Ma’rifatullah — Mengenal Allah
Lillahi Ta’ala maknanya “karena Allah Ta’ala“
Dalam sifat 20 Allah Ta’ala kita paham dan yakin bahwa Allah itu Wujud (ada). Tidak mungkin atau mustahil Allah Ta’ala itu ‘Adam (tidak ada).
Allah itu Qiyamuhi Binafsihi (Berdiri dengan sendirinya). Mustahil Allah Ta’ala itu iftiqoorullah (Berhajat/butuh) pada makhlukNya.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan Yang Hidup Kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya). Dan sesungguhnya telah merugilah orang yang melakukan kezaliman” ( QS Thaha [20]:111)
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” ( QS Faathir [35]:15)
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi” (QS Al Baqarah [2]:255)
Allah Azza wa Jalla, Qiyamuhu bin Nafsi, Maha Berdiri Sendiri tidak membutuhkan apa-apa pun dari makhlukNya termasuk “tempat” atau “Arsy” atau “langit” atau “kursi”, sebaliknya kita membutuhkan Allah Azza wa Jalla.
Manusia atau kita ada namun tidak berdiri sendiri. Kita itu maujud artinya ada namun karena pengaruh yang lain yakni karena Allah Ta’ala.
Kita ada karena Ar Rahmaan dan Ar Rahiim nya Allah Ta’ala
Coba bayangkan jika seluruh indera kita seperti penglihatan, pendengaran, penciuman/rasa itu tidak diberikan oleh Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, apakah kita ada ?
Kita maujud karena Allah Ta’ala , karena Ar Rahmaan dan Ar Rahiim Nya dalam berupa panca indera. Kita harus bersyukur untuk itu
“Kemudian Dia menyempurnakan penciptaannya dan Dia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Dia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa, tapi sedikit sekali kamu bersyukur” (QS As Sajadah (32):9)
Begitu pula kita harus bersyukur atas nikmat Iman dan nikman Islam karena Allah Ta’ala , karena karuniaNya, karena Taufiq dan HidayahNya.
Oleh karenanya segala perbuatan kita (seorang hamba Allah yang bergantung padaNya) haruslah karena Allah Ta’ala bukan karena hawa nafsu dan bukan pula karena selainNya
Kita sholat karena Allah Ta’ala bukan karena surgaNya. SurgaNya adalah ciptaanNya yang adanya pun karena Allah Ta’ala.
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam“. (QS Al An’aam [6]:162 )
SurgaNya bukan lah tujuan namun sebuah keniscayaan bagi “orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya”
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )
Wassalam
Zon di Jonggol
Asslm, smoga bermanfaat buat kt smua. Smg allah meridoi kt smua yg menghrpkn k ridoan allah. Oya pak ustad klau bs sifat dua puluhnya d kupas hbis. Amin
Walaikumsalam
Tentang sifat 20 silahkan baca tulisan pada http://ummatipress.com/2011/06/25/aqidatul-awam-kitab-aqidah-ahlussunnah-waljamaah-bebas-virus-wahabi/
Subhanallah,…. Terima Kasih atas Pencerahanya,
Koreksi pak,surga adalah tujuan setiap muslim,oleh karena kita diajarkan oleh Rassulullah S.A.W agar berdoa………..wa adhilna jaannata darrussalaam……minta agar dimasukkan kesurganya ALLAH SWT..adalah suatu kesombongan + kebodohan jika anda katakan “,surga bukan tujuan tapi keniscayaan”….Surga adalah tujuan setiap muslim bahkan para Nabi….tentunya dengan rahmat dari ALLAH SWT…saran saya agar anda bisa belajar tentang Islam lebih jauh lagi
Silahkan anda berpendapat seperti itu, namun tujuan setiap muslim adalah meraih ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala semata sedangkan surga adalah kehendak Allah Azza wa Jalla
Allah Azza wa Jalla telah menetapkan siapa-siapa yang akan masuk surga dan siapa yang masuk neraka jauh sebelum manusia itu lahir.
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Al A’masy aku mendengar Zaid bin Wahb aku mendengar ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallahu’anhu, telah menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam yang beliau adalah seorang yang jujur menyampaikan, dan berita yang disampaikan kepadanya adalah benar, bahwa penciptaan salah seorang diantara kalian dihimpun dalam perut ibunya selama empat puluh hari, atau empat puluh malam, kemudian menjadi segumpal darah dalam empat puluh hari berikutnya, kemudian menjadi segumpal daging dalam empat puluh hari berikutnya, kemudian Allah mengutus malaikat kepadanya dan memerintahkan untuk menetapkan empat kalimat (empat hal); tentang rejekinya, ajalnya, amalnya, sengsara ataukah bahagia. Kemudian Allah meniupkan ruh padanya, sungguh ada salah seorang diantara kalian yang melakukan amalan-amalan penghuni surga hingga tak ada jarak antara dia dan surga selain sehasta, namun kemudian takdir telah mendahului dia, lantas ia pun melakukan amalan penghuni neraka dan akhirnya masuk neraka. Dan sungguh ada salah seorang diantara kalian yang melakukan amalan penghuni neraka, hingga tak ada jarak antara dia dan neraka selain sehasta, namun kemudian takdir mendahuluinya, lantas ia pun mengamalkan amalan penghuni surga sehingga ia memasukinya.” (HR Bukhari 6900)
Jadi, Allah Qadirun bi Qudratihi (Allah Berkuasa dengan Kekuasaan-Nya), Allah Muridun bi Iradatihi (Allah Berkehendak dengan Kehendak-Nya) telah menuliskan pada Lauhul Mahfudz segala seluruh skenario atau catatan kejadian di alam semesta termasuk siapa yang bahagia dan siapa yang sengsara, siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka.
Kita pernah tahu riwayat seorang wanita yang pada akhirnya masuk neraka karena kejahatannya yakni mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Nafi’ dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ada seorang wanita disiksa disebabkan mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan lalu wanita itupun masuk neraka. Nafi’ berkata; Beliau berkata: Sungguh Allah Maha Mengetahui bahwa kamu tidak memberinya makan dan minum ketika engkau mengurungnya dan tidak membiarkannya berkeliaran sehingga dia dapat memakan serangga tanah. (HR Bukhari 192)
Kita pernah tahu pula riwayat seorang wanita yang tidak baik namun pada akhirnya masuk surga karena kebaikannya yakni memberi minum seekor anjing
Telah bercerita kepada kami Al Hasan bin ash-Shobbah telah bercerita kepada kami Ishaq Al Azraq telah bercerita kepada kami ‘Auf dari Al Hasan dan Ibnu Sirin dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ada seorang wanita pezina yang diampuni dosanya disebabkan (memberi minum seekor anjing). Ketika dia berjalan ada seekor anjing dekat sebuah sumur yang sedang menjulurkan lidahnya dalam kondisi hampir mati kehausan. Wanita itu segera melepas sepatunya lalu diikatnya dengan kerudungnya kemudian dia mengambil air dari sumur itu. Karena perbuatannya itulah maka dia diampuni dosanya.
Oleh karenanya dikatakan lebih baik mantan penjahat daripada mantan ustadz atau lebih baik mantan orang jahat daripada mantan orang baik karena yang diperlukan adalah akhir yang baik.
Tiada seorangpun mengetahui bagaimana keadaan akhir yang akan dialami sehingga tidak dapat sombong dengan keadaan pada saat ini dan tidak boleh pula sombong dengan merendahkan keadaan orang lain pada saat ini.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Sayyidina Ali bin Abu Thalib karamallahu wajhu berkata, “Saya heran terhadap orang yang sombong. Padahal dia berasal dari air yang hina dan akan menjadi bangkai. Sombong dapat menghalangi tambahan nikmat. Orang yang menyombongkan diri sendiri, akalnya sudah rusak. Rakus, sombong dan dengki merupakan kendaraan menuju lembah yang dipenuhi dosa”.
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Sayyidina Umar ra juga menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Terkait “hak perogratif Allah” bahwa Allah Azza wa Jalla telah menetapkan siapa-siapa yang akan masuk surga dan siapa yang masuk neraka jauh sebelum manusia itu lahir maka para Sahabat bertanya “Wahai Rasulullah, dengan begitu apakah kita tidak pasrah saja menunggu apa yang sudah ditentukan buat kita dan kita tidak perlu beramal?
Kemudian Rasulullah mengingatkan bahwa kita tidak perlu mempertanyakan “hak perogratif Allah” atau mempertanyakan “apa yang telah ditetapkan oleh Azza wa Jalla” namun teruslah berbuat amal kebaikan sebagaimana pula yang difirmankanNya dalam QS Al Lail [92] yang berjumlah 21 ayat
Telah menceritakan kepada kami Adam Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al A’masy ia berkata; Aku mendengar Sa’d bin Ubaidah menceritakan dari Abu Abdurrahman As Sulami dari Ali radliallahu ‘anhu ia berkata; Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada dalam rombongan pelayat Jenazah, lalu beliau mengambil sesuatu dan memukulkannya ke tangah. Kemudian beliau bersabda: Tidak ada seorang pun, kecuali tempat duduknya telah ditulis di neraka dan tempat duduknya di surga. Para sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, kalau begitu, bagaimana bila kita bertawakkal saja terhadap takdir kita tanpa beramal? beliau menajawab: Ber’amallah kalian, karena setiap orang akan dimudahkan kepada yang dicipta baginya. Barangsiapa yang diciptakan sebagai Ahlus Sa’adah (penduduk surga), maka ia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan Ahlus Sa’adah. Namun, barangsiapa yang diciptakan sebagai Ahlusy Syaqa` (penghuni neraka), maka ia akan dimudahkan pula untuk melakukan amalan Ahlusy Syaqa`. Kemudian beliau membacakan ayat: Fa’amma man a’thaa wa taqqwa shaddaqa bil husnaa (Dan barangsiapa yang memberi, dan bertakwa serta membenarkan kebaikan).. (HR Bukhari 4568)
Telah menceritakan kepada kami ‘Utsman telah menceritakan kepada saya Jarir dari Manshur dari Sa’ad bin ‘Ubaidah dari Abu ‘Abdurrahman dari ‘Ali radliallahu ‘anhu berkata,: Kami pernah berada di dekat kuburan Baqi’ Al Ghorqad yang kemudian Nabi Shallallahu’alaihiwasallam mendatangi kami, lalu Beliau duduk maka kami pun ikut duduk dekat Beliau. Beliau membawa sebuah tongkat kecil yang dengan tongkat itu Beliau memukul-mukul permukaan tanah dan mengorek-ngoreknya seraya berkata,: Tidak ada seorangpun dari kalian dan juga tidak satupun jiwa yang bernafas melainkan telah ditentukan tempatnya di surga atau di neraka dan melainkan sudah ditentukan jalan sengsaranya atau bahagianya. Kemudian ada seorang yang berkata,: Wahai Rasulullah, dengan begitu apakah kita tidak pasrah saja menunggu apa yang sudah ditentukan buat kita dan kita tidak perlu beramal?. Karena barangsiapa diantara kita yang telah ditentukan sebagai orang yang berbahagia, maka pasti dia sampai kepada amalan orang yang berbahagia, sebaliknya siapa diantara kita yang telah ditentukan sebagai orang yang sengsara maka pasti dia akan sampai kepada amalan orang yang sengsara. Maka Beliau bersabda: (Tidak begitu). Akan tetapi siapa yang telah ditetapkan sebagai orang yang berbahagia, dia akan dimudahkan untuk beramal amalan orang yang berbahagia dan sebaliknya orang yang telah ditetapkan sebagai orang yang akan sengsara maka dia pasti akan dimudahkan beramal amalan orang yang sengsara. Kemudian Beliau membaca firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala QS Al Lail [92]:5-6 Fa’ammaa man ‘athaa wattaqqa wa shaddaqa bil husnaa yang artinya: “Adapun orang yang memberikan dan bertakwa serta membenarkan kebaikan” (HR Bukhari 1274)
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Abu Wa`il dari Abdullah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan itu akan membimbing ke surga, sesungguhnya jika seseorang yang senantiasa berlaku jujur hingga ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke neraka. Dan sesungguhnya jika seseorang yang selalu berdusta sehingga akan dicatat baginya sebagai seorang pendusta.” (HR Bukhari 5629)
Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah danlainnya).
Orang yang zuhud adalah orang meninggalkan segala sesuatu yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.
Orang yang zuhud adalah tidak adanya ketergantungan dan terpusatnya perhatian terhadapnya. Bersikap qanaah terhadap rizki yang halal dan ridho terhadapnya serta bersikap ‘iffah dari perbuatan haram dan hati-hati atau bahkan menghindari terhadap syubhat
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/09/18/pengertian-al-busyra/ bahwa seorang ulama berkata: “Jika seorang mukmin rajin beribadah, maka hatinya bercahaya, dan pancaran cahayanya melimpah ke wajahnya, sehingga terlihat pada wajahnya tanda khusyu’ dan tunduk kepada Allah, sehingga ia dicintai dan dipuji oleh banyak orang, itulah tanda kecintaan Allah kepadanya, dan itulah berita gembira yang didahulukan baginya ketika ia di dunia.”
Sedangkan berita gembira dalam kehidupan di akhirat adalah surga beserta segala macam kesenangannya yang bersifat abadi, seperti yang disebutkan dalam firman Allah yang artinya: (yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mu’min laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada meraka): “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar”. (QS Al Hadiid [57]:12)
Berita gembira (al Busyraa) baik di dunia dan di akhirat dapat dicapai karena
1. Madzaqatul Iman (مذاقة الإيمان )
Yakni perasaan gembira karena telah diberi iman oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hati merasa bersyukur kepada Allah karena telah diberi-Nya suatu karunia yang besar berupa iman—kekayaan jiwa yang tiada ternilai.
2. Madzaqatul Ibadah (مذاقة العبادة ) dan Cinta serta Rindu kepada Allah (الحبّ والشـقاوة )
Yakni perasaan senang dalam menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Al-Busyra pangkalnya adalah Hayya `ala al-shalah dan Hayya `ala al-falah (حيّ على الصلاة حيّ على الفلاح )
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam setiap tiba waktu shalat, beliau menyuruh kepada Bilal: “Arihna Ya Bilal” (Gembirakan kami wahai Bilal).
Dari Anas Ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “….kesenanganku dijadikan dalam shalat”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sangat menikmati ibadah, bahkan beliau pernah berdiri dalam sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. ‘Aisyah pernah bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan hal ini, bukankah Allah telah memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab: “afala akuuna ‘abadan syakuuraa” , “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sembahlah Allah dengan senang hati. Jika kamu tidak mampu, maka hal yang terbaik bagimu adalah bersikap sabar menghadapi nasib yang tidak kamu sukai.“
Qana`ah (القناعة ) dan Ridla (الـرضى )
Secara sederhana qana`ah ini dapat diartikan dengan mencukupkan apa yang ada, mensyukuri karunia Allah yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita tanpa ada keluhan-keluhan yang keluar sedikit juapun.
Imam al-Syafi`i mengatakan:
لو كنت ذا قلب قنوع # أنت ومالك الدنيا سواء
(Jika engkau mempunyai sifat qana`ah, sama halnya engkau dengan seorang raja).
Maksudnya, seseorang yang mempunyai sifat qana`ah keadaannya selalu cukup, karena sikapnya mencukupkan atau mensyukuri apa yang ada padanya. Hatinya kaya dan gembira karena sifat qana`ah itu.
Jiwa yang merasa cukup dan iffah serta berkorban dengan harta dan jiwa di jalan Allah merupakan hakikat zuhud.
Zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, berarti menjauhkan diri dari merasa iri hati terhadap apa yang dimiliki oleh manusia serta mengosongkan hati dari mengingati harta milik orang..
Firman Allah ta’ala yang artinya… (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QSAl-Hadiid :23)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ”Untuk apa dunia itu! Hubungan saya dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi)
Kehidupan zuhud ini dicontoh oleh para Sahabat Rasulullah shallallahu alaihiwsallam : Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman bin Affan ra , dan Abdurrahmanbin Auf. Mereka adalah beberapa sahabat yang kaya raya, tetapi tidak mengambil semua harta kekayaannya untuk diri sendiri dan keluarganya. Sebagian besar harta mereka habis untuk dakwah, jihad, dan menolong orang-orang beriman.
Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, salah satu pemimpin yang paling zuhud, masyarakat merasakan ketentraman, kesejahteraan, dan keberkahan. Tidakada lagi orang yang miskin yang meminta-minta, karena kebutuhannya sudah tercukupi.
Mereka adalah tokoh pemimpin dunia yang dunia ada dalam genggamannya, namun tidak tertipu oleh dunia.
Bahkan, mereka lebih mementingkan kehidupan akhirat dengan segala kenikmatannya. Abu Bakar ra berkata, ”Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sungguh demi Allah,bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan dari kalian. Akan tetapi yang aku khawatirkan atas kalian adalah bila kalian telah dibukakan (harta) dunia sebagaimana telah dibukakan kepada orang-orang sebelum kalian lalu kalian berlomba-loba untuk memperebutkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba memperebutkannya sehingga harta dunia itu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.”(HR Bukhari 2924).
Dua dimensi jiwa manusia senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan berperang.
Kemungkinan jiwa positif manusia menguasai dirinya selalu terbuka, seperti yang dialami Habil. Dan jiwa negatifpun tak tertutup kemungkinan untuk mengontrol diri manusia, seperti yang terjadi pada Qobil.
Tataplah sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam. Ia putera seorang konglomerat Makkah. Namanya menjadi buah bibir masyarakat, terutama kaum mudanya. Sebelum masuk Islam ia dikenal dalam lingkaran pergaulan jet set. Namun, suatu hari mereka tak lagi melihat sosoknya. Mereka kaget ketika mendengarnya sudah menjadi pribadi lain.
Benar, ia sudah bersentuhan dengan dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan hidup dalam kemanisan iman dan kedamaian risalahnya. Sehingga cobaan beratpun ia terima dengan senyuman dan kesabaran. Kehidupan glamour ia lepaskan. Bahkan dialah yang terpilih sebagai juru dakwah kepada penduduk Madinah.
Disisi lain , tengoklah pribadi Musailamah Al-Khadzdzab. Setelah mengikuti kafilah dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, jiwa negatifnya masih menonjol, ketamakan akan kedudukan dan kehormatan membawanya pada pengakuan diri sebagai nabi palsu. Akhirnya ia mati terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu peperangan.
Manusia tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa menguasai dan membimbing dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada garis-garis yang benar dan haq. Akan tetapi seringkali harapan ini tak kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya yang muncul. Ia terperosok ke dalam kubangan kebatilan.
Disinilah betapa besar peranan lingkungan yang mengelilingi diri manusia baik keluarga kawan, tetangga, guru kerabat kerja, bacaan, penglihatan, pendengaran, makanan, minuman, ataupun lainnya. Semua itu memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai jiwa manusia.
Islam , sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan ke pada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya.
Disamping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islam serta peningkatan pengalamnnya. Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah jiwa. Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebaliknya , apabila jiwanya terkotori oleh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mesucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya”(QS. Asy Syams [91] : 7-10).
Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya masing-masing perilaku keseharian manusia, baik dalam hibungannya dengan Allah, lingkungan maupun dirinya.
Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Alah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan jiwa yang kotor akan melahirkan kemungkaran dan kerusakan, adalah benar bahwa Allah tidak melihat penampilan lahir seseorang, tetapi yang dilihat adalah hatinya, sebagaimana disebutkan dalam satu hadits. Tetapi ini dimaksudkan sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi sebuah amal, bukan untuk menafikan amal lahiriah.
Sebuah amal ibadah akan diterima Allah manakala ada kesejajaran antara perilau lahiriah dan batiniah, disamping sesuai dengan tuntunan Din. Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah kepada Allah. Dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya. Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allah Yang Maha Besar dan Perkasa , kepada tuntunan dan ajaran-Nya.
Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas. Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah gedung, disana banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbakan. Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan, ia lebih mudah dan gampang serta tak banyak menguras tenaga.
“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Mansusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.
Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hal prinsip (ad – dkaruriyat al khams); Din , jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman.
Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam penafsirannya, tidak pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu sumber, Allah Subhanahu wa Ta’ala, Pencipta alam semesta dan segala isinya.
Salah faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan manusia.maka yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa manusia. Akhirnya, nilai nilai positif dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar sayup-sayup. Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
“Orang yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.
Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya. Sehingga mereka merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya, mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam.
“Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam keterasingan pula sebagaimana mulanya. Maka berbahagialah orang – orang yang terasing”. (Al Hadist).
Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang jelas, manusia senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya.
Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan menjemputnya dengan berlari.
Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhak meraih panggilan kasih sayang –Nya.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS.Al Fajr [89] : 27-30)
Mas abdul maaf sebelumnya bukanlah surga yang dicari setiap orang melainkan jalan pulang kepada sang pencipta yaitu Allah SWT,saya kira mutiarazuhud lebih paham untuk hal ini.sebaiknya mas abdul belajar tauhid dl sebelum belajar syariat. syariat yang dijalankan tanpa tahu maksud dan tujuannya percuma akan menjadi sia-sia belaka.saya kira perbedaan pendapat seperti ini tidak membuat kita umat islam terpecah belah yang penting masih Lillahi ta’ala.
Sangat maslahat, pandangan boleh berbeda tetapi tujuan tetap sama.
Mutiara zuhud sangat menginspirasi dan memotifasi.
Ditunggu selalu tulisan selanjutnya…!!!