Feeds:
Pos
Komentar

Dasein dan Seiende

Martin Heidegger perkenalkan istilah DASEIN artinya “yang BERADA di dalam” sinonim dengan istilah DIRI SEJATI yang akan berpindah ke alam barzakh sampai hari untuk mempertanggung jawabkan keberadaannya di dunia

Martin Heidegger (1889-1976 M) adalah seorang filsuf Jerman abad ke-20 dalam karya utamanya, “Being and Time” (Sein und Zeit) menjelaskan bahwa PEMAHAMAN tentang keberadaan TIDAK DAPAT dicapai melalui PENALARAN TEORETIS semata, melainkan melalui PENGALAMAN EKSISTENSIAL manusia yang terlibat dalam dunia ini.

Ia mengajukan konsep DASEIN, yang mengacu pada KEBERADAAN manusia yang SADAR akan KEBERADAANNYA dan memiliki KEMAMPUAN untuk mempertanyakan MAKNA EKSISTENSIALNYA.

DASEIN artinya “yang BERADA DI DALAM” manusia dijelaskan oleh Heidegger dengan membandingkan arti istilah SEIN (KEBERADAAN) dan SEIENDE (ENTITAS yang ADA) yakni mengacu pada ENTITAS yang DAPAT DIAMATI dan ditempatkan dalam konteks KEBERADAAN KONKRET yang ADA dalam dunia.

Heidegger menekankan bahwa DASEIN yakni “yang BERADA di dalam” manusia memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.

Dalam perjalanan hidupnya, manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan yang beragam dan harus membuat keputusan yang memiliki dampak pada kehidupan mereka sendiri dan orang lain.

Berbeda dengan benda-benda yang ADA begitu saja di depan manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan semacam itu.

Heidegger mengkritik metafisika Barat yakni sepanjang sejarah filsafat Barat, pemikiran telah terjebak dalam kerangka metafisika yang dominan.

Kebenaran dalam metafisika menurutnya ialah “SEJAUH TERSINGKAP” (a-letheia). Artinya, realitas hanya seluas penangkapan kita atasnya.

Metafisika, menurutnya, adalah pandangan dunia yang terpusat pada gagasan tentang ENTITAS yang ADA secara obyektif dan rasionalitas yang terstandarisasi.

Namun, Heidegger berpendapat bahwa pemahaman kita tentang KEBERADAAN telah TERPINGGIRKAN dan TERLUPAKAN oleh kecenderungan metafisika ini.

Heidegger percaya bahwa dalam mengkaji KEBERADAAN, kita harus MELAMPAUI pendekatan metafisika tradisional yang MEMANDANG KEBERADAAN sebagai sekumpulan OBJEK yang dapat DIANALISIS secara rasional.

Ia menekankan pentingnya memahami KEBERADAAN sebagai suatu FENOMENA yang LEBIH MENDASAR, yang melibatkan keterlibatan manusia secara EKSISTENSIAL dengan dunia.

Salah satu aspek penting dalam pemikirannya adalah konsep “KELALAIAN atau KELUPAAN akan KEBERADAAN (forgetfulness of being).

Dalam konsep ini, Heidegger menekankan bahwa manusia tidak hanya ADA sebagai OBJEK FISIK, tetapi juga sebagai ENTITAS yang memiliki KESADARAN dan KEHADIRAN di dunia.

Menurut Heidegger, KELALAIAN atau KELUPAAN akan KEBERADAAN (forgetfulness of being) terjadi ketika kita terjebak dalam rutinitas sehari-hari, mengikuti norma-norma sosial dan pemikiran konvensional TANPA REFLEKSI kritis terhadap KEBERADAAN kita sendiri.

Ia menekankan perlunya mengembalikan KESADARAN akan KEBERADAAN, mengalami KEHADIRAN kita di dunia dengan lebih otentik, dan mengajukan pertanyaan mendasar tentang MAKNA dan TUJUAN KEBERADAAN kita di dunia.

Heidegger berpendapat bahwa manusia memiliki keunikan yang membedakannya dari makhluk lain di dunia. Menurutnya, manusia memiliki kemampuan untuk “BERADA di dunia” dengan cara yang khas, yang melibatkan pemahaman, interpretasi, dan pengungkapan diri.

Dengan mengkritik metafisika Barat dan mengangkat isu KELUPAAN akan KEBERADAAN (forgetfulness of being), Heidegger berusaha untuk memicu kembali pemikiran filsafat yang lebih otentik dan menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang KEBERADAAN manusia dalam konteks dunia ini.

Menurut Heidegger, peran utama manusia adalah sebagai “khalifah” dalam dunia ini. Dia berpendapat bahwa manusia harus menjadi pemelihara dan pelindung alam semesta, serta menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.

Heidegger menekankan bahwa kita harus mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan kita dengan alam dan menyadari tanggung jawab kita sebagai “khalifah”.

Para EKSISTENSIALIS seperti Camus atau Sartre, KEMATIAN merupakan titik absurd REALITAS. Menurut mereka, tidak ada yang lebih absurd daripada manusia “ADA untuk MATI.”

Bahkan ada ungkapan,

“Para dewa cemburu bahwa kita dapat mati.”

–Achilles–

Kutipan di atas merupakan ungkapan dari seorang Tokoh bernama Achilles dalam kisah perang Troya.

Dari kutipan pendek namun mendalam itu, Achilles sebetulnya mengajak kita untuk melihat kematian bukan sebagai kerugian melainkan keuntungan. Sebab, hal yang mestinya tak terbayangkan ialah seandainya kita tak dapat mati. Itulah mengapa kematian membuat iri para dewa.

Begitupula Heidegger menjelaskan bahwa KEMATIAN bukanlah sekadar peristiwa individu yang terjadi pada akhir kehidupan seseorang, melainkan pengalaman EKSISTENSIAL yang mendasar yang membentuk arti dan nilai kehidupan manusia secara keseluruhan.

Menurut Heidegger, KEMATIAN adalah bagian tak terpisahkan dari kondisi manusia yang ADA di dunia ini. Ia berpendapat bahwa kematian adalah “mungkin terjadian” (possibility-of-being), yang berarti bahwa KEBERADAAN manusia ditentukan oleh KESADARAN akan KEMATIAN.

KEMATIAN bukanlah akhir dari KEBERADAAN manusia, melainkan sesuatu yang memberikan batasan dan tujuan bagi kehidupan kita.

Heidegger menegaskan bahwa KESADARAN akan KEMATIAN adalah hal yang esensial dalam menentukan bagaimana kita menjalani hidup kita.

Ia berpendapat bahwa KESADARAN akan KEMATIAN memaksa kita untuk menghadapi KEBERADAAN kita yang SEJATI yakni DASEIN (yang BERADA DI DALAM) yang menghadapi pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang arti hidup dan TUJUAN hidup kita.

Dalam menghadapi kematian, kita dihadapkan pada realitas ketidakpastian dan KEBERADAAN kita yang TERBATAS, yang mengarahkan kita untuk menghargai waktu yang kita miliki dan membuat KEPUTUSAN yang BERMAKNA.

Jadi KESIMPULANNYA dari sisi pandangan manusia yang beragama maka DASEIN (yang BERADA DI DALAM) adalah sinonim KEBERADAAN DIRI yang SEJATI yang tidak mengalami kematian namun berpindah alam yakni ke alam barzakh sampai hari dibangkitkan kembali yang kelak mempertanggungjawabkan KEPUTUSAN yang BERMAKNA yang diambil ketika KEBERADAANNYA di DUNIA.

AMAL KEBAIKAN ketika KEBERADAAN manusia di DUNIA yang berubah dari semula TAJAFI (perpindahan) yakni semula lenyap dari sisi manusia berubah menjadi TAJALLI yakni menjadi KEKAL di sisi Allah adalah AMAL KEBAIKAN yang “melahirkan” DIRI SEJATI

Firman Allah Ta’ala yang artinya,

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS an-Nahl [16]: 96).

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (dapat melihat Allah). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (QS. Yunus [10] : 26]

DIRI SEJATI atau JASAD MURNI (bhs Sunda) atau INGSUN SEJATI (bhs Jawa) atau PANCER yang wujudnya seperti diri kita ketika di cermin tetapi PANCER DIRI itu selalu muda tidak pernah tua, dan selalu bercahaya, anggun mempesona dan oleh karenanya di surga itu tidak ada yang tua.

Begitupula sebagaimana PENDUDUK SURGA maka PENDUDUK LANGIT yakni para Nabi yang ketika ditemui oleh Rasulullah pada peristiwa Isra Mi’raj tidak ada yang tua

Bentuk DIRI SEJATI yang terbentuk bagi manusia yang sempurna (Insan Kamil) adalah serupa dengan bentuk jasadnya yang terbaik yakni mereka yang sudah dapat mengalahkan nafsu hewani atau nafsu syaitan sehingga mencapai muslim yang IHSAN atau muslim yang berakhlakul karimah

Imam Malik berkata: “Bentuk ruh manusia yang sholeh itu sama saja bentuknya dengan jasad lahirnya yang terbaik.”

Imam Al Ghazali berkata jiwa (al-Nafs) merupakan substansi (jauhar) dari ruhani.

Dalam hal kerja ruh atau jiwa (al-Nafs) ini, Imam Al Ghazali membaginya ke dalam dua macam arti yakni pertama, dalam arti materiil (ruh hewani), dan kedua, dalam arti imateriil (ruh insani).

Dalam arti pertama adalah organ jasad yang bekerja sebagai daya penggerak maupun daya yang mengetahui dan dalam arti kedua, jiwa adalah nafs natiqah, dengan daya praktik dan teori.

Hubungan kedua macam jiwa (al-Nafs) ini dapat diketahui dengan ilham (ilmu mukasyaf), yang merupakan pembuka tabir hakikat hubungan keduanya.

Oleh karenanya kita kenal ungkapan “bangunlah jiwanya (an nafs) bangunlah badannya (jasad)”

MARILAH coba renungkan, ketika telah wafat yakni ketika mulut terkunci dan memori atau ingatan di kepala tidak bisa “dipanggil” lagi, lalu siapakah yang akan menjawab pertanyaan di alam kubur?

Tentu bukanlah DIRI JASAD manusia yang bernama fulan bin fulanah yang dapat dilihat dengan mata kepala yang akan menjawab namun DIRI SEJATI yang dapat dilihat dengan pandangan kasyaf yang akan menjawab pertanyaan di alam kubur.

Kabar tentang orang-orang yang durhaka kepada Allah.

Rasulullah bersabda,

فَيَأْتِيهِ مِنْ حَرِّهَا وَسَمُومِهَا وَيُضَيَّقُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى تَخْتَلِفَ فِيهِ أَضْلَاعُهُ

Ketika pintu itu dibuka, maka panas dan racunnya langsung menembus badannya dan kuburannya pun menjadi semakin sempit dan menghimpit badannya sehingga tulang-tulangnya berserakan.

وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ قَبِيحُ الْوَجْهِ قَبِيحُ الثِّيَابِ مُنْتِنُ الرِّيحِ

Ia kemudian didatangi seorang laki-laki yang berwajah buruk, berpakaian buruk dan berbau busuk.

فَيَقُولُ أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُوءُكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ

Orang itu berkata kepadanya, “Berbahagialah kamu dengan sesuatu yang membinasakanmu. Hari ini adalah hari kesengsaraanmu yang telah Allah janjikan!”

فَيَقُولُ مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِيءُ بِالشَّرِّ

Orang yang mati DURHAKA itu kemudian bertanya, “Siapakah engkau? Wajahmu sangat buruk.”

فَيَقُولُ أَنَا عَمَلُكَ الْخَبِيثُ

Ia menjawab, “AKU adalah AMAL BURUK mu”.

فَيَقُولُ رَبِّ لَا تُقِمْ السَّاعَةَ

dan ia berdoa ” ya Rabb,. Jangan kiamat kau jadikan sekarang!

Kabar tentang ruh manusia beriman

Rasulullah bersabda

فَيُنَادِي مُنَادٍ فِي السَّمَاءِ أَنْ صَدَقَ عَبْدِي فَأَفْرِشُوهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَأَلْبِسُوهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ

Lantas ada Penyeru di langit memanggil-manggil “Hamba-Ku benar, hamparkanlah surga baginya dan berilah pakain surga, dan bukakanlah pintu baginya menuju surga,

قَالَ فَيَأْتِيهِ مِنْ رَوْحِهَا وَطِيبِهَا وَيُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ مَدَّ بَصَرِهِ

Kemudian ruh orang yang beriman dikembalikan ke jasadnya beserta bau wangi-wangiannya, lalu diluaskan kuburannya sejauh mata memandang.

قَالَ وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيحِ فَيَقُولُ أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُرُّكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ

Selanjutnya datanglah seorang laki-laki tampan yang berpakaian bagus dan berbau harum. Ia berkata, “Berbahagialah dengan segala yang membahagiakan Anda. Ini adalah hari kebahagiaan Anda yang telah Allah janjikan.”

فَيَقُولُ لَهُ مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِيءُ بِالْخَيْرِ

Si mayit bertanya ‘Lho, siapa kamu ini sebenarnya, rupa wajahmu adalah wajah yang mendatangkan kebaikan!

فَيَقُولُ أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ

Si laki-laki tampan menjawab “AKU adalah AMAL SHOLEH Anda.”

فَيَقُولُ رَبِّ أَقِمْ السَّاعَةَ حَتَّى أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي وَمَالِي

Lantas hamba tadi meminta ” Ya Rabb-ku, tolong jadikan kiamat sekarang juga sehingga aku bisa kembali menemui keluargaku dan hartaku.

Contoh hadits yang memuat tentang kabar bentuk ruh atau jiwa (al nafs) manusia yang durhaka dan kabar bentuk ruh atau jiwa (al nafs) manusia yang beriman seperti termuat dalam musnad Ahmad 17803.

Jadi seorang laki-laki yang berwajah buruk, berpakaian buruk dan berbau busuk dan yang mengatakan dirinya “AKU adalah AMAL BURUK anda” adalah bentuk ruh atau jiwa (al nafs) dari manusia yang durhaka yang kelak akan mendapatkan azab kubur di ALAM BARZAKH (alam penantian) yang lebih lama dari ALAM DUNIA sampai hari dibangkitkan kembali.

Sedangkan seorang laki-laki tampan yang berpakaian bagus dan berbau harum yang mengatakan dirinya “AKU adalah AMAL SHOLEH Anda” merupakan bentuk ruh atau bentuk jiwa (an nafs) orang beriman dan beramal sholeh yang kelak menjadi PENDUDUK LANGIT.

Orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah Ta’ala seperti para Nabi yang ditemui oleh Rasulullah ketika Isra Mi’raj, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang sholeh (muslim yang IHSAN) setelah wafat mereka menjadi PENDUDUK LANGIT

Firman Allah Ta’ala yang artinya,

“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)

PENDUDUK LANGIT ketika mereka memasuki ALAM BARZAKH (alam penantian) yang lebih lama dari ALAM DUNIA memperoleh cinta dari Allah Ta’ala berupa rezeki atau ni’mat dari Allah sebagaimana para Syuhada tetap hidup di sisi Allah Ta’ala.

Firman Allah Ta’ala yang artinya,

”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154)

”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)

Pada peristiwa Isra Mi’raj , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dipertemukan dengan para Nabi terdahulu yang telah menjadi PENDUDUK LANGIT.

Rasulullah bersabda “Maka Allah pun mengangkatnya untukku agar aku dapat melihatnya. Dan tidaklah mereka menanyakan kepadaku melainkan aku pasti akan menjawabnya. Aku telah melihat diriku bersama sekumpulan para Nabi. Dan tiba-tiba aku diperlihatkan Nabi Musa yang sedang berdiri melaksanakan shalat, ternyata dia adalah seorang lelaki yang kekar dan berambut keriting, seakan-akan orang bani Syanuah. Aku juga diperlihatkan Isa bin Maryam yang juga sedang berdiri melaksanakan shalat. Urwah bin Mas’ud Ats Tsaqafi adalah manusia yang paling mirip dengannya. Telah diperlihatkan pula kepadaku Nabi Ibrahim yang juga sedang berdiri melaksanakan shalat, orang yang paling mirip denganya adalah sahabat kalian ini; yakni diri beliau sendiri. Ketika waktu shalat telah masuk, akupun mengimami mereka semua. Dan seusai melaksanakan shalat, ada seseorang berkata, ‘Wahai Muhammad, ini adalah malaikat penjaga api neraka, berilah salam kepadanya! ‘ Maka akupun menoleh kepadanya, namun ia segera mendahuluiku memberi salam (HR Muslim 251 atau Syarh Shahih Muslim 172)

PENDUDUK LANGIT sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah dalam riwayat di atas ketika peristiwa mi’raj ditemui sedang sholat karena penduduk langit selalu mengingat dan berzikir kepada Allah

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah, Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Hadid [57]:1)

Imam al-Baihaqi telah membahas sepenggal kehidupan para Nabi. Ia menyatakan dalam kitab Dalailun Nubuwwah: “Para nabi hidup di sisi Tuhan mereka seperti para syuhada.”

Al-Baihaqi mengeluarkan hadis dari Anas radhiyallahu anhu: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya para nabi TIDAKLAH ditinggalkan di dalam kubur mereka setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka shalat di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai ditiupnya sangkakala.”

Sufyan meriwayatkan dalam al-Jami’, ia mengatakan: “Syeikh kami berkata, dari Sa’idbin al-Musayyab, ia mengatakan, “TIDAKLAH seorang nabi itu TINGGAL di dalam kuburnya lebih dari empat puluh malam, lalu ia diangkat.”

Al-Baihaqi menyatakan, atas dasar inilah mereka layaknya seperti orang hidup kebanyakan, sesuai dengan Allah menempatkan mereka.

‘Abdur Razzaq dalam Musnadnya meriwayatkan dari as-Tsauri, dari Abil Miqdam, dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata: “TIDAKLAH seorang nabi mendiami bumi lebih dari empat puluh hari.” Abui Miqdam meriwayatkan dari Tsabit bin Hurmuz al-Kufi, seorang syeikh yang shaleh, Ibn Hibban dalam Tarikhnya dan Thabrani dalam al-Kabir serta Abu Nua’im dalam al-Hilyah, dari Anas radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang nabi pun yang meninggal, kemudian mendiami kuburnya kecuali hanya empat puluh hari.”

Imam Fakhrurrazi mengatakan:

***** awal kutipan *****

وقال الفخر الرازي : إن تلك النفوس لما فارقت أبدانها فقد زال الغطاء والوطاء وانكشف لها عالم الغيب

Sesungguhnya itu ruh-ruh (penduduk langit) manakala memisahi badannya, maka hilanglah kesusahan dan TERBUKALAH alam gaib untuk nya.

وقال أبو المواهب : ومعلوم أن الأولياء أحياء في قبورهم إنما ينقلون من دار إلى دار

Abul Mawahib mengatakan: Sudah diketahui bahwa para wali itu hidup dalam kubur mereka, hanya bahwasannya mereka berpindah dari negri (alam) ke negri (alam) lain
***** akhir kutipan *****

Wali Qutub habib Abdullah Al Haddad berkata:

***** awal kutipan *****

فهم أحياء في قبورهم وإذا كان الولي حيا في قبره فإنه لم يفقد شيئا من علمه وعقله وقواه الروحانية بل تزداد أرواحهم بعد الموت بصيرة وعلما وحياة روحانية وتوجها إلى الله، فإذا توجهت أرواحهم إلى الله تعالى في شيء قضاه سبحانه وتعالى

Mereka hidup dalam kubur mereka, keadaan mereka hidup dalam kuburnya itu tidak mengurangi sedikitpun dari ilmunya, akalnya, dan kekuatan ruhnya,bahkan bertambah kuat penglihatan,ilmu,dan ruh mereka, hal mereka slalu tawajjuh kepada Allah, jika mereka tawajjuh kepada Allah meminta sesuatu, maka langsung Allah kabulkan,

فأهل البرزخ من الأولياء في حضرة الله تعالى فمن توجه إليهم وتوسل بهم فإنهم يتوجهون إلى الله تعالى في حصول مطلوبه

Para aulia di alam barzakh mereka berada di hadrat Allah, sangat dekat, maka barangsiapa tawassul kepada mereka , maka mereka akan menyampaikannya kepada Allah untuk diterima permintaannya
***** akhir kutipan *****

PENDUDUK LANGIT juga bisa menyaksikan dan mengenal hamba-hamba kekasih Tuhan di bumi sebagaimana dinyatakan Rasulullah, “Sesungguhnya para penghuni langit mengenal penghuni bumi yang selalu mengingat dan berzikir kepada Allah bagaikan bintang yang bersinar di langit.”

Dalam Al Qur’an dinyatakan dalam ayat, “Untuk mereka kabar gembira waktu mereka hidup di dunia dan di akhirat.” (QS Yunus [10] : 64).

Para ulama tafsir mengomentari ayat ini sesuai dengan pengalaman sahabat Nabi Muhammad, Abu Darda’, yang menanyakan apa maksud ayat ini. Rasulullah menjelaskan, “Yang dimaksud ayat ini ialah mimpi baik yang dilihat atau diperlihatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya.”

Dalam ayat lain lebih jelas lagi Allah berfirman, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.” (QS al-Zumar [39]:42).

Rasulullah bersabda, “sebagaimana engkau tidur begitupulah engkau mati, dan sebagaimana engkau bangun (dari tidur) begitupulah engkau dibangkitkan (dari alam kubur)”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah membukakan kepada kita salah satu sisi tabir kematian. Bahwasanya tidur dan mati memiliki kesamaan, ia adalah saudara yang sulit dibedakan kecuali dalam hal yang khusus, bahwa tidur adalah mati kecil dan mati adalah tidur besar.

Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu anhu pernah berkata, “ruh orang tidur dan ruh orang mati bisa bertemu diwaktu tidur dan saling berkenalan sesuai kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menggenggam ruh manusia pada dua keadaan, pada keadaan tidur dan pada keadaan matinya.”

Ibnu Zaid berkata, “Mati adalah wafat dan tidur juga adalah wafat”.

Al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah mengenai hadis kematian dari syeikhnya mengatakan: “Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian merupakan perpindahan dari satu keadaan (alam) kepada keadaan (alam) lain.”

Para ulama Allah yang kasyaf mengabarkan bahwa secara garis besar alam terdiri dari

alam nasut (alam mulk / alam jasad)
alam malakut (alam mitsal)
alam jabarut (alam ruh)
alam lahut

Alam lahut adalah alam derajat/tingkatan/maqom nya di atas Alam Jabarut

Alam Jabarut, adalah alam yang “paling dekat” dengan aspek-aspek Ketuhanan, penghuni alam Jabarut adalah ‘sesuatu yang bukan Allah dalam aspek Ahadiyyah’, melainkan derivasi (turunan) dari aspek Ahadiyyah yang tertinggi selain apa pun yang ada. Misal penghuni alam ini adalah Nafakh Ruh (Tiupan Ruh Allah) yang mampu manghidupkan jasad, Ruh Al-Quds.

Alam Malakut adalah suatu alam yang tingkat kedekatan dengan aspek Allahnya lebih rendah dari Alam Jabarut, namun masih lebih tinggi dari Alam Mulk.

Baik Alam Jabarut maupun Alam Malakut, keduanya adalah realitas/wujud yang tidak dapat ditangkap oleh indera jasadiah kita.

Indera jasad biasanya hanya bisa menangkap sesuatu yang terukur secara jasad, sedang Alam Jabarut dan Alam Malakut memiliki ukuran melampui ukuran jasad. Misal penghuni Alam Malakut adalah malaikat, An-nafs (jiwa).

Alam Mulk, adalah alam yang tingkat kedekatannya dengan aspek Allah adalah yang paling rendah.

Dalam wujudnya terbagi menjadi 2, yang tertangkap oleh indera jasad dan yang gaib (dalam arti tidak tertangkap/terukur) bagi indera jasad.

Jadi karena keterbatasan indera jasad kita, ada wujud yang sebetulnya bukan penghuni alam-alam yang lebih tinggi dari alam mulk, tetapi juga tidak tertangkap kemampuan indera jasad.

Yang terukur oleh indera jasad contohnya tubuh/jasad manusia, jasad hewan, jasad tumbuhan.

Sedangkan penghuni alam mulk yang tidak terukur oleh indera jasad contohnya adalah jin dengan segala kehidupannya. Jin dengan segala kehidupannya bisa dimengerti oleh indera-indera malakuti (indera-indera an-nafs/jiwa)

Ada sebagian di antara manusia yang dapat melihat bentuk DIRI SEJATI dirinya sendiri atau orang lain.

Mereka dapat menengok ke alam malakut. Kemampuan itu diperoleh karena mereka sudah melatih mata batinya dengan riyadhah kerohanian atau karena anugrah Allah Ta’ala (al-mawahib al-rabbaniyyah).

Pada suatu hari Abu Bashir berada di Masjid A-Haram. la terpesona menyaksikan ribuan orang yang bergerak mengelilingi Kabah, mendengarkan gemuruh tahlil, tasbih, dan takbir mereka. Ia membayangkan betapa beruntungnya orang-orang itu. Mereka tentu akan mendapat pahala dan ampunan Tuhan.

Imam Ja’far Al-Shadiq radhiyallahu anhu, ulama besar dari keturunan cucu Rasulullah menyuruh Abu Bashir menutup matanya. Imam Ja’far mengusap wajahnya. Ketika ia membuka lagi matanya, ia terkejut. Di sekitar Ka’bah ia melihat banyak sekali binatang dalam berbagai jenisnya- mendengus, melolong, mengaum. Imam Ja’far berkata, “Betapa banyaknya lolongan atau teriakan; betapa sedikitnya yang haji.”

Apa yang disaksikan Abu Bashir pada kali yang pertama (penglihatan pertama) adalah bentuk tubuh-tubuh manusia. Apa yang dilihat kedua kalinya (penglihatan kedua) adalah bentuk-bentuk DIRI SEJATI mereka.

Seperti tubuh, DIRI SEJATI mempunyai rupa yang bermacam-macam: buruk atau indah; juga mempunyai bau yang berbeda: busuk atau harum. Rupa DIRI SEJATI jauh lebih beragam dari rupa tubuh. Berkenaan dengan wajah lahiriah, kita dapat saja menyebut wajahnya mirip binatang, tapi pasti ia bukan binatang. DIRI SEJATI dapat betul-betul berupa binatang -babi atau kera.

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Katakanlah: apakah akan Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk kedudukannya di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi dan penyembah Thagut? Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus”. (QS Al-Maidah [5]: 60)

Dalam teori akhlak dari Hujjatul Islam Imam Al Ghazali bahwa orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, akan memiliki bentuk DIRI SEJATI yang berbentuk babi; orang yang pendengki dan pendendam akan memiliki bentuk DIRI SEJATI yang berbentuk binatang buas; orang yang selalu mencari dalih buat membenarkan kemaksiatannya akan mempunyai bentuk DIRI SEJATI yang berbentuk setan (monster) dan seterusnya.

Oleh karenanya untuk memperindah bentuk DIRI SEJATI, kita harus melatihkan akhlak yang baik. Meningkatkan kualitas spiritual, berarti mernperindah akhlak kita.

Kita dapat simpulkan dari doa ketika bercermin. “Allahumma kamaa hassanta khalqii fahassin khuluqii.’ (Ya Allah, sebagaimana Engkau indahkan tubuhku, indahkan juga akhlakku

Begitupula Sultannya Wali Allah (Kekasih Allah), Syekh Abdul Qadir Al Jilani qaddasallahu sirrahu dalam kitab Sirrul Asrar (rahasia di balik rahasia) menyampaikan bahwa kelak penduduk surga meliihat Allah BUKAN dengan mata kepala JASMANI namun dengan mata kepala DIRI SEJATI yang bersama Allah dan menyaksikan Allah karena badan dan ruh jasmani BUKAN MAHRAMNYA bagi Allah Ta’ala.

Beliau menamakan DIRI SEJATI dengan sebutan “Thiflul Ma’ani” (bayi ma’nawi atau jabang sukma).

طفل المعاني ، لأنه من المعنويات القدسية

Dinamakan demikian karena ia lahir dari sukma yang suci (al ma’nawiyyah al qudsiyah)

Berikut kutipan penjelasan Beliau.

***** awal kutipan *****

والشابعة أن إطلاقه على سبيل المجاز باعتبار تعلقه بالبدن ، وتمثيله بصورة البشر بناء على أن إطلاقه عليه لأجل ملاحته لا لأجل استصغاره

Penggunaan nama Thiflul Ma’ani (untuk Ruh Kudsi) ini sifatnya majasi (metafora) ditinjau hubungan eratnya (ruh qudsi). Adapun ia ditamsilkan dengan rupa bayi lantaran keindahannya, bukan berarti Roh Qudsi kecil secara fisik seperti anak bayi.

وبالنظر إلى بداية حاله ، وهو الإنسان الحقيقي ، لأن له أنسية مع الله تعالى .

Dan ditinjau dari awal adanya, Ruh Qudsi ini adalah hakikat manusia (manusia sejati atau DIRI SEJATI) karena dia memiliki keintiman (unsiyyah) berhubungan langsung dengan Allah Ta’ala.

فالجسم والجسماني ليس محرما له لقوله صلى الله عليه وسلم

Sedangkan badan dan ruh jasmani BUKAN MAHRAMNYA bagi Allah Ta’ala berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,

لي مع الله وقت لا يسع فيه ملك مقرب ولا نبي ، مرسل

“Aku memiliki waktu bersama Allah, dimana Malaikat terdekat dan Nabi yang diutus pun TIDAK MEMILIKI kesempatan itu”

والمراد من النبي المرسل بشرية النبي

Yang dimaksud “Nabi yang diutus” (yang tidak memiliki kesempatan bersama Allah sebagaimana hadits di atas) adalah dimensi basyariyahnya (kemanusiaannya) dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

ومن الملك المقرب روحانيته التي خلقت من نور الجبروت ، كما أن الملك من نور الجبروت فلا يدخل في نور اللاهوت

Adapun yang dimaksud “Malaikat terdekat” (yang tidak memiliki kesempatan bersama Allah sebagaimana hadits di atas) adalah ruh ruhani dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang diciptakan dari cahaya Jabarut sebagaimana malaikat juga diciptakan dari cahaya Jabarut sehingga “Malaikat terdekat” tidak dapat masuk ke dalam cahaya lahut.

وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ، “

Rasulullah shallallahi alaihi wasallam bersabda,

أن لله جنة لا فيها خور ولا قصور ولا جنان ولا عسل ولا لبن ، بل نظر إلى وجه الله تعالى

“ADA satu surga milik Allah Ta’ala yang di dalamnya TIDAK ADA bidadari dan istana, TIDAK ADA madu dan susu. Nikmat (yang dianugerahkan) di dalam surga tersebut hanya satu yaitu melihat Allah Ta’ala.

كما قال الله تعالى وجوه يومئذ ناضرة إلى ربها ناظرة

Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat (QS Al Qiyamah [75] : 22-23)

وكما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ، سترون ربكم كما ترون القمر ليلة البدر

Dan juga dijelaskan dalam sabda Rasullah shallallahu alaihi wasallam, Kalian akan melihat Rabb kalian, sebagaimana (mudahnya) melihat bulan pada malam bulan purnama” (HR Bukhari)

ولو دخل الملك والجسمانية في هذه العالم لاخترقا كما قال الله تعالى في الحديث القدسي ، لو كشفت سبحاث وجهي جلالي لاخترق كل ما مد بصري

Jika malaikat dan jasmani yakni segala sesuatu selain Ruh Qudsi masuk di Alam Lahut maka pasti akan terbakar sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam hadits qudsi, “Jika kesucian Dzat-Ku yakni sifat Jalal-Ku disingkap maka semuanya, sejauh mata-Ku memandang, pastilah terbakar (HR Muslim)

وكما قال جبرائيل عليه السلام ، ” لو دنوتُ لاخترقت

Sebagaimana juga yang diungkapkan Jibril alaihissalam, “Jika aku mendekat pasti aku terbakar”
***** akhir kutipan *****

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830