Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadits mutasyabihat karena pangkal kekufuran
Mereka yang melarang takwil berdalilkan firman Allah Ta’ala surat Al Imran [3] ayat 7.
Allah Ta’ala BUKAN MELARANG TAKWIL namun MELARANG “MENCARI-CARI takwil” atau “mengada-ngada takwil” yakni MENTAKWIL atau MEMAKNAI TANPA ILMU seperti orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (selalu dengan makna dzahir) sehingga menimbulkan FITNAH (Q.S. Al Imran [3] : 7)
Jadi orang-orang yang MENCARI-CARI takwil adalah mereka yang tidak dikaruniai kemampuan takwil atau hikmah oleh Allah Ta’ala sehingga mereka SESAT dan MENYESATKAN karena mereka MENTAKWIL atau MEMAKNAI TANPA ILMU yakni mereka MENGIKUTI ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga menimbulkan FITNAH.
Rasulullah bersabda, “ketika mereka ditanya mereka berfatwa TANPA ILMU, mereka SESAT dan MENYESATKAN” (HR Bukhari 98)
Dalam kitab tafsir Jalalain, Imam Suyuthi ketika menafsirkan (Q.S. Al Imran [3] : 7) menjelaskan bahwa FITNAH berasal dari
لجهالهم بوقوعهم في الشبهات واللبس
kalangan orang-orang bodoh yang justru menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal yang syubhat dan kabur pengertiannya.
FITNAH terhadap Salafush Sholeh timbul AKIBAT Ibnu Taimiyyah (W 728 H) MENISBATKAN atau tepatnya MELABELKAN MAZHABNYA atau METODE PEMAHAMANNYA SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENGINGKARI atau MELARANG TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ sebagai MAZHAB atau MANHAJ Salaf sebagaimana fatwanya dalam Majmu Fatawa 4/149
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR
***** akhir kutipan *****
Bahkan disebarluaskan dongeng atau tepatnya fitnah bahwa Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari (W 324 H atau yang lain mengatakan 330 H) melalui 3 marhalah kehidupan atau 3 fase pemikiran yakni fase ketiga (terakhir) mengikuti MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENGINGKARI atau MELARANG TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ serupa dengan MAZHAB Ibnu Taimiyyah (W 728 H) yang DILABELI sebagai MAZHAB atau MANHAJ SALAF
Ibnu Taimiyyah dikabarkan masih sempat bertaubat kepada Allah Ta’ala sebelum Beliau wafat dipenjara sehingga Beliau belum sempat menulis kitab-kitab untuk mengkoreksi kekeliruannya akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN Ibnu Taimiyyah dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan mengingkari makna majaz (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115).
Begitupula Ibnu Taimiyyah dalam Al Iman hal 94 berkata,
***** awal kutipan *****
“maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk metafor (majaz) dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur’an tidak ada bentuk metafor.
Bahkan pembagian bahasa kepada hakekat dan metafor adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.
***** akhir kutipan ****
Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) murid dari Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)
Contoh kabar pertaubatan Ibnu Taimiyyah pada https://www.dutaislam.com/2016/07/ini-proses-persidangan-taubatnya-ibnu-taimiyah-yang-berbelit-belit.html
Al-Imam Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki (w 1214 H), ulama terkemuka abad 12 Hijriah (semasa hidupnya dengan pendiri paham WAHABISME) dalam kitab karya Beliau yang berjudul “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain” cetakan pertama “Darul Fikr” th 1988 jilid 3 halaman 9 telah mengingatkan
… ولا يجوز تقليد ما عدا المذاهب الأربعة ولو وافق قول الصحابة والحديث الصحيح والآية فالخارج عن المذاهب الأربعة ضال مضل وربما أداه ذلك للكفر لأن الأخذ بظواهر الكتاب والسنة من أصول الكفر .
“dan tidak boleh taklid kepada selain empat madzhab meskipun cocok dengan pendapat sahabat, hadits shahih dan ayat, dan yang keluar dari empat madzhab maka dia sesat lagi menyesatkan, bahkan hal itu bisa jadi akan mengantarkan kepada kekufuran, karena mengamalkan SECARA TEKSTUAL Al Qur’an dan Hadits adalah PANGKAL KEKUFURAN.
Pengertian mengamalkan SECARA TEKSTUAL adalah mengamalkan berdasarkan pemahamannya terhadap Al Qur’an dan Hadits dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN SELALU dengan MAKNA DZAHIR)
Jadi ulama dari kalangan tradisionalis yakni salafiyyah yang sesungguhnya telah mengingatkan bahwa orang-orang yang KELIRU dalam berijtihad dan beristinbat karena MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR akan berakibat dua macam KEKUFURAN yakni,
1. KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD atau AKIDAH
2. KEKUFURAN dalam PERKARA FIQIH yakni contohnya mereka yang KELIRU memahami pernyataan atau ungkapan tawadhu (rendah hati) dari Imam Mazhab yang empat, seperti Imam Syafi’i yang berkata “apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku” sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/02/28/mereka-melarang-bermazhab/
Asy’ariyah yakni umat Islam pada umumnya tentulah BUKAN MENGINGKARI atau menafikan (menta’thil) sifat Allah NAMUN MENGINGKARI mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR karena para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa jika memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan MAKNA DZAHIR maka akan terjerumus KEKUFURAN dalam perkara I’TIQOD.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan :
من قال الله جسم لا كالأجسام كـَفَـرَ
BARANGSIAPA yang mengatakan, ALLAH itu berjisim tapi tidak seperti jisim lainya.! MAKA ia telah Kafir (kufur dalam i’tiqod) [Tasyniful Masami’ : juz 4, halaman : 684]
Begitupula para ulama terdahulu telah MELARANG mensifatkan atau menjismkan Dzat Allah Ta’ala seperti mengatakan bahwa Allah memiliki wajah, tangan, kaki WALAUPUN dikatakan semua itu tidak serupa dengan makhluknya karena hal ini sudah termasuk ‘AASHIN yakni DURHAKA atau MENGHINA Allah Ta’ala.
Syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” menjelaskan bahwa barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (bentuk seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (bentuk tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Contohnya mereka terjerumus KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD yakni mereka beribadah bukanlah kepada Allah Ta’ala namun mereka BERIBADAH KEPADA SESUATU yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka KELIRU memahami hadits seperti,
“Rasulullah bersabda: “Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar Rahman ‘Azza wa Jalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua. (HR Muslim 3406 atau Syarah Shahih Muslim 1827)
Ironisnya tulisan ustadz mereka tersebut dinisbatkan sebagai pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh) sebagaimana yang terungkap pada https://asysyariah.com/dua-tangan-allah/
Jelas sekali apa yang mereka sampaikan BUKAN akidah atau PEMAHAMAN PARA SAHABAT (Salafush Sholeh) melainkan akidah atau PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI menurut akal pikiran mereka sendiri terhadap hadits yang mereka baca.
Contoh lainnya mereka terjerumus KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD yakni mereka beribadah bukan kepada Allah Ta’ala namun mereka BERIBADAH KEPADA SESUATU yang memiliki dua kaki yang ditempatkan di kursi dan terkadang dibenamkan di neraka jahanam.
Contohnya ustadz mereka mengatakan bahwa Tuhan berukuran SANGAT BESAR dibuktikan dengan UKURAN KAKINYA yang MENJUNTAI ke bawah Arsy yakni ke kursi sudah MENUTUPI langit dan bumi sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video pada https://youtu.be/ysCisMiaHxs
Selain ustadz mereka beraqidah, beri’tiqod atau berkeyakinan Tuhan mereka berkaki dua ditempatkan di kursi dan terkadang dibenamkan di neraka jahannam sebagaimana video pada https://www.youtube.com/watch?v=Xr3mZmNORhQ
Beliau tampaknya terpengaruh oleh paham WAHABISME yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) yang dijuluki “duplikat” Ibnu Taimiyyah (W 728H) yang dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana informasi salah satu embassy (kedutaan) mereka pada http://saudiembassy.net/islam
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Contohnya dapat kita temukan dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa menjadi oleh-oleh bagi Jama’ah haji atau umroh Indonesia, pada CATATAN KAKI (footnote) ketika menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255.
***** awal kutipan ****
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak telapak Kaki-Nya.”
***** akhir kutipan ****
Tangkapan layarnya dapat dilihat pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/17/tempat-telapak-kaki/
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki di tempatkan di kursi seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.”
Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi terkait riwayat tersebut,
***** awal kutipan ****
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang yang duduk di atas ranjang
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.
***** akhir kutipan *****
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.
Contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki yang terkadang dibenamkan di neraka jahannam.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan penghuninya) ia (Jahannam) senantiasa mengatakan, “Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul ‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam) berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)
Al-Imam al-Hafizh Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ قدم ” (makna dzahirnya kaki) dalam hadits di atas adalah orang-orang yang didatangkan (dimasukkan) oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam neraka Jahanam”.
Contoh lainnya mereka terjerumus KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD yakni mereka beribadah bukan kepada Allah Ta’ala namun mereka BERIBADAH KEPADA SESUATU yang memiliki wajah namun tanpa kepala.
Pembesar mazhab Hambali, Al Imam Ibn al Jawzi yang MEMBERSIHKAN fitnah-fitnah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal dengan kitabnya yang berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih, ketika menyampaikan tentang firqah MUJASSIMAH bahwa mereka tidak mendapatkan nash / dalil shorih bahwa Allah memiliki kepala.
***** awal kutipan ******
Sementara tentang kepala mereka berkata, “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”
***** akhir kutipan *****
Contoh terjemahan dari kitab Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih dapat diunduh (download) di https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
Jadi AKIBAT mereka NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA MENTERJEMAHKAN dan MEMAHAMI ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah secara hissi (inderawi / materi / fisikal) atau SELALU dengam MAKNA DZAHIR dan MENGINGKARI TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ sehingga mereka TERJERUMUS mengikuti firqah MUJASSIMAH
Firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang MEN-JISM-KAN Allah Ta’ala yakni mereka mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat-sifat jism (benda/fisikal) seperti mengisbatkan (menetapkan) anggota badan, arah atau tempat, ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya dan sifat fisikal lainnya.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah).
Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib telah mengingatkan bahwa
قوم من هذه الأمة عند إقتراب الساعة كفارا يُنكرون خالقهم فيصفونه بالجسم والأعضاء
“Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir (maksudnya kufur dalam i’tiqod) karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat JISIM (benda / fisikal seperti arah, ukuran, jarak, batasan maupun tempat) dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi).
Jadi Allah Ta’ala tidak pernah melarang takwil dan bahkan dalam firman-Nya surat Ali Imran [3] ayat 7 justru Allah Ta’ala memberikan DUA PILIHAN cara memahami ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah yang BOLEH kita PILIH untuk diikuti yakni,
PILIHAN PERTAMA sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami” (Q.S. Ali Imran [3] : 7)
Orang-orang yang beriman sebagaimana lafadz-lafadznya seperti yad, ain, janbun, istawa, nuzul dan lain lain dan BILA KAIFA atau TIDAK MENG-KAIFA-KAN atau TIDAK MEM-BAGAIMANA-KAN yadd, ain, janbun, istawa, nuzul dan lain lain maksudnya tidak menetapkan atau tidak memilih makna dzahir atau makna majaz dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
PILIHAN KEDUA sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab (orang-orang yang berakal) (Q.S. Ali Imran [3] : 7)
Jadi Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan takwil atau menganugerahi hikmah (pengetahuan yang dalam) kepada siapa yang dikehendakiNya yakni kepada Ulil Albab (orang-orang yang berakal) sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Contohnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendoakan untuk Ibnu Abbas radhiyallahu anhu agar Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan takwil
اَللَّهُمَّ فَقِّهُّ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhuttakwil
Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam urusan agama dan ajarilah ia takwil Al Qur’an
atau doa Rasulullah lainnya,
Allahumma faqqihu fiddini, wa allimhu al hikmata at takwila qurana
Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alimkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al Qur’an (HR Ibnu Majah)
Oleh karenanya para ulama terdahulu telah menjelaskan bahwa “Sesungguhnya pada dasarnya teks-teks itu HARUS DIPAHAMI dalam MAKNA DZAHIRNYA jika itu dimungkinkan NAMUN jika tidak memungkinkan contohnya ada QORINAH atau petunjuk jika dipahami dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat yang tidak layak (tidak patut) bagiNya maka PILIHANNYA ada dua sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat Ali Imran [3] ayat 7 di atas yakni,
PILIHAN PERTAMA yang dinamakan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala yang disebut juga TAFWIDH ba’da TAKWIL IJMALI.
PILIHAN KEDUA menyimpulkan dan menetapkan bahwa berarti teks-teks tersebut BUKAN dalam MAKNA DZAHIRNYA tetapi dalam MAKNA MAJAZ (metaforis atau makna kiasan) yang dinamakan TAKWIL TAFSHILI yakni TAKWIL dengan ILMU yang sesuai dengan KAIDAH-KAIDAH atau TATA BAHASA Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3).
TAKWIL IJMALI dan TAKWIL TAFSHILI bukanlah BERTENTANGAN atau KONTRADIKSI namun hanyalah SEBUAH PILIHAN.
Berikut cara mudah memahami TAKWIL IJMALI dan TAKWIL TAFSHILI.
Bagi si A, gadis itu cantik bagaikan bulan.
Si A berkata “sore itu bulan masuk ke warung makan” .
TAKWIL IJMALI, “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tetapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam karena mustahil masuk warung makan. Oleh karenanya saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah yang mengetahuinya
TAKWIL TAFSHILI, “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam karena mustahil masuk warung makan, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.
Contohnya, apakah MAKNA Yad ARTINYA tangan YANG LAYAK bagi Allah Ta’ala dalam firman-Nya yang artinya, “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi (QS. Shad [38] : 75) ?
Dalam MEMAKNAI yad ARTINYA tangan tentu tergantung konteks ayatnya dan dalam firman Allah Ta’ala tersebut jumhur ulama sepakat terlarang memaknainya sebagai jarihah atau anggota badan untuk menciptakan Nabi Adam alaihissalam.
Berikut contoh ulama yang dikaruniai hikmah dan takwil oleh Allah Ta’ala sehingga mengetahui MAKNA tangan YANG LAYAK bagi Allah Ta’ala dalam (QS. Shad [38] : 75) yakni ulama yang diakui sebagai mujaddid abad ke 9 hijriah yakni Al Imam Al Hafizh Suyuthi (W 911 H) dalam kitab tafsir Jalalain
***** awal kutipan *****
(Allah berfirman, “Hai iblis! Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan kekuasaan-Ku?) maksudnya, yang telah Aku atur penciptaannya secara langsung; UNGKAPAN ini dimaksud MEMULIAKAN KEDUDUKAN Nabi Adam, karena sesungguhnya setiap makhluk diciptakan oleh Allah secara langsung.
(Apakah kamu menyombongkan diri) sekarang sehingga kamu tidak mau bersujud kepadanya; Istifham atau kata tanya di sini menunjukkan makna cemoohan
(ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi?”) merasa tinggi diri sehingga kamu bersikap takabur tidak mau bersujud. (Tafsir Al-Jalalain, QS. Sad [38] :75)
***** akhir kutipan *****
Tafsirnya dapat dibaca secara online pada https://ibnothman.com/quran/surat-sad-dengan-terjemahan-dan-tafsir/8
Jadi kita harus dapat membedakan ARTI dengan MAKNA.
Firman Allah yang ARTINYA, “Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” .(QS. Shad [38] : 75)
MAKNANYA hanyalah sebuah UNGKAPAN untuk MEMULIAKAN KEDUDUKAN Nabi Adam di hadapan kesombongan Iblis.
Contohnya UNGKAPAN tangan kanan digunakan untuk orang yang dipercaya atau kepercayaan seseorang.
Jadi UNGKAPAN “dengan kedua tangan-Ku” adalah UNGKAPAN untuk MEMULIAKAN KEDUDUKAN Nabi Adam di hadapan kesombongan Iblis.
Sesungguhnya penciptaan Nabi Adam dan semua makhluk diciptakan dengan cara yang sama yakni cukup dengan Qudrah dan kehendak Allah untuk menjadikan sesuatu, maka seketika itulah apa yang dikehendaki terjadi (kun fayakun) sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia”. (QS Ali Imron [3] : 59)
Tafsirnya dapat dibaca secara daring (online) pada https://ibnothman.com/quran/surat-ali-imran-dengan-terjemahan-dan-tafsir/6
Oleh karenanya jika tidak tahu MAKNA tangan YANG LAYAK bagi Allah Ta’ala maka PILIHANNYA adalah TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala mengikuti cara yang dipilih oleh umumnya Salafush Sholeh.
Salafush Sholeh pada umumnya membiarkan khabar-khabar tersebut yakni membiarkan ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah sebagaimana datangnya maksudnya MENGITSBATKAN (MENETAPKAN) berdasarkan LAFADZNYA dan menafikan makna secara bahasa artinya tidak menetapkan atau tidak memilih makna dzahir atau makna majaz dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Salafush Sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir”
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh, dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.
Jadi boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti Yadullah yang artinya Tangan Allah dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala
Begitupula boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti istiwa yang artinya bersemayam (yang mempunyai makna dzahir dan makna majaz) dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Salafush Sholeh tentu bukan tidak mengetahui makna dzahirnya namun ulama salaf dan khalaf sepakat untuk memalingkan lafaz mutasyabihat yakni lafaz dengan banyak makna yang terkait sifat-sifat Allah Ta’ala dari makna dzahirnya karena jika dipaksakan dimaknai dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat yang tidak patut (tidak layak) bagi Allah atau sifat yang mustahil bagi Allah Ta’ala.
Perbedaan keduanya hanya terjadi pada masalah apakah diberikan maknanya sesuai kaidah-kaidah bahasa Arab ataupun tidak diberi makna tetapi diserahkan maknanya kepada Allah Ta`ala sendiri.
Ulama salaf lebih memilih untuk tidak menentukan (menetapkan) salah satu dari beberapa makna yang mungkin diterapkan pada nash tersebut dan menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Sedangkan para ulama khalaf, dikarenakan pada masa mereka sudah berkembang ahli bid’ah yang mensifati Allah dengan sifat makhluk, maka mereka menafsirkan nash mutasyabihat tersebut dengan makna yang layak bagi Allah yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab sendiri.
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”
Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah memalingkan (mengalihkan) dari makna dzahir sebuah lafaz / ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni
1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.
2. Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Quran.
Contohnya dalam masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Qur’an, mereka biasa menggunakan kata janbun (pinggang) dalam makna majaz (kiasan / metaforis).
Pembesar mazhab Hambali, Al Imam Ibn al Jawzi mencontohkan Tsa’labah berkata:
وَاذْكُرَا الله فِي جَنْبِي
Wadzkura Allah fi Janbi
Bukan berarti,
”Sebutlah nama Allah pada pinggangku”
Namun bermakna
“aku perintahkan sebutlah nama Allah”
Jadi firman Allah Ta’ala, yaa hasrotanaa alaa maa farrothnaa fii janbillaahi (QS Az Zumar [39] : 56)
Bukan bermakna ”Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam pinggang Allah”
Namun bermakna ”Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam mentaati atau menunaikan perintah Allah”.
Contoh lainnya dalam masyarakat Arab klasik juga biasa menggunakan kata wajhun (wajah) dalam makna majaz (kiasan / metaforis) untuk mengungkapkan DIRI atau SOSOK seseorang demi memuliakannya.
Contohnya untuk menghormati yang datang, mereka mengatakan,
jaa’a wajhul qoumi
telah datang wajah kaum.
Berikut contoh mereka yang biasa menggunakan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR namun justru apa yang mereka lakukan adalah MENAKWIL ILLA WAJHAHU artinya “kecuali wajah-Nya” (dhamir Hu merujuk kepada Sang Pencipta) dengan ILLA MALIKAHU artinya menurut mereka adalah “kecuali Pemilik wajah”
NAMUN dari kata MALIKAHU tidak ada yang dapat diterjemahkan sebagai wajah.
Jika ditakwil ILLA MALIKAHU artinya “kecuali pemilik-Nya” maknanya Tuhan ada yang memilikinya.
Silahkan saksikan videonya pada https://www.youtube.com/watch?v=o2A48_KaYSI
Hal yang lebih menarik, ahli (membaca) hadits, Albani melarang menakwilkan ILLA WAJHAHU artinya “kecuali wajah-Nya” dengan ILLA MULKAHU artinya “kecuali kerajaan-Nya atau kekuasaan-Nya.
MULK artinya kerajaan atau kekuasaan dan dhamir Hu merujuk kepada Sang Pencipta.
Dalam karyanya yang berjudul al Fatawa, halaman 523, ahli (membaca) hadits Albani , ketika ditanya tentang penakwilan
كل سيء هالك إلا وجهه
QS al-Qashash [28] : (88)
البخاري بعد هذه الأية : أي ملكه
Seperti dalam Shahih al-Bukhari adalah kecuali MULKAHU
Ahli (membaca) Albani menjawab,
Siapa yang mentakwil firman Allah “Kullu Sya’in Halikun Illa Wajhahu” dengan takwil “kecuali MULKAHU” maka
هذا لا يقوله مسلم مؤمن
“Ini TIDAK SEPATUTNYA dikatakan oleh seorang muslim yang beriman.
Jadi secara tidak langsung ahli (membaca) hadits Albani MENYALAHKAN Imam Bukhari dan memvonis BUKAN MUSLIM yang beriman.
Para pengikut ahli (membaca) hadits, Albani membelanya dan mengatakan bahwa perkataan ahli (membaca) hadits Albani, “Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman“ BUKANLAH DITUJUKAN kepada Imam Bukhari namun kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna rahimahullah karena menurut mereka Imam Bukhari hanya meriwayatkan ucapannya saja.
Jadi mereka menganggap BUKAN MUSLIM yang beriman terhadap Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208), seorang pakar ilmu bayan, pengarang kitab pertama kali yang disusun dalam bidang balaghah, tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an sebagaimana informasi pada http://iancakepcool.blogspot.co.id/2009/04/makalah-balagah.html
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa pada riwayat An-Nasafi terhadap Shahih Al Bukhari terdapat lafal: “kecuali MULKAHU” yang dinisbatkan kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin Al Mutsanna.
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata; “Perkataan “kecuali wajah-Nya” adalah kecuali MULKAHU, ada pada riwayat An-Nasafi. Ma’mar berkata;…(seperti telah disebutkan). Dan Ma’mar adalah Abu Ubaidah, Ibnul Mutsanna. Dan ini adalah perkataannya dalam kitab-Nya Majaz Al Qur’an namun dengan lafal: “kecuali Dia”. Fathul Bari (8/505)
Jadi jelaslah Ma’mar bin al-Mutsanna Abu Ubaidah menafsirkan dengan menakwilkan lafaz yang kalau dimaknai secara dzahir adalah “kecuali wajah Nya” dengan memalingkannya kepada “kecuali MULKAHU” dan pada kesempatan yang lain ditegaskan dengan lafal: “Kecuali Dia”
Begitupula Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
وهكذا قوله ها هنا: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ } أي: إلا إياه.
“Demikian juga, firmanNya di sini: “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya”, yaitu kecuali DiriNya” (Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261)
Jadi sebaiknya janganlah mengikuti orang-orang yang menyebarluaskan kebohongan bahwa mereka mengikuti pemahaman Salafush Sholeh karena mereka tidak hidup sezaman dengan Salafush Sholeh.
Mereka membeli atau memiliki kitab-kitab hadits dan mereka membaca hadits-hadits dimana dalam hadits tercantum sanad hadits yakni nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in lalu dikatakan oleh mereka bahwa mereka mengikuti PEMAHAMAN Salafush Sholeh dan DILABELI MAZHAB SALAF atau MANHAJ SALAF
Apa yang disampaikan dari hadits-hadits yang dibaca oleh mereka adalah PEMAHAMAN MEREKA sendiri BUKAN PEMAHAMAN Salafush Sholeh.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri yakni PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR.
Ibnu Taimiyyah BUKAN ulama SALAF (terdahulu) namun ulama KHALAF (kemudian) karena wafat 728 H artinya Beliau hidup di atas 300 Hijriah.
Begitupula Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) maupun Adz Dzahabi (w 748 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Jadi mereka tentu tidak bertemu dengan Salaf karena tidak semasa kehidupannya sehinga mereka tidak mendapatkan pemahaman Salaf yang sesungguhnya.
Istilah WAHABI dan WAHABISME juga digunakan untuk orang-orang yang SECARA TERANG-TERANGAN melanggar larangan Rasulullah yakni mereka yang memahami atau “kembali” kepada Al Qur’an dan Hadits TAQLID BUTA mengikuti Ibnu Taimiyyah (W 728 H) yakni secara SHAHAFI (otodidak) menurut akal pikiran mereka sendiri dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan mengingkari MAKNA MAJAZ seperti contoh informasi dari kalangan mereka sendiri pada http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Rasulullah bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya.
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku TIDAK BISA MENEGUR tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Begitupula seberapapun banyaknya guru atau seberapapun panjangnya rantai sanad guru (sanad ilmu) dari ahli (membaca) hadits, Albani yang dikenal sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” maka tidak akan berarti (berguna) karena Beliau lebih banyak mendalami ilmu agama, berpendapat dan berfatwa dari balik perpustakaan alias secara otodidak (shahafi) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana contoh informasi dari kalangan pengikutnya sendiri pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
Ada seseorang bertanya kepada Albani: “Apakah anda ahli hadits (muhaddits)?”
Albani menjawab: “Ya!”
Ia bertanya: “Tolong riwayatkan 10 hadits kepada saya beserta sanadnya!”
Albani menjawab: “Saya bukan ahli hadits penghafal, saya ahli hadits kitab.”
Orang tadi berkata: “Saya juga bisa kalau menyampaikan hadits ada kitabnya.”
Lalu Albani terdiam
(dari Syaikh Abdullah al-Harari dalam Tabyin Dlalalat Albani 6)
Ahli (membaca) hadits, Albani mengakui bahwa Beliau adalah ahli hadits kitab bukan penghafal hadits.
Dalam ilmu Musthalah Hadits jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status haditsnya adalah dlaif, bukan perawi sahih
Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh ahli (membaca) hadits Albani yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadits) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan.
Jadi yang dimaksud oleh mereka dengan julukan atau pengakuan sebagai “ahli hadits” adalah ahli (membaca) hadits secara shahafi (otodidak) bukan ahli hadits sesungguhnya yang menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya secara turun temurun sehingga tersambung kepada lisannya Rasulullah.
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Timbul PERTANYAAN siapakah yang menghidupkan kembali ajaran atau pemahaman (baca kebid’ahan) Ibnu Taimiyyah (W 728 H) dengan menyodorkan kitab-kitabnya setelah wafat lebih dari 450 tahun kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) sehingga diberi julukan “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyyah” yang juga memahami Al Qur’an dan Hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
PERTANYAAN ini perlu disampaikan karena para ulama terdahulu justru telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.
Contohnya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,
وإياك أن تصغي إلى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن قيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ إلهه هواه وأضله الله على علم ، وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعد الله
”Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim al Jawziyah dan orang selain mereka berdua yang telah menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan sesembahan dan disesatkan oleh Allah atas ilmu, yang Allah telah menutup telinga, hati dan penglihatannya. Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah? : (Al Fatawa Al Haditsiyah 1/480)
Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari, menolak dan menangkal ajaran atau pemahaman Wahabi yang salah satu contohnya adalah mereka menyebarluaskan kebohongan mengenai Allah Ta’ala sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6
******* awal kutipan *******
ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا،
Diantara mereka terdapat juga firqah yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي، وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن القيم وعبد الهادي
Mereka melaksanakan KEBID’AHAN Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي في رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الإعتقاد: وهذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا وخلفا، فكانوا وصمة وثلمة في المسلمين وعضوا فاسدا
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”
يجب قطعه حتى لا يعدى الباقي، فهو كالمجذوم يجب الفرار منهم، فإنهم فريق يلعبون بدينهم يذمون العلماء سلفا وخلفا
Maka wajib menanggalkan / menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
يقولون على الله الكذب وهم يعلمون
Mereka MENYEBARKAN KEBOHONGAN MENGENAI Allah, padahal mereka menyadari kebohongan tersebut.
***** akhir kutipan *******
Mereka menyebarluaskan kebohongan mengenai Allah Ta’ala seperti mereka mengatakan bahwa Tuhan memiliki wajah, mata, telinga, pinggang, betis, lima jari, dua tangan dan kedua-duanya kanan, dua kaki yang ditempatkan di kursi dan terkadang dibenamkan di neraka jahannam sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/01/02/bohong-mengenai-allah/
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami ‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj telah mengingatkan bahwa Ibnu Taimiyyah itu telah MENGHINA atau DURHAKA kepada Allah Ta’ala KARENA mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat benda seperti arah dan tempat maupun mensifatkan Allah Ta’ala dengan anggota-anggota badan seperti tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya.
***** awal kutipan *****
Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan.
Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji.
Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”
***** akhir kutipan *****
Jadi perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Ibnu Taimiyyah (W 728 H) karena begitu besarnya kerusakan dalam perkara i’tiqod akibat orang awam terkelabui dengan label mazhab atau manhaj Salaf
Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas bahwa Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan oleh banyak ulama terdahulu dalam arti ditetapkan kufur dalam i’tiqod
Contohnya ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah MENGINGATKAN bahwa AMBIL YANG BAIK dan TINGGALKAN YANG BURUK dari Ibnu Taimiyyah
*** awal kutipan ***
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه
“Meskipun demikian, beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
*** akhir kutipan ****
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakan Ibnu Taimiyyah di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.
7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:
– Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar
– Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah
– Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al Anam
– An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi ath-Thalaq al Mu’allaq
– Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi Masa-il alAyman wa ath-Thalaq
– at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq
– Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.
8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti dijelaskan dalam:
– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali (W 762 H).
11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.
12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam Rasulullah.
13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.
15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.
16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua risalahnya:
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalahath-Thalaq.
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah az-Ziyarah.
17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-Radd ‘Ala ibn Taimiyah..
Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/02/07/ulama-bantah-ibnu-taimiyyah/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar