuk seperti itu”
Begitupula Ibnu Qoyyim al Jauziyah (W 751 H) murid dari Ibnu Taimiyah sebagaimana yang dikabarkan
pada https://facebook.com/story.php?story_fbid=5931598453547082&id=100000909598063
***** awal kutipan *****
Ibn Qayyim mengatakan semua yang dikatakan Ibn Taimiyah bahkan dengan lebih lancang dari Ibn Taimiyah sendiri..
Dia sangat kagum dengan perkataan Ibn Taimiyah: “Allah Mampu untuk berada dengan dzat-Nya di atas sayap nyamuk kalau Dia Menginginkan”.
Dapat dimana kata “dengan dzat-Nya?” Tidak ada dalilnya di al-Qur’an…
Ibn Qayyim menyampaikan apa yang disampaikan Ibn Taimiyah tapi dengan lebih lancang misalnya mengatakan bahwa “Allah itu jism yang punya berat sehingga ketika duduk membuat ‘arsy goyang”..
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya para ulama terdahulu telah MENGKAFIRKAN ulama rujukan bagi firqah Wahabi, yakni Ibnu Taimiyah (W. 728H) yang SEBELUM bertaubat menetapkan sifat-sifat JISIM dan anggota-anggota badan dalam pengertian DITETAPKAN KUFUR dalam perkara I’TIQOD atau akidah BUKAN dalam pengertian MEMBATALKAN keislamannya sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab berjudul Hasyiyah Al ‘Allamah Ibn Hajar Al Haitami ‘Ala Syarh Al Idhah fi Manasik Al Hajj,
***** awal kutipan *****
ووقوعه في حق رسول الله ﷺ ليس يعجب فإنه وقع فى حق الله سبحانه وتعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علواً كبيراً فنسب إليه العظائم كقوله إن الله تعالى جهة ويداً ورجلاً وعيناً وغير ذلك من القبائح الشنيعة .
PENGHINAAN Ibnu Taimiyyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh (pengingkarannya terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah) oleh karena terhadap Allah saja dia melakukan PENGHINAAN dengan MENETAPKAN ARAH, tangan, kaki, mata dan lain sebagainya dari keburuk-keburukan yang sangat keji.
ولقد كفره كثير من العلماء عامله الله بعدله وخذل متبعيه الذين نصروا ما افتراه على الشريعة الغراء
Ibnu Taimiyyah ini telah DIKAFIRKAN (ditetapkan kufur dalam perkara i’tiqod) oleh banyak ulama – semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilan-Nya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya yaitu mereka yang (masih) membela segala yang dipalsukan oleh Ibnu Taimiyyah atas syari’at yang suci ini.
***** akhir kutipan *****
Begitupula para ulama telah melarang menjuluki ulama rujukan bagi firqah Wahabi yakni Ibnu Taimiyah (W. 728H) sebagai Syaikhul Islam BAGI yang telah mengetahui perkataan atau pendapat KUFURNYA.
Contohnya Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H) mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’.
Al Hafidz, Ibnu Hajar Al-Asqalani yang dikatakan “membela” ke-Syaikhul Islam-an ulama rujukan bagi firqah Wahabi mengingatkan contoh kekeliruan Ibnu Taimiyah (W. 728H) yang mengatakan Istiwa Allah dengan dzat-Nya karena sama artinya Allah BERBATAS dengan Arsy sebagaimana yang disampaikan dalam kitab Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155.
***** awal kutipan *****
إن اليد والقدم والساق والوجه صفات حقيقية لله،
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah SIFAT HAKIKAT bagi Allah,
وأنه مستو على العرش بذاته
dan sesungguhnya Allah BERISTIWA di atas Arsy DENGAN Dzat-Nya.
فقيل له: يلزم من ذلك التحيز والانقسام.
Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan (SAMA ARTINYA) Allah memiliki BATASAN dan BAGIAN,
فالذم بأنه يقول بتحيز في ذات الله
Maka yang DICELA adalah bahwa Ibnu Taimiyah mengatakan BATASAN bagi Dzat Allah.
***** akhir kutipan *****
Ibnu Taimiyah dipenjara oleh pemerintahan Sultan Muhammad bin Qolaawuun di salah satu menara Benteng Damascus di Syria dan diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyah adalah SESAT dan MENYESATKAN berdasarkan fatwa Qodhi empat mazhab yaitu :
- Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
- Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi B4k4r rhm.
- Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
- Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Imam Taqiyuddin As-Subki dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar