Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘para ulama’


Jangan biarkan patok diseret seret oleh kambing

Salah seorang ulama dan tokoh yang sangat kharismatik dan populer di Kalimantan, Tuan Guru Haji Muhammad Bakhiet atau biasa dipanggil Guru Bakhiet mengingatkan bahwa para ulama sebaiknya menjaga jarak dengan penguasa supaya tidak termasuk yang mengkhianati perjuangan para Rasul sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=RsUL-8xgm6A

Dengan menjaga jarak maka para ulama bisa BEBAS dan INDEPENDEN memberikan nasehat, arahan atau pendapat agar KEBIJAKAN penguasa (umaro) SIAPAPUN YANG TERPILIH tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Para ulama yang terperangkap dalam lingkaran penguasa, mungkin saja dapat terjadi “terpaksa” mencari-cari dalil untuk membenarkan kebijakan penguasa sehingga melanggar larangan Rasulullah yakni larangan “mendatangi pintu penguasa”

Larangan “mendatangi pintu penguasa” dapat dipahami dalam makna majaz (makna kiasan) yang artinya larangan untuk “membenarkan” tindakan atau kebijakan penguasa yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda “barangsiapa mendatangi pintu penguasa maka ia akan terfitnah” ( HR Abu Dawud [2859]).

Diriwayatkan dari Abu Anwar as-Sulami r.a, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Jauhilah pintu-pintu penguasa, karena akan menyebabkan kesulitan dan kehinaan‘,

Begitupula KH Hasyim Muzadi mengingatkan bahwa ormas Nahdlatul Ulama adalah tempat berembuk untuk mendapatkan pendapat para ulama sebagai pegangan bagi para politikus yang menjadi penguasa dalam memecahkan masalah yang menyangkut kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Janganlah pendapat ulama NU “dipimpin” atau diarahkan oleh politikus untuk kepentingannya.

“Setelah Gus Dur diganti oleh pak Muhaimin berubah komitmen” ujar KH Hasyim Muzadi dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=w0f7yRmd2DA

“Sekarang itu kiai dipimpin “anak-anak”, mestinya “anak-anak” yang dipimpin kiai”

“Kiai itu jadi patoknya, “kambing-kambing” itu diikat pada patok itu supaya tidak keluar dari Ahli Sunnah wal Jama’ah.

“Lah sekarang ini patok mengikuti kambing, diseret sana diseret sini” ujar KH Hasyim Muzadi

Pada tahun 1998 PBNU ikut membidani lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersama KH Hasyim Muzadi membangun platform agar NU dan PKB tak saling tumpang tindih

”PKB itu kan dideklarasikan di Ciganjur pada 23 Juli 1998. Saya termasuk pendiri bersama Gus Dur,” kata Kiai Hasyim.

KH Hasyim Muzadi menceritakan komitmennya dengan Gus Dur pada saat pendirian Partai Kebangkitan Bangsa sebagaimana yang diberitakan pada http://www.bangsaonline.com/berita/21400/parpolisasi-nu-ruh-nu-bisa-hilang-kh-hasyim-muzadi-dulu-gus-dur-tak-campuraduk-nu-pkb

***** awal kutipan ****
Kata Gus Dur: Pak Hasyim (sampean) yang ngatur NU, saya akan mimpin PKB. NU mengatur civil society (kejam’iyahan yang bertata nilai atau akhlak sosial). Sedangkan partai (PKB) bergerak di bidang kekuasaan praktis yang banyak liku-likunya.

Keduanya jangan dicampuraduk secara struktural kepengurusan, tapi hubungan aspiratif strategis,” ungkap Kiai Hasyim Muzadi mengungkap kembali pesan Gus Dur saat itu.

Lalu bagaimana respon Kiai Hasyim Muzadi?

”Saya jawab: baik Gus, saya akan mimpin NU dan saya jangan dimasukkan pengurus PKB, dan InsyaAllah saya tak minta jabatan melalui PKB,” tutur Kiai Hasyim Muzadi.

Gus Dur pun langsung menimpali. “Baik, saya pun tidak akan mencampuraduk kepengurusan PKB-NU,” kata Gus Dur. Kiai Hasyim dan Gus Dur lantas berjabat tangan sebagai tanda sepakat.

Menurut Kiai Hasyim, platform dan hubungan strategis dan komitmen tak saling intervensi antara NU dan PKB yang diatur Gus Dur itu sangat ideal.

Tapi sayang, kata Kiai Hasyim, dalam perjalannya Gus Dur dijatuhkan dan disingkirkan dari PKB oleh Muhaimin Iskandar dengan bantuan “kekuasaan” saat itu.

Akibatnya, platform yang sudah ditata cucu pendiri NU Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari berantakan. Bahkan PKB cenderung intervensi dan mengatur NU.

Menurut Kiai Hayim, jika kecenderungan parpolisasi ini terus terjadi, maka akan terjadi perubahan tata nilai besar-besaran dalam NU.

“Akhlak NU akan berubah menjadi perangai parpol, dan ini sangat berbahaya,” katanya.

Selain itu, kata Kiai Hasyim, perjuangan NU jadi pragmatis, tidak idealis dunia-akhirat.

“Bahkan kalau ada personel PKB yang korup maka NU akan kena getah dan NU akan dijadikan alat pelindung,” kata Kiai Hasyim.

Karena itu, kata Kiai Hasyim, ”NU harus dikembalikan ke-khitah 26.”
***** akhir kutipan ******

PARA ULAMA dan TOKOH NASIONAL yang TERGABUNG dalam GERAKAN NASIONAL PENGAWAL FATWA (GNPF) yang mendukung Prabowo-Sandi setelah penanda tanganan 17 Pakta Integritas sebagaimana contoh berita pada http://nasional.tempo.co/read/1127048/17-poin-pakta-integritas-ijtima-ulama-ii-yang-disetujui-prabowo

Satu hal yang terpenting dari 17 Pakta Integritas adalah poin ke 17 yakni komitmen paslon

“Menghormati posisi ulama dan bersedia untuk mempertimbangkan pendapat para ulama dan pemuka agama lainnya dalam memecahkan masalah yang menyangkut kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara”

Komitmen ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS An Nisaa [4]:59)

Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.

Pemimpin yang terbaik adalah pemimpin yang mengikuti firman Allah Ta’ala di atas yakni menjalankan kepemimpinannya selalu mempertimbangkannya dengan Al Qur’an dan Hadits.

Namun dalam perkembangan sejarah Islam sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara (penguasa negeri).

Oleh karenanyalah pada zaman sekarang, penguasa negeri (umara) yang seharusnya mengakui ketidak mampuannya dalam memahami dan menggali hukum langsung dari Al Qur’an dan Hadits dalam memimpin negara maka seharusnya di bawah nasehat dan pendapat para fuqaha (ahli fiqih) yakni ulama yang faqih (berkompeten) atau menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) sehingga warga negara mentaati ulil amri dalam bimbingan para fuqaha.

Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah sehingga negara dapat membuat hukum buatan manusia yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.

Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah ahli fiqih dan ahli agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna ulil amri adalah para ulama.

Jadi Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk mentaati firmanNya (Al Qur’an) dan sabda Rasulullah (Hadits) dengan mengikuti mentaati “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) dan pada zaman sekarang adalah dengan mengikuti dan mentaati ulil amri setempat yakni para fuqaha (ahli fiqih).

Ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yang sebenarnya yakni para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada penguasa negeri (umaro) maupun pemimpin organisasi masyarakat (ormas) dalam rangka menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin.

***** awal kutipan *****
Pasal 1

Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.

Pasal 17

Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu

Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka

Pasal 36 ayat 1

Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****

Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para fuqaha (ahli fiqih) untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri (umaro) sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri.

Kesimpulannya rakyat mentaati umaro (penguasa negeri) dan penguasa negeri mentaati para ulama yakni para fuqaha (ahli fiqih).

Oleh karenanya dalam pilpres 2019, kita tidak perlu mempertanyakan kefaqihan (kompetensi) Jokowi maupun Prabowo dalam memahami Al Qur’an dan Hadits namun bagaimana mereka memperhatikan, mempertimbangkan dan mengikuti nasihat atau pendapat para fuqaha (ahli fiqih) agar kebijakannya tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha (ahli fiqih)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, iaitu

1.Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka.

2.Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka.

3.Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Read Full Post »

Older Posts »