Turun pada setiap malam ke langit dunia
Mereka dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir karena mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab. Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Secara otodidak (shahafi) Ibnu Taimiyyah mengumpulkan fatwa atau pemahaman atau pendapatnya dalam kitab yang berjudul Majmu’ Fatawa sehingga siapapun yang mengikuti fatwa atau pemahaman Ibnu Taimiyyah maka mereka “merasa” telah bermanhaj salaf, sebagaimana salah satu fatwanya,
“Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149).
Oleh karena mereka “merasa” bermanhaj salaf sehingga mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) setelah generasi Salafush Sholeh mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Mereka menyempal keluar (kharaja) karena termakan hasutan seperti
“Umat Islam pada masa sekarang telah terpecah dalam firqah-firqah, terpecah dalam berbagai mazhab karena ta’ashub (fanatik) mazhab sehingga perlu penyatuan mazhab kembali ke Islam tok (Islam saja tanpa embel-embel), Islam yang satu, “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” mengikuti pemahaman Salafush Sholeh, sebaik-baik generasi dan yang paling mengetahui ajaran agama.
Pada kenyataannya ajakan (hasutan) untuk “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” dengan pemahaman Salafush Sholeh adalah ajakan (hasutan) untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri.
Mereka yang merasa atau mengaku mengikuti pemahaman Salafus Sholeh, pada kenyataannya tentu mereka tidak lagi bertemu dengan Salafush Sholeh untuk mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh.
Apakah semua orang yang membaca hadits-hadits dan mengamalkannya dapat dikatakan telah mengikuti pemahaman Salafush Sholeh ?
Apakah pemahaman mereka terhadap hadits-hadits yang dibaca pasti benar ?
Apakah mereka telah menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/30/bacalah-dan-istinbath/
Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa ketika orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri terhadap hadits yang dibacanya, bukan pendapat atau permahaman para Sahabat.
Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman para Sahabat berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits yang mereka baca.
Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah pemahaman para Sahabat.
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap para Sahabat.
Selain fitnah terhadap para Sahabat karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah akibat mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafI), mereka dapat terjerumus memfitnah Allah dan RasulNya dengan mereka mengatakan bahwa Allah Ta’ala telah berfirman seperti ini, seperti ini, Rasulullah telah bersabda seperti ini, seperti ini namun menurut akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/21/janganlah-memfitnah-tuhan/
Perlu kita ingat bahwa nama para Sahabat tercantum pada hadits pada umumnya sebagai perawi bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad atau istinbat mereka melainkan para Sahabat sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi (para Sahabat) yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya.
Jadi pendapat atau pemahaman para Sahabat tidak bisa didapatkan dari membaca hadits.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.”
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas dapat kita pahami bahwa Imam Mazhab yang empat yang menyusun ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip dasar ( asas) beserta cabangnya (furu).
Dalam masalah i’tiqod di antara mazhab yang empat tidak ada perbedaan karena i’tiqod bukanlah masalah yang bersifat furu’iyyah. Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod
Para ulama telah memperingatkan bahwa jika memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya dan apa yang telah disampaikan oleh lisan RasulNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir akan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Dalam memahami Al Qur’an dan Hadits dan mengggali hukum darinya atau untuk landasan i’tiqod (akidah) maka perlu menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan lain lain
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (makna dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)”. Penjelasan Ibn Al Jawzi dalam kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahannya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
Kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah seperti makna majaz timbul jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Mereka menyalahkan para ulama terdahulu sekaliber Imam Baihaqi, Imam Nawawi dan Ibnu Hajar yang dalam memahami ayat-ayat sifat tidak selalu berpegang pada nash secara dzahir namun jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya sehigga diperlukan mentakwilkannya dengan ilmu balaghah seperti dengan makna majaz (makna kiasan)
Berikut contoh kutipan pentahdziran mereka terhadap ulama terdahulu https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2011/09/ulama_dan_tahdzir.pdf
“Wahai Syaikh, engkau membawakan biografi 3 ulama terdahulu yaitu Al-Baihaqy, An-Nawawy dan Ibnu Hajar. Mereka terjatuh pada penakwilan terhadap sebagian sifat-sifat Allah. Mereka memiliki karya-karya tulis yang besar dan berfaedah. Oleh karena itulah Ahlus Sunnah memandang bahwa manusia sangat membutuhkan untuk mengambil faedah dari kitab-kitab mereka selain kebid’ahan yang mereka terjatuh padanya.“
Mereka berpendapat bahwa pentakwilan terhadap sebagian sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Imam Baihaqi, Imam Nawawi dan Ibnu Hajar telah terjatuh dalam kebid’ahan.
Pendapat serupa mereka utarakan seperti
“Ibnu Hajar dan An Nawawi rahimahumallah memang dalam beberapa masalah aqidah terdapat ketergelinciran terutama dalam pembahasan Asma’ wa Shifat, di mana mereka berdua di antara orang yang mentakwil makna nama dan sifat Allah tanpa dalil. Namun demikianlah kesalahan ini tertutupi dengan kemanfaatan ilmu dan keutamaan mereka. Moga Allah merahmati mereka.“
Sumber: http://www.rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/3375-ibnu-hajar-dan-imam-nawawi-dikatakan-mubtadi.html
Begitupula fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) kerajaan dinasti Saudi ditanya tentang aqidah Imam Nawawi dan menjawab: “Lahu aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah). Sumber: http://muslim.or.id/biografi/biografi-ringkas-imam-nawawi.html.
Akibat mereka dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir adalah ibadah mereka tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla karena ibadah mereka bukan kepada Tuhan yang sebenarnya, layaknya orang yang menyekutukan Tuhan karena beribadah kepada sesuatu yang diyakininya (dii’tiqodkan) atau beribadah kepada tuhan yang disangkakan menurut akal pikiran mereka sendiri.
Mereka beribadah kepada sesuatu yang bertempat, berkaki, bertangan, bermuka, bertubuh, dan lain lain sebagaimana yang telah dipublikasikan mereka pada http://ajaranislamyanghaq.wordpress.com/2013/02/04/bagaimanakah-bentuk-allah-swt-itu/
Silahkan periksa tulisan dari kalangan ulama panutan mereka seperti yang dipublikasikan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/ di bagian akhir tulisan menuliskan kesimpulan bahwa Allah mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah adalah kanan.
Silahkan baca pula informasi tentang pendapat ulama panutan mereka lainnya bahwa kedua tangan Allah adalah kanan, seperti yang disampaikan pada http://abuolifa.wordpress.com/2012/12/21/menurut-wahabi-salafi-allah-memiliki-dua-tangan-keduanya-adalah-kanan/
Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa tuhan mereka berambut keriting dan berpakaian warna hijau,
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67)
Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata: “Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran (berbentuk) maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
Al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata: “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Pokok-pokok Ilmu Tauhid (مبادئ علم التوحيد):
===========================
1. Definisi Ilmu Tauhid (حده):
Ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat Allah dan para rasul-Nya, baik sifat-sifat yang wajib, mustahil maupun ja’iz, yang jumlah semuanya ada 50 sifat. Sifat yang wajib bagi Allah ada 20 sifat dan sifat yang mustahil ada 20 sifat serta sifat yang ja’iz ada 1 sifat. Begitupula sifat yang wajib bagi para rasul ada 4 sifat (sidiq. tabligh, amanah, dan fathanah) dan sifat yang mustahil ada 4 sifat (kidzb / bohong, kitman / menyembunyikan, khianat, dan bodoh) serta sifat yang ja’iz ada 1 sifat. 50 sifat ini dinamakan “Aqidatul Khomsin / عقيدة الخمسين “. Artinya: Lima puluh Aqidah.
2. Objek atau Sasaran Ilmu Tauhid (موضوعه): Dzat Allah dan sifat-sifat Allah.
3. Pelopor atau Pencipta Ilmu Tauhid (واضعاه): Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (260 H – 330 H / 873 M – 947 M ) dan Imam Abul Manshur Al-Mathuridi ( 238 – 333 H / 852 – 944 M ).
4. Hukum Mempelajari Ilmu Tauhid (حكمه): Wajib ‘ain dengan dalil ijmali (global) dan wajib kifayah dengan dalil tafshili.
5. Nama Ilmu Tauhid (اسمه): Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Kalam dan Ilmu ‘Aqa’id.
6. Hubungan Ilmu Tauhid dengan Ilmu-ilmu lain (نسبته): Asal untuk ilmu-ilmu agama dan cabang untuk ilmu selainnya.
7. Masalah-masalah Ilmu Tauhid (مسائله): Sifat-sifat wajib, mustahil, dan ja’iz bagi Allah swt dan para Rasul-Nya.
8. Pengambilan Ilmu Tauhid (استمداده): Diambil dari Al-Qur’an, Al-Hadits, dan akal yang sehat.
9. Faedah Ilmu Tauhid (فائدته): Supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia.
10. Puncak Mempelajari Ilmu Tauhid (غايته): Memperoleh kebahagian, baik di dunia maupun akherat dan mendapat ridha dari Allah swt serta mendapat tempat di surga.
****** akhir kutipan ******
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai sarana mengenal Allah.
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Haditsiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn ‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits itu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan itu:
“Sesungguhnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan ada juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam hadits juga mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda dengan mereka yang sekedar mengetahui apa yang dzahir daripada hadits-hadits (khususnya mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits mutasyabihat dengan makna dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.” (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 202)
Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa hadits itu dapat menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih) seperti hadits yang mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya (jika dipahami selalu dengan makna dzahir) membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… dan kesesesatan tersebut di alami Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: ‘Siapa yang berdoa kepadaKu, niscaya Aku mengabulkannya, siapa yang memohon kepadaKu, niscaya Aku memberinya, siapa yang meminta ampun kepadaKu niscaya Aku mengampuninya!”[1]
Berikut pendapat Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat yang diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya yang menamakannya sebagai salafi.
****** awal kutipan ******
Hadits yang disepakati keshahihannya ini, merupakan dalil yang shahih dan gamblang, yang menyatakan turunnya Allah Tabaraka wa Ta’ala ke langit dunia pada setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir.
Turunnya Allah Ta’ala ini sesuai dengan kebesaran dan keagunganNya. Turun merupakan salah satu sifat Fi’liyah. Dia turun ketika Dia menghendaki dan kapan saja Dia menghendaki.
Arti turun telah diketahui, tetapi bagaimana keadaan turunNya itu tidak diketahui, mengimaninya merupakan kewajiban, sedangkan bertanya mengenainya adalah bid’ah.
Demikian pula turunnya Allah pada Hari Kiamat, sebagaimana disebutkan dalam al-Kitab-dan as-Sunnah. TurunNya tidak sama dengan turunnya tubuh manusia dari atap rumah ke tanah, yang mana atap tetap berada di atasnya, tetapi Allah Maha Suci dari hal yang demikian itu.[2]
SUMBER:
Kitab: Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Penulis: Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qathaniy.
Edisi Indonesia: Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah.
Penerjemah: Hawin Murtadho.
Penerbit: At-Tibyan.
FOOTNOTE:
- ^ Diriwayatkan al-Bukhari, Fathul Bari XI/377 dan Muslim I/201.
- ^ Syarh Hadits an-Nuzul, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, halaman 33 dan ar-Raudhah an-Nadiyah, halaman 175. Lafazh hadits ini milik Muslim.
****** akhir kutipan *****
Berikut penjelasan yang menjadi pegangan bagi mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) setelah generasi Salafush Sholeh mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Imam Malik bin Anas ra menghadapi hadits ”Allah turun di setiap sepertiga malam” adalah, yanzilu amrihi ( turunnya perintah dan rahmat Allah ) pada setiap sepertiga malam “adapun Allah Azza wa Jalla, adalah tetap tidak bergeser dan tidak berpindah, maha suci Allah yang tiada tuhan selainNya“ (lihat pada “siyaru a’lamun nubala” 8 / 105 “arrisalatul wafiyah” hal 136 karangan Abi Umar Addani dan dalam kitab al-inshaaf karangan ibnu Sayyit al-Bathliyusi hal 82)
Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahîh Muslim dalam menjelaskan Hadîts an-Nuzûl ini berkata:
****** awal kutipan ******
Sebagaimana telah diberlakukan oleh Malik, dan al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan takwil terhadap hadits ini dengan menentukan makna yang sesuai dengan ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan metode takwil ini para ulama madzhab kedua ini memiliki dua takwil terhadap Hadîts an-Nuzûl di atas.
Pertama; Takwil yang nyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah turunnya rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa rahmat tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan: “Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…” (Raja melakukan suatu perbuatan), maka yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja itu sendiri yang melakukan perbuatan tersebut.
Ke dua; takwil hadits dalam makna isti’ârah (metafor), yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (Karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah)” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, j. 6, h. 36).
***** akhir kutipan ******
Al-Imâm al-Qurthubi, dalam menafsirkan firman Allah: ”Wa al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” (QS. Ali ’Imran: 17), artinya; ”Dan orang-orang yang ber-istighfâr di waktu sahur (akhir malam)”, beliau menyebutkan Hadîts an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut:
****** awal kutipan ******
“Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوّلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا فَيَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَه، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ يُغْفَرُ لهُ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ يُعْطَى
”Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa?! Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?! Maka ia akan diberi.
Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).
****** akhir kutipan *******
Hadits riwayat Imam Nasa’i sejalan dengan hadits yang ada dalam Musnad Ahmad, Tabrani, and al-Bazzar dari `Utsman ibn Abi al-`Ash al-Thaqafi: ”Pintu-pintu surga terbuka ditengah malam dan Malaikat penyeru berseru: ”Adakah orang yang berdoa?! Maka akan dikabulkan baginya…
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri menuliskan sebagai berikut:
******* awal kutipan ******
“Abu Bakar ibn Furak meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah memberikan harakat dlammah pada huruf awalnya; yaitu pada huruf yâ’, (menjadi kata yunzilu) dan objeknya disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudzriy, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا يَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَه
”Sesungguhnya Allah mendiamkan waktu malam hingga lewat menjadi lewat paruh pertama dari malam tersebut. Kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa!! Ia akan dikabulkan”.
Demikian pula pemahaman ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi sabda Rasulullah:
يُنَادِ مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَهُ
”…maka Malaikat penyeru berseru: ”Adakah orang yang berdoa! Maka akan dikabulkan baginya”.
Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata: “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
****** akhir kutipan ******
Berikut penjelasan Habib Munzir AlMusawa, ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yang terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya karena mendapatkan pengajaran agama dari orang tua secara turun-temurun sehingga tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang disampaikan pada http://www.majelisrasulullah.org/2008/11/seruan-allah-swt-di-sepertiga-malam-terakhir-senin-24-november-2008/
****** awal kutipan ******
“Yanzilu Rabbuna tabaaraka wa ta’ala fi tsulutsullailil akhir…”
Maksudnya bukan secara makna yang dzahir Allah itu ke langit yang terdekat dengan bumi
Allah Subhanahu wa Ta’ala turun mendekat kepada hamba Nya di sepertiga malam terakhir maksudnya Allah membukakan kesempatan terbesar bagi hamba hamba Nya di sepertiga malam terakhir.
Sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih dinihari.., kalau malam dibagi 3, sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih, sampai sebelum adzan subuh itu sepertiga malam terakhir, waktu terbaik untuk berdoa dan bertahajjud.
Disaat saat itu kebanyakan para kekasih lupa dengan kekasihnya. Allah menanti para kekasih Nya. Sang Maha Raja langit dan bumi Yang Maha Berkasih Sayang menanti hamba hamba yang merindukan Nya, yang mau memisahkan ranjangnya dan tidurnya demi sujudnya Kehadirat Allah Yang Maha Abadi. Mengorbankan waktu istirahatnya beberapa menit untuk menjadikan bukti cinta dan rindunya kepada Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (lanjutan dari hadits qudsi tadi) “Man yad u’niy fa astajibalahu” (siapa yang menyeru kepada Ku maka aku akan menjawab seruannya).
Apa maksudnya kalimat ini? maksudnya ketika kau berdoa disaat itu Allah sangat….,. sangat… ingin mengabulkannya untukmu.
“Man yasaluniy fa u’thiyahu” (barangsiapa diantara kalian adakah yang meminta pada Ku maka Aku beri permintaannya).
Seseorang yang bersungguh sungguh berdoa di sepertiga malam terakhir sudah dijanjikan oleh Allah ijabah (terkabul). Kalau seandainya tidak dikabulkan oleh Allah berarti pasti akan diberi dengan yang lebih indah dari itu.
“Wa man yastaghfiruniy fa aghfira lahu” (dan siapa yang beristighfar mohon pengampunan pada Ku disaat itu, akan Kuampuni untuknya).
Betapa dekatnya Allah di sepertiga malam terakhir, disaat saat itu orang orang yang mencintai dan merindukan Allah pasti dalam keadaan bangun dan pasti dalam keadaan berdoa.
******* akhir kutipan ******
Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturidi: “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa mengangkat pandangan ke langit karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan seseorang bahwa Allah di dasar bumi karena ia meletakkan muka nya di bumi ketika Shalat dan lain nya, dan juga sama seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/barat karena ia menghadap ke arah tersebut ketika Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” [Kitab At-Tauhid – 75]
Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” [Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal :22]
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Ibnu Batthal berkata: sesungguhnya langit itu qiblat doa, sebagaimana Ka’bah itu qiblat Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika berdoa, karena sesungguhnya langit itu qiblat doa” [Ittihaf, jilid 2, hal 170]. kemudian Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi juga berkata: “Jika dipertanyakan, ketika adalah kebenaran itu maha suci Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud mengangkat tangan dalam doa ke arah langit ? maka jawaban nya dua macam yang telah disebutkan oleh At-Thurthusyi :
Pertama: sesungguhnya angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap Ka’bah dalam Shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.
Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang diangkat nya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-perkara mulia tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit, dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5, hal 244]
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Allah turun ke langit dunia. untuk memahami hadist ini perlu ilmu yg mendalam karna itu dasarx ada di surh Al-Ambiyyah ayat 7 “bertanyalah kpd ahli zikir (orang berilmu) jika kamu tidak mengetahuinya” dan Al-Mujadillah ayat 11. lalu renungkan pepatah ahli zikir” brangsiapa mengenl dirix mk dpt mengnal tuhannya”.
Kenapa anda menolaknya lalu menakwilkannya, karena anda sendiri ketika mendengar hadits ini lalu anda membayangkan bagaimana caranya Allah turun ke langit dunia pada malam hari sementara waktu-waktu di bumi itu berbeda. NAH DISITULAH KESESATAN YANG DOUBLE AKIBAT DARI MENGAGUNGKAN AKAL…
Insya Allah ketika kami membaca atau mendengar kalimat “Allah turun” maka kami secara otomatis teringat firman Allah yang artinya “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (QS.al-Syura : 11). Sehingga membayangkannya pun sudah mustahil. Bacalah kembali tulisan ini https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/05/madzhab_al-asyari1.pdf
Allah menyuruh kita menggunakan akal dalam mempelajari/memaknai/memahami Al-Quran dan Hadits sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (Al Baqarah : 269)
Yang terlarang adalah menggunakan akal untuk membuat hukum atau syariat karena Agama Islam sudah sempurna.
Kalau tidak memikirkan bagaimana cara turunnya Allah, mana mungkin anda menolaknya dan menakwilkannya dengan yang lain ?
karena setelah dipikirkan caranya dan tidak masuk akal, makanya menolak.
Akal itu digunakan untuk menerima dan membenarkan semua apa yang disampaikan dari Nabi SAW tanpa menanyakan bagaimana hakikatnya.
Malaikat jibril tidak ragu-ragu menyampaikan ayat samar kepada nabi muhammad SAW, begitu juga beliau tidak ragu menyampaikannya kepada para sahabat, namun kenapa orang2 asy’ariyah merasa khawatir dalam menyampaikan ayat kepada manusia?
Yang pasti , Allah tidak akan pernah naik lagi dan selalu berada di langit dunia. Kenapa ?. Karena tidak ada bagian langit / bumi yang tidak mengalami malam.
Tks
Ukhti Mawar, prinsip utama adalah Allah tidak bertempat dan berarah. Allah tidak bergantung pada ciptaanNya
Insya Allah ketika kami membaca atau mendengar kalimat “Allah turun” maka kami secara otomatis teringat firman Allah yang artinya “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (QS.al-Syura : 11). Sehingga membayangkannya pun sudah mustahil. Bacalah kembali tulisan ini https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/05/madzhab_al-asyari1.pdf
‘mutiarazuhud’ menafsirkan sabda Rasul diatas menurut versi ahlus sunnah, ahlus sunnah yang mana? tidak disebutkan disitu, ulama mana yang menafsirkan sabda Rasul tersebut seperti apa yang dikatakan Om ‘mutiarazuhud’ ini?
Mutiarazuhud berkata ;
“Sebagaimana dimaklumi bahwa bumi ini bundar. Malam di suatu tempat, siang di tempat lain. Kalau di Indonesia, matahari sudah terbenam dan sudah malam maka di Makkah baru pukul 12 siang. Kalau di Indonesia siang bolong, umpamanya pukul 10 pagi maka dinegeri Belanda, betul-betul pukul 2 malam dan begitulah seterusnya.
Nah kalau Allah turun ke langit dunia sepertiga malam terakhir seperti yang diyakini Ibnu Taimiyah, maka pekerjaan Allah hanya turun-turun saja setiap waktu bagi seluruh penduduk dunia, karena waktu sepertiga terakhir dari suatu malam bergantian di seluruh dunia, sedang Allah hanya satu.”
komentar saya ;
logika berpikir macam apa itu?
tanpa Om sadari, sesungguhnya perkataan Om itu menggambarkan seolah-olah Allah tidak mampu atau mustahil melakukan hal demikian (turun ke langit dunia pada sepertiga malam, padahal waktu di dunia berbeda-beda) dan yang demikian itu hanya akan membatasi keesaan Allah itu sendiri….
ini merupakan logika berpikir yang bathil menurut saya…..
jika yang melakukannya itu adalah makhluk Allah, bisa saja perbuatan itu mustahil, akan tetapi jika yang melakukannya itu adalah Allah Tuhan Semesta Alam tentu saya percaya bahwa Allah akan turun ke langit dunia pada sepertiga malam sesuai dengan kehendak-Nya, walaupun waktu di bumi berbeda-beda dan itu bukanlah hal yg sulit bagi-Nya, mengenai bagaimana cara turunnya, tentu kita tidak perlu mengetahui…..
itulah makanya, kenapa Ibnu Taimiyah melarang kita untuk mempertanyakan sifat dan cara bagaimana Allah turun ke langit dunia, karena dikhawatirkan umat muslim akan berpikiran seperti Om ‘mutiarazuhud’ yg terlalu mengedepankan akalnya…..
Supaya tidak ada orang yang akan mempertanyakannya dan mengembalikan pemahamannya kepada ayat yang muhkamat seperti ayat, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (QS.al-Syura : 11)
Berangkat dari ayat yang muhkamat ini, maka akan dapat kita disimpulkan bahwa Allah
itu ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah.
Maka ambillah pelajaran (hikmah) dari ayat-ayat mutasyabihat tersebut. Hikmah tersebut merupakan karunia dan dikaruniakan Allah kepada siapa yang dikehendakinya dan mau mempergunakan akalnya, sebagaimana Allah sampaikan dalam firmanNya yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).
Ibnu Taimiyah dan kawan-kawan salah paham seolah-olah kami “mengedepankan” akal. Sebagaimana firman diatas Allahlah yang menganjurkan kita menggunakan akal untuk “mengambil pelajaran” dari firman Allah.
Yang terlarang adalah menggunakan akal untuk membuat/merubah hukum, dalil, nash-nash karena Islam telah sempurna.
Oleh karena dari “menggunakan akal” untuk “mengambil pelajaran” maka kita menjadi “yakin” kemudian setelah itu kita akan menjadi “ainul yakin” (“melihat”) dan “haqul yakin” (“merasakan”).
Dalami lagi tulisan berikut https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/05/madzhab_al-asyari1.pdf
iya saya sudah tau, bukankah memang telah diperingati sebelumnya oleh Ibnu Taimiyah agar kita umat muslim tidak mempertanyakan bagaimana sifat dan cara Allah turun? karena turunnya Allah tentu tidak sama seperti turunnya makhluk Allah…..
Yg saya permasalahkan disini adalah bahwa Om telah membuat perumpamaan-perumpamaan bathil bahwa seolah-olah Allah tidak mungkin turun ke langit dunia pada sepertiga malam karena waktu didunia itu berbeda-beda dan saya mengartikan kalo perumpamaan Om tsb telah membatasi keesaan Allah, pola pikir yang seperti itulah yg saya tidak setuju !
kalo soal Allah tidak sama dengan makhluk-Nya, jelas itu tidak bisa kita pungkiri lagi….
Mengenai Q.S.al-Syura : 11 tsb, ulama mana yang menggunakan ayat tersebut sbg dalil bahwa Allah itu ada tanpa tempat dan tanpa arah? tanpa tempat itu maksudnya ada di mana-mana tempat atau bagaimana? rancu sekali penafsirannya…..
Jika Allah tanpa tempat dan arah, lalu dimana Dzat Allah berada? Bagaimana jika nanti ada seorang non muslim bertanya kpd kita dimana Allah? dimana Tuhan yang kamu (umat muslim) sembah sehari 5 kali berada?
Allah memang menganjurkan kita untuk menggunakan akal kita, akan tetapi bukan berarti kita bebas menggunakan akal kita untuk menafsirkan ayat Allah dan sabda Rasul tanpa ilmu dengan hanya mengatas namakan klaim semata bahwa kita telah mendapatkan ‘al-hikmah’ dari Allah.
Jika seperti itu, Mirza Ghulam Ahmad-pun mampu.
Bisa saja nanti datang orang bodoh yg mengaku-aku bahwa dia adalah termasuk orang yang telah dianugrahkan ‘al-hikmah’ (kepahaman tentang Al-Quran dan Sunnah) oleh Allah dan sudah mampu ‘mengambil pelajaran’ dari Al-Quran dan Hadits, lalu ia menafsirkan Al-Quran dan Hadits berdasarkan akal dan hawa nafsunya sendiri lalu ia sebarkan penafsirannya itu sebagaimana yg pernah dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad.
Mereka (Ahmadiyah) sesat dan kufur bukan karena mereka mengingkari ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Nabi, mereka sangat patuh dan taat terhadap dalil Al-Quran dan Hadits, akan tetapi kekufuran mereka adalah menafsirkan ayat dan sabda Nabi menurut akal dan hawa nafsunya sendri.
Itulah yg membuat mereka ‘keluar’ dari Islam, menafsirkan menurut akalnya sendiri, tafsiran-tafsiran yg tidak pernah dijumpai pada masa Sahabat, Tabi’n dan Tabi’ut Tabi’in.
Prinsipnya “mengambil pelajaran” tetap dalam batasan Al-Qur’an dan Hadits.
Begitu juga yang berhak menta’wilkan sudah diuraikan di https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/tawil/
Sedangkan kaum liberalisme sudah jelas ber paham yang “membebaskan” manusia terhadap aturan Allah / Agama.
Selengkapnya ada di tulisan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/01/18/sekularisme-pluralisme-dan-liberalisme/
@ yusuf ibrahim
anda bilang :
Jika Allah tanpa tempat dan arah, lalu dimana Dzat Allah berada? Bagaimana jika nanti ada seorang non muslim bertanya kpd kita dimana Allah? dimana Tuhan yang kamu (umat muslim) sembah sehari 5 kali berada?
saya jawab :
kata dimana tidak perlu ditanyakan kepada Allah secara hakiki, karena kata dimana adalah menunjukkan arah, dengan menanyakan dimana, maka pikiran anda pasti membayangkan Dzat Allah sesuai gambaran asal kata ‘dimana’..
kalau ada orang non muslim bertanya dimana ALlah?
akan saya tanya kepada mereka lebih dulu, memang bagaimana anda mengenal Tuhan, apakah definisi Tuhan dalam pandangan anda…
mereka pasti menjawab, Tuhan adalah Pencipta..
nah kalau sudah tahu dan yakin 1000000 persen kalau Tuhan adalah Pencipta, kenapa masih menggambarkan Tuhan seperti makhluq yang terikat dengan arah, tempat dan waktu…
sama saja mereka telah mengeluarkan kata TUhan dari definisi asalnya yaitu Pencipta..
kalau mereka membantah, lho kok bisa,,,
memang ARAH itu bukan ciptaan
memang WAKTU itu bukan ciptaan
memang TEMPAT itu bukan ciptaan..
Filsafat tentang ketuhanan itu hanya digeluti oleh orang2 yang tidak punya agama.
Filsafat itu tidak ada habisnya, bahkan banyak para ulama yang bertobat dari ilmu itu yang diciptakan oleh orang Yunani ..
Nabi Muhammad SAW telah menyampaikan apa yang perlu diketahui oleh Manusia ..
Makanya kita harus berpegang teguh terhadap para sahabat yang dijamin PEMAHAMANNYA oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW
Teori itu hanya dijamin oleh aqal sendiri yang disangka baik dan benar
@ Saudara mumetzwae
Sebelum anda menolak arah, waktu, dan tempat bagi Allah pasti terlebih dahulu anda pasti membayangkan bahwa Allah ada di suatu tempat, mengarah ke arah mana, dan terikat waktu, lalu anda membuyarkannya bayangannya itu dan menolaknya.
@ saudara mumetzwae
Jadi dimana Allah menurut anda? setelah penjelasan anda panjang lebar kesimpulannya apa?
Allah itu beserta kekasihnya.
Siapa menemui kekasih Allah ia mengenal Allah.
Yang mengenal Allah maka adalah agama baginya.
Yang dapat beragama selamatlah ia.
@ yusuf ibrahim
kalau anda ingin mengetahui ALlah dalam al qur’an dan sunnah, lihatlah surat Al Ikhlas,,,
apakah makna surat tsb tidak cukup jelas bagi kita?
Tak akan mengenal Allah dengan membaca Quran.
Walau beribu kali khtam sekalipun.
setuju mas Adi …….
pernah kah anda brfkr bahwa anda bsa mlhat apa yg anda lihat
tajjali ny allah tak mmbuat kita ragu lagi tk mngnal allah yg srba mha
wahabi ngaco lagi…..
pertanyaan ana banyak sekali kepada penulis artikel maupun pemilik blog:
1) kenapa yang disebutkan hanya Ibnu Taimiyah saja, padahal ada begitu banyak ulama ahlus sunnah yang sepemahaman dengan beliau. katakanlah ada Al Ajurri, Hammad bin Abi Hanifah, Fudhoil bin Iyadh, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abdil Barr, Utsman bin Sa’id Ad Darimi, Ash Shobuni, Ibnu Rohuyah, Ibnul Mubarok, dll?
2) kenapa tidak disebutkan siapa ulama yang membantah beliau dan bagaimana bantahannya dan bagaimana pula jawaban Ibnu Taimiyah atas bantahan ulama tersebut?
3) kenapa bantahannya main akal-akalan sendiri padahal ngakunya pengikut sahabat nabi dan ulama ahlus sunnah?
jika alasan “tidak masuk akal” dipakai untuk menentang wahyu, akan ada begitu banyak wahyu (Alquran dan Assunnah) yang harus dibatalkan atau ditakwil. misalnya:
tidak mungkin matahari akan didekatkan sampai sehasta pada hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar dengan alasan suhunya akan membuat leleh apa saja yang ada di dekatnya.
tidak mungkin Rasulullah melakukan perjalanan bolak balik dari madinah ke palestina dalam waktu hanya semalam dengan alasan kendaraan pada zaman itu tidak ada yang mampu melakukannya.
tidak mungkin tongkat Nabi Musa berubah jadi ular, tidak mungkin Nabi Sulaiman menguasai jin dan binatang, tidak mungkin Nabi Yunus selamat setelah dimakan ikan, tidak mungkin mu’minin menang pada perang Badr, tidak mungkin Abu Hurairah menjadi penghafal hadits no 1, tidak mungkin sungai Nil tunduk pada kertas surat yang ditulis Umar, dan lain-lain. semuanya dibatalkan dengan alasan tidak masuk akal.
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Imam Bukhori menukil dari Imam Az Zuhri bahwa beliau berkata: “Wahyu itu dari Allah, Rasulullah hanya menyampaikan, kewajiban kita hanyalaha pasrah dan tunduk” (Fathul Bari 13/512)
MAN ‘ARAFA NAFSAHU FAQAD ‘ARAFA RABBAHU
(Siapa yang kenal dirinya akan Mengenal Allah)
tidak cukupkah hal ini untuk kajian ??? kenapa kita debat mengenai bagaimana, dimana , Alloh ??? kenapa kita nggak berusaha menemuiNya berserah diri ke HadiratNya ?????
Allah itu dekat…. bahkan lebih dekat dari urat nadi kita…….. Dia tidak pernah jauh karena Dia meliputi.. kalau seandainya kata -Turun- dinisbatkan kepada Allah seperti Makhluq maka logika kita akan rancu…… banyak hadist dan ayat yang harus kita fahami…. itulah gunanya akal yg dianugrahkan kpd kita…. jdi saya lebih cendrung dengan pemahaman ahlussunnah wal jamaah bhwa bukan turun secara fisikli…… baca juga hadist “jika kamu mendekat kepada Allah berjalan maka Dia akan mendekati kamu dengan berlari”.. kalau diartikan secara harfiah kan terasa aneh….. jadi jangan ragu gunakan akalmu karena agama itu untuk orang-orang yg berakal… dan orang yg tidak berakal tidak dikenakan kewajiban dalam syari’at sebagaimana orang yg berakal tidak wajib sholat…. yang penting niat dan itikad kita…. segala sesuatu tergantung niatnya…..
Alhamdulillah, kami sepakat dengan apa yang telah disampaikan kang iyan,
hadist “jika kamu mendekat kepada Allah berjalan maka Dia akan mendekati kamu dengan berlari” telah terurai dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/17/miraj/
Sedangkan kewajiban menggunakan akal dalam memahami Al Qur’an dan Hadits telah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/15/pahamilah-dengan-hati/ dan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/16/dalil-akal/
Silakan baca link berikut :
http://abiubaidah.com/turunnya-allah-ke-langit-dunia.html/
Terima kasih mas Sadino, mas telah mencontohkan lagi ulama yang tidak bermazhab yakni ulama Muhammad Yusuf bin Mukhtar bin Munthohir As-Sidawi atau ulama Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi.
sanad hadits sama pentingnya dengan sanad ilmu / sanad guru.
Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.
Salah satu cara mempertahankan sanad ilmu atau sanad guru adalah dengan mengikuti pendapat/pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau sanad guru, berhenti pada akal pikirannya sendiri dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan.
wk wk wk… pengen ketawa gak enak..
baca komen2nya..subhanallah.. sufi emang aneh..
buktikan saja besok di akhirat..
wassalam,
Maaf, ane bukan dari golongan mana pun, termasuk bukan dari golongan tasawwuf.
sekadar menyampaikan:
Laysakamitlihi syai’un, Allah tidak ada seumpama-Nya. Mahasuci Allah dari jihaat, a’rad, jisim, jirim dan sifat-sifat lainnya yang ada pada makhluk. Mohon diiqra lebih dalam pengetahuan tauhid soal zat-sifat dan dan zat-sifat.
Bukan sombong bukan angkuh:
Demi Allah wa Rasulullah, saat ini detik ini aku melihat Allah.
ingat: perintah yang pertama turun itu=> iqra bi Ismi Rabbika ladzi khalaq.
@salafi and wahabi di atas:
Iqra with ur grey cells in the head and syncronize it with the light in ur heart (eeman)
masa pada gak nyadar sih telah mempersonifikasi Allah. perbarui syahadatmu sebelum terlambat.
Turunnya Allah Ta’ala ini sesuai dengan kebesaran dan keagunganNya. Turun merupakan salah satu sifat Fi’liyah. Dia turun ketika Dia menghendaki dan kapan saja Dia menghendaki.
Arti turun telah diketahui, tetapi bagaimana keadaan turunNya itu tidak diketahui, mengimaninya merupakan kewajiban, sedangkan bertanya mengenainya adalah bid’ah.
“Seperti itulah pendapat Ibnu Thaimiyah, beliau tidak berani menyamakan turunnya Allah seperti turunnya makhluk..”
Bandingkan dengan pendapat Mutiara Zuhud..
Kalau fatwa beliau dibuka / dipahami pada abad sekarang maka orang semua akan mentertawakannya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa bumi ini bundar. Malam di suatu tempat, siang di tempat lain. Kalau di Indonesia, matahari sudah terbenam dan sudah malam maka di Makkah baru pukul 12 siang. Kalau di Indonesia siang bolong, umpamanya pukul 10 pagi maka dinegeri Belanda, betul-betul pukul 2 malam dan begitulah seterusnya.
Nah kalau Allah turun ke langit dunia sepertiga malam terakhir seperti yang diyakini Ibnu Taimiyah, maka pekerjaan Allah hanya turun-turun saja setiap waktu bagi seluruh penduduk dunia, karena waktu sepertiga terakhir dari suatu malam bergantian di seluruh dunia, sedang Allah hanya satu
“Jelas Mas zuhud menyamakan Allah dengan makhluqNya. seolah Allah terbatas oleh ruang dan waktu..Mas Zuhud, Antum berbicara tentang dzat yang tidak kita ketahui betapa Maha Perkasa dan Maha Segalanya..kenapa justru antum menyamakan Allah dengan makhlukNya, seperti terbatas oleh ruang dan wakyu. Allah Maha segalanya mas, sedangkan ibnu Thaimiyah tidak berani dengan mengatakan.”keadaan turunNya itu tidak diketahui, mengimaninya merupakan kewajiban, sedangkan bertanya mengenainya adalah bid’ah.”Makanya jangan pake akal mas…salam ukhuwah..
Dan berkata ibnul ‘Arobiy, “Dihikayatkan mengenai al-mubtadi’ah (pelaku bid’ah) yang menolak hadits-hadits ini, dan mengenai kaum salaf yang menerimanya, dan mengenai kaum yang mena’wilnya –dan dengannya aku berpendapat. [Ibnul ‘Arabiy termasuk kaum yang mena’wil]. Adapun perkataan ‘turun’ itu kembali kepada perbuatan Allah, bukan kepada dzat-Nya. Bahkan yang demikian itu merupakan ungkapan tentang malaikat-Nya yang turun dengan perintah-Nya dan larangan-Nya. Dan ‘turun’ sebagaimana berlaku dalam materi, juga berlaku dalam ma’nawi. Maka jika terkandung dalam hadits itu atas materi, maka itu sifat malaikat yang diutus dengan membawa perintah dan larangan Allah. Sedangkan jika konteksnya ma’nawi, dengan ma’na bahwa dia belum melakukan kemudian melakukan, maka dinamakan yang demikian itu ‘turun’ dari satu martabat kepada martabat lainnya. Ini merupakan bahasa ‘Arab yang benar.”.
Ringkasnya, bahwa ibnul ‘Arabiy mena’wilkan ‘turun’ dengan dua sisi. Bisa berma’na turun perintah-Nya atau malaikat bersama perintah-Nya, dan bisa juga merupakan isti’arah (penggunaan kalimat yang tidak dalam pengertian sebenarnya) untuk mengungkapkan sikap lembut terhadap orang-orang yang berdoa serta mengabulkan permohonan mereka. Telah dihikayatkan Abu Bakr bin Fawrak bahwa sebagian dari para syaikh mendhommah huruf ya (menjadi yunzilu), yakni yunzilu malakan (diturunkanlah malaikat). Hikayat ini dikuatkan hadits yang diriwayatkan an-Nasa`i dari jalan al-Agharr dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id dengan lafazh, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah menangguhkan hingga berlalu separuh malam, kemudian memerintahkan penyeru untuk berkata, ‘Adakah yang berdoa? Maka diijabah baginya.’” (al-Hadits).
Sedangkan dalam hadits Utsman bin Abil ‘Ash:
Berserulah penyeru, “Adakah yang berdoa, supaya diijabah baginya.”
قَالَ الْقُرْطُبِيُّ وَبِهَذَا يَرْتَفِعُ الْإِشْكَالُ وَلَا يُعَكِّرُ عَلَيْهِ مَا فِي رِوَايَةِ رِفَاعَةَ الْجُهَنِيِّ يَنْزِلُ اللَّهُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُول لَا يسْأَل عَنْ عِبَادِي غَيْرِي لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْفَعُ التَّأْوِيلَ الْمَذْكُورَ
Berkata al-Qurthubi, “Dengan riwayat-riwayat ini, maka selesailah persoalan yang ada, dan ia tidak dapat dipertentangkan dengan dengan riwayat Rifa’ah al-Juhani, ‘Allah turun ke langit dunia kemudian berfirman: Tidak ada yang menanyai tentang hambaKu selain Aku’ Sebab dalam riwayat ini tidak ada yang menolak ta’wil tersebut.
وَقَالَ الْبَيْضَاوِيُّ وَلَمَّا ثَبَتَ بِالْقَوَاطِعِ أَنَّهُ سُبْحَانَهُ مُنَزَّهٌ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالتَّحَيُّزِ امْتَنَعَ عَلَيْهِ النُّزُولُ عَلَى مَعْنَى الِانْتِقَالِ مِنْ مَوْضِعٍ إِلَى مَوْضِعٍ أَخْفَضَ مِنْهُ فَالْمُرَادُ نُورُ رَحْمَتِهِ أَيْ يَنْتَقِلُ مِنْ مُقْتَضَى صِفَةِ الْجَلَالِ الَّتِي تَقْتَضِي الْغَضَبَ وَالِانْتِقَامَ إِلَى مُقْتَضَى صِفَةِ الْإِكْرَامِ الَّتِي تَقْتَضِي الرَّأْفَةَ وَالرَّحْمَةَ
Dan berkata al-Baydhawi, “Setelah tetap dengan nash-nash qath’i bahwa Allah subhanahu wa ta’ala suci dari kematerian dan tidak mungkin atas Allah itu turun dalam arti berpindah dari satu tempat ke tempat yang lebih rendah darinya, maka yang dimaksud turun itu adalah cahaya kasih-sayang-Nya, ya’ni berpindah dari sifat keagungan yang menetapkan kemurkaan dan kemarahan kepada sifat kemurahan yang menetapkan kelembutan dan kasih-sayang.”……..
Oke mas Mamo, gimana mas Mamo memahami ayat ini,,,,
Dan tatkala Musa datang untuk (bermunajat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Allah telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Rabb-ku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Allah menjawab: Kamu sekali-kali ti”dak akan sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap ada di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Rabb-nya menampakkan diri pada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang yang pertama-tama beriman”. (al-A’raaf: 143)
Gimana kira-kira mas, Allah itu tidak bisa di jangkau dengan apapun mas, jadi mas, gimana, kalo misalnya gunung itu tidak hancur, niscaya Musa bisa melihat Allah turun ke bumi, tapi dari perkataan Allah, bahwa kamu Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku, menunjukkan betapa Allah Maha segalanya mas, jadi apakah salah kalo Allah turun ke langit dunia,, jangan pake akal mas, gak bisa Allah di akal-akali..
Justru yg bilang Allah turun ke langit bumi itu menggunakan akal, jelas menggunakan akal betapa tidak disangkanya Allah berkaki seperti mahluknya dg kata2 “turun” saya jauh lebih sependapat dengan mutiarazuhud yg berpendapat bahwa rahmatNya yg turun bukan AllahNya yg turun, sebab rahmat itu mahluk Allah itu kholik yg menciptakan mahluk jadi sangat2 mustahil Allah disamakan dengan mahluknya seperti yg dikatakan ibnu taimiyah semoga Allah mengampuni ke khilafannya dalam menafsirkan kalamullah
milik allah lah segala penjuru arah…arah adalah ciptaan allah
kehadiran allah lebih intens dr segala keintesan semua kehadiran bahkan kehadiran tak mampu menghadir tanpa izin dr kehadiran utama..kehadirn ini meliputi segala keahidran bahkan kehadiran ini semata mata kehadiran teramat mendalam merasuk kedalam segenap penjuru arah mata angin…tanpa kehardiran ini tak mampu kehadiran apapun untuk mengada, IA maha meliputi segala sesuatu sedangkan semua kehadiran tak mampu untuk meliputinya jauh dari segenap pemikiran dan angan
IA Lah allah yang maha meliputi segenap segala tanpa terliputi oleh segenap segala bahkan tanpa liputannya tak ada satupun yang mengada mampu untuk eksis dan menerima kucuran rahmatnya
wallahu alam
mau gimnapun komen dan artikelnya yang penting I LOVE LLAH
terimakasih atas ilmunya
Alhamdulillah, semoga bermanfaat.
Kalau ada waktu baca pula tulisan terbaru pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/28/akibat-secara-otodidak/
Assalamualaikum wr.wb
coba pikirkan surat al qadar saat turunnya Alquran di malam hari.
(1). إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan.
yg mulya itu apanya ?
malam itu ? atau alquran yg di turunkan?
jika malam itu yg mulya berarti wilayah yg terang saat itu tentu tidak mulya.
tetapi apabila alquran yg mulya jelaslah bahwa alquran adalah rahmat bagi wilayah terang dan malam.
Alquran sengaja diturunkan pada malam hari agar kita mengerti bahwa alquran adalah petunjuk yg terang.
mengenai Allah turun setiap malam ke langit dunia, saya hanya senyum saja.
ingatlah ayat dibawah ini:
Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3:31)
Ayat ini tidak sebaliknya, apabila terjadi sebaliknya maka terjadilah hal-hal demikian.
wassalamualaikum wr.wb,
ustadz sayyid habib yahya