SEJAUH-JAUHNYA arah ATAS yang dapat dilihat oleh mata maupun dibantu dengan teleskop SEMUANYA adalah ALAM NASUT
SEJAUH-JAUHNYA arah ATAS yang dapat dicapai oleh mata kepala termasuk dibantu dengan teleskop sehingga dapat melihat galaksi ataupun gugus (cluster) galaksi SEMUANYA adalah ALAM NASUT (alam mulk / alam jasad)
Sedangkan Arsy-Nya, Sidratul Muntaha, para Malaikat dan PENDUDUK LANGIT lainnya yakni orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah Ta’ala sepert para Nabi yang ditemui oleh Rasulullah ketika Isra Mi’raj, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang sholeh yang TELAH wafat BUKAN di Alam NASUT !!!!
Sebaiknya mereka terlebih dahulu mempelajari tentang ALAM NASUT, ALAM MALAKUT, ALAM JABARUT dan ALAM LAHUT agar tidak terjerumus mengikuti orang-orang yang durhaka (‘aashin) kepada Allah Ta’ala karena “menjauhkan” Allah Ta’ala dengan mengitsbatkan (menetapkan) arah dan jarak maupun berbatas dengan makhluk-Nya yakni berbatas dengan Arsy.
Contohnya Imam As Suyuthi (W 911 H) dalam tafsir Jalalain menjelaskan peristiwa pada malam ketika Rasulullah diisrakkan atau diperjalankan ke Sidratul Muntaha melihat ALAM MALAKUT dan bertemu dengan Malaikat Jibril dan PENDUDUK LANGIT lainnya yakni para Nabi yang telah wafat ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala surat Al Isra [17] ayat 1 dan An Najm [53] ayat 18
Berikut kutipan ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala surat An Najm [53] ayat 18
***** awal kutipan ****
لقد رأى
“Sesungguhnya dia telah melihat”
فيها
(pada malam itu)
من آيات ربه الكبرى
“sebagian tanda-tanda kekuasaan Rabbnya yang paling besar”
العظام، أي بعضها فرأى من عجائب الملكوت رفرفا أخضر سد أفق السماء وجبريل له ستمائة جناح.
(yang paling agung, dimaksud adalah sebagian dari tanda-tanda itu, maka dia melihat sebagian dari keajaiban – keajaiban ALAM MALAKUT, dan Rafraf berwarna hijau menutupi cakrawala langit, dan malaikat Jibril yang memiliki enam ratus sayap)
***** akhir kutipan *****
Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-an-najm-dengan-terjemahan-dan-tafsir/2
Sedangkan tafsir Jalalain surat Al Isra [17] ayat 1 dapat dilihat pada https://ibnothman.com/quran/surat-al-isra-dengan-terjemahan-dan-tafsir/1
Contoh lainnya Imam Ibn Abi Jamrah (W. 675H) penyusun Mukhtasar Shahih Bukhari mengatakan bahwa,
***** awal kutipan *****
hikmah pembasuhan hati pertama ketika masih kecil hingga ketiga pada malam Isra`nya seperti wudhu yang merupakan pengagungan dan persiapan untuk menghadapi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bermunajat kepada-Nya.
Begitu juga tambahan pada pembasuhan pertama dan yang kedua jika yang pertama telah sempurna. Karena, apabila telah mencukupi pada basuhan pertama, maka basuhan sisanya hingga ketiga adalah sebagai pengagungan.
Imam al Burhan an Nu’mani radhiyallahu anhu berkata, “Bagi orang yang masuk tanah haram, bagus baginya untuk mandi.
Lalu bagaimana menurut anda bagi orang yang akan memasuki hadirat yang suci. Karena tanah haram termasuk ALAM MULK (alam nasut atau alam jasad) dan ia alam yang tampak maka pembasuhan untuk memasukinya adalah pada bagian tubuh yang tampak.
Sedangkan karena hadirat yang suci termasuk ALAM MALAKUT dan ia merupakan alam yang tak tampak maka pembasuhan untuk memasukinya adalah pada bagian tubuh yang tak tampak dan Beliau di mi’rajkan untuk menerima kewajiban sholat dan Beliau melakukan sholat dengan para malaikat di langit sedangkan di antara sifat sholat adalah suci maka Beliau disucikan lahir dan bathin.
**** ,akhir kutipan *****
Setiap manusia yang telah baligh dan berakal (mukallaf) yang beragama Islam wajib meyakini bahwa Allah Ta’ala bersifat Qiyamuhu Binafsihi (Maha Mengurus diri-Nya sendiri) yakni Allah Ta’ala TIDAK MEMBUTUHKAN makhluk-Nya dan TIDAK pula DIPENGARUHI oleh makhluk-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ
Allahu la ilaha illa huwal Hayyul Qayyum
Artinya, “Allah, TIDAK ADA tuhan SELAIN Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. (QS. Ali Imran [3] : 2)
Jadi KEBERADAAN wujud SELAIN Allah TIDAK AKAN mempengaruhi Allah Ta’ala dan termasuk KEBERADAAN Arsy-Nya TIDAK AKAN mempengaruhi KEBERADAAN Allah Ta’ala
Begitupula dalam sabda Rasulullah yang menunjukkan bahwa Allah ADA tanpa tempat maupun arah (Allah maujud bila makan) yakni
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
قَالَ كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ
“Allah ADA dan TIDAK ADA sesuatu apapun selain Dia” (HR. Bukhari 2953 atau Fathul Bari 3191 / 3192)
Allah maujud bila makan artinya Allah ADA tanpa tempat maupun arah.
Tentulah tempat maupun arah termasuk SESUATU selain Dia.
Dari sabda Rasulullah tersebut dapat pula diketahui bahwa KEBERADAAN wujud SELAIN Allah TIDAK mengubah atau TIDAK mempengaruhi KEBERADAAN Allah Ta’ala.
Jadi ketika mereka bertanya di mana Allah setelah menciptakan Arsy maka jawabannya adalah,
Allah ADA tanpa tempat maupun arah (Allah maujud bila makan) yakni, “TIDAK ADA sesuatu apapun selain Dia” BERLAKU sampai kapanpun karena Allah tidak boleh disifatkan berubah dan TIDAK berlaku atas-Nya ruang dan waktu atau zaman seperti kemarin, sekarang, besok, lalu, kemudian, dahulu, akan datang.
Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah yang mendapatkan pengajaran langsung dari lisannya Rasulullah berkata
كان الله ولا مكان وهو الآن على ما عليه كان
“Allah ada dan belum ada tempat dan Dia sekarang tetap seperti semula (tidak berubah yakni ada tanpa tempat)”
Begitupula Imam Syafi’i berkata
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان
“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia ada sebelum Dia menciptakan tempat,
لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
TIDAK BOLEH atas-Nya BERUBAH pada Dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. (Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36).
Begitupula Rasulullah mengajarkan kepada para Sahabat bahwa Allah ADA tanpa TEMPAT maupun ARAH (Allah maujud bila makan) yakni, TANPA SESUATU apapun yang menyertai-Nya ketika para Sahabat bertanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ
“Wahai Rasulullah, di mana Rabb kita ‘Azza wa Jalla sebelum mencipta makhluk-Nya?”
Rasulullah bersabda,
قَالَ كَانَ فِي عَمَاءٍ
“Allah ADA tanpa sesuatu apapun yang menyertai-Nya (Al Ama’)
مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ
Di bawah-Nya tidak ada sesuatu dan Di atas-Nya tidak ada sesuatu,
ثُمَّ خَلَقَ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ
Tsumma (lalu) Allah menciptakan Arsy di atas air.” (Musnad Ahmad 15599)
Salafus Sholeh yang meriwayatkan hadits menjelaskan bahwa pengertian Al Ama’ adalah “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai-Nya” sebagaimana contohnya yang termuat dalam Sunan at Tirmidzi menjelaskan,
قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ
Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, (makna) Al Ama` adalah (Allah ADA) TANPA SESUATU apapun yang menyertai-Nya (Sunan at Tirmidzi, 3109)
Jadi jelaslah bahwa Allah ADA tanpa TEMPAT maupun ARAH (Allah maujud bila makan) yakni TANPA SESUATU apapun yang menyertai-Nya adalah akidah yang diajarkan oleh Rasulullah kepada para Sahabat dan sebagai dasar atau pedoman bagi akidah umat Islam.
Sedangkan sabda Rasulullah yang ARTINYA,
“Lalu Allah menciptakan Arsy di atas air.”
MAKNANYA BUKANLAH Allah Ta’ala BERUBAH menjadi BERBATAS dan BERADA di atas ‘Arsy NAMUN MAKNANYA Rasulullah sekedar MEMBERITAKAN bahwa Allah Ta’ala menciptakan Arsy di atas air KARENA Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan berubah
Al-Imam al-Qurthubi menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22)
Begitupula firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia istawa atas Arsy” (QS. Al A’raf [7] : 54)
Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan berubah sehingga tsumma istawa (lalu Allah istawa) bukanlah perpindahan yakni berkesinambungan perbuatan-Nya (tartib al-hushul) namun berkesinambungan pemberitaan-Nya (tartib al-ikhbar)
Imam al-Qadli Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab berjudul Idlah ad-Dalil Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, hlm. 106-107 menuliskan
***** awal kutipan *****
Kemudian kata “tsumma” dalam firman-Nya: “Tsumma Istawa” BUKAN dalam pengertian “tertib atau berkesinambungan” dalam perbuatan-Nya, tetapi untuk memberikan paham tertib atau berkesinambungan dalam pemberitaan-Nya.
***** akhir kutipan *****
Para ulama ahli bahasa mengatakan bahwa kata tsumma tidak hanya dipergunakan untuk susunan kejadian peristiwa.
Contohnya al-Imam al-Lughawiy al-Farra’ mengatakan bahwa kata tsumma terkadang digunakan dalam pengertian “al-waw”, artinya untuk tujuan susunan pemberitaan (Tartîb al-Ikhbar) dan tidak khusus hanya untuk susunan kejadian saja (Tartib al-Hushul).
Begitupula Al Imam Al Hafidzh al Baihaqi dalam kitab al-Asma wa ash-Shifat hal. 411 menuliskan bahwa,
***** awal kutipan *****
penggunaan kata tsumma pada asalnya adalah untuk susunan kejadian peristiwa (at-Tarakhkhî).
Dan penggunaan tsumma dalam pengertian at-Tarakhkhî ini hanya terjadi pada perbuatan-perbuatan makhluk, karena setiap perbuatan makhluk itu pasti bersusunan (berkesinambungan) satu pekerjaan atas lainnya, ia tidak bisa mengerjakan berbagai pekerjaan dalam satu waktu.
Hal ini karena perbuatan manusia dengan mempergunakan peralatan, seperti; tangan, kaki, dan lainnya.
Juga dalam perbuatannya tersebut, manusia harus menyentuh objek dari apa yang diperbuatkannya.
Ini berbeda dengan perbuatan Allah, Dia menciptakan segala makhluk-Nya bukan dengan peralatan, bukan dengan tangan, bukan dengan menyentuh, bukan dengan bergerak, dan bukan dengan segala sifat-sifat makhluk lainnya.
Karena itu, penggunaan kata tsumma dalam ayat-ayat di atas bukan dalam pengertian susunan (berkesinambungan) dalam perbuatan-Nya, karena Allah Ta’ala tidak disibukan oleh satu perbuatan atas perbuatan lainnya.
****** akhir kutipan *****
Contoh lainnya KEBERADAAN wujud SELAIN Allah TIDAK AKAN mempengaruhi keberadaan Allah Ta’ala adalah
Allah Ta’ala TINGGI di atas Arsy namun TIDAK BERSENTUH dan TIDAK BERJARAK dengan Arsy-Nya sebagaimana Imam Baihaqi dalam al-Asmâ’ wa as-Shifât, juz 2, halaman 308 menegaskan bahwa
وَالْقَدِيمُ سُبْحَانَهُ عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ لَا قَاعِدٌ وَلَا قَائِمٌ وَلَا مُمَاسٌّ وَلَا مُبَايَنٌ عَنِ الْعَرْشِ
“Allah Yang Maha Qadim, TINGGI di atas Arsy namun TIDAK DUDUK dan TIDAK BERDIRI, TIDAK MENYENTUH dan TIDAK BERJARAK atau TIDAK TERPISAH (LA MUBAYANAH) dari Arsy.
Jadi jelaslah bahwa Allah Ta’ala TINGGI di atas Arsy maknanya BUKAN dalam pengertian KETINGGIAN arah ataupun tempat
Al-Mufassir Al Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya al-Jami Li Ahkam al-Qur’an atau yang lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Qurthubi ketika menafsirkan firnan Allah Ta’ala surat Al Baqarah ayat 255 mengatakan,
awal kutipan
ﻭ” ﺍﻟﻌﻠﻲّ ” ﻳﺮﺍﺩ ﺑﻪ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻭﺍﻟﻤﻨﺰﻟﺔ ﻻ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ، ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻨﺰﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﺤﻴﺰ
Nama Allah “al-‘Aliyy” adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan bukan dalam ketinggian tempat, karena Allah Maha Suci dari bertempat”
وحكى الطبري عن قوم أنهم قالوا: هو العلي عن خلقه بارتفاع مكانه عن أماكن خلقه
Ath Thabari mengisahkan dari satu kaum bahwa mereka berkata: “Dia Allah Maha Tinggi atas hamba ciptaan-Nya dengan ketinggian tempat-Nya dari tempat makhluk-Nya.”
قال ابن عطية: وهذا قول جهلة مجسمين
Ibnu Athiyah berkata: “Ini adalah pendapat kaum JAHIL (tidak berilmu) yakni MUJASSIMAH
akhir kutipan
Jadi firqah Mujassimah memaknai Yang Maha Tinggi adalah ketinggian arah atau tempat
Begitupula salah satu POKOK KEKELIRUAN sehingga mereka terjurumus mengikuti firqah MUJASSIMAH adalah karena mereka memaknai BA’IN artinya TERPISAH dari makhluk dalam makna atau pengertian jarak dan batas.
Padahal mereka dapat memeriksa pada kamus bahasa Arab dan cara paling mudah pada zaman NOW (sekarang) adalah menggunakan google translate dan ketik,
بائن من خلقه.
dan artinya adalah “Dibedakan dari ciptaan-Nya”
Mereka dapat pula memeriksa segala kemungkinan makna dari kata بائن (ba’in) contohnya pada https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/%D8%A8%D8%A7%D8%A6%D9%86/
Syekh Ibnu Khaldun (W. 808 H) menjelaskan bahwa pengertian MUBAYANAH yang telah disepakati oleh jumhur ulama Salaf maupun Khalaf
وأمّا المعنى الآخر للمباينة، فهو المغايرة والمخالفة
Adapun makna keterpisahan (mubayanah) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk adalah perbedaan dan ketidaksamaan
فيقال: البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويّته ووجوده وصفاته
Maka dikatakan bahwa Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya dalam hal Dzat, hakikat, keberadaan dan sifat-sifatnya.
Jadi makna KETERPISAHAN (MUBAYANAH) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk yang telah disepakati oleh jumhur ulama adalah BA’IN artinya TERPISAH dalam makna atau pengertian BERBEDA atau TIDAK SERUPA dari makhluk-makhluk-Nya dari sisi apapun sebagaimana firman Allah Ta’ala “Laisa Kamitslihi Syaiun” (QS. Asy Syura [42] : 11).
Contohnya kalau manusia DEKAT BERSENTUH dan JAUH BERJARAK.
Sedangkan Allah Ta’ala DEKAT TIDAK BERSENTUH dan JAUH TIDAK BERJARAK.
Jadi mereka yang “menjauhkan” Allah Ta’ala dengan mengitsbatkan (menetapkan) arah dan jarak maupun berbatas dengan makhluk-Nya yakni berbatas dengan Arsy secara tidak langsung mereka “MENENTANG” firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat (QS Al Baqarah [2] : 186)
Orang-orang yang mengitsbatkan (menetapkan) arah dan jarak maupun berbatas dengan makhluk seperti BERBATAS dan BERADA di atas Arsy adalah contoh mereka yang belum mengenal Allah (makrifatullah)
Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata
من زعمأن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود
”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mempunyai BATASAN (mahdud) maka dia telah JAHIL yakni TIDAK MENGENAL Sang Pencipta (Al Khaliq) yang berhak disembah” (Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73)
Abu Nu’aim al Isfahani adalah ahli fiqih mazhab Syafi’i sebagaimana contoh biografi pada https://www.facebook.com/248768698814197/posts/776472312710497/?mibextid=Nif5oz
Oleh karenanya PERKARA AKIDAH sebaiknya DIDAHULUKAN karena TIDAK SAH ibadah jika belum mengenal Allah (makrifatullah)
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali berkata:
لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang berhak disembah”.
Jadi sebaiknya SEJAK DINI disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib Allah sebagai SARANA untuk MENGENAL Allah (makrifatullah) dan sebagai PEDOMAN dan BATASAN untuk dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat-sifat Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama bersumber dari Al Qur’an dan Hadits sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/02/12/20-sifat-beserta-dalilnya/
Begitupula orang-orang yang terjerumus DURHAKA (‘aashin) kepada Allah Ta’ala karena mereka mengitsbatkan (menetapkan) arah dan jarak maupun berbatas dengan makhluk seperti BERBATAS dan BERADA di atas Arsy maka kelak mereka tidak dapat menjawab pertanyaan di alam kubur.
MARILAH coba renungkan, ketika setelah wafat yakni ketika mulut terkunci dan memori atau ingatan di kepala tidak bisa “dipanggil” lagi, lalu siapakah yang akan menjawab pertanyaan di alam kubur ?
Tentu bukanlah DIRI JASAD manusia yang bernama fulan bin fulanah yang dapat dilihat dengan mata kepala yang akan menjawab namun DIRI SEJATI yang dapat dilihat dengan pandangan kasyaf yang akan menjawab pertanyaan di alam kubur.
Orang-orang yang terjerumus durhaka kepada Allah Ta’ala sehingga mereka gagal membentuk DIRI SEJATI sebelum ajal menjemput mereka.
Kabar tentang orang-orang yang durhaka kepada Allah.
Rasulullah bersabda,
فَتُعَادُ رُوحُهُ فِي جَسَدِهِ وَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ مَنْ رَبُّ
Ruhnya kemudian dikembalikan ke jasadnya. Selanjutnya datanglah kepadanya dua orang malaikat lantas mendudukkannya. Mereka bertanya kepadanya, “Siapakah Tuhanmu?”
فَيَقُولُ هَاهْ هَاهْ لَا أَدْرِي
Ia menjawab, “Ee..ee..ee.. saya tidak tahu.” (HR Musnad Ahmad 17803)
Begitupula KEBERADAAN wujud SELAIN Allah TIDAK mengubah atau TIDAK mempengaruhi KEBERADAAN Allah Ta’ala karena proses penciptaan makhluk oleh Allah Ta’ala terjadi bukanlah secara TAJAFI namun secara TAJALLI
Berikut kutipan penjelasan Prof Doktor KH Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah dan Imam Besar Masjid Istiqlal tentang perbedaan antara Tajafi dan Tajalli sebagaimana yang dimuat pada https://republika.co.id/berita/nksi9m/apa-itu-alasfar-alarbaah-7-tajafi-dan-tajalli
****** awal kutipan *****
Tajafi adalah transformasi satu wujud ke wujud lain dengan mengurangi atau menyebabkan hilangnya wujud asli.
Sedangkan, tajalli adalah transformasi satu wujud ke wujud lain tanpa mengubah atau mereduksi keaslian wujud pertama.
Di dalam Al Qur’an, proses tajafi dicontohkan di dalam ayat, Tatajafa junubuhum ‘an al-madhaji’ yad’una Rabbahum khaufan wa thama’an wa mimma razaqnahum yunfiqun (Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS as-Sajadah [32]:16).
Maksud ayat ini ialah orang yang sedang meninggalkan tempat tidurnya menuju ke tempat lain untuk berdoa. Setelah pindah (tajafi) dari tempat semula ke tempat lain, maka tempat semula menjadi kosong.
Sedangkan, proses tajalli dicontohkan di dalam ayat, Falamma tajalla Rabahu lil jabali ja’alahu dakkan wa kharra Musa sha’iqan. Falamma afaqa qala subhanaka tubtu ilaika wa ana awwalul mu’minin (Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman (QS al-A’raf [7]:143).
Maksud ayat ini ialah ketika Allah Ta’ala menampakkan (tajalli) di atas gunung, bukan berarti Allah berpindah ke suatu tempat.
Begitupula proses penciptaan makhluk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala terjadi secara tajalli meskipun segala sesuatu diciptakan Allah dari diri-Nya sendiri, tetapi tidak akan pernah KEBERADAAN makhluk mereduksi atau membebani diri-Nya karena KEBERADAAN makhluk-Nya melalui proses tajalli.
Ibarat seribu cermin di depan suatu benda, benda itu akan terlihat sebanyak seribu tanpa ada reduksi atau pengurangan sedikit pun dari benda asli.
Inilah yang difirmankan Allah Ta’ala dalam Al Qur’an yang artunya “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya, melainkan dengan ukuran yang tertentu. (QS al-Hijr [15]:21).
Yang dimaksud khazanah di dalam ayat ini ialah semacam “gudang” yang tak pernah kering, selalu berisi sekalipun selalu diambil.
***** akhir kutipan *****
Imam Malik (W. 174H) memerintahkan agar sipenanya yang BERBAHASA Arab dikeluarkan dari majelisnya tentu BUKANLAH akibat orang itu TIDAK MENGETAHUI maknanya dan BUKAN pula akibat orang itu MENGINGKARI firman Allah Ta’ala, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa”
Namun KESALAHAN sipenanya itu JUSTRU karena mengitsbatkan atau menetapkan sesuai dengan MAKNA DZAHIRNYA dan lalu mempertanyakan kaifiyah (bagaimana) Istiwa bagi Allah Ta’ala karena BERADA di atas sesuatu itu kemungkinannya adalah menempel (‘ala) atau berjarak yakni menggantung (fauqo) atau melayang
Asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan bahwa ketika orang itu bertanya kepada Imam Malik “bagaimanakah Istiwa Allah” sebenarnya orang tersebut sudah menetapkan adanya KAIFA (sifat makhluk atau benda) bagi (istawa) Allah sesuai MAKNA DZAHIRNYA yakni bertempat
Begitupula Imam Abu Hanifah (W 150H) mengkafirkan atau menetapkan kufur dalam perkara i’tiqod adalah karena dua ungkapan (pernyataan) dari sipenanya yakni,
“Aku tidak mengetahui di mana Tuhanku, apakah Dia di langit ataukah di bumi?”
“Allah di atas ‘Arsy, dan aku tidak tahu arah ‘Arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”
Dengan kedua ungkapan (pernyataan) orang tersebut telah menetapkan adanya arah dan tempat bagi istiwa Allah sehingga menjadi kafir atau terjerumus kekufuran dalam i‘tiqod
Setiap yang berlaku arah dan tempat maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yang baharu (huduts).
Hal yang sama juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz.
Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan (kufur dalam i’tiqod) orang mengatakan dua ungkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198).
Imam Abu Hanifah (W 150H) dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah).
Syaikh Abdul Qadir Al Jilani dalam Al Ghunyah Juz 1 hal 121 – 125 menjelaskan bahwa Istawa Allah atas arsy bukanlah dalam pengertian tempat maupun arah karena Allah bukanlah JISIM dan tidak juga berupa sesuatu yang mempunyai BATASAN (mahdud) dan dapat dibaca pada https://al-maktaba.org/book/33369/113#p3
awal kutipan
ليس بجسم فيمس، ولا بجوهر فيحس، ولا عرض فيقضى، ولا ذي تركيب أو آلة وتأليف، أو ماهية وتحديد
“Allah BUKANLAH JISIM sehingga tidak bisa disentuh, bukan pula JAUHAR sehingga tidak bisa diindera, bukan ‘ARADH sehingga bisa ditentukan, tidak juga berupa sesuatu yang mempunyai susunan, alat (organ), rangkaian, MATERI atau juga BATASAN”.
akhir kutipan
Begitupula Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam “Maqalatul Islamiyin” jilid I hal 281 dengan JELAS dan TEGAS menuliskan apa yang telah disepakati oleh para ahlus sunnah,
أنهم يقولون: إن البارىء ليس بجسم ولا محدود ولا ذي نهاية
Mereka (ahlus sunnah) berkata, “Sesungguhnya Allah BUKAN JISIM, tidak mempunyai BATASAN (MAHDUD) dan TIDAK BERJARAK (NIHAYAH) “
Sedangkan ulama panutan atau rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) sebelum bertaubat mengatakan bahwa,
- Tuhan BERADA atau BERTEMPAT di atas Arsy, maka keduanya ini memiliki BENTUK dan BATASAN (Muwafaqat Sharih al Ma’qul j.2 h 29)
- Nabi Muhammad didudukan oleh Allah di atas ‘arsy bersama-Nya!” (Majmu Fatawa juz 4, hal.374)
Contoh kajian PERBEDAAN antara Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal dengan Mazhab Salafi Kontemporer (Salafi masa kini) tentang pengertian Rasulullah kelak didudukan di atas Arsy adalah terkait syafa’at Rasulullah bukan syubhat tempat dan arah bagi Allah Ta’ala dapat disaksikan dalam video pada https://bit.ly/3mVBCBa
Jadi Ibnu Taimiyah TERBUKTI mengikuti firqah MUJASSIMAH yakni Ibnu Taimiyah MENGGANTI kemuliaan dan keagungan sifat ISTIWA Allah dengan sifat makhluk atau benda yakni sifat BERBATAS dengan Arsy.
Firqah MUSYABBIHAH adalah orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya
Sedangkan firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang MENGGANTI sifat-sifat Allah dengan sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda seperti contohnya mereka mengganti sifat ISTIWA Allah dengan ISTIQRAR artinya MENETAP TINGGI atau bahkan ada mereka yang mengatakan “MELAYANG” tinggi di atas Arsy.
Orang-orang yang terjerumus mengikuti firqah MUJASSIMAH yakni mereka yang men-jisim-kan Allah Ta’ala seperti mereka mengitsbatkan (menetapkan) arah, jarak, tempat, ukuran, BATASAN seperti BERBATAS dengan Arsy dan sifat-sifat fisikal lainnya maupun ANGGOTA-ANGGOTA badan ADALAH karena mereka mensifati Allah atau memaknai sifat Allah dengan MAKNA DZAHIR atau secara hissi (indrawi atau fisikal, materi, jisim).
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321H) berkata:
تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ
“Maha suci Allah dari batas-batas, batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib telah mengingatkan bahwa KELAK,
قوم من هذه الأمة عند إقتراب الساعة كفارا يُنكرون خالقهم فيصفونه بالجسم والأعضاء
“Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir (maksudnya KUFUR dalam I’TIQOD) karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat JISIM (sifat benda atau makhluk yakni sifat fisikal seperti arah, ukuran, jarak, batasan maupun tempat) dan ANGGOTA-ANGGOTA BADAN.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi wafat 725 H dalam kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi)
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali dalam Misykat Al Anwar menjelaskan tentang firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang belum dapat memandang Allah Ta’ala dengan hatinya (ain bashirah) AKIBAT mereka TERHIJAB oleh cahaya yang bercampur dengan KEGELAPAN KHAYALI.
***** awal kutipan *****
Sebab, kata mereka sesuatu yang TIDAK DINISBAHKAN ke SUATU ARAH dan tidak dapat dilukiskan sebagai “di luar alam dunia” atau “di dalamnya”, menurut mereka, sama saja dengan “TIDAK ADA” karena tidak dapat DIKHAYALKAN.
***** akhir kutipan *****
Contohnya ulama mereka, Ibnu Utsaimin berkata
إذا نفيت هذه الجهات عن الله تعالی لزم أن يكون معدوما
Apabila engkau MENIADAKAN ARAH-ARAH ini dari Allah Ta’ala. Maka mengharuskan ALLAH itu TIDAK ADA. (Majmu’ Fatawa, Jilid 1, Hal.131) sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2022/05/01/jika-meniadakan-arah/
Jadi letak perbedaannya, jika kaum musyrikin berhala dibuatkan, sedangkan firqah MUJASSIMAH berhala dikhayalkan.
Begitupula mereka yang mengitsbatkan (menetapkan) arah dan jarak maupun berbatas dengan makhluk-Nya yakni berbatas dengan Arsy merujuk kepada kaidah yang dibuat oleh Imam Ibnu Abdil Barr Al Andalusiy (W. 463 H)
وقد قال المسلمون وكلُّ ذي عقلٍ: إنه لا يُعقَلُ كائنٌ لا في مكانٍ منا، وما ليس في مكانٍ، فهو عدمٌ
“Kaum muslimin dan setiap orang berakal berkata: Sesungguhnya tidak dapat dinalar adanya SESUATU yang TAK BERTEMPAT dari perspektif kita. Dan, apa yang TAK BERTEMPAT maka ia TIDAK ADA.”
Jadi ketika mereka mengatakan bahwa yang TAK BERTEMPAT maka TIDAK ADA sama artinya mereka mengatakan bahwa dulu SEBELUM ADA tempat asalnya Allah TIDAK ADA juga sebagaimana yang disampaikan oleh ustadz Abdul Wahab Ahmad dalam tulisan pada https://hidayatuna.com/kesalahan-kaidah-logika-imam-ibnu-abdil-barr/
Para ulama menjelaskan bahwa mustahil arah berlaku bagi Allah Ta’ala karena seluruh arah meniscayakan KEKOSONGAN dari arah selainnya
Contohnya pembesar mazhab Hambali, Al Imam Al Hafizh Ibn al Jawzi Al Hanbali (W. 597H) yang MEMBERSIHKAN fitnah-fitnah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241 H) dengan kitabnya yang berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih pada hal 135 menuturkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal sebagai berikut:
كان أحمدُ لاَ يقولُ بالجهةِ للباري لأن الجهات تخلى عما سواها
Imam Ahmad tak mengatakan adanya arah bagi Allah sebab seluruh arah meniscayakan KEKOSONGAN dari arah selainnya (seperti kekosongan pada arah berlawanannya).”
Jadi jika mengitsbatkan (menetapkan) Allah Ta’ala BERBATAS dan BERADA di arah atas Arsy maka berarti KEKOSONGAN atau TIDAK ADA Allah Ta’ala di selain arah atas Arsy seperti arah berlawanannya.
Begitupula fis samaa’ artinya BUKAN di ATAS langit namun DI LANGIT dalam pengertian diliputi oleh langit.
Dalam kitab yang sama yakni yang berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih, pembesar mazhab Hambali, Al Imam Al Hafizh Ibn al Jawzi Al Hanbali (W. 597H) mencontohkan KEKELIRUAN firqah MUJASSIMAH dalam memahami firman Allah
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
aamintum man fis samaa’ (QS Al Mulk [67]:16)
***** awal kutipan *****
Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna dzahirnya karena dasar kata fis sama’ dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”, padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun.
Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi seperti ini, karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit.
Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
****** akhir kutipan *****
Begitupula Imam al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid;
***** awal kutipan *****
“Al Kirmani berkata, مَنْ فِى السَّمَاءِ makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia dibanding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian dalam arti kemuliaan atau keagungan Dzat dan sifat-Nya.“
***** akhir kutipan *****
Begitupula TIDAK ADA mufassir (ahli tafsir) yang menterjemahkan atau menafsirkan firman Allah Ta’ala surat Al Mulk [67] ayat 16 dengan menyisipkan kata (BERADA) dan kata (ATAS) sehingga ARTINYA menjadi,
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (BERADA) di (ATAS) langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?”
Dari penjelasan para ulama di atas, arti sebenarnya fiis sama’i adalah “di langit” BUKANLAH “di (ATAS) langit”. Sedangkan Arsy berada di atas langit.
Oleh karenanya terhadap firmanNya pada (QS Al Mulk [67]:16) para mufassir (ahli tafsir) telah sepakat menyisipkan kata “(BERKUASA)” agar tidak dipahami dan disisipkan kata “(BERADA) ” atau “(BERTEMPAT)” sehingga menafsirkannya menjadi,
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (BERKUASA) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?
Berikut kutipan dari tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1129, juz 29, Al Mulk [67]:16
***** awal kutipan *****
a-amintum, (Apakah kalian merasa aman) dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara tashil
man fiis samaa-i, (terhadap kekuasaan Allah yang di langit) yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang di langit
***** akhir kutipan *****
Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-al-mulk-dengan-terjemahan-dan-tafsir/2
Dalam kitab yang sama, Al Imam Al Hafizh Ibn al Jawzi Al Hanbali mencontohkan KEKELIRUAN dari firqah MUJASSIMAH yang menyimpulkan bahwa secara indrawi atau secara fisikal Allah BERADA di arah atas berdalilkan firman Allah Ta’ala, “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa ‘Ibadihi” artinya “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya (QS. Al-An’am [6] : 61)
***** awal kutipan *****
Dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan:
فلان فوق فلان
Fulan fawqa Fulan artinya derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)
Ungkapan ini BUKAN bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B)
Mereka lupa bahwa pengertian FAWQA dalam makna indrawi (makna dzahir) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja.
Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian,
علوّ المرتبة
Uluww al-Martabah artinya derajat yang tinggi
***** akhir kutipan *****
Begitupula Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah berkata
***** awal kutipan *****
Makna فوق fawqo bukanlah dalam pengertian tempat karena adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawqo pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala , wa huwa al-qaahiru fawqo ‘ibaadihi
Jika yang dimaksud fawqo dalam pengertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya – Apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?
***** akhir kutipan *****
Sedangkan Al-Imam Ibn Jahbal (W 733 H) dalam risalah Fi Nafy al-Jihah dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 9, h. 47. memuat BANTAHAN KERAS terhadap Ibn Taimiyah (W 728 H) yang mengatakan bahwa Allah berada atau bertempat di atas arsy.
***** awal kutipan *****
… bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Khalifah Fawq as-Sulthan wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya: “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan: “Jalasa Fulan Fawq Fulan”, maka artinya: “Si fulan yang pertama kedudukannya di atas si fulan yang kedua”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilmu Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu kedudukannya di atas amal”.
Contoh makna ini dalam firman Allah: “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqo Ba’dlin Darajat” (QS. Az-Zukhruf: 32), artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain.
***** akhir kutipan *****
Ibnu Hajar Al-Asqalani yang dikatakan “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyah (W 728 H), dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 menyampaikan pokok-pokok PERMASALAHAN Ibnu Taimiyah,
***** awal kutipan *****
Ada sebagian kelompok yang menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya:
إن اليد والقدم والساق والوجه صفات حقيقية لله،
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah,
وأنه مستو على العرش بذاته
dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy DENGAN Dzat-Nya.
فقيل له: يلزم من ذلك التحيز والانقسام.
Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki BATASAN dan BAGIAN,
فقال: أنا لا أسلم أن التحيز والانقسام من خواص الأجسام
MAKA ia menjawab, “ Aku tidak setuju BATASAN dan BAGIAN termasuk kekhushusan JISM (sifat benda / fisikal)
فالذم بأنه يقول بتحيز في ذات الله
Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyah mengatakan BATASAN bagi Dzat Allah.
***** akhir kutipan *****
Sedangkan Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitabnya berjudul Hasyiyah Al ‘Allamah Ibn Hajar Al Haitami ‘Ala Syarh Al Idhah fi Manasik Al Hajj mengatakan,
***** awal kutipan *****
Penghinaan Ibnu Taimiyyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh (pengingkarannya terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah) oleh karena terhadap Allah saja dia melakukan penghinaan dengan menetapkan arah, tangan, kaki, mata dan lain sebagainya dari keburuk-keburukan yang sangat keji. Ibnu Taimiyyah ini telah dikafirkan (ditetapkan kufur dalam perkara i’tiqod) oleh banyak ulama – semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilan-Nya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya yaitu mereka yang (masih) membela segala yang dipalsukan oleh Ibnu Taimiyyah atas syari’at yang suci ini.
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya para ulama terdahulu telah melarang menjuluki ulama panutan atau rujukan bagi firqah Wahabi yakni Ibnu Taimiyah (W 728H) sebagai Syaikhul Islam BAGI yang telah mengetahui perkataan atau pendapat kufurnya.
Para ulama terdahulu mengkafirkan Ibnu Taimiyyah (W 728H) sebelum bertaubat dalam pengertian DITETAPKAN KUFUR dalam perkara I’TIQOD bukan dalam pengertian membatalkan keislamannya.
Contohnya Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H) mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’.
Begitupula Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki mengatakan TIDAK DIRAGUKAN lagi di antara ahli ilmu bahwa orang-orang yang MUJASSIM yakni mereka yang men-JISM-kan Allah itu JAHIL (walaupun mereka hafal Al Qur’an secara dzahir) dan KAFIR dalam pengertian KUFUR dalam perkara I’TIQOD sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video pada https://fb.watch/hI75niBE51/
Jadi perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Ibnu Taimiyyah karena begitu besarnya kerusakan dalam perkara i’tiqod akibat orang awam terkecoh atau terkelabui dengan label mazhab atau manhaj Salaf.
Ulama panutan atau rujukan bagi firqah Wahabi yakni Ibnu Taimiyah (W 728H) dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dan kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyah adalah sesat dan menyesatkan.
Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakan Ibnu Taimiyah di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab, yaitu :
- Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
- Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi B4k4r rhm.
- Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
- Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Selain qodhi empat mazhab, masih banyak ulama lainnya yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/02/07/ulama-bantah-ibnu-taimiyyah
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar