Mereka yang mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya
Generasi salaf (terdahulu) yakni orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim tidak menepati janjinya kepada Rasulullah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/23/tidak-menepati-janjinya/
Mereka mewajibkan berjenggot, mewajibkan bercukur gundul, mewajibkan menyisingkan sarung menghindari isbal sehingga menjadi ciri khas mereka sebagaimana yang dikabarkan dalam musnad Ahmad 10585 (lihat gambar di atas pada kalimat yang digaris bawahi warna merah)
Mereka terjerumus bid’ah urusan agama yakni menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya mereka menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perkara syariat atau urusan agama meliputi perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) maupun larangan (jika dilanggar berdosa) yang berasal dari Allah Azza wa Jalla bukan menurut akal pikiran manusia
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).
Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.
Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/15/amrun-mubah/
Berikut riwayat lain yang mengabarkan bahwa mereka mewajibkan bercukur gundul (plontos) sehingga menjadi salah satu ciri khas mereka
“Abdullah bin Umar berkata : “ Aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda : “Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al-Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka (tidak sampai ke hati), mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak panah yang tak akan kembali ketempatnya, tanda-tanda mereka ialah bercukur plontos (gundul). (HR Bukhori , Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, & Ibnu Hibban)
Ciri khas lainnya dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij suka menampakkan “bekas” amalnya sehingga mewajibkan tanda bekas sujud (hitam) pada dahi mereka akibat pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sehingga mereka salah memahami firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka (sesama muslim). Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS Al Fath [48]:29)
Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ (QS Al Fath [48]:29), apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702)
Dalam al-Shawi ‘ala al-Jalalain dikatakan terjadi perbedaan pendapat mengenai makna tanda tersebut. Sebagian ulama mengatakan bagian wajah yang kena sujud itu dilihat pada hari kiamat laksana bulan purnama. Pendapat lain mengatakan pucat wajah karena berjaga malam. Sebagian lain berpendapat khusyu’ yang muncul pada anggota tubuh sehingga seperti dilihat mereka dalam keadaan sakit, padahal mereka tidak sakit.
Selanjutnya al-Shawi menegaskan tidak termasuk dari maksud tanda dari bekas sujud itu apa yang dilakukan oleh sebagian orang bodoh yang sengaja memperlihatkan tanda bekas sujud pada dahinya, maka itu adalah perbuatan kaum Khawarij. Kemudian al-Shawi mengutip hadits Nabi yang berbunyi yang artinya “Sesungguhnya aku sangat membenci seseorang apabila aku melihat di antara dua matanya bekas sujud” (Al-Shawi, Hasyiah al-Shawi ‘ala al-Jalalain, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 106)
Hadits yang dikutip oleh al-Shawi di atas adalah hadits dari Syarik bin Syihab
Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku.
Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya (bercukur gundul) dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali.
Kemudian beliau bersabda, “Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun al Qur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. (HR Ahmad no 19798)
Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut.
Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)
Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).
Pada kenyataannya pada generasi khalaf (kemudian), ada kita temukan mereka yang mewajibkan berjenggot meniru orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim.
Ada pula mereka yang berpendapat bahwa berjenggot adalah sunnah Nabi dan termasuk perkara sunnah (mandub)
Apakah pria yang tidak dikaruniai jenggot oleh Allah Ta’ala termasuk ingkar sunnah atau tidak mengikuti sunah Nabi atau meninggalkan perkara sunnah (mandub). ?
Hal yang perlu kita ingat bahwa perkara sunnah (mandub) yakni dkerjakan berpahala dan ditinggalkan tidak berdosa adalah suatu perkara yang memungkinkan dilaksanakan oleh umat Islam
Sedangkan pria yang tidak ditakdirkan berjenggot oleh Allah Ta’ala tidak memungkinkan menjalankan suatu perkara yang dianggap sunnah (mandub) yakni berjenggot maka berjenggot bukan perkara sunnah (mandub) melainkan mubah (boleh)
Berikut kutipan tulisan yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/25/hanya-mereka-ikuti-salaf/
****** awal kutipan *******
Memelihara jenggot merupakan sunnah Nabi, banyak dalil menerangkan masalah ini, misalnya hadis dari Aisyah diriwayatkan Muslim, Rasulullah bersabda, “sepuluh perkara adalah fitrah, di antaranya mencukur kumis dan menumbuhkan jenggot”. Demikian tulisan Ilham Kadir dengan judul Membela “Jenggot” Sunnah Rasul yang dimuat Tribun Timur Edisi Jumat/22/08/2013, halaman 27.
Ilham Kadir, guru SMPN 2 Enrekang, bukan pakar hadis. Latar belakang keilmuannya tentang hadis masih tergolong miskin. Ini dikarenakan sangat tekstual dalam memahami hadis seperti dalam opininya.
Matan hadis yang dikutipnya tidak lengkap sementara dalam memahami sebuah hadis harus dilihat munasabah (hubungan) matan hadis sebelumnya, tidak pula mengemukakan asbab wurud al-hadis (latarbelakang histori dan situasi) hadis tersebut disabdakan, sementara tekstual dan kontekstual matan hadis baru bisa dipahami secara akurat setelah mencermati asbab wurud-nya.
Matan hadis tentang itu berdasarkan hasil takhrij (penelurusan melalui kamus Hadis) ditemukan dalam Bukhari (5443 dan 5893), Muslim (260, 380, 381, 382, 383), Turmuzi (2687 dan 2688), al-Nasai (15, 4959, 4960, 5131).
Dari sini diketahui ada dua redaksi hadis yang berbeda matannya.
Pertama, Inhaku al-syawariba wa a’fu al-lihay (habiskanlah kumis dan biarkan jenggot seadanya).
Kedua, juzzu al-syawariba wa arkhu al-lihay khalifu al-majusa (pendekkanlah kumis dan pelihara jenggot, selisihilah kaum Majusi) karena mereka, terutama Majusi pedesaan memiliki kebiasaan memanjangkan kumis dan mencukur jenggot, tetapi di Mekah kebiasaan itu rupanya tidak berlaku karena Abu Lahab, Abu Jahal dan pemuka kaum Kafir di Mekah saat itu juga berjenggot, apa bedanya dengan Sahabat lain.
Jadi perintah dalam matan hadis ini diperuntukkan kepada sahabat Nabi di pedesaan yang berinteraksi dengan kaum Majusi karena ternyata sahabat Nabi, Ibnu Umar yang juga mendengar langsung hadis itu disabdakan, memotong jenggotnya jika merasa terlalu panjang.
Ditinjau segi asbab wurud hadis berkenaan dengan historinya, pada masa Nabi atau bersamaan saat hadis itu disabdakan, di daerah pedesaan khususnya di negeri Ajam memang terlihat dikotomi antara muslim dan non-muslim sehingga dibutuhkan suatu identitas untuk membedakan di antaranya.
Ketika itu, hadis diyakini sebagai suatu hal yang harus dipenuhi, sehingga menjalankan apa yang diperintahkan oleh Nabi untuk mereka merupakan kewajiban yang harus dilakukan, sehingga kandungan matan hadis tersebut selain bersifat lokal juga temporal, tidak bersifat universal.
Konteks kekinian, hal tersebut dianggap tidak relevan dengan melihat bahwa banyak pula umat non-muslim yang memanjangkan jenggotnya.
Ditinjau segi asbab wurud hadis berkenaan dengan situasinya, perintah Nabi untuk memanjangkan jenggot memang relevan untuk orang-orang Arab, terutama Pakistan, yang secara ilmiah dan alamiah dikaruniai jenggot yang subur. Tingkat kesuburan dan ketebalan rambut milik orang-orang Indonesia tidak sama dengan mereka.
Bahkan sebagian besar di antara kita tidak bisa tumbuh jenggotnya padahal agamawan,
Apakah ulama-ulama yang tidak ditakdirkan untuk berjenggot bisa divonis tidak mengikuti sunnah ?
Sangat naïf bila jenggot dijadikan sebagai ukuran sunnah, karena akan terlihat bahwa yang menjalankan Islam dengan kaffah hanyalah mereka yang berjenggot sementara yang lain pengingkar sunnah.
Kembali pada definisi hadis, adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Jenggot tidak masuk dalam definisi tersebut, tetapi masuk pada ciri khas fisik Nabi dan ciri ini tidak bisa mengikat pada semua umat Islam.
Sama halnya dengan perintah menikahi empat orang perempuan (QS. al-Nisa/4:3) bukan kewajiban bagi semua kaum laki-laki sehingga perintah tersebut tidak bisa mengikat pada semua umat Islam.
Harus dimengerti bahwa jenggot terdiri dari tiga kategori.
Pertama, jenggot biologis seperti orang-orang Arab,
Kedua, jenggot ideologis seperti orang-orang yang memaksakan dirinya berjenggot dengan berbagai cara misalnya membeli obat penumbuh-penyubur jenggot.
Ketiga, gabungan idiologis-biologis. Kategorisasi ini, hendaknya disesuaikan dengan individu masing-masing, bagi mereka yang tidak bisa tumbuh jenggotnya, tidak usah dipaksakan.
Mereka yang dikarunia tumbuh subur jenggotnya, silakan pelihara dan rawat dengan rapih jika memungkinkan tetapi jangan dijadikan sebagai simbol sunnah karena itu hanya sebagai assesoris fisik.
Dengan begitu, bagi yang berjenggot jangan divonis salah, sebaliknya yang tidak berjenggot jangan divonis tidak mengikuti sunnah Nabi. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thariq. (*)
Oleh; Mahmud Suyuti, Ketua MATAN Sulawesi Selatan/ Dosen Hadis dan Mantan Kepala Laboratorium Hadis UIM Makassar
****** akhir kutipan ********
Berikut kutipan pendapat Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam kitabnya At-Turuqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah
****** awal kutipan ********
Sebagian orang menganggap bahwa jenggot identik dengan Islam. Sehingga ada kesan tidak sempurna keislaman seseorang bila tidak berjenggot. Karena mereka meyakini Nabi shallallahu alaihi wasallam berjenggot dan kita harus menirunya.
Selain itu ada hadits yang bersumber dari Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, artinya, “Potonglah kumismu dan biarkan jenggotmu panjang,” (HR Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan, artinya, “Berbedalah dengan orang musyrik, potong kumismu dan biarkan jenggotmu panjang” (HR Muslim).
Hadits pertama mengindikasikan kewajiban memotong kumis dan memanjangkan jenggot. Sementara hadis kedua juga menyiratkan hal yang sama, namun di sana terdapat ‘illat atau alasan mengapa memanjangkan jenggot termasuk kesunahan.
Menurut Kiai Ali Mustafa, hadits tidak dapat dipahami sepotong-sepotong dan antara hadis dapat saling menafsirkan antara satu sama lainnya.
Terlebih lagi, terkadang dalam satu tema yang sama, ada hadits yang diriwayatkan secara utuh dan ada yang tidak utuh. Karenanya, hadis yang redaksinya utuh seharusnya menjadi acuan untuk memahami hadis yang tidak utuh.
Dengan demikian, hadits kedua menjadi pedoman untuk memahami hadits pertama, karena redaksinya lebih lengkap.
Implikasinya, aturan memanjangkan jenggot dan memotong kumis sangat terkait dengan anjuran mukhalafah lil musyrikin (berbeda dengan orang musyrik).
Dalam pandangan Kiai Ali, yang menjadi perhatian utama dalam hadits ini adalah imbauan untuk berbeda dengan orang kafir, bukan aturan memanjangkan jenggotnya.
Akan tetapi perlu digarisbawahi, perintah Nabi shallallahu alaihi wasallam agar berbeda dengan orang kafir ini sangat terkait dengan konteks perperangan. Supaya bisa membedakan mana pasukan musuh dan umat Islam pada waktu perang, perlu diberikan simbol dan tanda pada masing-masing pasukan. Di antara tandanya adalah jenggot. Karena itu, makna hadits ini tidak relevan dengan sendirinya pada masa sekarang.
Dalam konteks dunia modern, jenggot tidak lagi menjadi simbol pembeda antara pasukan Muslim dan musuh.
Selain itu, sebagian negara yang dihuni umat Islam, mereka dapat hidup berdampingan dengan orang non-Muslim. Sehingga tidak dibutuhkan lagi simbol pembeda antara orang Islam dengan non-Muslim.
Kiai Ali mengatakan, “maka dari itu, kami berpendapat bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan rambut, baik jenggot, kumis, dan rambut bagian dari budaya dan adat, bukan agama dan ibadah.
Menurut Kiai Ali, jenggot bukanlah bagian dari agama atau kesunahan, tetapi bagian dari budaya. Berjenggot atau tidak bukanlah standar keislaman.
Silakan berjenggot, tapi jangan menganggap orang yang tidak berjenggot sebagai orang yang tidak mengikuti sunah Nabi. Wallahu a’lam
****** akhir kutipan ******
Sedangkan contoh orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yang melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya pada masa khalifah Sayydina Ali bin Abi Thalib adalah Abdurrahman ibn Muljam.
Abdurrahman ibn Muljam yang sombong, merasa lebih pandai sehingga menyalahkan dan melarang khalifah berhukum dengan hukum buatan manusia seperti perjanjian (tahkim / arbitrase) dengan Sahabat Muawiyah dan menuduhnya telah kafir karena dianggap berhukum dengan thaghut, berhukum dengan selain hukum Allah.
Abdurrahman ibn Muljam seorang yang sangat rajin beribadah. Sholat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Bacaan Al-Qurannya sangat baik. Karena bacaannya yang baik itu, pada masa Sayyidina Umar ibn Khattab ra, ia diutus untuk mengajar Al-Quran ke Mesir atas permintaan gubernur Mesir, Amr ibn Al-’Ash.
Namun, karena ilmunya yang dangkal, sesampai di Mesir ia malah terpangaruh oleh hasutan (ghazwul fikri) orang-orang Khawarij yang selalu berbicara mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya hawa nafsu yang mereka turuti. Ia pun terpengaruh. Ia tinggalkan tugasnya mengajar dan memilih bergabung dengan orang-orang Khawarij sampai akhirnya, dialah yang ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam Sayyidina Ali
Mereka menghalalkan darah dan membunuh khalifah sayyidina Ali karamallahu wajhu disebabkan salah satunya salah memahami firman Allah seperti yang artinya
“Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS Al Maidah [5]:44).
Firman Allah pada (QS Al Maidah [5]:44) adalah ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir.
Salah satu ciri khas orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah atau kaum khawarij , orang-orang yang membaca Al Qur’an tidak melampaui tenggorokannya (tidak mempegaruhi hatinya) karena salah paham sehingga berakhlak buruk adalah suka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir untuk menyerang kaum muslim
Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sahih Bukhari jilid:4 halaman:197]
Padahal dengan memperhatikan asbabun nuzul (riwayat turunnya ayat) dari (QS Al Maidah [5]:44) maka kita akan mengetahui maksud atau tujuan dari ayat itu sebenarnya.
Oleh karenanya Sayyidina Ali karamallahu wajhu berkata “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah) ketika menanggapi semboyan kaum khawarij pada waktu itu yakni “La hukma illah lillah”, tidak ada hukum melainkan hanya dari Allah.
Al-Imam Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan beliau menyebutkan sebab turunnya ayat ini: “Allah Ta’ala menurunkan ayat ini berkenaan tentang dua kelompok di kalangan Yahudi di masa jahiliyyah, di mana salah satu kelompok telah menguasai yang lainnya sehingga mereka ridha…”
Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah (wafat 671 H) berkata : “Adapun seorang muslim dia tidak dikafirkan walaupun melakukan dosa besar. Di sini ada yang tersembunyi, yaitu siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala turunkan yakni menolak Al-Quran dan menentang ucapan Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam maka dia kafir. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Mujahid. Maka ayat ini umum dalam hal ini.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda janganlah memvonis kafir atau mengeluarkan dari Islam akibat perbuatan dosa apalagi hanya karena perbedaan pemahaman atau pendapat
Dari Anas radhiyallahuanhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Tiga hal merupakan pokok iman ; menahan diri dari orang yang menyatakan Tiada Tuhan kecuali Allah. Tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa ; Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir ummatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil ; dan meyakini kebenaran takdir”.(HR. Dawud)
Jadi yang dimaksud tidak berhukum dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan adalah bagi orang yang menolak Al-Quran dan menentang ucapan Rasululullah shalallahu ‘alaihi wasallam yakni kaum non muslim.
Kaum muslim boleh berhukum dengan hukum buatan manusia selama isi perjanjian tidak menyalahi laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Kaum muslim yang tinggal di negeri kaum kuffar pun tidak dianggap berhukum dengan hukum thaghut selama mereka dapat menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Ketika orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum Khawarij mengasingkan diri dan menjadi kekuatan oposisi terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, Sayyidina Ali selalu didatangi orang-orang yang memberinya saran: “Wahai Amirul Mu’minin, mereka melakukan gerakan melawan Anda.” Ali radhiyallahu anhu hanya menjawab: “Biarkan saja mereka. Aku tidak akan memerangi mereka, sebelum mereka memerangiku. Dan mereka pasti melakukannya.”
Sampai akhirnya pada suatu hari, Ibn Abbas mendatanginya sebelum waktu zhuhur dan berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, aku mohon sholat zhuhur agak diakhirkan, aku hendak mendatangi mereka (Khawarij) untuk berdialog dengan mereka.” Ali radhiyallahu anhu menjawab: “Aku khawatir mereka mengapa-apakanmu.” Ibn Abbas berkata: “Tidak perlu khawatir. Aku laki-laki yang baik budi pekertinya dan tidak pernah menyakiti orang.” Akhirnya Ali radhiyallahu anhu merestuinya. Lalu Ibn Abbas memakai pakaian yang paling bagus produk negeri Yaman.
Ibn Abbas berkata: “Aku menyisir rambutku dengan rapi dan mendatangi mereka pada waktu terik matahari. Setelah aku mendatangi mereka, aku tidak pernah melihat orang yang lebih bersungguh-sungguh dari pada mereka. Pada dahi mereka tampak sekali bekas sujud. Tangan mereka kasar seperti kaki onta. Dari wajah mereka, tampak sekali kalau mereka tidak tidur malam untuk beribadah. Lalu aku mengucapkan salam kepada mereka. Mereka menjawab: “Selamat datang Ibn Abbas. Apa keperluanmu?”
Aku menjawab: “Aku datang mewakili kaum Muhajirin dan Anshar serta menantu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Al-Qur’an turun di tengah-tengah mereka. Mereka lebih mengetahui maksud al-Qur’an dari pada kalian.
Lalu sebagian mereka berkata, “Jangan berdebat dengan kaum Quraisy, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar”. (QS. 43 : 58).
Kemudian ada dua atau tiga orang berkata: “Kita akan berdialog dengan Ibn Abbas.” Kemudian terjadi dialog antara Ibn Abbas dengan mereka. Setelah Ibn Abbas berhasil mematahkan argumentasi mereka, maka 2000 orang Khawarij kembali kepada barisan Sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Sementara yang lain tetap bersikeras dengan pendiriannya. 2000 orang tersebut kembali kepada kelompok kaum Muslimin, karena berhasil mengalahkan hawa nafsu mereka. Sementara yang lainnya, telah dikalahkan oleh hawa nafsunya, sehingga bertahan dalam kekeliruan.
Perpecahan umat Islam menjadi 3 kelompok terjadi pada masa kekhalifahan Muawiyah yakni
1. Kelompok yang mengikuti pemahaman (pendapat) Imam sayydina Ali
2. Kelompok yang mengikuti pemahaman (pendapat) Sahabat Muawiyah
3. Kelompok yang mengikuti pemahaman (pendapat) firqah yang keluar dari kedua kelompok di atas
Rasulullah bersabda “Akan keluar suatu firqah tatkala kaum muslimin terpecah, firqah (kelompok) yang keluar akan diperangi oleh salah satu dari dua kelompok kaum muslimin yang lebih utama di atas kebenaran”
“Firqah (kelompok) yang keluar ” adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij dan merekapun diperangi oleh Imam sayyidina Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya.
Oleh karenanya kelompok yang mengikuti pemahaman (pendapat) Imam sayydina Ali lebih utama di atas kebenaran daripada kelompok yang mengikuti pemahaman (pendapat) Sahabat Mu’awiyah berdasarkan sabda Rasulullah di atas , “firqah yang keluar” akan diperangi oleh salah satu dari dua kelompok kaum muslimin yang lebih utama di atas kebenaran”
Dasar tindak laku atau perbuatan umat Islam adalah berdasarkan pemahamannya terhadap Al Qur’an dan As Sunnah. Sedangkan kesesatan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah namun kesesatan bukan selalu berarti kafir atau bukan Islam.
Begitupula Sahabat Muawiyah gemar mencaci maki Sayyiidina Ali bin Abi Thalib dan Ahli Bait Nabi shallallahu alaihi wasallam lainnya, boleh jadi karena dia berbeda pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah
Habib Rizieq Shihab mengingatkan bahwa “Terlepas dari kontroversial sikap Muawiyah bin Abi Sufyan dan kelompoknya maka Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tidak mengkafirkan mereka”, sebagaimana yang disampaikan Beliau dalam ceramah yang bertemakan “Hari Asyura dan Tragedi Karbala Dalam Perspektif Ahlusunnah wal Jama’ah” disiarkan Live oleh Radio Rasil AM 720 Khz yang dapat didengarkan pada http://podcast.radiosilaturahim.com/rasil/kajianumum/habib_riziek_asyura_karbala.mp3
Jadi Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan atau tidak menganggap “bukan Islam” terhadap Sahabat Muawiyah dan para pengikutnya termasuk puteranya Yazid bin Muawiyah dan para pengikutnya.
Ibnu Katsir—rahimahullah—berkata, “Yazid telah melakukan kesalahan fatal dalam peristiwa Al Harrah dengan berpesan kepada pemimpin pasukannya, Muslim bin Uqbah untuk menghalalkan Madinah selama tiga hari. Apalagi dengan terbunuhnya beberapa Sahabat dan putra-putra mereka. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Adz-Dzahabi, “Kita tidak mencela Yazid, tapi tidak pula mencintainya.”
Kaum muslim pada umumnya berpegang pada sabda Rasulullah, Janganlah kalian mencela orang yang telah meninggal dunia, karena mereka telah menyerahkan apa yang telah mereka perbuat.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sejak dahulu kala telah memperingatkan kita agar jangan “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri meniru orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/30/tiru-dzul-khuwaishirah/
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed dari bani Tamim adalah orang-orang yang menyalahkan umat Islam lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sehingga mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang disebut dengan khawarij
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Oleh karena orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed dari bani Tamim salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka bersikap takfiri yakni mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka dan berujung menghalalkan darah atau membunuhnya.
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”.
Rasulullah bersabda: “Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’ maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun apabila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.” (HR Muslim).
Rasulullah telah memfatwakan, telah murtad (keluar dari Islam) “bagaikan anak panah meluncur dari busurnya” bagi orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij yang diberikan julukan atau diungkapkan oleh Rasulullah dengan ungkapan majaz (kiasan atau metaforis), “anak muda” atau “orang-orang muda” yakni orang-orang yang belum memahami agama dengan baik, mereka seringkali mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, tapi itu semua dipergunakan untuk menyesatkan, atau bahkan untuk mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompok mereka atau yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka.
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari Khaitsamah dari Suwaid bin Ghafalah berkata, ‘Ali radliallahu ‘anhu berkata; Sungguh, aku terjatuh dari langit lebih aku sukai dari pada berbohong atas nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan jika aku sampaikan kepada kalian tentang urusan antara aku dan kalian, (ketahuilah) bahwa perang itu tipu daya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: Akan datang di akhir zaman orang-orang muda dalam pemahaman (lemah pemahaman atau sering salah pahaman). Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (Khairi Qaulil Bariyyah, maksudnya suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits)) namun mereka keluar dari agama bagaikan anak panah melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak sampai ke tenggorokan mereka. (HR Bukhari 3342)
Mantan mufti agung Mesir Prof Dr Ali Jum’ah menyampaikan bahwa Rasulullah bersabda, “Kelak akan muncul golongan kaum muda (pemuda), (golongan) yang picik akalnya, mereka berbicara bagaikan sebaik-baiknya makhluk, namun keimananan mereka tidak melebihi kerongkongan mereka sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/29/keluar-dari-agamanya/
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim adalah orang-orang yang mudah berkata “Allah berfirman” dan “Rasulullah bersabda” namun mereka tidak paham dengan apa yang mereka katakan, sehingga mereka menuduh atau menyalahkan umat Islam dengan kesalahpahaman mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan salah satu ciri dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni sombong contohnya mereka merendahkan sholat kalian dibandingkan sholat mereka dan puasa kalian dengan puasa mereka.
Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk Najed dari bani Tamim walaupun termasuk salaf / sahabat (bertemu dengan Rasulullah) namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga menjadikannya sombong dan durhaka kepada Rasulullah yakni merasa lebih pandai dari Rasulullah sehingga berani menyalahkan dan menghardik Rasulullah.
Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. (HR Bukhari 3341)
Begitupula pada kenyataannya di masa khalaf (kemudian) ada pula kita temukan mereka yang secara tidak langsung menghardik Rasulullah dengan memfatwakan bahwa Rasulullah sesat sebelum turunnya wahyu menurut akal pikiran mereka sendiri akibat mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir
Pendapat tersebut berasal dari ulama panutan mereka, Albani dan mereka anggap sebagai ahli hadits namun arti sebenarnya adalah ahli (membaca) hadits, yang menamakan kitabnya “Sifat sholat Nabi” namun ironisnya belum mengenal dengan baik kemuliaan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/05/22/fatwa-rasulullah-sesat/
Tentang kesalahpahaman mereka terhadap (QS Adh Dhuha [93] : 7), Prof Dr. Sayyid Muhammad Alawi al Maliki menyatakan di dalam bukunya al Zakhair al Muhammadiyyah,
***** awal kutipan *****
“Ayat ini sering dieksploitasi oleh sebagian ahli fitnah yang buta basirah dan tertutup pintu hati sehingga mereka tidak dapat melihat hakikat kedudukan Nabi dan Rasul yang sebenar.
Mereka hanya melihat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai manusia biasa semata-mata yang berjalan di muka bumi, berjalan-jalan di pasar, memikul dosa, melakukan dosa dan kesalahan, pernah hidup dalam kesesatan lalu Allah Ta’ala memberi hidayah kepadanya, pernah hidup dalam kemiskinan lalu Allah memberikannya kekayaan dan dilahirkan dalam keadaan yatim lalu Allah memberi perlindungan kepadanya.
Sehinggalah ke akhir perbicaraan yang hanya membangkitkan kekeliruan orang awam karena dia memahami nas-nas yang terdapat di dalam al Quran dan Sunnah secara dzahir”
Begitupula Al Allamah al Qadhi Iyadh menyatakan dalam kitabnya al Syifa bi Tarif Huquq al Mustafa, “Terdapat banyak khabar dan athar yang saling mendukung di antara satu sama lain yang mensucikan para nabi daripada kekurangan ini semenjak mereka dilahirkan dan mereka membesar di atas tauhid dan iman.”
Beliau menambah lagi: “Tidak pernah seorang pun ahli hadis berpendapat bahwa seorang daripada mereka yang dipilih menjadi nabi daripada kalangan orang yang dikenali dengan kekufuran dan kesyirikannya sebelum itu.”
Oleh karena itu kita tidak pernah mendengar para Nabi dan Rasul terdahulu sebelumnya mereka mengikuti keyakinan yang sesat yang dianuti oleh kaum mereka.
Kemuliaan ini adalah terlebih utama dianugerahkan ke atas Rasulullah dan tiada satu sebab atau dalil yang menghalangi baginda daripada memperoleh nikmat dan keistimewaan itu karena baginda adalah penghulu segala nabi dan rasul.
Jangan sekali-kali kita berpaling kepada pendapat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berada di atas agama kaumnya sebelum Nubuwwah, lalu Allah menghidayahkan Islam kepada baginda karena Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dan para nabi yang lain sejak dilahirkan membesar atas ketauhidan dan keimanan.
Sesungguhnya mereka terpelihara sebelum Nubuwwah daripada jahil tentang sifat-sifat Allah dan mentauhidkan-Nya.
***** akhir kutipan *****
Mereka tampaknya belum mengenal Rasulullah yang sejak dilahirkan membesar atas ketauhidan dan keimanaan, terperlihara (maksum) sejak sebelum Nubuwwah atau sejak sebelum turunya wahyu akibat mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Kita periksa kitab tafsir Jalalain yang lebih menonjolkan pembahasan mengenai penganalisaan segi susunan kalimat, asal usul katanya, dan bacaannya. Dengan kata lain, menonjolkan penganalisaan dari sudut tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah dan lain lain.
Penafsirannya sebagai berikut, “(Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung)” mengenai syariat yang harus kamu jalankan (lalu Dia memberi petunjuk) Dia menunjukimu kepadanya.
Asbabun Nuzul “Dan sungguh kelak Tuhanmu pasti memberikan karuniaNya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas” (QS Adh Dhuhaa [93]:5)
Dari Ibnu Abbas ra, dari ayahnya dia berkata , “telah ditampakkkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sesuatu yang akan diberikan kepada umatnya tahap demi tahapan. Karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam merasa sangat gembira . Lalu turunlah ayat ini” (HR Hakim, Baihaqi, dan Thabarani)
Jadi tidak ada ahli tafsir (mufassir) yang mengatakan bahwa Rasulullah sesat dari kebenaran sebelum turunnya wahyu namun Rasulullah bingung dalam menghadapi kaumnya kemudian turun petunjuk atau wahyu dari Allah yang akan diberikan kepada umatnya tahap demi tahapan.
Contoh lainnya ahli (membaca) hadits mereka, Albani secara tidak langsung merendahkan Rasulullah dibandingkan para Syuhada sebagaimana yang telah kami sampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/24/merendahkan-rasulullah/
Ahli (membaca) hadits mereka, Albani menyebutkan dalam kitabnya Sifat Shalatun Nabiy, hal. 143 , bahwa dalam Tasyahud hendaknya membaca: ASSALAAMU ‘ALANNABIYY sebagai ganti dari ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYY
Alasan penggantian adalah , ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYY dengan huruf kaf yang menunjukkan kata ganti orang kedua (yang diajak bicara) ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah meninggal disarakan menyebutkan dengan lafadz ghaib (kata ganti orang ketiga yang tidak hadir) yakni ASSALAAMU ‘ALLANNABIYY sebagaimana yang dapat diketahui dari https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2016/06/sifat-sholat-nabi.pdf
Oleh karenanya dalam ringkasan Sifat Sholat Nabi sudah diganti dengan ASSALAAMU ‘ALLANNABIYY sebagaimana contoh informasi dari https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2016/06/ringkasan-sifat-shalat-nabi.pdf
Jadi jika para pengikut ahli (membaca) hadits Albani taqlid buta sehingga dalam sholatnya menggantinya dengan ASSALAAMU ‘ALLANNABIYY maka seumur hidup mereka pada hakikatnya sholatnya batal.
Imam Syafii mewajibkan dhamir khithab itu, yaitu : Assalamu alaika Ayyuhannbiyy, jika tak mengucapkannya atau menggantinya dengan Assalamu alannabiyy saja maka sholatnya batal.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa lafadh : Assalamualaika ayyuhannabiyy hingga akhirnya, maka wajib, dan padanya 3 bentuk pada sahabat sahabat kita (ulama sezaman beliau dalam madzhab Syafii) dan yang paling shahih adalah tidak boleh menghapus satu kalimatpun darinya, ini adalah yg paling berpadu Ittifaq hadits padanya. kedua adalah boleh menghapus salah satu kalimatnya yaitu kalimat warahmatullah dan wabarakatuh, (bukan assalamualaika menjadi assalamu alannabiyy) ketiga adalah boleh menghapus wabarakatuh. (Al Adzkar Annawawi 53 Bab Tasyahhud fisshalaat).
Perkataan ASSALAAMU ‘ALLANNABIYY memang bukan perkataan Rasulullah namun perkataan tersebut tidak pantas juga dinisbatkan kepada segelintir Sahabat.
Walaupun hadits tersebut dari sisi sanad (susunan perawi) tsiqoh namun dapat dinilai syadz karena matan (redaksi) hadits bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits-hadits lainnya.
Mereka yang berpendapat bahwa perkataan ASSALAAMU ‘ALAIKA hanya untuk orang yang hidup maka sama saja mereka secara tidak langsung merendahkan Rasulullah dibandingkan para Syuhada
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )
”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)
Imam al-Baihaqi telah membahas sepenggal kehidupan para Nabi. Ia menyatakan dalam kitab Dalailun Nubuwwah: “Para nabi hidup di sisi Tuhan mereka seperti para syuhada.” Al-Baihaqi mengeluarkan hadis dari Anas ra: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya para nabi tidaklah ditinggalkan di dalam kubur mereka setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka sholat di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai ditiupnya sangkakala.” Sufyan meriwayatkan dalam al-Jami’, ia mengatakan: “Syeikh kami berkata, dari Sa’idbin al-Musayyab, ia mengatakan, “Tidaklah seorang nabi itu tinggal di dalam kuburnya lebih dari empat puluh malam, lalu ia diangkat.”
Pada peristiwa mi’raj , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dipertemukan dengan para Nabi terdahulu yang telah menjadi penduduk langit.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “kami meneruskan perjalanan sehingga sampai di langit keenam, lalu aku menemui Nabi Musa dan memberi salam kepadanya. Dia segera menjawab, ‘Selamat datang wahai saudara yang dan nabi yang shalih.’ Ketika aku meningalkannya, dia terus menangis. Lalu dia ditanya, ‘Apakah yang menyebabkan kamu menangis? ‘ dia menjawab, ‘Wahai Tuhanku! Kamu telah mengutus pemuda ini setelahku, tetapi umatnya lebih banyak memasuki Surga daripada umatku” (HR Muslim 238)
Berikut kutipan tulisan ulama panutan mereka lainnya, Utsaimin di dalam karyanya, al-Manahi al-Lafdziyyah hal 161 sebagaimana yang kami arsip (salin) dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/10/12/kecuali-ulama-mereka/
***** awal kutipan ******
“Dan saya tidak mengetahui sampai detik ini bahwa Muhammad adalah makhluk Allah yang lebih utama dari segala makhluk apa pun secara mutlak.”
***** akhir kutipan ******
Mereka berpendapat bahwa “Nabi pun manusia melakukan kesalahan dan dosa, namun Beliau ma’sum dari dosa-dosa besar (al Kabair)”
Pendapat tersebut bertentangan dengan contohnya hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman, “jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, (HR Bukhari 6021)
Siapalagi manusia yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala ?
Benar bahwa “Maa ana illa basyarun mitslukum” (sesungguhnya aku hanya seorang manusia seperti kalian yang diberikan wahyu) adalah sabda Rasulullah dan “Fadzakkir innama anta mudzakkir, lasta ‘alaihim bimushaitir” (Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan., Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka) adalah firman Allah Ta’ala namun kedua nash ini bukanlah untuk membantah, meragukan atau mempertanyakan kemuliaan Rasulullah
Jika ada yang berpendapat bahwa kedua nash tersebut adalah dalil untuk membatalkan bahwa Rasulullah adalah makhluk paling mulia atau paling utama maka itu salah satunya diakibatkan Allah Azza wa Jalla belum menghendaki mereka mengetahui atau belum sampai kepada mereka hakikat Nur Muhammad.
Pada umumnya mereka yang berpendapat bahwa Rasulullah pernah “keliru” berdasarkan dua asbabun nuzul yakni (QS Al-Anfal [8] : 67-68) dan (QS at-Taubah : 43-45)
Bahkan salah satu ustadz panutan mereka, Firanda berpendapat bahwa teguran Allah dalam (QS Al-Anfal [8] : 67-68) adalah akibat Rasulullah menyelisihi usulan sayyidina Umar radhiyallahuanhu
Para fuqaha menyampaikan bahwa justru turunnya surah al-Anfal ayat 61-69 adalah contoh pembenaran atas ijtihad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Memang ada beberapa riwayat bahwa Allah Azza wa Jalla mengilhamkan sesuatu kebenaran kepada sayyidina Umar Radhiyallahuanhu namun itu adalah jalan (wasilah) sebelum turunnya wahyu bukan berarti seluruh ide atau pendapat sayyidina Umar Radhiyallahuanhu adalah sebuah kebenaran
Begitupula jika dianggap Rasulullah pernah keliru maka itu adalah jalan (wasilah) sebelum turunnya wahyu seperti ketika Rasulullah mengizinkan orang-orang orang-orang munafik untuk tidak ikut dalam peperangan. Lalu turunlah ayat (QS at-Taubah : 43-45) dan Rasulullah selanjutnya mentaatinya
Jika ayat (QS Al-Anfal [8] : 67) sebagai dalil atau perintah dari Allah Ta’ala untuk membunuh semua tawanan perang namun kenyataannya setelah ayat itu turunpun Rasulullah tidak memerintahkan membunuh tawanan perang. Tentu mustahil bagi Rasulullah yang maksum untuk mengingkari perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala
Uraian selengkapnya dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/26/membunuh-tawanan-perang/
Jadi mereka belum mengenal dengan baik kemuliaan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bahkan merendahkannya adalah akibat mereka berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang yang “kembali kepada Al Qur’an dan Hadits” bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri dengan selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Dalam buku yang diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsary, berjudul “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany Dalam Kenangan” pada halaman 147 tercantum bahwa ulama panutan mereka, Albani dijuluki sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” sebagaiamana yang dapat dibaca pada http://drive.google.com/file/d/0Bz1Iv5iVVJceODQzZTQ1ZWQtYzRhMC00MDMyLWIxODctNGZjMjU1MDAxNWY5/view?ddrp=1&hl=en
Mereka sendiri yang menyatakan bahwa ulama panutan mereka yakni Al Albani sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan alias mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sebagaimana contoh informasi pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan.
***** akhir kutipan *****
Begitupula ulama panutan mereka lainnya, Muhammad bin Abdul Wahhab, pada awalnya berguru pada guru yang mumpuni namun pada akhirnya beliau lebih banyak mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) meneladani dan meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sehingga disebut “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah” sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Dari keterangan di atas dapat kita ketahui bahwa Albani , “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” maupun Muhammad bin Abdul Wahhab , “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyyah” meneruskan kebid’ahan dan meneladani Ibnu Taimiyyah. seorang ulama yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Rasulullah telah bersabda bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah diambilnya ilmu agama dari al ashaaghir yakni orang-orang yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama
Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan pertanyaan, “Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?”, menjawabnya bahwa “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203.
Jadi pengikut syaitan atau wali syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha
Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha.
Piihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat (teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) atau ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah.
Begitupula pada kenyataannya radikalisme yang diperlihatkan ISIS, Al Qaeda dan turunannya maupun mereka yang merasa sebagai mujahidin adalah akibat mereka mengembalikan kepada Allah (Al Qur’an) dan RasulNya (As Sunnah) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Oleh karenanyalah penguasa negeri yang seharusnya mengakui ketidak mampuannya dalam pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dalam memimpin negara seharusnya dibawah nasehat dan pembinaan para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) sehingga warga negara mentaati ulil amri yang sudah dibina dan dibimbing oleh para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam)
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah sehingga negara dapat membuat hukum buatan manusia yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.
Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah ahli fiqih dan ahli agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna ulil amri adalah para ulama.
Ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yakni para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada pemimpin ormas maupun penguasa negeri (umaro) dalam rangka menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin
***** awal kutipan *****
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 17
Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka
Pasal 36 ayat 1
Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****
Selengkapnya piagam Madinah pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2014/03/piagam-madinah.pdf
Dalam sejarah negara kita, dahulu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo. Dia mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.
SM. Kartosuwiryo mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.
Pemberontakan DI / TII ini bukan hanya membahayakan kesatuan negara dan ancaman yang serius terhadap negara yang sedang belajar mengisi kemerdekaan, tetapi juga membahayakan masa depan Islam di negara Republik Indonesia yang justru karena mengatasnamakan agama Islam.
Apalagi karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia, maka kedudukan Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam.
Hal itu mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu “mengundang para ulama dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang kedudukan Presiden Sukarno dalam pandangan keagamaan (Islam).”
Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal.
Antara lain oleh karena untuk daerah-daerah tertentu ummat Islam harus melakukan pilihan terhadap adanya “Kepala Negara” selain Presiden Soekarno. Misalnya S.M. Kartosuwiryo yang di daerah Jawa Barat menyebut dirinya sebagai Kepala Negara dari Negara Islam Indonesia.
Juga oleh karena sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno harus mengangkat pegawai-pegawai yang menangani urusan-urusan yang langsung berkaitan dengan masalah—keagamaan seperti wakaf, waris, pernikahan dan lain-lain.
Sedang dalam pandangan ulama di Indonesia urusan-urusan itu harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang diangkat oleh kekuasaan yang sah dilihat dari hukum Islam.
Pertemuan ulama yang diprakarsai oleh K.H. Masjkur itu berlangsung di Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun 1954).
Pertemuan — yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia itu memutuskan memberi gelar kepada Presiden Sukarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati, “pemerintah yang sekarang ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasarkan (QS An Nisaa [4]:59)
Menarik untuk disimak penjelasan A. Yusuf Ali mengenai istilah ini dalam komentarnya tentang (QS An Nisaa [4]:59), Ulu-l-amr adalah orang-orang yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau penyelesaian urusan.
Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima kekuasaan dari Dia. Karena Islam tidak mengenal perbedaan yang tajam antara urusan yang sakral dan sekuler, maka diharapkan pemerintahan-pemerintahan biasa akan melakukan kebenaran, berlaku sebagai imam yang benar, dan kita harus menghormati dan mematuhi keluasaan itu; jika tidak demikian tidak akan ada ketertiban dan kepatuhan.
Jadi rakyat mentaati umaro (penguasa negeri) dan penguasa negeri mentaati para fuqaha.
Kita dapat mengambil pelajaran dari kerajaan Islam Brunei Darussalam berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan penerapan nilai-nilai ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut Mazhab Imam Syafei.
Sultan Brunei disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merangkap sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan dengan dibantu oleh dewan penasihat kesultanan dan beberapa menteri, juga bertindak sebagai pemimpin tertinggi Agama Islam dimana dalam menentukan keputusan atas sesuatu masalah dibantu oleh Mufti Kerajaan.
Negara kitapun ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara yang bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang sholeh yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Salah satu contoh ulama yang menjadi anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20 yang pernah berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Namun dalam perjalanannya Dewan Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita “dikecilkan”. Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era Reformasi , Dewan Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak effisien.
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para ahli fiqih untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri.
Kalau umaro (penguasa negeri) tidak mentaati para fuqaha atau kebijakan umaro (penguasa negeri) menurut pendapat para fuqaha, ada yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka wajib kita ingkari dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.
Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan sholat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])
Sedangkan bagi yang mampu melenyapkan kemungkaran atau ingin mengganti penguasa negeri yang diingkari maka lakukanlah dengan cara-cara yang baik mengikuti hukum konstitusi yang berlaku dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al Baqarah [2]:11)
Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, iaitu
1. Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka,
2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka dan
3. Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar