Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘bagian yang sah’


Piagam Jakarta berlaku selama-lamanya

Salah satu tokoh pendiri RI dan Pahlawan Nasional Mahaputra Prof Dr Mr H Muhammad Yamin menegaskan bahwa “Piagam Jakarta berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fasisme, serta memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia” sebagaimana yang termuat dalam bukunya berjudul “Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia”

Piagam Jakarta yang ditandatangani oleh Panitia Sembilan yakni panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI untuk mengakomodir dua kepentingan pihak Islam dan pihak Kebangsaan yakni pihak yang mengaku Nasionalis namun pada kenyataannya condong mengikuti paham Sekularisme.

Panitia Sembilan menyusun Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang semula dimaksudkan sebagai teks Proklamasi Kemerdekaan, namun akhirnya dijadikan Muqaddimah (Preambule).

Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah (Preambule) diubah menjadi Pembukaan UUD.

Butir pertama dalam Piagam Jakarta yang berisi kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya, diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan wakil dari golongan Islam.

Semula, wakil golongan Islam, di antaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan itu.

Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” demi keutuhan Indonesia.

Namun Piagam Jakarta bersifat “einmalig”, artinya berlaku untuk selama-lamanya (tidak dapat dicabut) sebagaimana yang DIDEKLARASIKAN oleh Presiden Soekarno dalam dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan kalimat,

“Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Jadi, Dekrit Presiden Soekarno itulah yang menempatkan dan mempertegas bahwa Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan dari Konstitusi Negara NKRI, UUD 1945.

Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi tanggal 18 Agustus 1945 di PPKI, menyatakan, bahwa Dekrit 5 Juli 1959 bersifat “einmalig”, artinya berlaku untuk selama-lamanya (tidak dapat dicabut).

“Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut,” tulis Kasman dalam bukunya, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982).

Contoh bukti bahwa Piagam Jakarta berlaku selama-lamanya (tidak dapat dicabut) salah satunya dalam penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan:

“Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Contoh bukti lain dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama:

“bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”.

Jadi jelaslah bahwa penegakkan ayat suci atau syariat Islam di NKRI BUKANLAH MAKAR dan TIDAKLAH MELANGGAR KONSENSUS NASIONAL namun merupakan kewajiban agama yang sekaligus merupakan amanat konstitusi NKRI baik landasan IDIIL Pancasila maupun landasan KONSTITUSIONIL UUD 1945.

Landasan IDIIL Pancasila, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan landasan KONSTITUSIONIL UUD 1945 baik di pembukaan maupun di batang tubuhnya, dalam pasal 29 ayat 1 bahwa dasar negara RI adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan landasan IDIIL maupun landasan KONSTITUSIONIL bahwa rakyat dan bangsa Indonesia dalam kehidupan beragama dan berbangsa serta bernegara wajib menjunjung tinggi hukum Tuhan Yang Maha Esa yaitu hukum Tuhan yang tertuang dalam ayat-ayat suci.

NKRI didirikan atas kesepakatan bersama antara tokoh-tokoh Islam dan tokoh-tokoh yang mengaku nasionalis namun pada kenyataannya condong kepada pada paham SPILIS yakni SEKULERISME, PLURALISME dan Liberalisme.

Salah satu kesepakatannya adalah NKRI berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa artinya NKRI adalah NEGARA TAUHID.

NKRI BUKAN NEGARA KOMUNIS atau ATHEIS yang anti Tuhan. BUKAN JUGA NEGARA LIBERAL yang anti agama dan BUKAN PULA NEGARA SEKULER yang anti syariat

NKRI melindungi semua agama dan menjamin kebebasan beragama bagi seluruh bangsa Indonesia tanpa paksaan.

Jadi muslim yang PANCASILAIS sejati adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa artinya bagi umat Islam segala perilaku dan perbuatannya harus merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits.

Prof. H. Muhammad Yamin dalam bukunya “Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia” menyampaikan tentang keinginan dalam UUD untuk menjelmakan aspirasi rakyat dalam bentuk berupa badan perwakilan seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat ketika menjelaskan tentang Permusyawaratan, dengan mengutip surat Assyura ayat 38 yang artinya:

“Dan bagi orang-orang yang beriman, mematuhi seruan Tuhan-Nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.

Demikian juga prinsip musyawarah ini diterapkan sesudah zaman Nabi yang dasarnya ialah bersatu untuk bermufakat, menurut perpaduan adat dengan perintah agama.

Dalam konteks ini Prof. H. Muhammad Yamin menyampaikan bahwa musyawarah yang dimaksudkan untuk Indonesia, ialah musyawarah yang bersumber dari hukum Islam dan Adat. Hal tersebut merupakan perpaduan konsepsi yang paling berpengaruh di Indonesia. Hukum Islam dalam hal ini diilhami oleh Al Quran, sedangkan adat diilhami oleh kondisi bangsa Indonesia, yang hukum aslinya ialah hukum adat.

Jadi NKRI itu KHILAFAH adalah kenyataan yakni PERSATUAN Jama’ah minal muslimin dan orang-orang kafir yang ikhlas mengikatkan diri dan tunduk kepada DEMOKRASI PANCASILA.

Prof. R.M. Sukamto Notonagoro menjelaskan pengertian DEMOKRASI PANCASILA adalah kerakyatan yang dipimpin oleh HIKMAT KEBIJAKSANAAN dalam permusyawaratan/perwakilan yang ber-Ketuhanan YME, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang mempersatukan Indonesia, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

DEMOKRASI PANCASILA berdasarkan “kerakyatan yang dipimpin oleh HIKMAT KEBIJAKSANAAN yakni orang-orang yang berkompetensi dalam memahami hukum Tuhan.

HIKMAT berasal dari kata hikmah atau “al-hakim” atau “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) yakni para fuqaha (ahli fiqih).

Jadi rakyat mentaati umaro (penguasa) dan umaro (penguasa) mentaati nasehat dari “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) yakni para fuqaha (ahli fiqih).

Allah Ta’ala berfirman yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka KEMBALIKANLAH kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An Nisaa [4]:59)

Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslimin ?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.

Pemimpin yang terbaik adalah pemimpin yang mengikuti firman Allah Ta’ala di atas yakni menjalankan kepemimpinannya selalu mempertimbangkannya dengan Al Qur’an dan Hadits.

Namun dalam perkembangan sejarah Islam sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara (penguasa negeri).

Oleh karenanyalah pada zaman sekarang, penguasa negeri (umara) yang seharusnya mengakui ketidak mampuannya dalam memahami dan menggali hukum langsung dari Al Qur’an dan Hadits dalam memimpin negara maka seharusnya di bawah nasehat dan pendapat para fuqaha (ahli fiqih) yakni ulama yang faqih (berkompeten) atau menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) sehingga warga negara mentaati ulil amri dalam bimbingan para fuqaha.

Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah sehingga negara dapat membuat hukum buatan manusia yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.

Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah ahli fiqih dan ahli agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna ulil amri adalah para ulama.

Jadi Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk mentaati firmanNya (Al Qur’an) dan sabda Rasulullah (Hadits) dengan mengikuti mentaati “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) dan pada zaman sekarang adalah dengan mengikuti dan mentaati ulil amri setempat yakni para fuqaha (ahli fiqih).

Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para fuqaha (ahli fiqih) untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri (umaro) sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri.

Jadi jelaslah rakyat mentaati umaro (penguasa negeri) dan penguasa negeri mentaati para ulama yakni para fuqaha (ahli fiqih).

Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha (ahli fiqih)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, iaitu

1.Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka,

2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka dan

3.Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.

Pengikut paham SEKULERISME yang RADIKAL berpendapat bahwa penerapan syariat Islam di Indonesia bertentangan dengan Pancasila sebagaimana tulisan Adian Husaini peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) yang dimuat pada http://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2009/06/18/3556/piagam-jakarta-dan-sikap-kristen.html

***** awal kutipan *****
Mereka – sebagaimana sebagian kaum sekular – berpendapat, bahwa penerapan syariat Islam di Indonesia bertentangan dengan Pancasila.

Pada era 1970-1980-an, logika semacam ini sering kita jumpai. Para siswi yang berjilbab di sekolahnya, dikatakan anti Pancasila. Pegawai negeri yang tidak mau menghadiri perayaan Natal Bersama, juga bisa dicap anti Pancasila. Pejabat yang enggan menjawab tes mental, bahwa ia tidak setuju untuk menikahkan anaknya dengan orang yang berbeda, juga bisa dicap anti-Pancasila.

Kini, di era reformasi, sebagian kalangan juga kembali menggunakan senjata Pancasila untuk membungkam aspirasi keagamaan kaum Muslim.
****** akhir kutipan *****

Oleh karenanya kita sebaiknya mewaspadai pihak yang ingin memecah belah rakyat dan khususnya umat Islam dengan membenturkan Pancasila dengan (syariat) Islam.

Dalam cuitannya mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo mengingatkan kembali pesan Jenderal A.H. Nasution bahwa salah satu cara PKI untuk memecah belah rakyat adalah dengan membenturkan antara Pancasila dengan Islam sebagaimana yang dipublilasikan pada http://twitter.com/Nurmantyo_Gatot/status/1111517613115338753

Kutipan pesan dalam bentuk penegasan dari Jenderal A.H. Nasution dapat dibaca pada http://news.moslemcommunity.net/2019/03/ah-nasution-mempertentangkan-pancasila.html

Gatot Nurmantyo menyampaikan, Mayoritas masyarakat Islam ini dengan para ulamanya sejak sebelum kemerdekaan sampai dengan kemerdekaan tidak pernah memaksakan sebagai umat yang mayoritas dengan kaidah-kaidah agama dalam pemerintahan.

Pancasila adalah hadiah dari umat Islam. Konsekwensinya dan sudah dibuktikan bahwa siapapun yang bertentangan dengan Pancasila pasti masyarakat akan mencegahnya bersama-sama dengan TNI sebagaimana yang dapat disaksikan dialog dengan TV One pada http://www.youtube.com/watch?v=7ZpnOeLNPnk

Pidato beliau lainnya dapat disaksikan pada http://www.youtube.com/watch?v=G0wWtW3Tgc0

Pada kenyataannya PERPOLITIKAN dan KEBIJAKAN di NKRI SANGAT TERKAIT dengan PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA DUA KUBU di TNI yakni kubu mereka yang mengaku sebagai ABRI “merah putih” yakni para perwira yang mengaku nasionalis namun pada kenyataannya adalah mereka yang condong kepada paham Sekulerisme.

Mereka menggelari “lawan” atau saingan mereka sebagai ABRI “hijau” yakni para perwira yang mau “mendengarkan” pendapat para ulama atau dekat dengan Islam dan Pesantren sebagaimana contoh kajian pada http://tirto.id/abri-merah-putih-vs-abri-hijau-sentimen-agama-di-tubuh-tentara-c1cl

***** awal kutipan *****
Menurut Salim Said, “[…] mereka yang disingkirkan Soeharto [pada era 1990-an] menyebut diri mereka ABRI Merah Putih dan menggelari lawannya, yakni mereka yang dipakai Soeharto, sebagai ABRI Hijau” (hlm. 154).

Menurut Kivlan, apa yang disebut ABRI Merah-Putih adalah “tentara yang dianggap nasionalis dan tidak membawa bendera agama.”

Sementara yang disebut ABRI Hijau adalah “tentara yang berasal dari subkultur Islam dan dekat dengan tokoh-tokoh Islam seperti ulama, kyai dan pemimpin ormas Islam” (hlm. 77).

Pendapat Kivlan diperkuat Fadli Zon dalam Politik Huru-Hara Mei 1998 (2004). Menurutnya, “Istilah ABRI Hijau ini dipakai untuk MENYUDUTKAN mereka yang dekat dengan kalangan Islam, BERARTI TIDAK MERAH PUTIH” (hlm. 21).

Di zaman Benny Moerdani begitu berkuasa, kelompok yang disebut ABRI Hijau ini dianggap terzalimi.

Mereka yang dianggap terzalimi itu di antaranya Mayor Jenderal Feisal Tanjung (yang lebih dari tiga tahun jadi Komandan Seskoad di Bandung) dan Mayor Jenderal Raden Hartono (yang jadi Panglima Brawijaya di Jawa Timur).
***** akhir kutipan ****

Rachmawati Soekarnoputri mempertanyakan kakaknya, mengapa Megawati bersekutu dengan Benny Moerdani sehingga terlibat faksi faksi yang bertikai ditubuh TNI sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/06/15/ada-yang-anti-islam/

Mantan Pangab Benny Moerdani adalah salah satu contoh tokoh SEKULER dari kalangan TNI.

Contohnya Benny Moerdani MENGANGGAP bahwa NKRI Bersyariah seperti yang tampak dalam perubahan keber-agama-an yang terjadi pada Soeharto yang semakin simpatik terhadap ajaran Islam dipandangnya sebagai telah membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan negara sehingga HARUS DITURUNKAN !!!!

“Sejarah” ini terungkap contohnya dalam buku berjudul “Dari Gestapu ke Reformasi – Serangkaian Kesaksian” karya Salim Said seorang peneliti peran politik tentara yang berprofesi sebagai wartawan sehingga dapat mewawancarai langsung para petinggi TNI

Salim Said pada hal 319 menuliskan

***** awal kutipan *****
Terhadap kepergian Soeharto ke Tanah Suci itu, Benny cemas. “Wah, kalau Bapak Serius, bakal repot kita.” katanya.

Soeharto ternyata kemudian memang tidak main-main ke Makkah. Selain menyempurnakan namanya menjadi Haji Mohammad Soeharto, sikap politiknya terhadap Islam juga terlihat semakin simpatik.

Apa pun alasan dan motifnya, Benny dan sejumlah jenderal tidak bisa mengerti, apalagi menerima perubahan sikap dan kebijakan Soeharto tersebut.

Raja intel itu bersama sejumlah golongan anti-Soeharto akhirnya melanjutkan crusading mereka terhadap kebijakan baru Bapak Presiden terhadap Islam, terutama terhadap ICMI. Akibatnya, Benny akhirnya yang menerima tuduhan sebagai anti-Islam.

Sehubungan dengan ketegangan hubungan antara Soeharto dan mantan panglima ABRI itu, menarik untuk memperhatikan satu dari sejumlah cerita dalam memoar Jusuf Wanandi mengenai Moerdani dan Soeharto.

Ini mengenai pertemuan Soeharto dengan Moerdani yang lolos dari pengamatan pers dan para musuh Benny. Kepada Wanandi, Moerdani bercerita bahwa atas usaha Tutut, mantan pangab itu berhasil jumpa Soeharto. Konon itu adalah perjumpaan pertama Benny dengan Soeharto sejak Ibu Tien Soeharto meninggal dunia.

Sejumlah hal dibicarakan kedua mantan pembesar Republik tersebut. Salah satu hal penting yang disampaikan Benny kepada Soeharto dalam pertemuan di rumah Sigit Harjojuanto (salah seorang putra mantan Presiden) adalah informasi mengenai lima dari 10 Pangdam waktu itu adalah mereka yang disebut Moerdani sebagai jenderal “hijau”

Menurut Jusuf Wanandi, Benny menuliskan nama-nama Pangdam yang dinilainya “hijau” itu dan menyerahkannya kepada Soeharto. Soeharto mengirimkan daftar nama tersebut kepada Wiranto, Panglima Abri di bawah Presiden B.J. Habibie.

Wiranto menurut Wanandi, memerlukan waktu hanya sebulan untuk melengserkan lima Pangdam yang ada dalam daftar Moerdani tersebut.

Selain soal pelengseran para Pangdam yang dianggap “hijau” berdasarkan informasi Moerdani. Jusuf Wanandi juga mencatat kontak Wiranto lainnya dengan Benny. Menurut petinggi CSIS tersebut, beberapa saat setelah dilantik sebagao KSAD pada juni 1997, Wiranto menemui Moerdani untuk minta bantuan. Respons Benny,

“Jangan berilusi. Orang tua itu tidak senang pada saya, tidak percaya kepada saya. Jadi kau harus tetap di situ sebab kau satu-satunya orang kita di situ. Jangan berbuat salah dan jangan dekat dengan saya sebab kau akan dihabisi Soeharto jika dia tahu”
****** akhir kutipan *****

Salim Said sempat berjumpa dengan Jenderal Wiranto, di Studio Metro TV pada 22 Oktober 2012 dan menuliskan

****** awal kutipan *****
“Tidak benar semua cerita itu,” komentar Wiranto mengenai apa yang ditulis Jusuf Wanandi mengenai hubungannya dengan Benny. Kata Wiranto selanjutnya.

“Demi Allah, sayat tidak pernah berhubungan dengan Pak Benny secara pribadi. Saya jumpa hanya pada acara-acara resmi. Dan tidak ada lima Panglima Kodam yang saya ganti waktu itu. Dalam soal ABRI “Hijau” dan “Merah Putih” saya memang selalu kena fitnah.”

Pada mulanya barangkali Benny memang hanya menjalankan kebijakan Soeharto. Tapi mengingat sikap dan latar belakangnya yang secara prinsipil dari awal memang kurang bersahabat kepada Islam, maka masyarakat Islam Indonesia akhirnya cenderung melupakan bahwa Soeharto-lah sebenarya yang mula-mula menggariskan kebijakan sikap keras terhadap Islam.

Benny dan Ali Murtopo hanya menafsirkan serta melaksanakannya. Tentu menurut penafsiran dan selera masing-masing kedua tokoh intel tersebut.
****** akhir kutipan ******

Jadi dapat kita ketahui bahwa pada waktu itu ada istilah ABRI “Hijau” yang diisi perwira yang dekat dengan Islam dan pesantren dan ABRI “Merah Putih” yang diisi perwira nasionalis yang condong kepada paham Sekularisme..

Pada hal 315, Salim Said menyampaikan

***** awal kutipan *****
”Perubahan keber-agama-an yang terjadi pada Soeharto kemungkinan besar bisa juga dimengerti jika melihatnya dari segi latar belakangnya yang abangan itu.

Tapi dari titik pandang politik, yang saya duga ikut mendorong perubahaan itu adalah keberhasilan Soeharto melumpuhkan kekuatan Islam politik. Artinya kekuatan Islam politik bukan ancaman lagi bagi kekuasaan sang Presiden.

Masih dari sudut politik, perubahan itu juga kemungkinan muncul dari kecemasan terhadap berbaliknya kekuatan-kekuatan yang dulu dipelihara dan dimanfaatkan Soeharto- antara lain menggunakan Murtopo dan Moerdani – untuk memojokkan kekuatan Islam politik.

Menarik untuk diingat bahwa pada awal tahun sembilan puluhan, kekuatan-kekuatan yang pada awalnya merupakan pendukung penting Soeharto, terutama dalam menghadapi Islam, secara perlahan mulai “berbalik gagang” bersamaan dengan berubahnya sikap Soeharto terhadap Murtopo dan Benny. Gejala perubahaan politik ini semakin mencolok setelah ICMI terbentuk.
***** akhir kutipan ******

Salim Said kemudian menuliskan,

Nama Benny, Edi Sudrajat, dan Try Sutrisno disebut-sebut sebagai dekat dengan kekuasaan anti-ICMI (baca:anti-Soeharto) tersebut.

Harry Tjan menampik kedekatan Benny kepada aktivis-aktivis yang kritis terhadap Soeharto itu. “Benny tidak berani melawan Soeharto”, kata Harry.

Moerdani memang tidak berani secara frontal melawan Soeharto, juga ketika masih menduduki posisi penting. Kendati demikian, sebagai pengagum Jendral Sudirman, sebagai seorang patriot, Moerdani juga tidak bisa tinggal diam ketika Soeharto sudah dipandangnya sebagai telah membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Dengan sikap itulah saya duga, Moerdani bersedia hadir dalam sebuah diskusi terbatas Yayasan Pembangunan Pemuda Indonesia (YPPI) di rumah Fahmi Idris pada suatu malam pada paruh pertama 1991

Dalam pertemuan itu, Salim Said menuliskan bahwa

***** awal kutipan *****
Benny Moerdani mengusulkan mengenai “gerakan massa” sebagai jalan untuk menurunkan Soeharto. Firdaus menanggapi, “Kalau menggunakan massa, yang pertama dikejar adalah orang-orang Cina dan kemudian gereja.” Cara lebih aman, kata Firdaus, “Kuasai MPR. Lewat MPR, Soeharto bisa dengan lebih aman diturunkan.”

Pertemuan di rumah Fahmi itu bocor dan dilaporkan kepada Soeharto. Sebuah sumber menyebutkan laporan mencapai Presiden lewat Azwar Anas. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada waktu itu. Atas dasar laporan itulah, Soeharto dan para pembantunya, termasuk Tutut, putrinya, mempersiapkan daftar calon sebagai antisipasi terhadap daftar calon anggota MPR dari pimpinan Golkar yang dicurigai Soeharto dan orang sekelilingnya sebagai kemungkinan telah berada di bawah pengaruh Moerdani

Map yang berisi daftar calon yang disampaikan Ketua Umum Golkar, Wahono dan Sekjennya, Rahmat Witoelar, diterima Soeharto untuk seterusnya dimasukkan ke laci meja kerjanya di kediaman jalan Cendana. Dan dari laci itu dikeluarkan map yang berisi daftar yang telah disusun atas petunjuk Bapak Presiden. “Pakai ini saja”, kata Soeharto kepada Wahono. Daftar itulah yang kemudian menghasilkan anggota DPR dan MPR yang waktu itu dikenal sebagai “ijo royo-royo”
***** akhir kutipan ****

Istilah “ijo royo-royo” atau “santrinisasi” adalah sebuah istilah yang pernah populer sebagai proses “penghijauan” di lembaga DPR/MPR.

Terbawa arus kuat kelompok santri yang semakin terbuka dan bertambah luas secara kuantitas, kelompok abanganpun yakni kelompok nasionalis yang condong sekuler semakin lama semakin terpengaruh mengalami proses santrinisasi.

Pada kenyataannya umat Islam di NKRI sejak kemerdekaan RI secara tidak langsung “DIJAJAH” atau DIKUASAI atau DIDOMINASI oleh kaum abangan yakni orang-orang yang mengaku NASIONALIS namun pada kenyataannya adalah mereka yang condong kepada paham SEKULERISME.

Sejak pertengahan tahun 1980an, dominasi kelompok abangan (kelompok nasionalis yang condong sekuler ) mulai menurun dan hegemoni kaum santri mulai menguat.

Lonceng kematian dominasi kaum abangan (kelompok nasionalis yang condong sekuler ) dalam birokrasi Orde Baru kemudian “dibunyikan” oleh Presiden Soeharto sendiri –yang sebelumnya dikenal sebagai abangan (kelompok nasionalis yang condong sekuler ) dan jauh dari tradisi Islam.

Umat Islam kembali MERDEKA menjalankan syariat Islam dalam naungan Pancasila adalah salah satunya ditandai dengan lahirnya kebijakan Soeharto yang membolehkan jilbab dipakai murid-murid sekolah yang sebelumnya dilarang oleh Menteri Pendidikan Daud Jusuf.

Soeharto juga mendukung dan memfasilitasi berdirinya Bank Muamalat serta dibentuknya organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), sebuah organisasi modern yang paling representatif mempresentasikan telah hadirnya sebuah kelas sosial baru di tengah-tengah umat Islam Indonesia yaitu kelas menengah Muslim.

Pada halaman 318 , Salim Said menuliskan

****** awal kutipan *****
Daud Jusuf, salah seorang pendiri dan tokoh CSIS, tidak mendukung kebijakan Soeharto yang “bersahabat” terhadap Islam Syariah, karena itu tidak lagi duduk di kabinet.

Daud adalah seorang doktor didikan Prancis yang sangat kagum pada sekularisme yang dipraktikkan negara tempatnya belajar.

Berbeda dengan sekularisme Amerika yang toleran terhadap agama, sekularisme Prancis yang memusuhi agama (anti-cleric).

Jenderal Mustafa Kemal dari Turki adalah tokoh yang juga penganut sekularisme Prancis. Maka setelah berhasil menghapuskan Kesultanan Ottoman – Kemal sebagai Presiden pertama Turki menerapkam sekularisme Prancis di negara yang dipimpinnya.
***** akhir kutipan ******

Pada hakikatnya timbul perselisihan dan fitnah adalah karena termakan atau korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi karena kaum yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla mempunyai rasa permusuhan terhadap umat Islam adalah kaum Yahudi

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)

Liberalisme, Sekuralisme dan Pluralisme agama lahir dari kumpulan Freemason salah satu gerakan Zionisme yang paling disegani dikalangan Yahudi dengan prinsip “Liberty, Equality, Fraternity”.

Sekularisme adalah paham yang menjauhkan manusia dari Allah , menghindarkan manusia dalam kehidupannya me”referensi” kepada Allah / Agama

Liberalisme adalah paham yang “membebaskan” manusia terhadap aturan Allah / Agama dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata

Pluralisme adalah paham yang membuat manusia “floating” / “ragu” akan Allah / Agama dan sampai ada yang berujung menjadi pengikut atheisme.

Contoh buku untuk mengetahui GERAKAN Freemasonry alias Zionis Yahudi MENAKLUKKAN DUNIA adalah buku karya ZA Maulani, mantan Kepala Bakin era Habibi dengan judul “Zionisme – Gerakan Menaklukan dunia” sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2019/06/16/freemasonry-menaklukkan-dunia/

Begitupula dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 DEFINISI LIBERALISME AGAMA adalah mereka yang memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Hadits) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran mereka semata.

DEFINISI SEKULARISME AGAMA adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.

Sedangkan DEFINISI PLURALISME AGAMA adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda, “ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”

Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada RasulullahShallallahu alaihi wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.’

Dalam fatwa MUI telah pula diingatkan bahwa bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]:8 )

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Maa-idah [5]:8 )

Gus Dur sangat menghormati pluralis (keberagaman).

Gus Dur adalah tokoh Islam terdepan dalam memerangi sikap-sikap intoleran terhadap penganut agama lain namun bukan tokoh Islam yang membenarkan agama selain Islam

Syaiful Arif dalam diskusi dan bedah buku hasil karyanya bertajuk “Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan” di hotel Akmani, Jl. KH Wahid Hasyim No. 91, Jakarta (12/11/2013) menyampaikan pendapatnya bahwa penyematan “Gus Dur Bapak Pluralisme” dinilai kurang tepat

“Saya tidak sependapat dengan penyematan gelar tersebut. Pasalnya, Gus Dur itu sangat konsen memperjuangkan kemanusiaan. Ketika beliau membela minoritas non-muslim, Tionghoa, Ahmadiyah, dan lain-lain, maka yang dibela adalah manusianya. Bukan institusi Tionghoa dan Ahmadiyahnya”. kata Arif.

Jelaslah bahwa yang diperjuangkan oleh Gus Dur adalah kemanusiaannya yakni mengakui, menghormati, toleran, merangkul, membela keberagaman manusia dengan keyakinannya (pluralis) bukan memperjuangkan membenarkan agama selain Islam atau memperjuangkan membenarkan pemahaman firqah Ahmadiyah dan firqah-firqah lainnya yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham).

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Read Full Post »