Hati-hati memahami bid’ah
Kaum muda (yang baru berusaha memahami agama agar lebih baik) harus berhati-hati memahami bid’ah.
Saat ini ada sebagian muslim yakni kaum salaf(i) (beda dengan Salaf) sering menggunakan label “ahlul bid’ah” bagi saudara-saudara muslim lain diluar jama’ah mereka. Sampai-sampai mereka memutus silaturahmi, berlepas diri, meng-hajr (boikot/isolir) bahkan ada yang keji menganggap boleh dibunuh karena menganggap saudara muslimnya telah kafir. Naudzubillah min zalik.
Saat ini ada sebagian muslim “membiarkan” penderitaan saudara-saudara muslim kita di Palestina, Irak, Afghanistan, Somalia dan lain-lain hanya karena melabelkan mereka tidak melaksanakan keimanan sesuai syari’at atau melabeli sebagai kaum ahlul bid’ah.
Berhati-hatilah dan ingatlah Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya,
“Akan keluar suatu kaum akhir zaman, orang-orang muda berpaham jelek. Mereka banyak mengucapkanperkataan “Khairil Bariyah” (maksudnya firman-firman Allah yang dibawa Nabi). Iman mereka tidak melampaui kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama sebagai meluncurnya anak panah dari busurnya, Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu lawanlah mereka” (Hadits sahih riwayat Imam Bukhari).
Kita harus pahami apa yang dimaksud bid’ah, Kalau salah memahaminya malah bisa menjurus seperti orang berpaham sekulerisme yang jelas-jelas telah disepakati para ulama sebagai paham terlarang.
Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya
“Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak” (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)
Arti kata-kata “dalam urusan kami” ialah urusan keagamaan, karena Nabi Muhammad Saw, diutus Allah untuk menyampaikan agama. Maka dari hadist ini dapat diambil pengertian bahwa kalau dalam urusan keduniaan atau ghairu mahdah boleh saja diadakan asal tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Hati-hati kalau kita menganggap ada perbuatan muslim didunia ini bukanlah ibadah
Allah berfirman yang artinya,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Az Zariyat : 56)
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (al Hijr : 99)
Apapun perbuatan kita di dunia ini sampai kematian menjemput, seluruhnya dalam rangka beribadah kepada Allah.
Hanya orang-orang yang berpaham sekularisme saja yang dapat memisahkan, ini urusan ibadah, ini urusan dunia (bukan ibadah)
Seperti contoh orang yang berslogan “Islam Yes, Partai Islam No”. Ini sebuah kekeliruan yang besar !.
Berpartai haruslah merujuk kepada Al-Qur’an dan hadits sebagai petunjuk dan pegangan hidup kita.
Setiap perbuatan / ibadah / amaliyah kita di dunia harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Jikalau perbuatan / ibadah / amaliyah itu tidak ada dicontohkan oleh Rasulullah, maka periksa apakah perbuatan / ibadah / amaliyah tersebut termasuk yang dilarang dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Klo dilarang maka kita tinggalkan, klo tidak ada larangan maka boleh kita kerjakan dalam rangka mengabdi / beribadah kepada Allah inilah umumnya kita kenal sebagai ghairu mahdah atau ibadah bersifat umum.
Jadi apapun perbuatan / ibadah / amaliyah kita di dunia hanya bisa masuk kategori mahdah (ibadah) atau ghairu mahdah (ibadah umum).
Ada perbuatan yang sudah dicontohkan Rasulullah dan harus kita ikuti sedangkan yang tidak dicontohkan, boleh kita kerjakan jika tidak ada larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Inilah yang Nabi Muhammad Saw sampaikan, “antum a’lamu bi umuri dunyakum” yang artinya, “Kalian lebih tahu dalam urusan dunia kalian” (Hadits Riwayat Muslim). Namun sekali lagi harus diingat semuanya merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits sebagai petunjuk/pedoman bagi kita mengarungi dunia.
Untuk mengetahui cara “mengambil pelajaran” dari sekumpulan hadits tentang bid’ah, silahkan lanjut dengan membaca tulisan di https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/20/bidah/
adalah sesat orang yang mengatakan memakai tasbeh dan sajadah itu bid’ah, yang parah itu orang mati jangan didoakan dan ditahlilkan, cukup dilempar ke lubang dan kubur seperti hewan saja.
Saya mau tanya, menterjemahkan bacaan shalat ke dalam bahasa Indonesia itu perbuatan baik atau buruk?….
kalau perbuatan buruk apa alasannya, kalau perbuatan baik kenapa gak dipublikasikan sebagai bentuk perkembangan bid’ah hasanah yang anda bela?…..
kenapa dari dulu statis, gak ada perkembangan bid’ah hasanah?
dahulu utsman adzan 2 kali pada shalat jum’at, kenapa anda tidak menambahnya jadi 3 atau 10 x pada shalat jum’at, bukankah lebih banyak lebih baik?
Anda tau gak kenapa bid’ah hasanah tidak berkembang dan kenapa tidak ada yang kreatif sampai sekarang?
karena Allah tidak mau sunnah sampai terhapus di muka bumi ini dengan bid’ah2….
jangan cuma kirimkan alfatihah 10 x saja, tapi kirimkan shalat 100 rokaat buat kiriman pahala…. itu lebih baik kan?
Tentang tata cara sholat kita wajib mengikuti syariat. Semua yang termasuk rukun Islam tidak diperkenankan untuk diubah maupun ditambah. Ini termasuk urusan agama
Semua yang telah ditetapkan dalam Islam tidak boleh dirubah atau ditambah.
Sekarang saya minta, coba anda sebutkan bid’ah2 hasanah yang lainnya yang belum ada, sesuai keluasan kreatifitas anda tapi yang baik-baik ya.. jangan cuman tahlilan dan qunut subuh…
Perasaan anda menjawabnya gak pernah detil dan memahami tulisan di atas..
belum puas saya….
Bid’ah hasanah umumnya termasuk kedalam ghairu mahdah (ibadah umum).
Ibadah umum beberapa dicontohkan oleh Rasulullah dan disunahkan untuk mengikuti , namun sebagian lagi diserahkan kepada manusia sesuai keinginan, teknologi atau zaman seperti bekerja, berdoa/berzikir, berjama’ah, sedekah, infaq, belajar / menuntut ilmu, metode pengajaran, berpolitik, menggunakan safety belt ketika berkendara mobil, menggunakan pedal rem ketika menjalankan kendaraan, menggunakan helm ketika berkendara motor, berangkat naik haji menggunakan sarana transportasi yang lebih baik seperti dengan pesawat terbang. Yang perlu diingat bahwa “semua yang diserahkan kepada manusia” itu tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Inilah yang disebut dengan mengikuti petunjuk Allah atau pegangan hidup manusia mengarungi dunia yakni Al-Quran dan Hadits.
Mohon baca kembali tulisan saya di https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/20/semua-ibadah/
Jadi singkatnya gimana hukumnya menterjemakan bacaan shalat ke dalam bahasa Indonesia gituh….
Apakah bid’ah hasanah atau bid’ah dolalah ?
itu saja….
Maksudnya sholat dengan menggunakan bahasa Indonesia ?
Kalau itu sudah jelas masuk kedalam bid’ah dholalah
Ini sesuai dengan hadits yang mengkhususkan mengenai “urusan kami”
Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya
“Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak” (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)
Tolong baca kembali bagaimana cara “mengambil pelajaran” dari sekumpulan hadits mengenai bid’ah
Supaya antum tidak terjerumus kepada sekularisme, maka pahami juga tulisan berikut mengenai bid’ag
Ibadah dan semua tata cara ibadah itu adalah urusan nabi muhammad SAW tidak boleh ditambahkan atau diganti meskipun itu TUJUANNYA BAIK.
Mengganti bacaan shalat ke dalam bahasa indon
Menambahkan sayyidina dalam tahyiat
Melafadkan niat usholli
Menambahkan adzan di jum’at
Shalat nifsyu syaban 100 rokaat
Tahlilan & maulidan
Itu semuanya masuk ke dalam perkara bid’ah, kalo mau dibilang hasanah tentu yang pertama itu yang paling hasanah…
Cuman urusan gampang, mikir gini aja sampai berhalaman halaman, semua bid’ah sesat, bid’ah dalam syar’i hanya dalam agama, sedang urusan dunia bukan bid’ah dalan pembicaraan agama ini, dan bid’ah dunia gak perlu dipersoalkan, sudah jelas banget, saya yang bukan ustad saja malah gampang kok mikirnya, gak usah jlimet tp gaj ketemu maksudnya. Wallohu ‘alam
Mas Abu Iqbal, Rasulullah memang telah menubuatkan dalam sabdanya bahwa kelak akan timbul fitnah dan perselisihan dari orang-orang Arab sendiri yakni orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim.
Mereka berpendapat atau berfatwa namun menguasai bahasa Arab sebatas artinya dan berbekal makna dzahir saja sehingga mereka akan menghempaskan anda ke neraka jahannam
Dari Khudzaifah Ibnul Yaman ra, Rasulullah bersabda mereka adalah penyeru menuju pintu jahannam, barangsiapa yang memenuhi seruan mereka maka mereka akan menghempaskan orang-orang itu ke dalamnya
دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا
Khudzaifah Ibnul Yaman ra bertanya
يَا رَسُوْلُ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا قثلْتُ
“Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka! Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita. (HR Bukhari)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Samalah dengan bangsa kita , seberapa banyak orang yang menguasai tata bahasa dan sastra Indonesia?
Jadi walaupun orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim, bahasa ibunya adalah bahasa Arab namun tidak mendalami dan menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab kemudian mereka menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits, lalu menyatakan pendapat atau menetapkan fatwa maka mereka akan sesat dan menyesatkan.
Untuk memahami Al Qur’an dan Hadits tidak cukup dengan arti bahasa saja dan apalagi hanya berbekal makna dzahir saja.
Oleh karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diperlukan kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain.
Kalau tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut kemudian berpendapat, berfatwa atau beristinbat, menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits maka akan sesat dan menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
saudara salafi , janganlah bertanya tentang hal yg tdk saudara punya ilmu pengetahuannya, tapi seolah tahu jawabannya.
Saya kan cuma mau kasih masukan buat bikin bid’ah bid’ah hasanah yang baru, yang belum pernah diciptakan sebelumnya …
Ayo dong kreatif….
Cara mengenali bid’ah opo bukan.
Kalau jaman Rasul hal tsb gak pernah dilakukan lantas sekarang kok dilakukan itu namanya inovasi.Padahal inovasi itu baik kalau soal teknologi malah wong2 do kon bid’ah teknologi.Tapi kalau perkara gaib harus persis dg rasul.Misal:
1.Dulu doa qunut itu asalnya dibaca saat solat witir,dengerlah kalau ada siaran tarwih dari masjidil haram nanti kan ada Allahuma fini fiman hadaid dsb.
jadi kalau kita pindah itu kita podo wae bikin syariat baru itu namanya nyaingi Nabi.
2.Kalau kita agak lama dimakam Rasul kan diusir askar lakok dimakam Sunan sampai tahlil lengkap itu juga bid’ah.Sebab ibadah kok sampai syafar itu hanya boleh ke Makah dan Madinah,gak boleh kita kok mau beribadah di Tuban tempatnya makam Sunan Bonang.Mertua saya sendiri senengannya begitu dan beliau pasti bisa kontak ketika wirid dimakam makane njur seneng.Tapi yg nemui tadi Sunan Bonang opo jin kan kita gak tahu.Dan mertua saya memang bisa jadi ampuh la tapi kalau itu dari jin untuk opo?Rasul aja kan wantahan ketika Uhud juga berdarah,juga luka gak dugdeng enggak.
Tawangalun.
Cara mengenali bid’ah lebih lanjut, silahkan baca dua tulisan terkait di sini,
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/18/2010/04/20/semua-ibadah/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/18/2010/04/20/bidah/
Mohon dibaca keseluruhan tulisan yang berhubungan dengan bid’ah.
kalo memang Om ‘mutiarazuhud’ ini meyakini adanya bid’ah hasanah, coba jelaskan kepada saya ;
1. apa batasan2 suatu perbuatan itu dikatakan bid’ah hasanah? perlu diketahui batasan2nya agar umat muslim tidak terjerumus kepada perbuatan bid’ah yang dholalah.
2. apakah setiap perbuatan yang didasari dengan niat yang baik bisa dikategorikan sebagai bid’ah hasanah?
Sudah saya jelaskan dalam tulisan tentang bid’ah di
dan di
mohon periksa kembali
oke, sudah bisa saya pahami bahwa bid’ah hasanah adalah suatu perkara baru yg tidak ada larangannya baik di dalam Al-Quran dan Hadits.
lalu, saya ingin tanya, bagaimana hukumnya jika kita melakukan adzan sebelum makan? atau adzan terlebih dahulu sebelum kita memulai pekerjaan? bolehkah? bisakah kita masukan amaliah tersebut sebagai bid’ah hasanah? bukankah perbuatan itu tidak ada larangannya? bukankah adzan merupakan syi’ar paling besar dalam Islam?
jika tidak bisa dimasukan ke dalam bid’ah hasanah, kenapa amaliah tersebut tidak termasuk bid’ah hasanah?
Maaf, apa yang akhi tanyakan ini merupakan cerminan kaum Salafi. Kaum salafi ada kecenderungan “langsung” bertindak atau “menilai” saudara muslim lainnya atau membuat pertanyaan hanya berdasarkan sebuah kemampuan pemahaman atau bahkan berdasarkan sebuah pernyataan.
Dalam hal pertanyaan diatas diajukan hanya berdasarkan sebuah pernyataan/pemahaman bahwa: “bid’ah hasanah adalah suatu perkara baru yg tidak ada larangannya baik di dalam Al-Quran dan Hadits” Padahal pernyataan/pemahaman tersebut ada dalil-dalil terkait.
Sebagaima telah saya uraikan mengenai cara mengambil pelajaran dari sekumpulan hadits tentang “bid’ah” dalam tulisan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/20/bidah/ (mohon baca dan pahami kembali)
Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya
“Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam “urusan kami” ini maka sesuatu itu ditolak” (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)
Dalam hal ini sudah tegas dikatakan kalau “urusan kami” maka bid’ah itu ditolak.
Azan adalah “urusan kami” karena ada tuntunannya, waktunya dan ketentuan lain.
Semoga akhi dirahmati Allah.
Lho…
kenapa tidak termasuk bid’ah hasanah? bukankah adzan sebelum makan merupakan perkara baru yg tidak ada larangannya? kenapa saya tidak boleh memakai kaidah itu? bukankah adzan merupakan hasanah terbesar dalam Islam?
kenapa orang yg melakukan adzan di dalam kubur pada saat pemakaman termasuk bid’ah hasanah? kenapa juga adzan pada saat mengantarkan haji termasuk bid’ah hasanah? kenapa giliran saya memasukan adzan sebelum makan ke dalam bid’ah hasanah dinyatakan tidak boleh? apakah bid’ah hasanah hanya diperuntukan untuk orang-orang seperti Om aja, tidak untuk orang lain?
kenapa giliran Salafi koq tidak boleh memasukan kegiatan dzikir berjamaah dengan suara yg keras ke dalam bid’ah dholalah? padahal dalil yg dipakai itu sama persis seperti yg Om pakai dalam menghukumi adzan sebelum makan…..
bukankah dzikir juga termasuk ke dalam ‘urusan kami’ yg mempunyai sifat, cara dan ketentuan seperti halnya adzan? kenapa orang-orang seperti Om boleh menambah sifat dan cara pelaksanaan dalam berdzikir, tapi orang seperti saya tidak boleh menambah-nambah sifat dan cara melaksanakan adzan?
Itulah mengapa Islam tidak mengenal yg namanya bid’ah hasanah, karena tidak ada batasan yg jelas mengenai bid’ah hasanah,
seandainya ada orang yg meyakini adanya bid’ah hasanah, maka hasanah menurut siapa? buktinya, hasanah menurut saya, bukanlah hasanah menurut Om mutiarazuhud ini, bahkan mungkin hasanah menurut Om, belum tentu hasanah menurut Al-Quran dan Sunnah, sangat rancu sekali !
Maka dari itu, Rasulullah dalam sabdanya mengatakan bahwa SETIAP BID’AH ITU SESAT, tanpa ada pengecualian dalam sabda beliau,
ingat ! bid’ah disini terbatas hanya pada urusan agama (beribadah kepada Allah), bukan untuk urusan duniawi…adapun mobil, lampu, komputer dll, itu tidak termasuk kedalam bid’ah yg ada di dalam sabda Rasulullah tsb……
Jika kita meyakini adanya bid’ah hasanah dengan merujuk kepada sabda Rasululllah diatas, maka saya ingin tanya, MUNGKINKAH ADA KESESATAN YANG HASANAH?
Jawablah wahai orang-orang yang berakal…….
Mohon maaf, tentang bid’ah sudah saya terangkan kedalam tiga tulisan
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/06/2010/04/20/semua-ibadah/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/06/2010/04/20/bidah/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/06/2010/04/18/memahami-bidah/
Bagi saya semua perbuatan kita didunia ini hanyalah untuk memenuhi “keinginan” Allah semata sebagaimana firmanNya yang artinya, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Az Zariyat 56) dan “Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (al Hijr 99).
Saya cukupkan sampai di sini saja memberikan jawaban atas komentar/pertanyaan khususnya kepada antum, sekali lagi mohon maaf. Untuk mengetahui prinsip-prinsip saya dalam mengarungi kehidupan di dunia ini , bisa lihat tulisan-tulisan dalam box/kotak lajur paling kanan, kategori: perjalanan hidup atau box/kotak tulisan khusus. Semoga akhi dirahmati Allah dan dikaruniakan al-hikmah.
ya ga apa-apa jika Om ingin menyudahi diskusi ini….walaupun saya masih belum puas karena pertanyaan saya masih belum dijawab….
saya tau kalo pada hakikatnya manusia itu diciptakan semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah saja, akan tetapi beribadah kepada Allah tentunya mempunyai cara-cara dan ketentuan yang sudah ditetapkan dan disempurnakan sebelumnya oleh Rasulullah sehingga kita tidak boleh menambah apalagi menguranginya dan tidak ada satu amalanpun yang terlewatkan kecuali telah dikerjakan dan ditetapkan oleh Rasulullah dan para Sahabatnya.
Jadi apabila kita ingin beribadah kepada Allah haruslah sesuai dengan apa yang pernah Rasulullah dan para Sahabatnya lakukan dan tetapkan karena hanya merekalah sebaik-baiknya contoh dan suri tauladan ;
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali-Imran : 31-32)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
“(Ikutilah) sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku. Peganglah (kuat-kuat) dengannya, gigitlah sunnahnya itu dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diadakan-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Tirmidzi dan dia berkata : Hadits ini hasan shahih).
“Amma ba’du, maka sebaik-baiknya perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur’an) dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Dan sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah itu sesat.“ (HR. Muslim).
“Aku telah meninggalkan pada kamu dua hal, Kitab Allah dan Sunnahku. Kamu tidak sesat selama berpegang padanya.” (H.R At-Tirmidzi)
Baiklah kalau bisa kita sepakati. Saran saya, lakukanlah apa yang Allah inginkan, Insya Allah akhi akan memahami tentang bid’ah.
Al-Quran menyebutkan penyebab dicabutnya ilmu khusyu’, yaitu karena memperturutkan hawa nafsu dan melalaikan sholatnya. Dalam Al-Qur’an Allah juga telah menunjukkan jalan bagi yang mendapatkan kekhusyu’an
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS Al Baqarah 2: 45-46)
Semoga kita dapat merasakan menemui Allah, kedekatan dengan Allah, mengetahui posisi/derajat kita di sisi Allah.
Semakin kita dekat dengan Allah maka kita akan semakin sibuk dengan Allah, semakin jauh kita dengan Allah maka kita akan semakin sibuk dengan diri kita sendiri.
Semakin kita dekat dengan Allah maka kita yakin bahwa segala keperluan kita didunia , Allah akan mencukupkannya, sedangkan semakin jauh kita dengan Allah maka kita akan “kepayahan” dengan upaya sendiri memenuhi segala keperluan kita di dunia.
Orang yang dekat dengan Allah dikenal sebagai orang-orang Arif.
Orang-orang Arif adalah orang yang menyibukkan dirinya dengan Allah dan hanya melakukan perbuatan jika Allah yang berkenan bukan karena keinginan mereka sendiri.
Mereka paham bahwa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Jalan untuk dapat selalu menyibukkan diri dengan Allah atau mengetahui apa yang Allah berkenan adalah dengan “mengenal” Allah, yakni yang kita kenal marifatullah. Dengan mengenal Allah (marifatullah) maka kita bisa memahami apa yang Allah berkenan.
Ilmu untuk mempelajari tentang marifatullah itulah Ilmu Tasawuf.
Untuk mencapai pemahaman orang-orang arif tidak cukup dengan metode pemahaman secara harfiah atau tekstual akan tetapi melalui metode pemahaman yang lebih dalam / maknawi atau dikenal “mengambil pelajaran” dengan hikmah.
Sesuai dengan firman Allah,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269)
kalo memang demikian, sudahkah Om ‘mutiarazuhud’ ini melakukan apa yg Allah inginkan dan perintahkan seperti dalam firman ;
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah)………..” (Ali-Imran : 31-32)
sudahkah Om ‘mutiarazuhud’ ini mengikuti Sunnah Rasul sebagaimana yg Allah perintahkan?
Insya Allah, akhi, saya akan berupaya sekuatnya untuk mengikuti Rasulullah namun saya tidak mengikuti “orang yang berupaya” mengikuti Rasulullah.
Apa hukumnya adzan di telinga bayi yang baru lahir, apa hukumnya azan 2 x di waktu jum’at ?
Kebenaran Hakiki hanya milik Allah, Kenapa Islam terpecah dalam banyak golongan….? hal ini di karenakan akal pikiran manusia yang dangkal. sehingga dalam menafsirkan sebuah ayat saja ada banyak versi dan pandangan.
Bagi saya sebesar apapun karunia yang diperoleh dalam pemahaman Al-Qur’an dan Hadits, sebaiknya tidak menilai atau memvonis atau melabeli yang tidak baik atau bahkan mengkafirkan terhadap saudara-saudara muslim kita lainnya. Termasuk pengakuan bahwa “pemahaman saya” yang paling benar termasuk sebuah kesombongan atau bahkan ujub.
Jadi sebetulnya apa yang anda inginkan?
Apakah saya harus keluar dari salafi ?
Apakah anda ingin saya diam damai ?
Apakah anda ingin saya berpaham sufi atau asy’ariyah ?
Minimal coba lah “keluar sementara” dari pemahaman Ibnu Taimiyah atau yang sepemahaman. Coba telusuri pemahaman ulama-ulama salaf diluar mereka.
Andaikan saja saudara-saudaraku salafy mau meluangkan waktu dan membaca kitab/buku, sebagai contoh “Ar Risalatul Qusyairiyah fi ‘Ilmit Tashawwuf, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi atau versi terjemahan “Risalah Qusyairiyah”, sumber kajian ilmu tasawuf, penterjemah Umar Faruq, penerbit Pustaka Amani, Jakarta. InsyaAllah dengan buku/kitab tersebut, saudara-saudara ku Salafy dan pembaca pada umumnya dapat memahami tentang dasar-dasar Ma’rifatullah sehingga dapat memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang Allah “di atas langit”.
Syaikh Al-Qusyairy adalah seorang imam dalam majelis tadzkir. Pembicaraannya amat berpengaruh hingga meresap kedalam sanubari para jama’ahnya. Abu Hasan Ali bin Hasan Al-Bakhirizi yang hidup di tahun 462 H/ 1070M, sering menyebut-nyebut kehebatannya, bahkan memujinya dengan sanjungan yang amat istimewa. Beliau mengatakan, “seandainya sebuah batu cadas diketuk dengan “tongkat peringatan”-nya niscaya akan meleleh menangis, dan seumpama iblis tetap aktif mengikuti majelis tadzkirnya, niscaya dia akan tobat. Subhanallah.
Ibnu Taimiyah bermahzab salaf bukan mujasimah, dimana mereka (salaf/sahabat) langsung menerima mendengar dari Rasulullah dan membenarkannya.
Islam tidak perlu ilmu filsafat yang aneh yang membahas ketuhanan, banyak para tokoh ahli filsafat ahli takwil yang bertobat.
Nabi sendiri yang mencontohkan dengan menanyakan dimana Allah kepada seorang budak, tapi asy’ariyah bilang bahwa bertanya adalah bid’ah munkar, lalu kenapa mereka mau menjawabnya dengan jawaban bahwa Allah ada dimana-mana, kenapa asyariyah tidak menutup kuping atau memukul orang yang bertanya dimana Allah ???????????
Saya tidak mau keluar dari salafi wahabi KARENA SAYA MEMPUNYAI CITA-CITA YAITU MELIHAT WAJAH ALLAH NANTI DI AKHIRAT.
Bermahzab salaf ?
Sudah saya uraikan dalam tulisan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/18/2010/04/20/madzhab-salaf/
Benar, bahwa salaf/sahabat langsung mendengar dari Rasulullah dan membenarkannya. Namun yang antum ikuti adalah hasil ijtihad (pemahaman) Ibnu Taimiyah terhadap apa yang didengar dan dibenarkan oleh salaf/sahabat.
Mengenai takwil ?
Sudah saya sampaikan dalam tulisan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/18/2010/04/12/tawil/
Nabi Rasulullah SAW dalam berdakwah “menyesuaikan” dengan tingkatan/kemampuan si penerima/pendengar/murid.
Dalam hal riwayat hadists percakapan dengan seorang budak maka Rasulullah SAW “menyesuaikan” dengan keadaan/tingkatan/kemampuan pemahaman budak / jariah.
Sudah saya sampaikan dalam tulisan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/06/di-atas-langit/
Silahkan saja jika saudara-saudaraku Salafy (pengikut metode pemahaman Ibnu Taimiyah atau sepemahaman) berpuas diri dengan kemampuan pemahaman sesuai dengan pemahaman budak / Jariah.
Saya pribadi, sangat menyayangkan saudara-saudaralu Salafy jika tidak berkenan untuk membuka diri dan mempelajari pemahaman dari sisi lain diluar syaikh-syaikh mereka, karena sungguh pemahaman orang lain selain Ibnu Taimiyah bisa jadi lebih banyak karunia pemahaman yang Allah berikan, karena Allah memberikan kepada siapapun yang Allah kehendaki tidak sebatas kepada Ibnu Taimiyah semata sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).
Sekali lagi saya sampaikan bahwa apa yang dituliskan pada blog ini, yang sebagian besar teruntuk kepada saudara-saudara muslimku Salafy (pengikut metode pemahaman Ibnu Taimiyah atau sepemahaman) adalah hasil kajian kami dan dalam rangka saling mengingatkan serta menganggap antum sekalian adalah sebagai saudara-saudara muslim.
Semoga Allah meridhoi kita semua.
# Umar bin Khatab pernah mengatakan :
Artinya :
“Hanyasanya segala urusan itu dari sini”. Sambil Umar mengisyaratkan tangannya ke langit ” (Imam Dzahabi di kitabnya “Al-Uluw” hal : 103. mengatakan : Sanadnya seperti Matahari ).
# Ibnu Mas’ud berkata :
Artinya :
“‘Arsy itu di atas air dan Allah ‘Azza wa Jalla di atas ‘Arsy, Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan”.
Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Thabrani di kitabnya “Al-Mu’jam Kabir” No. 8987. dan lain-lain Imam.
Imam Dzahabi di kitabnya “Al-Uluw” hal : 103 berkata : sanadnya shahih,dan Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyetujuinya .
Tentang ‘Arsy Allah di atas air ada firman Allah ‘Azza wa Jalla.
“Dan adalah ‘Arsy-Nya itu di atas air”
# Anas bin Malik menerangkan :
Artinya :
“Adalah Zainab memegahkan dirinya atas istri-istri Nabi SAW, ia berkata : “Yang mengawinkan kamu adalah keluarga kamu, tetapi yang mengawinkan aku adalah Allah Ta’ala dari ATAS TUJUH LANGIT”.
Dalam satu lafadz Zainab binti Jahsyin mengatakan :
“Sesungguhnya Allah telah menikahkan aku dari atas langit”. . Yakni perkawinan Nabi SAW dengan Zainab binti Jahsyin langsung Allah Ta’ala yang menikahinya dari atas ‘Arsy-Nya.
Budak Jariyah dan para sahabat (Ibnu Mas’ud, Umar, Aisyah) mereka meyakini bahwa Allah ada di atas arsy.
Sekarang mau ditakwilkan gimana lagi ?
Maaf,
saling menasehati dengan santun???
om mutiara zuhud, kalo mau objektive, tidak memperturutkan hawa nafsu, insya Alloh akan mendapatkan hidayah. Tentang bid’ah, yusuf ibrahim sudah menjelaskan dengan sangat gamblang, saya yakin anda jelas, dan secara ilmiah anda sudah tidak bisa membantah, ayolah bertaubatlah….hilangkan rasa gengsi dalam diri antum.
Saya pun sering berdialog dengan pelaku bid’ah juga mereka mentok, tidak bisa berargumentasi lagi dengan bid’ah hasanahnya…., lha wong yang haq itu sudah sempurna, kebatilan tidak bisa melawan yang haq.
Bagaimana mungkin adzan sebelum haji, bayi lahir, jenazah di liang lahat bikinan kaum tasawuf disebut bid’ah hasanah, tapi adzan sebelum makan made in yusuf ibrahim disebut bid’ah dholalah, gimana ini. terus terang bikin keki..
tasawuuf, tasawuf…..
Insyaallah, saya tidak seperti prasangka antum. Blog ini sebagian tulisan dalam rangka saling mengingatkan kepada saudara-saudaraku Wahabi atau salaf(i).
Kaum Wahabi atau salaf(i) dikenal sebagai kaum yang tidak mau memahami lebih dalam tentang Ihsan (akhlak/tasawuf) atau ulama-ulama mereka secara tidak sadar mendangkalkan ajaran agama Islam dengan mengingkari salah satu pokok ajaran agama Islam yakni tentang Ihsan (akhlak/tasawuf) sebagaimana yang disampaikan perantara malaikat Jibril.
Dengan adanya pendangkalan ajaran agama Islam tersebut, kita menjadi paham kaum mereka “membatasi” ajaran Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, sebatas apa yang bisa mereka pahami.
Sehingga umat muslim lainnya yang berbeda pemahaman dengan pemahaman kaum mereka dianggap “diluar” ajaran Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam atau seolah-olah “penambahan” ajaran Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam atau dengan kata lain apa yang mereka sangka sebagai bid’ah.
Itulah yang saya sampaikan sebagai ketidak setujuan, bahwa pemahaman kaum mereka adalah sebagaimana atau serupa dengan pemahaman Salafush sholeh. Ketidak setujuan saya tersebut saya tuliskan pada
Sedangkan upacara adat atau perbuatan-perbuatan lainnya yang tidak pernah dicontohkan oleh Tauladan kita Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kemudian setelah kita merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits ternyata bertentangan maka itu sudah jelas bid’ah dholalah atau ibadah yang tertolak.
Bid’ah hasanah adalah perbuatan yang tidak dicontohkan Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelah merujuk kepada Al-Qur’an, Hadits, Ijma Ulama , dll tidak bertentangan. Umumnya perbuatan ini masuk kedalam ghairu mahdah (ibadah umum).
Kalau antum mau korespondensi langsung silahkan kirim email ke zonatjonggol pada yahoo.com
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, Jawa Barat, 16830
Jangan melebar kemana-mana pak, sebagai orang awam dan masih tolabul ‘ilmi, saya cuma mau tanya dan harap dijawab.
1. Adzan saat seseorang mau berangkat haji, jenazah masuk liang lahat, pindahan rumah, termasuk bid’ah hasanah atau dholalah?
2. Adzan sebelum makan dan sebelum masuk rumah termasuk bid’ah hasanah atau bid’ah dholalah?
ket. : Point 1 dan 2 sama-sama tidak ada contoh dari rasululloh saw, namun point 1 banyak di gunakan masyarakat dan diajarkan kyai tasawuf, point 2 belum ada satupun yang melakukan, baru sebatas ide amalan jenis baru, bahasa kerennya “new item” atau “new arrival”.
Tolong jawab pak, anda kan orang pintar dan sudah banyak bikin tulisan tentang bid’ah. terima kasih sebelumnya.
Loh, kenapa antum tidak bertanya kepada mereka secara baik-baik, apa rujukan mereka pada Al-Qur’an dan Hadits?
Bagi saya, saya akan melakukan perbuatan atau perilaku yang masuk kategori ghairu mahdah (ibadah umum) jika tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits serta hukum-hukum Islam lainnya. Jika saya ragu-ragu atau tidak ada pengetahuan untuk itu maka lebih baik saya tinggalkan.
Bagi saya, prinsip dasar perbuatan atau perilaku yang masuk kategori ghairu mahdah adalah mubah (boleh), namun setelah merujuk kepada Al-Quran dan Hadits serta hukum-hukum Islam, maka ikuti sesuai ketentuan atau hukumnya.
Jadi jawabannya gimana pak, Adzan itu termasuk ibadah maghdoh atau ghoiru maghdoh ? tolong jawab
@ Sunan and all sebagai bahan rujukan, mohon di lihat:
http://ramadan.detik.com/read/2010/08/17/160211/1422002/971/hukum-upacara-keberangkatan-haji
intinya org yg mau berpergian disunahkan membaca azan dan iqomah… (sayang hadits dan perawinya tidak dimunculkan)
saya juga pernah membaca walau lupa ada hadits yang menyatakan Azan ini dapat mengusir syaitan dan Iblis… gitulah kira2
mungkin sebelum masuk rumah membaca azan adalah merujuk atau dalam rangka mengusir syaitan tsb, yang pernah saya dengar adalah ada seorg ‘ustadz’ mengobati kesurupan dengan cukup membacakan azan…
wallahu alam bisawab
Antum ini gimana sih pertanyaan saya mudah
“Adzan itu termasuk ibadah maghdoh atau ghoiru maghdoh?” tolong jawab bung
Antum kan sudah pinter bikin artikel tentang bid’ah, mengelola blog ini.
– Mana dalil orang berpergian dianjurkan membaca adzan?
– Mana dalil bahwa adzan untuk mengusir setan?
Ternyata orang sekelas antum dalilnya cuma “Kira-Kira” dan “Mungkin”, gimana antum menjawab pertanyaan di blog ini dengan “Kira-kira dan Mungkin”, tunjukkan sisi ilmiah anda bung.
Oya ada dalil tambahan dari antum, “…saya pernah dengar…” masa dalilnya saya pernah dengar, seperti mbah buyut kita yang belum pernah sekolah. Ini masalah dien bung, harus jelas.
Akhi sunan, klo saya pribadi menganjurkan antum untuk menanyakan langsung secara baik-baik kepada mereka yang melakukan perbuatan itu, karena jujur bagi saya belum ada pengetahuan untuk itu.
Yang mengatakan orang berpergian dianjurkan membaca adzan dan untuk mengusir setan adalah tulisan atau info dari pengunjung blog yakni saudara kita kurniawan. Sama sekali bukan dari saya sebagai admin blog.
Silahkan juga pengunjung topik ini membaca tulisan terbaru saya yang terkait dengan topik ini pada
Wassalam
Dari Abi Rofi’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah mengadzankan Sayyidina Husain di telinganya pada saat Sayyidina Husain baru dilahirkan oleh Sayyidatuna Fatimah dengan bacaan adzan untuk sholat .” (HR. Ahmad, Abu dawud, Tarmidzi, dishohihkannya).
Dari Abi Rofi’ berkata dia, “Aku pernah melihat Nabi melakukan adzan pada telinga Al Hasan dan Al Husain radhiyallahu ‘anhuma.” (HR. Thabrani).
“Barangsiapa yang kelahiran seorang anak, lalu anaknya diadzankan pada telinganya yang sebelah kanan serta di iqomatkan pada telinga yang kiri, niscaya tidaklah anak tersebut diganggu oleh Ummu Shibyan (HR. Ibnu Sunni, Imam Haitsami menuliskan riwayat ini pada Majmu’ Az Zawaid, jilid 4,halaman 59). Menurut pensyarah hadis, Ummu Shibyan adalah jin wanita yang selalu mengganggu dan mengikuti anak-anak bayi.
Di dalam kitab Majmu Syarah Muhaddzab, Imam Nawawi meriwayatkan sebuah riwayat yang dikutip dari para ulama Syafi’i, bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu pernah melakukan adzan dan iqomat pada anaknya yang baru lahir.
Dari Abi Rofi’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah mengadzankan Sayyidina Husain di telinganya pada saat Sayyidina Husain baru dilahirkan oleh Sayyidatuna Fatimah dengan bacaan adzan untuk sholat .” (HR. Ahmad, Abu dawud, Tarmidzi, dishohihkannya).
Dari Abi Rofi’ berkata dia, “Aku pernah melihat Nabi melakukan adzan pada telinga Al Hasan dan Al Husain radhiyallahu ‘anhuma.” (HR. Thabrani).
kitab Fathul Mu’in karangan Syaikh Zainuddin al Malibari, juga telah disyarahkan keterangannya dalam I’anatut Thalibin oleh Syaikh Sayyid Abi Bakri Syatho’, jilid 2 halaman 268, cetakan Darul Fikri.
Dalam kitab Fathul Mu’in itu disebutkan, ”Dan telah disunnatkan juga adzan untuk selain keperluan memanggil sholat, beradzan pada telinga orang yang sedang berduka cita, orang yang ayan (sakit sawan), orang yang sedang marah, orang yang jahat akhlaknya, dan binatang yang liar atau buas, saat ketika terjadi kebakaran, saat ketika jin-jin memperlihatkan rupanya yakni bergolaknya kejahatan jin, dan adzan serta iqomat pada telinga anak yang baru lahir, dan saat orang musafir memulai perjalanan.”
syaitan /jin yang mengganggu akan lari sampai terkentut-kentut bila mendengar adzan (H.R. Bukhari Muslim).
Adapun mengadzankan mayat ketika dimasukkan ke dalam kubur adalah masalah khilafiyah; Sebagian ulama mengatakan sunnat dan sebagian lagi mengatakan tidak sunnat. Di antara ulama kita yang berpendapat tidak sunnat mengadzankan mayat adalah Syaikh Ibnu Hajar al Haitami rahimahullahu ta’ala, namun demikian, tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan bid’ah sesuatu perkara yang statusnya khilafiyah.
fyi. Kamerad Sunan… yg mengazankan orang kesurupan saya sendiri alhamdulillah sembuh…
source: http://tengkuzulkarnain.net/index.php/artikel/index/59/Adzan-Bukan-Hanya-Untuk-Panggilan-Sholat
Alhamdulillah. Terima kasih atas rujukan yang telah disampaikan.
Mungkin definisi bid’ah (bagi kaum Wahhabi) adalah sesuatu perbuatan muslim yang belum mereka pahami.
Oleh karena pernyataan (indoktrinisasi) bahwa
Pemahaman mereka = Pemahaman Salafsuh sholeh (sesuai ajaran Rasulullah saw) maka,
Perbuatan muslim yang belum mereka pahami adalah diluar ajaran Rasulullah saw, sehingga perbuatan itu oleh mereka dimasukkan kedalam kategori bid’ah.
Jadi klo boleh saya simpulkan pem-bid’ah-an itu bersumber dari ketidakluasan ilmu dan pengertian agama, atau belajar tanpa adanya pengajar.
Saya jadi teringat pidato Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani,
Wassalam
Yang saya tanyakan adalah :
-Dalil adzan untuk upacara pemberangkatan haji, anda tidak menjawabnya.
– Dalil adzan untuk mengusir setan yang riwayat bukhori dan muslim tadi adalah adzan pada saat sholat fardu, bukan adzan yg disengaja untuk mengusir setan.
Anda katakan di fathul mu’in :
“beradzan pada telinga orang yang sedang berduka cita, orang yang ayan (sakit sawan), orang yang sedang marah, orang yang jahat akhlaknya, dan binatang yang liar atau buas, saat ketika terjadi kebakaran, saat ketika jin-jin memperlihatkan rupanya yakni bergolaknya kejahatan jin, dan adzan serta iqomat pada telinga anak yang baru lahir, dan saat orang musafir memulai perjalanan”
MANA DALILNYA (hadist)? FATHUL MU’IN kalau tanpa dalil yg shohih tidak bisa kita terima.
Adapun adzan untuk bayi yg baru lahir terdapat ikhtilaf ulama itu betul, walaupun pendapat yang kuat yang mendhoifkannya, wallohualam.
Pak Sunan… itu pertanyaannya ke saya yah..? atau ke Starter thread…..(mutiara Zuhud) pls clarify agar tidak ambigu? saya sih melihat ini pertanyaannya mengarah ke saya (CMIIW)
fyi saya sih ngga jago2 amath dengan dalil ttg agama, melihat pandangan Mutiara Zuhud (kebetulan lagi Ramadhan, sewaktu lenggang menelusuri hal-hal yg terkait dgn islam utk menambah wawasan) saya tertarik untuk mencari tahu komen2 yg berkembang.
Mengenai Haji beradzan, saya mendapatkan dari pernyataan detik Ramadhan asuhan Prof. Quraish Shihab…. saya kan sudah kasih linknya mohon dibaca doong…
http:// ramadan.detik.com/read/2010/08/17/160211/1422002/971/hukum-upacara-keberangkatan-haji
Sedang kalau dalil yg dari kitab Fathul Muin tersebut saya mendapatkan dari
http://tengkuzulkarnain.net/index.php/artikel/index/59/Adzan-Bukan-Hanya-Untuk-Panggilan-Sholat
Silakan dibaca.
Masalah ngga terima atau tidak terima mah urusan pembaca bukan…?
Tetapi saya berpendapat, pembentukan sumber hukum Islam terdiri dari:
1. Quran
2. Hadits
3. Ijtihad para ulama.
Ijtihad ini pun dapat dibagi kembali dari Qiyas, Ar Rayu yg baik dsb.
Islam itu sangat menghargai perbedaan pendapat, bahkan ijtihad ulama sebagai salah satu dasar pembentuk hukum, sangat dihargai eksistensinya, yg intinya apabila benar maka ia memperoleh 2 pahala apabila salah ia hanya mendapatkan 1 pahala.
Just make it easy saja, apabila anda setuju silakan mengikutinya dengan konsekwensi adanya rujukan hukum yg tersebut di atas, atau apabila tidak ya wis tinggalkan saja.. mudah kan…?
Sekarang coba sama-sama cari tahu, dalilnya saya aja yg newbie dalam hukum agama coba cari tahu dengan penelusuran via goggle dan mendapatkan hal tersebut di atas. memang ada beberapa menurut hasil penelurusan dari google yg berpandangan sama dengan anda yg menyatakan tidak ada dasar yang kuat.
Nah sekarang dari hasil yang ada dan data didapat, coba cari tahu, cari kitab Fathul Muin baca dengan teliti dari mana sumbernya atau siapakah Tgk Zulkarnaen yg saya ambil dasar ini dari tulisannya, apabila memang telah clear baru protes…. nah ente2 (baca: Pak Sunan, Mutiara Zuhud, dll) kan lebih ahli dalam hal ini, coba cari tahu dahulu, sebisa mungkin jangan menjudge sebelum mencari tahu…..
Kalau dengan Prof Quraish saya percaya dengan beliau (beberapa pengalaman pribadi saya yg tidak perlu diungkapkan tentuny). sehingga saya akan coba ber I’tibba dengan pendapat beliau
Nah setelah semuanya sudh clear tinggal kita akan memilah dan memilih tanpa perlu mendeskriditkan ataupun menghujat orang yang tidak sepaham dgn kita …. mudah kan pak?
Salam,
Kr
@ Pak Mutiarazuhud
Sebenarnya secara pribadi saya agak miris dengan pengkotak-kotakan dengan wahhabi lah Ahlus sunnah wal jamaah, Syiah, Sunni.. lah, gerakan A, Gerakan B, ormas F, dan Ormas G yang saling menjatuhkan antar sesama muslim, padahal sama-sama mengucap syahadat dan mengakui Muhammad saw sebagai Rasul dan utusan-Nya
tetapi saya tidak bisa menafikan realita yg sebenarnya bahwa hal itu memang terjadi…
apakah saya utopis…?
You may say I’m a dreamer
But I’m not the only one
I hope someday you’ll join us
And the moslem- world will live as one 🙂
Bagi, saya hal itu bukan pengkotak-kotakan, dapat kita anggap sebagai berjama’ah atau jama’atul minal muslimin. Namun semua jama’ah harus berpegang pada prinsip kesatuan dalam akidah Islam atau ukhuwah Islam, tidak saling membenci, tidak saling menganggap bahwa pemahaman jama’ah mereka yang paling benar atau pasti benar. Marilah dalam jama’ah maupun antar jama’ah saling tolong menolong dalam kebaikan, saling mengingatkan. Kemudian dari setiap jama’atul minal muslimin mengirim perwakilan untuk membentuk jama’atul minal muslimin pada tingkat yang lebih tinggi sehingga dapat terwujud Ukhuwah Islamiyah atau bahkan Jama’atul Muslimin yang sesungguhnya. Dari perwakilan-perwakilan tersebut dapat pula dibentuk kajian bersama terhadap hujjah atau dalil yang diketahui.
Pak kurniawan, terima kasih atas respon anda dalam hal ini. Saya berusaha buka situs ramadan.detik.com…ngga bisa dibuka. kemudian saya baca situsnya tengku zulkarnaen, disana pun tidak ditemukan dalil berupa firman Alloh swt (alquran), atau perkataan rasululloh saw (al-hadist) dalam masalah adzan selain untuk panggilan sholat (tidak ada perselusihan) dan bayi (ikhtilaf).
Artinya anda harus bisa membedakan antara perkara ikhtilaf dan bid’ah. Ikhtilaf adalah dua pendapat yang keduanya ada dalil, seperti adzan untuk bayi yg baru lahir syaik albani (ahli hadist) pun menghasankan hadist yang berkaitan dg nya. Contoh lain adalah qunut shubuh yang terdapat dalam fiqihnya imam syafii beserta dalil-dalilnya.
Namun masalah adzan yg kaitannya dg :
– Pindahan rumah
– Berangkat haji
– Orang yg sedang marah
– Orang yg jahat ahlaknya.
– Ada binatang buas
– Saat terjadi kebakaran
– pada orang yg berduka
Tolong tunjukkan dalilnya pak.
Ibadah itu butuh dalil.
Kalau saya sih hanya beramal yang saya tahu dalilnya, karena islam mengutamakan ilmu sebelum beramal.
Kalau anda tunjukkan dalilnya, saya akan adzan ketika ada “orang yang marah, orang sakit”, jika memang ada dalilnya yang shohih hal itu akan saya lakukan walaupun aneh. Untungnya hal-hal yang aneh tadi belum ditemukan dalilnya sampai hari ini.
Jika bapak penasaran silahkan cari dalil tentang hal-hal diatas, saya tunggu pak. Silahkan bapak tanya juga ke quraish shihab dalil tentang hal-hal diatas.
Jika hal-hal tadi anda tidak bisa temukan dalilnya, maka hal-hal tadi termasuk bid’ah yang terlarang.
@pak Sunan… ayo kita sama2 mencari… namun dari yg pernah saya sampaikan dahulu bisa menjadi telaahan awal untuk mencari tidak? saya sendiri awam dalam penelusuran kitab-kitab sumbur rujukan hukum/fiqih islam… yg saya tunjukan yah minimal yg sudah saya sampaikan tinggal bapak sendiri mau mengikuti atau tidak pendapat ulama tsb (Prof Quraish SHihab ttg yg mau naik haji atau pendapat Tgk Zulkarnaen atas masalah yg tersebut di atas)
@Pak MutiaraZuhud, betul idealnya seperti itu, tapi kenapa tendensinya, in my humble opinion, sudah bergeser kearah chauvinism, yg saling menjatuhkan antar sesama…. melihat fanomena ini lah saya sangat miris… yg akhirnya saya sebut dgn istilah ‘pengkotak-kotakan’
@all, walau sudah agak terlambat, saya ingin menyampaikan selamat menunaikan ibadah puasa, mhn maaf lahir batin, semoga di bulan suci ini kita semua dicurahkan rahmat dan keberkahan dari Allah swt…
Wassalam,
Akhi Kurniawan, insyaallah saya tidak pernah mempunyai keinginan untuk saling menjatuhkan sesama saudara muslim. Apapun yang saya tuliskan dalam blog ini dalam rangka mengingatkan saya pribadi dan bagi para pembaca/pengunjung blog pada umumnya.
Sebaiknya kita tidak berprasangka sebagai “pengkotak-kotakan” namun sebagai wujud dari berjamaah yang akan menimbulkan kekuatan kebersamaan atau kekuatan sinergi atau kekuatan yang ditimbulkan dari kebersamaan dalam berbuat kebaikan, yang sesungguhnya adalah kekuatan karena bersama Allah ta’ala , Yang Maha Kuasa (Billah).
Sebagaimana firman Allah, yang artinya,
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS an-Nahl [16]:128 )
Bapak kurniawan, tidak ada sedikitpun niatan dalam diri saya untuk mengkotak-kotakkan islam atau chauvinism, kalo dalam bahasa syar’inya ghuluw (berlebihan).
Justru saya mengembalikan pemahaman kaum muslimin bahwa sebenarnya islam itu simple, bahwa :
“Islam itu hanyalah apa yang terangkan oleh Alloh (alquran) dan rasulullow saw (hadist), yang dipahami dan diamalkan oleh para sahabat”
Simple bukan, kita tidak perlu lagi melakukan “development” tentang bentuk peribadatan baru, atau membuat “new item”, “new arrival” dalam masalah peribadatan, kecuali dalam urusan dunia kita (iptek).
Simple, yang tidak ada dasar hukumnya itu bukan bagian dari islam meskipun “terlihat islami”.
– Simple, adzan ya panggilan sholat, dalilnya jelas.
– Simple, adzan di telinga bayi, ikhtilaf, ada dalil tapi ulama berselisih.
– Simple, adzan saat berangkat ibadah haji, pindahan rumah, tidak ada dalilnya, berarti “BIDAH” yang terlarang.
Simple banget lho pak, apa saya yang sesimple ini di katakan mengkotak-kotakkan?, dari sisi mana? saya cuma mengatakan bahwa “IBADAH BUTUH DALIL”, kalo ngga ada dalil, tinggalin, sampai kita temukan dalilnya, simple….
Yup Islam pegangan yang utama adalah Al-Quran dan Hadits.
Tapi jangan sampai salah paham tentang ibadah.
Ibadah = Perbuatan = Perilaku, Akhlak, Hati dan Pikiran = Aktivitias lahiriah atau bathiniah = Aktivitas jasmani atau ruhani
Perbuatan/Ibadah seorang muslim terdiri dari dua macam yakni ibadah mahdah dan ibadah ghairu mahdah.
Ibadah Mahdah (ibadah khusus) adalah ibadah yang sudah ada rukun, aturan dan contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang “wajib” kita ikuti seperti sholat, puasa, zakat, naik haji, dll. Inilah yang disebut “urusan kami” atau “urusan dalam Islam“
Ibadah Ghairu Mahdah (ibadah umum) adalah ibadah selain ibadah mahdah, beberapa dicontohkan oleh Rasulullah saw dan disunahkan untuk mengikuti , namun sebagian lagi diserahkan kepada manusia sesuai keinginan, teknologi atau zaman, asal tidak ada dalil yang mengharamkan atau melarangnya.
Perbuatan/Ibadah seorang muslim walaupun tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw, khususnya yang termasuk ibadah ghairu mahdah dan perbuatan/ibadah tersebut ditujukan kepada Allah maka akan sampailah kepada Allah inilah yang dinamakan bid’ah hasanah.
Contohnya ,saya berdakwah melalui sarana internet, blog ini. Perbuatan/ibadah ini saya lakukan dengan mengingat Allah, walaupun tidak pernah dicontohkan Rasulullah saw, saya mempunyai keyakinan bahwa perbuatan/ibadah saya ini akan sampai kepada Allah ta’ala
Dengan meluruskan kesalahpahaman tentang ibadah dengan contoh bid’ah hasanah di atas, maka akan sekaligus meluruskan kesalahpahaman tentang bid’ah yang dipahami kaum Wahhabi.
Sesungguhnya bid’ah itu ada dua yakni bid’ah dholalah dan bid’ah hasanah (ada ulama yang merinci lebih dari dua macam).
Bid’ah hasanah adalah perbuatan/ibadah seorang muslim yang ditujukan kepada Allah yang tidak dicontohkan Rasulullah saw, khususnya yang termasuk ibadah ghairu mahdah.
Selengkapnya silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/19/kesalahpahaman-tentang-ibadah/
Iya, yang jadi masalah pertanyaan saya oleh pak mutiara juhud tidak pernah di jawab :
“ADZAN ITU IBADAH MAGHDOH ATAU GHOIRU MAGHROH?”
kalo adzan adalah ibadah maghdoh berarti harus pake dalil melakukannya, dalil yg ditemukan hanya dalil untuk adzan panggilan sholat dan bayi yg baru lahir.
nah bagaimana dengan kebiasaan masyarakat kita yang memfungsikan adzan untuk bermacam-macam hal tanpa dalil?
Sebelum bicara lebih lanjut, jawab dulu pertanyaan diatas.
Adzan itu adalah ibadah mahdah, karena mempunyai suatu aturan pelaksanaannya.
Yang jadi persoalan adalah dalil peruntukan atau pengunaannya.
Saya berupaya meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman, sehingga seluruh umat Islam, salah satunya dapat memahami maulid nabi adalah termasuk ibadah ghairu mahdah dan merupakan bid’ah hasanah.
Sesungguhnya bid’ah itu ada dua yakni bid’ah dholalah dan bid’ah hasanah (ada ulama yang merinci lebih dari dua macam).
Bid’ah hasanah adalah perbuatan/ibadah seorang muslim yang ditujukan kepada Allah yang tidak dicontohkan Rasulullah saw, khususnya yang termasuk ibadah ghairu mahdah.
Dengan kesamaan pemahaman akan bisa kita akhiri “perdebatan”, prasangka buruk dan penilaian/penjulukan negatif terhadap sesama muslim yang sesungguhnya adalah bersaudara. Dalam mimpi saya dengan meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman ini akan tercipta ukhuwah islamiyah sehingga kita memiliki waktu dan energi untuk mewujudkan oeradaban islam yang rahmatan lil alamin
Amin
Terima kasih atas jawabannya. Kesimpulannya bahwa adzan adalah ibadah maghdoh, jadi penggunaannya harus ada dalil khusus tentang adzan, dan yang ditemukan dalilnya cuma 2 hal :
– Adzan sebagai panggilan sholat.
– Adzan di telinga bayi, disini ulama ikhtilaf ada yang mendoifkan hadistnya, dan ada yg menghasankan.
Berarti penggunaan adzan diluar itu termasuk BID’AH dan terlarang karena seperti sabda nabi SAW, “Setiap bid’ah sesat, setiap yang sesat berada di neraka”.
Alhamdulillah pembicaraan kita yang berbelit ini sudah ada titik temu, tidak ada syariat islam yang menjelaskan adzan untuk hal-hal berikut ini :
– Pindahan rumah
– Berangkat haji
– Orang yg sedang marah
– Orang yg jahat ahlaknya.
– Ada binatang buas
– Saat terjadi kebakaran
– pada orang yg berduka
Perkara diatas adalah BID’AH yang tercela dan menyesatkan.
assalamu ‘alaikum wr.wb
Saya tidak tahu apakah yang saya sampaikan disini termasuk ”bid’ah” atau bukan, karena jika cerita saya ini termasuk bid’ah gara2 saya menggosipkan sesuatu berarti saya termasuk golongan yang sesat. karena disini saya hanya ingin sharing pengalaman sebagai seorang muslim yang masih sangat-sangat-sangat bodoh sekali tentang ilmu agama. Semoga kita bisa mengambil hikmah akan cerita saya ini.
Sedikit cerita aja mengenai pengalaman saya, di kampung saya tepatnya di tengah2 kota semarang, ada sekelompok orang yang memiliki faham tidak jauh beda seperti akhi “Salafi” dan teman2 lain yg sama pemahamannya. Dulu sebelum tahun 2000, kelompok tersebut yang terdiri beberapa orang memiliki 1 orang ustadz/guru dimana sang guru tersebut sudah sangat populer di kalangan orang yang awam agama sekalipun di wilayah kami. Mereka selama beberapa waktu menjadi murid2nya dan menimba ilmu pada sang guru tersebut.
Akan tetapi beberapa tahun kemudian kelompok tadi menjadi berubah 180’ akhlaknya. yang semula patuh dan sangat menghormati gurunya, sekarang menjadi murid yang “durhaka” terhadap guru tersebut. Hal ini terjadi karena setelah mereka “setengah” selesai menimba ilmu dari guru tersebut, kemudian mereka menimba ilmu dari sekelompok orang yang memiliki faham seperti akhi “Salafi” dan yang sepahaman dengannya. Pada tahun 2000 ke atas mereka mengajak berdiskusi yang isinya hampir sama dengan diskusi di blog ini. Akan tetapi hasil diskusi tersebut berakhir dengan debat sengit..entah karena sang murid tersebut tidak bisa menerima pendapat/nasehat dari gurunya, atau barang kali kemampuan berpikir manusianya yang masih sangat2 kurang, sehingga belum bisa menerima pendapat dari gurunya karena ilmu yang dimiliki masih belum seberapa.
Beberapa waktu kemudian sang guru tersebut merasa tersingkirkan di dalam wilayah tersebut. Pada saat mereka melakukan aktifitas peribadatan di dalam masijid yang sama, guru tersebut merasa kehadirannya sudah tidak dianggap lagi dan dihormati di kalangan murid2nya tadi, sehingga beliau memutuskan untuk keluar dari masjid tersebut. Masjid yang dahulunya sangat ramai dipakai untuk sholat dan sebagainya sekarang menjadi sangat sepi pada saat dihandle oleh mantan murid2nya tadi. Masyarakat di sekitar sini mengetahui kejadian perpecahan tersebut antara mantan murid2 dan gurunya, dan Sangat disayangkan sekali hal ini terjadi lantaran perbedaan pendapat saja.
yang paling saya sesali adalah sudah tidak ada lagi penghormatan murid2nya tadi terhadap gurunya yang telah dengan ikhlas memberikan ilmu agama terhadap mereka, dan mereka sampai sekarang seakan-akan menjauhi dan memusuhi pendapat ilmu agama yg dianut gurunya.
sungguh sangat terlalu karena kedangkalan ilmu seseorang menjadikan dirinya sebagai seorang yang berpandangan sempit,
mohon maaf kepada antum sekalian jika ada tulisan saya yg salah atau pendapat saya yg keliru.
wassalamu ‘alaikum wr.wb
Bapak catur yang saya hormati, tenang, anda menulis sesuatu disini, anda pake motor, komputer, hp itu bukan bid’ah. Bid’ah yaitu membuat perkara baru dalam masalah ibadah seperti sholat, puasa, zakat, berzikir, berdoa yang seluruh tata caranya sudah diatur oleh rasululloh ternyata dirubah dan ditambah-tambah oleh orang2 yang tidak paham. sehingga aturan2 tadi menjadi rusak, contoh zikir setelah sholat yang aturan dari rasululloh saw adalah sendiri2 menjadi berjamaah, dan sebagainya.
Permasalahan antara guru dan murid tadi harus disikapi secara dewasa, karena guru dan murid keduanya bisa berbuat salah. Bisa jadi kesalahan ada pada guru atau murid, atau keduanya ada benar dan ada salahnya. Kalo melihat opini anda seolah-olah pasti murid yang salah.
Contoh guru agama SMP saya mengajarkan saya ilmu agama di sekolah, beliau perempuan dan tidak berjilbab, hanya berkerudung namun rambut, dan bentuk tubuhnya masih terlihat. Ketika saya dewasa saya kembali bertemu beliau masih berpakaian seperti itu, saya beri beliau nasehat bahwa membuka aurat adalah haram, menutupnya adalah wajib dst. Alhamdulillah beliau menerima nasehat dari muridnya, beliau mengakui kesalahan dan kebodohannya selama ini, dan beliau pun setelah itu memakai jilbab syar’i.
Lain halnya dengan guru ngaji saya ketika SD yang juga wanita yg tidak berjilbab, beliau saya nasehati namun menolak, bahkan mengatakan bahwa jilbab adalah budaya arab, ajaran wahabi/ salafi, yg dulu diajarkan oleh muhammadiyah, persis, ataupun kelompok garis keras. Beliau marah dan menolak syariat jilbab, nauzubillah…
Sebagai murid yang baik kitapun dituntut untuk menasehati guru ketika guru kita salah, tentunya dengan cara yang ahsan (terbaik), kalau beliau menolak kita tetap menasehatinya dengan baik tanpa rasa bosan, karena agama adalah nasehat. Kalo beliau menentang bahkan memusuhi kita dengan tudingan yang negatif, ya terpaksa kita menghindar namun sesekali kita berkunjung kerumahnya untuk kembali menasehati.
Mungkin yang anda lihat adalah hal diatas, namun anda mengamatinya sekilas dan emosional, seolah-olah hanya murid yang salah. Atau mungkin anda termakan dogma lama bahwa :
– Murid yang baik yang selalu menurut apa yang dikatakan gurunya tanpa mencermati, telan aja.
– Guru selalu benar
– Jika guru salah, lihat point ke dua.
Kalo begini caranya kapan kita bisa maju pak? membeo (taqlid), tanpa berfikir ilmiah mencari kebenaran.
Oya, kalo kita bicara jilbab, waduh ngeri, ternyata istrinya kyai, anaknya kyai, bahkan istrinya gur dur, istrinya amin rais pun belum berjilbab, padahal telah jelas HAQ dan BATIL, TINGGAL PILIH BUNG.
Apakah diskusi d blog ini jg bsa dktakan ibadah . . .karena qt dsni jg brtujuan u/ mencri 1 pencerahan. Setahu sy ibadah g cuma seperti yg dktakan d atas. . .oh iya, mengenai murid2 trsebut, memang sy jg melihat seperti yg sunan ktakan. Bsa jd guru yg salah pemhaman ato jg bsa jg murid yg brsalah. Cuma d tlsan sy d atas yg sya syangkan adlh para murid trsebt sudh tdk ad penghrmatan lg hngga skg,, bhkan silaturohim k tmpt guru trsebt tdk pernh dlakukan hngga skg. Sy tw persis keadaan trsebt karena qt dsni bertetangga dkt
Ow. . Iya . . .ngmong2 mslah jilbab qt tdk perlu jauh2 smpe ke gusdur, amien raiz dn sbgainya . . .ini msh bln puasa, g baik lho ngmongin orang, bisa menjdi sia2 puasa qt. Bnyk orang berpuasa cm dpt lapar dn dhaga, trmasuk menggunjing org lain. Kalo sy melihat jilbab adlh kwjibn muslimah. Wjib bg kpala keluarga u/ menyuruh istriny untk mengenakan jilbab. Akn tetapi jika kpala kel td sdh berulang x mewajibkn istrnya, namun istri trsebut msh blum ad ksadaran dri, mw ap lagi. Tdk mungkn kalo istri trsebt kmudian dceraikan, krn Alloh tdk senang dgn perceraian. Jd jika qt blh melihat, memakai jilbab ato tdk it hruslah dr niat dlm hti, qt hrus khusnudzon dlm mlihat istri2 semacm it. Qt harus bjak dlm mensikapinya. Brang x mereka mgkn mw mengenakn jilbab ttp blum siap, krena konsekwensi berjilbab sgtlah besar. Bhkan kalo sy tdk salah paman trdkat dr rosullullohpun msh blum mw msuk islam meski rosul sdh meyakinkan dn membujukny agr msuk islam. Karena semua it hnya hidayah Alloh lah yg dpt membuat semua it trlaksana.
Alhamdulillah, diskusi akhi2 diatas akan saya pergunakan untuk bahan diskusi juga dimasjid saya, syukron n kullu amiin wa antum bi khoir
Alhamdulillah, tolong apapun hasil diskusinya sampaikanlah disini secara ringkas atau email kami. Hasil diskusi itu sebagai masukkan bagi kami dan perbaikan tulisan jika diperlukan. Terima kasih sebelumnya.
Jangan disamakan bid’ah menurut istilah dan bahasa mas..
kayaknya dari pertama menurut istilah dan bahasa ga ada bedanya…
di dalami dulu aja ilmunya baru berpendapat…
klo tidak ada tuntunan didalam al-quran da assunah mka jgn dilakukan karna kita melakukan ibada berdasarkan tuntunan2 al-quran da assunah
Ibadah yang harus sesuai dengan apa yang dicontohkan atau dilakukan oleh Rasulullah adalah amal ketaatan atau perkara syariat yakni syarat menjadi hamba Allah, menjalankan kewajibanNya (ditinggalkan berdosa), menjauhi laranganNya (ditinggalkan berdosa) dan menjauhi apa yang telah diharamkanNya (ditinggalkan berdosa)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas/larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Sedangkan diluar amal ketaatan atau perkara syariat atau diluar apa yang telah ditetapkanNya , tidaklah harus sesuai dengan apa yang telah dicontohkan atau dilakukan oleh Rasulullah. Sikap atau perbuatan diluar amal ketaatan (perkara syariat) landasannya adalah jika tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah amal kebaikan , sebaliknya jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah perkara buruk / keburukan (sayyiah)
bismillah,saya melihat dari beraninya manusia membuat bid’ah adalah kenyataan tentang hal yg sangat penting yaitu pengumpulan Alquran yg terjadi sepeninggal Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasalam,dan jga tentang sholat tarawih.maka yg satu memegang hadits dan yg lain menyimpulkan bolehnya bikin ajaran baru. pdhal terjadinya dua ” bid’ah” yg terjadi
sepeninggal Rosulloh sholallohu alaihi wa ‘ala ahlihi wasalam tersebut adlah DI MASA khulafaurrosyidn rodiayallu’anhum dan mereka adalah sudah disebut oleh beliau sholallohu ‘alaihi wasalam
secara KHUSUS untuk diikuti sunnahnya.dan manusia secara UMUM dilarang membikin bid’ah. Akan tetapi manusia dgn hawa nafsunya entah tujuan apa,entah harta,kedudukan,pujian,atau wanita,apa mereka mengira setara dengan mereka rodiyallohu ‘anhum?.kemudian membagi maghdoh dan ghoiru maghdoh,sayyiah dan hasanah,amal ketaatan dan amal kebaikan,dll.dan menyangka hadits tentang “man sanna fil islam…” sbg dalil pembikinan bid’ah,mereka tidak mengartikan dgn “bersunnah/mengikuti sunnah yg sudah ada” ditengah asingnya umat dari sunnah ,pdahal bid’ah itu memecah
Dan manusia lain bermimpi (baca:berhayal) untk menyatukan(baca:memecah/melemahkan) penegak sunah dengan pembikin bid’ah .wallohu a’lam
Alhamdulillah, mas Abul Ahnaf terima kasih atas komentarnya. Sudah kami sampaikan bahwa dalam tulisan di atas kami masih menjelaskan tentang bid’ah dengan kategorisasi ibadah mahdah dan ibadah ghairu mahdah. Untuk menghindari kerancuan definisi kedua kategorisasi tersebut maka kami pada tulisan-tulisan selanjutnya telah mempergunakan kategorisasi amal ketaatan dan amal kebaikan.
Seluruh sikap dan perbuatan kita adalah untuk beribadah kepada Allah ta’ala karena itulah tujuan kita diciptakanNya.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS Adz Dzaariyaat 51 : 56)
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (QS al Hijr [15] : 99)
Ibadah terbagi dalam dua kategori yakni amal ketaatan dan amal kebaikan
Amal ketaatan atau perkara syariat adalah ibadah yang menjadi syarat sebagai hamba Allah yakni menjalankan kewajibanNya (ditinggalkan berdosa), menjauhi larangaNya (dikerjakan berdosa) dan menjauhi apa yang telah diharamkanNya (dikerjakan berdosa)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Amal ketaatan adalah perkara mau tidak mau harus kita jalankan atau kita taati.
Amal ketaatan jika tidak dijalankan atau tidak ditaati akan mendapatkan akibat/ganjaran, ganjaran baik (pahala) maupun ganjaran buruk (dosa).
Amal ketaatan adalah bukti ketaatan atau “bukti cinta” kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.
Amal ketaatan harus sesuai dengan apa yang telah dicontohkan/dilakukan oleh Rasulullah
Amal kebaikan adalah ibadah diluar amal ketaatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Amal kebaikan adalah perkara yang dilakukan atas kesadaran kita sendiri untuk meraih kecintaan atau keridhoan Allah Azza wa Jalla.
Amal kebaikan adalah ibadah yang jika dilakukan dapat pahala (kebaikan) dan tidak dilakukan tidak berdosa.
Amal kebaikan adalah “ungkapan cinta” kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.
Amal kebaikan adalah upaya kita untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Amal kebaikan tidak harus sesuai dengan apa yang telah dicontohkan/dilakukan oleh Rasulullah, landasannya hanyalah jika tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah amal kebaikan , sebaliknya jika bertentangan dengan Al Qur’an dan AS Sunnah adalah keburukan (sayyiah)
Hukum asal amal ketaatan adalah haram/terlarang selama tidak ada dalil yang menetapkannya
Hukum asal diluar amal ketaatan adalah mubah/boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya
Definisi bid’ah yang berlaku sejak Nabi Adam a.s sampai sekarang dan sampai akhir zaman adalah
Perkara baru diluar apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya
Perkara yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya adalah perkara yang wajib dijalani dan wajib dijauhi atau perkara syariat (syarat sebagai hamba Allah) atau disebut sebagai “urusan kami” atau disebut dengan agama atau disebut amal ketaatan yakni menjalankan kewajibanNya (ditinggalkan berdosa), menjauhi larangaNya (dikerjakan berdosa) dan menjauhi apa yang telah diharamkanNya (dikerjakan berdosa)
Orang yang menjalankan amal ketaatan atau “bukti cinta” adalah disebut orang beriman (mukmin)
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imron [3]:31 )
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (QS Ali Imron [3]:32 )
“dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” (QS Al Anfaal [8]:1 )
Amal ketaatan adalah apa yang ditetapkanNya yakni perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa), batas/larangan dan pengharaman (dikerjakan berdosa)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di masa kemudian akan ada peperangan di antara orang-orang yang beriman.” Seorang Sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ya, karena mengada-adakan di dalam agama (mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman) , apabila mereka mengerjakan agama dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Bagian akhir hadits di atas menyampaikan bahwa “sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya” serta telah sempurna atau telah selesai segala perkara yang ditetapkanNya atau diwajibkanNya atau telah selesai segala perkara yang wajib dijalankan manusia dan wajib dijauhi manusia ketika Nabi Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam di utus.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” ( QS Al Maaidah [5]:3 )
Perkara baru (bid’ah) atas apa yang telah ditetapkanNya (diwajibkanNya) atau perkara baru (bid’ah) dalam amal ketaatan (perkara syariat/syarat sebagai hamba Allah) pasti bid’ah dholalah dan pelakunya disebut Ahli bid’ah.
Ahli bid’ah pun termasuk orang kafir , mereka yang melakukan perbuatan syirik, mereka yang tidak mau mengakui ke-Maha Kuasa-an Allah Azza wa Jalla karena mereka mengubah-ubah apa yang telah ditetapkanNya (diwajibkanNya)
Ahli bid’ah adalah mereka yang mengada-ada atau membuat perkara baru (bid’ah) sehingga mengubah-ubah apa yang telah ditetapkanNya (diwajibkanNya)
Ahli bid’ah adalah mereka yang membuat perkara baru atau mengada-ada yang bukan kewajiban menjadi kewajiban (ditinggalkan berdosa) atau sebaliknya, tidak diharamkan menjadi haram (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya dan tidak dilarang menjadi dilarang (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya.
Rasulullah mencontohkan kita untuk menghindari perkara baru dalam kewajiban (jika ditinggalkan berdosa). Rasulullah meninggalkan sholat tarawih berjama’ah dalam beberapa malam agar kita tidak berkeyakinan bahwa sholawat tarawih adalah kewajiban (ditinggalkan berdosa) selama bulan Ramadhan.
Rasulullah bersabda, “Aku khawatir bila shalat malam (tarawih) itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687). Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=10&ayatno=120&action=display&option=com_bukhari
Bid’ah hasanah , jika yang melakukan sholat tarawih berjamaah sebulan penuh berkeyakinan bahwa itu adalah amal kebaikan selama bulan ramadhan walaupun Rasulullah tidak mencontohkan/melakukannya sebulan penuh.
Bid’ah dholalah, jika mereka berkeyakinan bahwa sholat tarawih berjamaah sebulan penuh adalah kewajibanNya atau perintahNya (ditinggalkan berdosa) karena sholat tarawih sebulan penuh tidak pernah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggalkan berdosa). Yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggalkan berdosa) yang harus dikerjakan sebulan penuh pada bulan Ramadhan adalah berpuasa.
Begitu juga kita dapat ambil pelajaran dari apa yang terjadi dengan kaum Nasrani
‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat yang artinya, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah [9] : 31) , kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu“. Maka jawab Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Bid’ah dholalah adalah perbuatan syirik karena penyembahan kepada selain Allah, penyembahan diantara pembuat bid’ah (perkara baru) dengan pengikutnya.
Bid’ah dholalah adalah perbuatan yang tidak ada ampunannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
إِنَّ اللهَ حَجَبَ اَلتَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ
“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah”. [Ash-Shahihah No. 1620]
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
Sedangkan bid’ah (perkara baru) diluar apa yang telah ditetapkanNya (diwajibkanNya) atau perkara baru diluar amal ketaatan (perkara syariat/syarat sebagai hamba Allah) ada dua kategori yakni bid’ah dlolalah dan bid’ah hasanah (mahmudah)
Bid’ah dlolalah adalah perkara baru yang bertentangan dengan apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya
Bid’ah hasanah adalah perkara baru yang tidak bertentangan dengan apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya.
Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Bahkan al- Imam Nawawi membaginya dalam 5 status hukum.
أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
“Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam ; bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]
Contoh sederhana bid’ah hasanah (mahmudah) adalah peringatan Maulid Nabi.
Peringatan Maulid Nabi adalah bukan perkara syariat atau perbuatan yang tidak diwajibkanNya namun tidak bertentangan dengan apa yang telah ditetapkanNya/diwajibkanNya (tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah) maka termasuk amal kebaikan
Amal kebaikan adalah segala perkara diluar apa yang telah ditetapkanNya (diwajibkanNya) atau segala perkara diluar amal ketaatan (perkara syariat/syarat sebagai hamba Allah) yang tidak bertentangan dengan apa yang telah ditetapkanNya/diwajibkanNya (tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah)
Muslim yang menjalankan amal ketaatan atau muslim yang beriman (mukmin) dan menjalankan amal kebaikan atau mereka yang mengungkapkan cintanya kepada Allah Allah Azza wa Jalla dan RasulNya adalah disebut muhsin / muhsinin, muslim yang ihsan atau muslim yang baik atau sholihin.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Inilah ayat-ayat Al Qura’an yang mengandung hikmah, menjadi petunjuk dan rahmat bagi muhsinin (orang-orang yang berbuat kebaikan), (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Lukman [31]:2-5)
Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35)
“Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS An Nuur [24]:40 )
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya) ? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS Az Zumar [39]:22)
Muslim yang menjalankan amal ketaatan atau muslim yang beriman (mukmin) dan berbuat amal kebaikan (muhsin/muhsinin) atau sholihin adalah mereka yang termasuk manusia disisiNya. Mereka yang telah dikarunia ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla. Mereka yang terbukti tetap istiqomah pada jalan yang lurus
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan bahwa amal kebaikan (amal sholeh) sangat luas sekali.
Dari Abu Dzar r.a. berkata, bahwasanya sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, orang-orang kaya telah pergi membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan untukmu sesuatu yang dapat disedekahkan? Yaitu, setiap kali tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh pada kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan hubungan intim kalian (dengan isteri) adalah sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya dan dia mendapatkan pahala?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Bagaimana pendapat kalian jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, apakah ia berdosa? Demikian juga jika melampiaskannya pada yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim 1674) Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=13&ayatno=50&action=display&option=com_muslim
Al-Qur’an dan Hadits pada hakikatnya memuat amal ketaatan atau ketetapan yang menjadi hak Allah Azza wa Jalla yakni ketetapan berupa kewajiban dan larangan (batas/larangan dan pengharaman).
Dalam Al-Qur’an dan Hadits memang disebutkan beberapa contoh amal kebaikan (amal sholeh) namun tidak seluruh amal kebaikan (amal sholeh) yang akan dikerjakan manusia sejak Nabi Adam a.s sampai kiamat nanti diuraikan dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Kalau diuraikan seluruhnya akan membutuhkan lembaran Al-Qur’an maupun Hadits yang luar biasa banyaknya.
Amal kebaikan tidak harus atau tidak selalu terkait dengan apakah telah dicontohkan/dilakukan atau tidak dicontohkan/dilakukan oleh Rasulullah atau Salafush Sholeh. Amal kebaikan sejak Nabi Adam a.s sampai akhir zaman tetap perkara baik selama tidak bertentangan dengan apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya atau tidak bertentangan dengan amal ketaatan.
Kaidah “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIHI” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) tidak berlandaskan Al Qur’an dan Hadits. Kesalahpahaman kaidah ini telah kami uraikan dalam tulisan pada
Segala amal kebaikan atau amal sholeh atau amalan sunnah adalah yang dimaksud dengan dzikrullah.
Dalam suatu riwayat. ”Qoola a’liyy bin Abi Thalib: Qultu yaa Rosuulolloh ayyun thoriiqotin aqrobu ilallohi? Faqoola Rasullulohi: dzikrullahi”. artinya; “Ali Bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada Rasullulah, jalan/metode(Thariqot) apakah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah? “Rasullulah menjawab; “dzikrulah.”
Amal kebaikan adalah segala sikap dan perbuatan yang dilakukan bukan di wajibkanNya namun atas kesadaran sendiri karena Allah ta’ala semata atau karena mengingat Allah atau wujud dari kecintaan hamba kepada Allah ta’ala dan Allah ta’ala pun mencintai hambaNya maka jadilah kekasih Allah atau wali Allah dengan berbagai tingkat kedekatan atau tingkat kewalian sebagaimana yang disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/28/maqom-wali-allah/
Tujuan amal kebaikan adalah untuk mendekatkan diri kita atau memperjalankan diri kita agar sampai (wushul) kepada Allah ta’ala. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/05/perjalankanlah-diri-kita/
Dalam sebuah haditas Qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (amal ketaatan), jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan kebaikan (amalan sunnah), maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya. (HR Muslim 6021) Link: http://www.indoquran.com/index.php?surano=61&ayatno=89&action=display&option=com_bukhari
Boleh jadi mereka yang membenci peringatan Maulid Nabi atau mereka yang men-syirik-kan sholawat nariyah, sholawat badar, qashidah burdah, maulid barzanji adalah mereka yang terkena ghazwul fikri atau terkena upaya adu domba yang dilakukan oleh orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan sebelumnya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/11/puritan-radikalisme/
Firman Allah yang artinya,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82)
Untuk itulah kaum Yahudi dan orang-orang musyrik yakni kaum Zionis Yahudi terus melakukan upaya ghazwul fikri (perang pemahaman) agar umat muslim pada umumnya tidak memperjalankan dirinya untuk sampai (wushul) kepada Allah ta’ala atau tidak tahu bagaimana yang dimaksud mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
Kaum Zionis Yahudi sangat takut kepada umat Islam yang jika berdoa kepada Allah ta’ala dan pasti dikabulkanNya. Inilah adalah hakikat dari doa adalah senjata kaum mukmin.
Namun yang harus kita ingat bahwa kita tetap harus berlaku adil kepada mereka atau kepada kaum non muslim atau kaum kafir. Pada hakikatnya mereka menjadi seperti itu adalah kehendak Allah Azza wa Jalla juga. Perlakukan dengan baik sebagaimana perlakuan kita kepada ciptaanNya yang lain selama mereka berlaku baik kepada kita.
Islam mengajarkan damai dan berbuat baik bukan hanya terhadap manusia, akan tetapi sampai terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan. Bukankah dalam hadist Nabi shallallahu alaihi wasallam telah diriwayatkan bahwa seorang wanita masuk neraka karena telah menganiyaya seekor kucing? Begitu pula seorang pelacur masuk sorga karena telah memberi minum seekor anjing yang kehausan?.
Rahmat Islam rupanya benar-benar lil ‘alamin (bagi semesta alam). Tidak hanya manusia, tetapi hewan, tumbuh-tumbuhan dan lingkungan hidup, semua memperoleh rahmat Islam.
Ibnu Abbas ra. meriwayatkan, ada seorang lelaki yang merebahkan kambingnya sementara dia masih menajamkan pisaunya. Lalu Rasulullah bersabda, “Apakah engkau ingin membunuh kambing itu dua kali? Jangan lakukan itu. Tajamkan pisaumu sebelum kamu merebahkan kambingmu.”
Ibnu Sirin juga meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah melihat seseorang sedang menyeret kaki kambing untuk disembelih. Beliau marah dan menegur orang tsb., “Jangan lakukan itu! Giringlah hewan itu menuju kematiannya dengan baik.” (HR Imam Nasai)
Allah Azza wa Jalla akan memasukan muslim yang beriman (mukmin) dan beramal kebaikan / beramal sholeh (muhsin/muhsinin/sholihin) kedalam jannah dan Allah Azza wa Jalla mengibaratkan orang-orang kafir bagaikan binatang dan memasukkan mereka kedalam jahannam.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya
“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mu’min dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (QS Muhammad [47]:12 )
Masihkan kita menjadikan “binatang” sebagai “teman kepercayaan”, sebagai pelindung, sebagai penasehat atau bahkan sebagai pemimpin dunia ?
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (Ali Imran, 119)
Mas Abul Ahnaf, alhamdulillah berdasarkan balasan terhadap komentar antum, kami rampungkan dalam tulisan baru. Silahkan baca dan jika ingin melanjutkan komentar tentang bid’ah silahkan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/15/seluruhnya-ibadah/
“amal kebaikan (“bid’ah hasanah”)” menurut anda adalah KESADARAN KITA SENDIRI (baca:ketidaksadaran diri ) untuk meraih CINTA (perlu bukti).
Amal kebaikan (“bid’ah hasanah”) harus sesuai dgn Alquran dan Assunnah ( lebih tepat ini adalah amal ketaatan) amal ketaatan adalah bukti cinta. Bukti cinta adalah amal ketaatan,contoh yg anda ajukan adalah mauld nabi sholallohu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa salam,maka tidak sesuai dgn Alquran dan Assunnah jika sekedar modal cinta. Karena cinta butuh bukti ketaatan! Sedang maulid bukan amal ketaatan menurt anda! Menurut
anda orang yg beramal amalan baru belum tentu mewajibkan,sbg konsekuensi mewajibkannya adalah dosa bid’ah.
Ini adalah PENYEMPITAN MAKNA.
Ini adalah cara anda berkelit dari dalil yg anda sebut sendiri dari larangan menghalalkan yang harom yaitu keharoman beramal amalan baru. Ini adalah sangat jelas!!
Bukan sekedar banyak ngomong cinta walau banyak “bukti” tapi dibelakang BERKHIANAT. Dan pada sholat tarowih berjama’ah yg penting adalah perintah itu di zaman terbaik yg disebut secara khusus,pd dasarnya itu sunnah (paksakan jika ada bid’ah hasanah maka inilah!!adapun yang lainya setelahnya adalah DHOLALAH. Agar anda tidak berdalih dgn kisah ini.
Dan berhati hatilah anda dgn tasawuf yang bahkan menurut anda adalah jalan yg sangat baik,bukan sekedar bid’ah hasanah, apalagi jika ini adalah bid’ah dholalah. Allohul Musta’an
masih tetap salah paham mas Abul Ahnaf ya ………pahami dulu artikelnya mas ……….
alhamdulillah,sudah paham .jawabnya mauld itu amalan bid’ah. Pahami jg tulisan sy mas. Sy sungguh sngt tersibukan dgn tulisan tulisan dsni.bgmn dgn org yg membantah hampir tiap tanggapan dsni yah? Menghabiskan waktu sj…ra mudheng mudheng , subhakallohumma wabihamdika asyhadu allailaaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik
Assalamu’alaikum..
Apakah bisa dikatakan bahwa bid’ah hasanah itu adalah maslahah mursalah (hanya beda bahasa penyebutannya saja). ataukah keduanya memang berbeda? Jika berbeda mohon penjelasan perbedaannya ustadz!
Walaikumsalam
Maslahah mursalah adalah bagian dari istinbat atau penetapan hukum dalam Islam berdasarkan maslahah (manfaat) dimana tidak ditemukannya dalil/nash baik yang memerintahkan/menetapkannya atau melarangnya. Maslahah mursalah dipergunakan dalam perkara muamalah atau perkara diluar perkara syariat (amal ketaatan). Yang menjadi masalah adalah mereka yang menggunakan maslahah mursalah untuk menetapkan perkara syariat (amal ketaatan) sebagai kewajiban (ditinggalkan berdosa).
yang ana tanyakan kalau maulid amalan bid’ah ana tanyakan dalil yang melarang maulid ………..dalilnya yang Alloh melarangnya mas …..
maaf sing ora mudheng sampean mas …….wis salah paham maslah bid’ah he he he he he
Salapi….
Otakmu, sama ilmumu cingkrang…
semoga kalian di beri hidayah….
Abdul ahnaf sudah paham?wah ini bid,ah dlolalah. Karena ga ada yang mengajarkan manusia mengaku sudah paham ini agama. Malah dicontohkan oleh Iblis (Azazil). “Aku lebih baik daripada Adam”.Ini menandakan iblis lebih faham daripada Alloh.Sedangkan malaikat mengatakan “Mahasuci Engkau yang lebih mengetahui kehendak menjadikan manusia (Adam)sebagai kholifah di muka bumi”
Abdullah bin Mas’ud berkata : Barangsiapa yang mencontoh maka contohlah sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mereka adalah orang-orang dari umat ini yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling tidak macam-macam, paling baik contoh teladannya dan paling bagus keadaannya, mereka adalah suatu kaum yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menemani NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menegakkan agamaNya, maka akuilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak langkah mereka karena mereka telah berada diatas petunjuk yang lurus. Al-Uzaa’iy Rahimahullah berkata : Sabarkan (tetapkan) dirimu diatas Sunnah, berhentilah dimana kaum (para sahabat) berhenti, katakanlah apa yang mereka katakan dan diamlah terhadap yang telah mereka diamkan serta berjalanlah di jala As-Salaf Ash-Shalih, karena mereka mencukupkan kamu apa yang telah mencukupkan mereka
(168) Wahai manusia! Makanlah dari apa yang ada di bumi ini barang yang halal lagi baik, dan jangan kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya dia bagi kamu adalah musuh yang sangat nyata.
Karena Cari Makan
Setelah menerangkan bahaya ikut-ikutan, datanglah seruan Allah kepada seluruh manusia agar mengatur makanan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطَ
“Wahai manusia! Makanlah dari apa yang ada di bumi ini barang yang halal !agi baik dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan.” (pangkal ayat 168).
Penting sekali peringatan ini dan ada hubungannya dengan ayat yang sebelumnya. Kecurangan-kecurangan, penipuan dan mengelabui mata yang bodoh, banyak ataupun sedikit adalah hubungannya dengan perut asal berisi: Berapa perbuatan Yang curang terjadi di atas dunia ini oleh karena mempertahankan syahwat perut.
Maka apabila manusia te!ah mengatur makan minumnya, mencari dari sumber yang halal, bukan dari penipuan, bukan dari apa yang di zaman moden ini dinamai korupsi, maka jiwa akan terpelihara daripada kekasarannya. Dalam ayat ini tersebut yang halal lagi baik. Makanan yang halal ialah lawan dari yang haram; yang haram telah pula disebutkan dalam al-Quran, yaitu yang tidak disembelih, daging babi, darah, dan yang disembelih untuk berhala. Kalau tidak ada pantang yang demikian, halal dia dimakan. Tetapi hendaklah pula yang baik meskipun halal.
Batas-batas yang baik itu tentu dapat dipertimbangkan oleh manusia. Misalnya daging lembu yang sudah disembelih, lalu dimakan saja mentah-mentah. Meskipun halal tetapi tidaklah baik. Atau kepunyaan orang lain yang diambil dengan tipu daya halus atau paksaan atau karena segan menyegan. Karena segan diberikan orang juga, padahal hatinya merasa tertekan. Atau bergabung keduanya, yaitu tidak halal dan tidak baik; yaitu harta dicuri, atau seumpamanya. Ada juga umpama yang lain dari harta yang tidak baik; yaitu menjual azimat kepada murid, ditulis di sana ayat-ayat, katanya untuk tangkal penyakit dan kalau dipakai akan terlepas dari marabahaya. Murid tadi membelinya atau bersedekah pembayar harga: meskipun tidak najis namun itu adalah penghasilan yang tidak baik.
Supaya lebih kita ketahui betapa besarnya pengaruh makanan halal itu bagi rohani manusia, maka !tersebutlah dalam suatu riwayat yang disampaikan oleh Ibnu’ Mardawaihi daripada lbnu Abbas, bahwa tatkala ayat ini dibaca orang di hadapan Nabi s.a.w., yaitu ayat: “Wahai seluruh manusia, makanlah dari apa yang di bumi ini, yang halal lagi baik,” maka berdirilah sahabat Rasulullah yang terkenal, yaitu Sa’ad bin Abu Waqash. Dia memohon kepada Rasulullah supaya beliau memohon kepada Allah agar apa saja permohonan doa yang disampaikannya kepada Tuhan, supaya dikabulkan oleh Tuhan. Maka berkatalah Rasulullah s.a w :
“Wahai Sa’ad! Perbaikilah makanan engkau, niscaya engkau akan dijadikan Allah seorang yang makbul doanya. Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada dalam tanganNya, sesungguhnya seorang laki-laki yang melemparkan suatu suapan yang haram ke dalam perutnya, maka tidaklah akan diterima amalnya selama empat puluh hari. Dan barangsiapa di antara hamba Allah yang bertumbuh dagingnya dari harta haram dan riba, maka api lebih baik baginya. ”
Artinya, Sebih baik makan api daripada makan harta haram. Sebab api dunia belum apa-apa jika dibandingkan dengan api neraka. biar hangus perut lantaran lapar daripada makan harta yang haram.
Kemudian diperingatkan pula pada lanjutan ayat supaya jangan menuruti langkah-langkah yang digariskan oleh syaitan. Sebab syaitan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Kalau syaitan mengajakkan satu langkah, pastilah itu langkah membawa ke dalam kesesatan. Dia akan mengajarkan berbagai tipudaya, mengicuh dan asal perut berisi , tidaklah perduli dari mana saja sumbernya syaitan akan bersedia menjadi pokrol mengajarkan bermacam jawaban membela diri karena berbuat jahat. Keinginan syaitan ialah bahwa engkau jatuh , jiwamu menjadi kasar, dan makanan yang masuk perutmu penambah darah dagingmu, dari yang tidak halal dan tidak baik. Dengan demikian maka rusaklah hidupmu.
Tentang langkah-langkah syaitan itu, menurut riwayat dari Ibnu Abi Hatim dan tafsiran ibnu Abbas:
“Apa sajapun yang menyalahi isi al-Quran itu adalah langkah-langkah syaitan.”
Menurui tafsiran dari Ikrimah, langkah-langkah syaitan ialah segaia rayuan syaitan. Menurut Qatadah: “Segala maksiat yang dikerjakan adalah itu dari langkah langkah yang ditunjukkan syaitan.° Menurut Said bin Jubair ialah segala perbuatan buruk yang dibagus-baguskan oleh syaitan.
Menurut riwayat Abd bin Humaid dari Ibnu Abbas: “Bahkan segala sumpah-sumpah yang timbul karena sedang marah, adalah termasuk langkah langkah syaitan juga. Kaffarah (denda) sumpah karena marah itu ialah denda sumpah biasa.” Malahan menurut Ibnu Mas’ud, misalnya kita haramkan untuk diri kita sendiri suatu makanan yang dihalalkan Allah, itupun termasuk menuruti langkah-langkah syaitan. Dan menurut suatu riwayat dari Abd bin Humaid dari Usman bin Ghayyast, bahwa dia ini bertanya kepada Jabir bin Zaid (sahabat Nabi) tentang seseorang yang bernazar akan menghiasi hidungnya dengan subang emas, maka menurut fatwa Jabir bin Zaid, nazar orang itu adalah satu di antara langkah-langkah syaitan. Dia akan tetap dipandang durhaka kepada Allah selama subang emas yang dipakai di hidung itu masih dipakainya, dan dia wajib menebus (kaffarah) sumpah. Menurut Hasan alBishri, orang bersumpah hendak naik haji ke Makkah dengan merangkak, itupun termasuk menuruti langkah-langkah syaitan. Sebab dengan merangkak. tidaklah haji dapat dilaksanakan.
Maka datanglah lanjutan ayat:
(169) Yang disuruhkannya kepada kamu hanyalah hal yang jahat dan hal yang keji, dan supaya kamu katakan terhadap Allah hal-hal yang tidak kamu kefahui.
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوْءِ وَ الْفَحْشَاءِ
“Yang disuruhkannya (Yakni yang disuruhkan oleh syaitan) kepada kamu hanyalah hal yang jahat dan yang keji.”
Yang jahat ialah segala macam maksiat, pelanggaran dan kedurhakaan, baik merugikan sesama manusia, atau merugikan diri sendiri, apatah lagi merugikan hubungan Allah. Yang keji ialah segala perbuatan yang membawa kepada zina. Kalau disambungkan kembali dengan suku ayat yang sebelumnya, ialah bahwa loba serakah kepada harta benda, menyebabkan kesempatan yang seluas-iuasnya akan berbuat segala macam kedurhakaan ; segala macam kejahatan , yang diakhiri dengan segala macam kemesuman hubungan laki-laki dengan perempuan , yang menyebabkan kacaunya kehidupan dan keturunan. Semua termasuk mengikuti langkah-langkah syaitan-syaitan.
Dan ujung ayat menerangkan lagi:
وَ أَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Dan supaya kamu katakan terhadap Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui.”(ujung ayat 169)
Sampai ke sanalah syaitan akan membawa larat. Asalnya ialah karena tidak menjaga diri dalam hal makan, dalam hal syahwat perut. Akhirnya berlarut-Iarut menjadi kafir. Ketika telah gagal, karena tentu satu waktu akan gagal, maka keluarlah perkataan terhadap Allah dengan tidak berketentuan, sehingga ada yang mengatakan Allah tidak adil. Dan kalau orang telah kaya-raya karena harta tidak halal, lalu ada orang yang memberikan nasihat, namun karena petunjuk syaitan, dia akan berkata pula tentang Allah: “Apa Allah ! Apa agama ! Mana dia Tuhan itu belum pernah aku melihatnya, aku tidak percaya bahwa Dia ada.”
Syaitan masuk ke dalam segala pintu menuruf tingkat orang yang dimasuki. Dan kebanyakannya ialah karena mencari makanan pengisi perut. Paling akhir syaitan berusaha supaya orang mengatakan terhadap Allah apa yang tidak mereka ketahui. Kalau orang yang dia sesatkan sampai tidak mengakui lagi adanya Allah, karena telah mabuk dengan maksiat maka syaitanpun dapat menyelundup ke dalam suasana keagamaan, sehingga lama kelamaan bukan dari Allah. Mengatakan agama, padahal bukan agama. Lama lama orangpun telah merasa itulah dia agama. Asalnya soal makanan juga.
Satu misal; baru saja seorang mati, orang di dalam rumah keluarganya telah repot. Bukan repot hendak segera menguburkan si mati; tetapi berbelanja ke pasar, membeli sayur-mayur, membeli lada garam, mencari kambing yang agak besar, bahkan kadang-kadang lembu atau kerbau untuk makan besar. Kata guru yang ada di kampung itu wajiblah si mati itu sebelum diangkat ke kubur – didoakan terlebih dahulu, agar selamat dia berpulang ke akhiraL Untuk berdoa mereka itu makan besar! Kadang-kadang makan besar sebelum berangkat, atau makan besar pulang dari kubur.
Apakah ini dari agama?
Terang-terang Hadits menerangkan bahwa perbuatan ini adalah haram, sama dengan meratap. Tetapi kalau di kampung itu juga ada orang kematian .tidak mengadakan jamuan makan besar itu dituduhlah dia menyalahi peraturan agama. Dikatakan bahwa arang yang telah mati itu tidak diselamatkan, sebagai mati anjing saja.
Kemudian tidaklah putus makan-makan itu di hari ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, hari memarit (menembok) kubur, hari keempatpuluh setelah matinya, hari keseratus dan penutup hari yang keseribu.
Dan ketika jenazah masih terbujur tadi juga, seketika orang di dekat jenazah orang memperkatakan beberapa tahun si mati meninggalkan shalat: Shalat yang dia tinggalkan selama hidup itu bisa dibayar fidyahnya kepadi “pengurus-pengurus agama” yang hadir ketika itu. Kadang-kadang terjadi tawar-menawar.
Sejak bila mereka menerima perwakilan Allah buat menerima beras yang dinamai fidyah itu ? Padaha! tidaklah masuk akal bahwa shalat sebagai tiang aqama dapat dibayar dengan beras, dengan tawar-menawar. Bukan saja tidak masuk akal, tetapi tidak ada sama sekali dalam syara’. Demikian pintarnya syaitan, sehingga kalau ada orang yang berani menegur, mereka yang menegur itulah yang akan dituduh kaum muda yang mengubah-ubah agama dan membongkar-bongkar masalah khilafiyah.
Belum cukup hingga itu saja:seketika jenazah itu telah diantarkan bersama-sama ke kubur, orang membaca salawat atau bacaan-bacaan yang lain dengan suara keras mengiringi jenazah itu , di hadapan terbanglah payung, di samping itu ada pula pedupaan yang asap kemenyan menjulang ke langit. Padahal semuanya itu bukan agama. Tetapi siapa yang menegur akan disalahkan mengubah-ngubah agama.
Belum cukup hingga itu saja, sesampai di kubur terjadilah apa yang dinamai talqin mayat. Tentang talqin itu sendiri memang ada khilafiyahnya. Tetapi di beberapa tempat telah membawa bahaya besar jika hal itu dibuka-buka. Sebab ada orang yang mengharapkan makan dan pakaian dari talqin itu. Di dekat kuburan setelah kubur itu ditimbun dibentangkanlafi kasur kecil, beralaskan tikar indah. Di situ duduk tukang membaca taiqin clan membacakannya dengan suara yang merdu:
Disediakan pula satu cerek yang mahal untuk penyiram kubur kelaknya, dan disediakan pula sehelai kain sarung untuk dipakai tukang talqin seketika membacakannya. Sehabis upacara talqin itu semua barang tadi adalah untuk si pembaca talqin. Dan atas rayuan syaitan orang berkeras mengatakan bahwa itu adalah agama Siapa yang tidak mengatakan dari agama , dia akan dituduh memecah persatuan ! .
Bukan itu saja. Bahkan pada kubur-kubur orang yang dianggap keramat, kubur ulama atau kuburan keturunan Saiyid yang tertentu diadakan haul sekali setahun; makan besar di sana sambil membaca berbagai bacaan. Rakyat yang awam dikerahkan menyediakan makanan , bergotong-royong menyediakan segala perbekalan. Kalau kita katakan ini bukanlah agama, ini adalah menambah-nambah dan mengatakan atas Allah barang yang tidak diketahui , maka kitalah yang akan dituduh merusak agama .
Bukan itu saja. malahan ada orang yang digajikan buat membaca Surat Yasin di satu kubur tiap-tiap pagi hari Jum’at. Kalau kita katakan bahwa ini bukan agama, akan mendapatlah kita tuduhan merusak agama
Inilah beberapa contoh kita kemukakan bahwa penambahan terhadap agama, yang kadang-kadang dimasukkan oleh syaitan kerapkali rapat hubungannya dengan soal makan ! .
Penulis”Tafsir” ini pernah berpengalaman; pada satu kota besar di Indonesia ini meninggal dunia seorang sahabat penulis. Maka pergilah saya ta’ziah dan akan mengiringkan jenazah bersama-sama ke kuburan. Ketika akan menyembahyangkan mayat, sayapun segera mengambil wudhu’ hendak turut menyembahyangkan. Tiba-tiba tangan saya ditarik oleh seorang teman seraya katanya: “Saudara tak usah ikut menyembahyangkan. Karena sudah disediakan orang-orang yang akan menyembahyangkan.”
Kemudian fahamlah saya bahwa teman !tu memandang tidak layak saya turut menyembahyangkan. Sebab sudah teradat bahwa yang menyembahyangkan itu kelak akan diberi sedekah kain, uang, beras dan lain lain.
Hal-hal yang diterangkan di atas adalah nasib dari orang yang telah memperturutkan langkah-langkah syaitan yang asalnya daripada makanan, sehingga agamapun telah dikorupsikan.
Tetapi ada lagi orang yang telah dipengaruhi syaitan dalam lain bentuk, yaitu dirayu syaitan supaya tetap memegang pendirian yang salah. Ini terdapat pada lanjutan ayat: Albaoqoh 170 :”Dan apabila dikatakan kepada mereka, ikutilahh apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: “Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami, apakah mereka akan mengikuti juga, walupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? ( tafsir al-azhar karangan buya hamka )
dri dulu bahas bid’ah g ada habisnya,,,kmbali k hati masing 2 aja,,,,smpai kapanpun pelaku bid’ah akan menganggap apa yang dilakukannya benar,,,,padahal ada yang lbih penting lgi dripada permasalahan bid’ah,,,yaitu syareat islam…Allah pnya hak atas hukum2nya,,,mari kita bersatu untuk megekkan syareat islam d bumi indonesia…
@Mutiara Zuhud@ Apa komentar anda tentang “Hukum asal ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang memerintahkan”? Lalu komentar anda di atas “Ada perbuatan yang sudah dicontohkan Rasulullah dan harus kita ikuti sedangkan yang tidak dicontohkan, boleh kita kerjakan jika tidak ada larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits”. Apakah ini menunjukkan suatu ibadah boleh dilakukan meski tidak ada contoh dari rasulullah dan tidak ada dalil larangannya?
Baru mau belajar Islam dah pening begini ya…
Gimana bisa menarik orang2 diluar Islam untuk masuk, yang sudah di dalam aja males dengerinnya…pada ribut melulu
Dimana indahnya Islam ini?
Please ya, itu masalah cabang…para ulama menetapkan setiap perkara itu dengan ilmu, bukan asal-asalan, tolong saling menghormati, jangan saling menyalahkan. Saya pernah berpikiran seperti itu dan ini sangat mengganggu kekhusuan dalam ibadah.
Hal-hal kecil jangan diributkan…masih ada hal2 gede yang terbiar begitu saja.
Mendingan yang belum shalat, kita ajak mereka shalat…
Yang shalatnya masih di rumah, kita ajak untuk shalat berjama’ah di surau/mesjid.
Syukur2 orang diluar Islam pada ikutan juga.
Saya beribadah sesuai dengan hadits yang shaheh yang saya ketahui. Dan tidak menganggap yang lain salah.
Seandainya saya berpikiran seperti itu pasti shalat saya ga akan khusu, sedangkan hampir dalam 5 waktu shalat saya berjamaah dengan berbagai mazhab, ada kawan2 dari Bangladesh, pakistan, Filipina dll.
Mas Dinar , tidak ada masalah dengan perbedaan diantara 4 mazhab yang ada
Permasalahan timbul dari mereka yang mendalami ilmu agama dengan menyandarkan pada upaya muthola’ah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri mengikuti kaum musyabbihah bermazhab dzahiriyah yakni berpendapat, berfatwa , beraqidah (i’tiqod) berpegang pada nash secara dzahir.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Al-Hafidz adz-Dzahabi berkata: “al-Walid mengutip perkataan al-Auza’i: “Ilmu ini adalah sesuatu yang mulia, yang saling dipelajari oleh para ulama. Ketika ilmu ini ditulis dalam kitab, maka akan dimasuki oleh orang yang bukan ahlinya.” Riwayat ini juga dikutip oleh Ibnu Mubarak dari al-Auza’i. Tidak diragukan lagi bahwa mencari ilmu melalui kitab akan terjadi kesalahan, apalagi dimasa itu belum ada tanda baca titik dan harakat. Maka kalimat-kalimat menjadi rancu beserta maknanya. Dan hal ini tidak akan terjadi jika mempelajariilmu dari para guru”
Mereka memahami dengan makna dzahir/harfiah/literal/tertulis/tersurat dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi). Mereka kurang memperhatikan atau kurang mendalami ilmu seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, shorof, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain-lain
Contohnya dalam ilmu balaghah, mereka mengingkari makna majaz (kiasan) atau makna tersirat yakni makna di balik yang tertulis atau makna di balik yang tersurat
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)”.
Tuntutan takwil dengan makna majaz (bukan sembarang takwil atau mencari-cari takwil) timbul ketika ayat-ayat mutasyabihat jika dimaknai secara dzahir sehingga mensifatkan Allah dengan sifat-sifat yang menunjuki kepada sifat baharu (huduts) atau menunjuki atas tanda kekurangan seperti dipengaruhi atau dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu contohnya bertempat(dibatasi atau dipengaruhi tempat), berpindah atau bergerak (dibatasi atau dipengaruhi ruang dan waktu) karena Allah ta’ala bersifat Qadim (terdahulu).
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dialah Yang Awal dan YangAkhir” (QS Al Hadiid [57]:3)
Allah ta’ala tidak berubah.
Allah ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy,sebagaimana setelah diciptakan ‘Arsy
Allah ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya,sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya
Allah ta’ala sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya
Kalau kita kaji lebih jauh, pada kenyataannya dalam perkara aqidah (i’tiqod) mereka bertasyabuh kepada kaum Yahudi sebagaimana yang diikuti oleh kaum musyabbihah bermazhab dzahiriyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) berpegang pada nash secara dzahir
Kaum Yahudi –semoga Allah melaknat mereka- dalam naskah taurat palsu yang mereka namakan dengan Safar al Khuruj al Ishhah 13 nomor 20 mengatakan: ”Dan Tuhan berjalan di depan mereka”.
Dan dalam kitab yang mereka namakan dengan Safar at-Takwin alIshhah 3 nomor 8-10 kaum Yahudi mengatakan: “Dan keduanya mendengar suara Tuhan yang sedang berjalan di dalam surga”.
Dan dalam kitab yang mereka namakan dengan Safar Mazamir alIshhah 53 nomor 2 kaum Yahudi mengatakan: “Allah dari langit mengaturmanusia dan melihatnya”.
Dan dalam kitab yang mereka namakan dengan Safar at-Takwin alIshhah 11 nomor 5 mereka mengatakan: “Tuhan kemudian turun untuk melihat kota”
Dalam kitab yang mereka namakan Safar at-Takwin al Ishhah 28 no. 16 kaum Yahudi mengatakan: “Sungguh, Tuhan ada di tempat ini dan saya tidak mengetahuinya”.
Dalam kitab yang mereka namakan Safar at-Takwin al Ishhah 18 no. 1 kaum Yahudi mengatakan: “Dan Tuhan menampakkan diri kepadaNya di Balithat.”
Dalam kitab yang mereka namakan Safar Zakariya al Ishhah 2 no. 13 kaum Yahudi mengatakan: “Diamlah kalian wahai manusia di depan Tuhan karena Ia telah bangun dari tempatNya”.
Berikut contoh riwayat yang menjelaskan i’tiqod (aqidah) kaum Yahudi yang berpegang pada nash secara dzahir
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari,seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi dalam kitab berjudul Daf’u syubah at-tasybihbi-akaffi at-tanzih menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits diatas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaumYahudi)”
Jikalau beri’tiqod (beraqidah) dengan makna dzahir (berpegang pada nash secara dzahir) maka “jari Allah” berada disetiap hati manusa
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jariAllah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya. (HR Muslim 4798)
Ibn Al Jawzi berkata , “Hadits ini menunjukan bahwa hati setiap manusia di bawah kekuasaan Allah. Ketika diungkapkan “بين أصبعين”,artinya bahwa Allah sepenuhnya menguasai hati tersebut dan Allah maha berkehendak untuk “membolak-balik” hati setiap manusia.
Dari Syahru bin Hausyab berkata; saya telah mendengar Ummu Salamah meceritakan bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam memperbanyak dalam do’anya: ALLAHUMMAA MUQALLIBAL QULUB TSABIT QALBI ‘ALA DINIK (Ya Allah,yang membolak balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu). Ia berkata;saya berkata; “Wahai Rasululah! Apakah hati itu berbolak balik?” beliau menjawab: “Ya, tidaklah ciptaan Allah dari manusia anak keturunan Adam kecuali hatinya berada di antara dua jari dari jari-jari Allah. Bila Allah Azza wa Kalla berkehendak, Ia akan meluruskannya, dan jika Allah berkehendak,Ia akan menyesatkannya. Maka kami memohon kepada Allah; ‘Wahai Tuhan kami,janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah kami diberi petunjuk.’ Dan kami memohon kepada-Nya supaya memberikan kepada kita rahmat dari sisinya, sesungguhnya dia adalah Maha Pemberi’.” (HR Ahmad No 25364)
Contoh mereka yang mengikuti ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau ajaran Wahabi yang mengikuti kaum musyabbihah yang bertasyabuh pada kaum Yahudi sebagai berikut
Ulama Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Mazhab Ahlussunah adalah: Bahwa Allah memiliki dua mata, Dia melihat dengan keduanya secara hakikat sesuai dengan kedudukan yang layak bagi-Nya. Keduanya merupakan sifat dzatiyah.” (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 4/58) Sumber: http://islamqa.info/id/ref/145423
Ulama Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan makna ayat, ‘Tangan Allah di atas tangan mereka.’ (QS. Al-Fath: 10)
Ayat ini juga harus dipahami sesuai zahir dan hakikatnya. Karena tangan Allah di atas seluruh tangan orang-orang yang berbai’at. Karena tangannya termasuk sifat-Nya. Dia berada di atas mereka di Arasy-Nya. Maka tangannya di atas tangan mereka. Ini merupakan zahir dan hakikat lafaz tersebut. Hal itu untuk menguatkan bahwa orang-orang yang berbaiat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hakikatnya dia sedang berbaiat kepada Allah Azza wa Jalla. Hal itu tidak harus berarti bahwa tangan Allah yang langsung membai’at mereka. Bukankah anda memahami jika dikatakan ‘Langit di atas kami’ padahal langit jauh di atas kita. Maka tangan Allah di atas tangan para shahabat yang berbaiat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sementara kedudukannya berbeda dan lebih tinggi di atas mereka.” (Al-Qawa’idul Mutsla, yang terdapat dalam kitab kumpulan fatwa beliau, 3/331)
Sumber: http://islamqa.info/id/ref/151794
Ulama Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat yang terbukti keberadaannya berdasarkan dalil Al-Kitab, As-Sunnah dan kesepakatan ulama salaf.” Kemudian beliau menyebutkan ayat ke-27 dalam surat Ar-Rahman… (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 48)
Dan dalam kitab yang berjudul Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah cetakan Yayasan Cordoba al Andalus hal. 14-15 Ibn Utsaimin mengatakan: “Kami beriman bahwa Allah memiliki dua mata dengan sebenarnya”. Ia juga mengatakan: “Ahlussunnah telah bersepakat bahwa mataNya ada dua”.
Dalam kitab yang berjudul Tafsir ayat al Kursiy karya Muhammad ibn Utsaimin hal. 27 disebutkan: “Dan kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah azza wa jalla.”
Dalam kitab yang berjudul Fatawa al Aqidah karya Muhammad ibn Shalih al Utsaimin hal. 112 ia mengatakan: “Sesungguhnya Allah datang dengan sebenar-benar datang.” Dan pada hal. 114 ia mengatakan: “Sesungguhnya dhahirnya terdapat kedatangan Allah dengan bergegas dan ini tidak mustahil bagiNya, jadi Dia benar-benar datang”.
Begitupula dengan kaum Musyabbihah, mereka beri’tiqod bahwa Tuhan bermuka dan bertangan. Mereka menggunakan dua dalil dari ayat Al Qur’an seperti yang artinya
“Dan yang kekal muka Tuhanmun yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS Ar Rahmaan [55]:27)
“Tangan Tuhan di atas tangan mereka” (QS Al Fath [48]:10)
Kaum Musyabbihah mengatakan bahwa Tuhan telah menceritakan tentang diriNya atau Tuhan telah menetapkan sifat bagi diriNya dalam ayat-ayat tersebut sehingga nyata benar bahwa Tuhan mempunyai muka dan itulah yang kekal dan mempunyai tangan yang lebih tinggi dari tangan manusia.
Kaum Musyabbihah mengartikan ayat-ayat tersebut menurut dzahirnya saja.
Kaum Ahlus sunnah wal Jama’ah menolak paham atau i’tiqod (aqidah) seperti itu berpegang pada firmanNya yang artinya “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (QS As Syuura [42]:11)
Kalau Tuhan bermuka dan bertangan maka serupalah dengan makhluknya yaitu manusia.
Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah mentakwilkan perkataan “wajhu” sehingga maknanya menjadi “Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS Ar Rahmaan [55]:27)
Kata wajah dalam Bahasa Arab biasa digunakan merujuk kepada wajah yang dikenal secara denotatif, dan kadang juga digunakan oleh Bangsa Arab merujuk diri seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan “wajah” untuk menyebut “diri seseorang”, maksudnya adalah dzatnya, secara majaz (kiasan).
Kata “wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz (kiasan) untuk mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya. Maka mereka berkata: “jaa’a wajhul qoumi” telah datang wajah kaum.
Sedangkan ayat kedua, kaum Ahlussunnah wal Jama’ah mentakwilkan “yaddu” artinya kekuasaan sehingga maknanya menjadi “kekuasaan Allah di atas kekuasaan manusia”
Dengan mentakwilkan ayat-ayat tersebut tujuannya mengembalikan ayat-ayat mutasyabihat (mempunyai makna yang banyak) kepada ayat yang muhkamat yakni yang artinya “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (QS As Syuura [42]:11)
Kaum Musyabbihah berpendapat bahwa Tuhan itu berada atau bertempat di atas ‘Arsy atau bahkan Tuhan itu duduk di atas ‘Arsy. Dalil yang dikemukan adalah “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa (QS Thaha 5)
Kaum Musyabbihah mengatakan bahwa Tuhan di atas yakni di atas langit dengan berdalil firmanNya yang artinya, “Tetapi Tuhan mengangkat Isa kepadaNya” (QS An Nisaa [4]:158)
Berdasarkan ayat tersebut kaum Musyabbihah berkata bahwa dengan Nabi Isa as diangkat oleh Tuhan kepadaNya yang berarti bahwa Tuhan itu di atas karena ada perkataan “rafa’a” yang berarti mengangkat ke atas. Begitupula dengan firmanNya yang artinya “Apakah kamu merasa aman dengan yang ada di langit” (QS Al Mulk [67]:16)
Kaum Musyabbihah menyatakan bahwa dalam ayat tersebut telah jelas bahwa Tuhan itu di langit atau di atas karena langit itu di atas.
Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah mengartikan ayat tersebut “tempat yang mulia”. Jadi Nabi Isa as diangkat ke tempat yang mulia dan dia berada di tempat yang mulia. Pada ayat-ayat tersebut memang disebutkan di atas atau di langit tetapi yang dimaksdudkan adalah tempat yang mulia karena perkataan “di atas” atau “di lagit’ biasa juga dipakai oleh orang Arab pada arti “tempat yang mulia”
Sedangkan firmanNya pada (QS Al Mulk [67]:16) , kaum Ahlusunnah wal Jama’ah mentafsirkannya menjadi “Apakah kamu merasa aman dengan yang (berkuasa) di langit”
Kaum Musyabbihah mengatakan bahwa Tuhan itu bertubuh seperti makhlukNya dan tubuhNya itu berkilau-kilau serupa nur atau cahaya. Mereka berdalil dengan firmanNya yang artinya “Allah itu cahaya langit dan bumi” (QS An Nuur [24]:35)
Kalau begitu, maka Tuhan menurut kaum Musyabbihah serupa dengan cahaya matahari yang memancar kesana kesini yang meliputi alam yang luas ini.
I’tiqod seperti itu ditentang keras oleh kaum Ahlussunnah wal Jama’ah karena arti ayat tersebut adalah “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi” jadi maknanya adalah Allah ta’ala yang memberi cahaya pada langit dan bumi.
Dalam tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat tersebut sebagai “Allah memberi petunjuk di langit dan di bumi” Perkataan “nur” dapat berarti petunjuk.
Dalam tafsir Jalalain terhadap ayat tersebut adalah “Allah yang menerangi langit dan bumi” .
Kaum Musyabbihah artinya kaum yang menyerupakan.
Kaum Musyabbihah digelari kaum Musybih (menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan makhlukNya.
Sehingga kaum Musyabbihah mengatakan bahwa Tuhan bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia juga bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh.
Ada juga orang yang menamakan kaum ini dengan kaum mujassimah yakni kaum yang menubuhkan karena mereka menubuhkan Tuhan,mengatakan Tuhan bertubuh, bermuka, bermata, bertangan, berkaki dan bahkan ada yang mengatakan bahwa Tuhan berkelamin dan kelaminnya itu laki-laki (lihatsyarah Nahjul Balagah Juz III, hal 225)
Ada juga orang yang menamai mereka dengan kaum Hasyawiyah yang artinya percakapan omong kosong, percakapan di luar batas, percakapan hina dina alias kaum “omong kosong”.
Jumhur ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami AlQur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri secara otodidak (shahafi) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri yang umumnya dengan makna dzahir, kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihiwasallam dan ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluqNya
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jism (contohnya tangan) sebagaimana jisim-jisim lainnya (sebagaimana tangan lainnya), maka orang tersebut hukumnya Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (contohnya tangan) namun tidak serupa dengan jisim-jisim lainnya (tidak serupa dengan tangan makhlukNya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
– I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Kaum Musyabbihah atau Mujassimah ini berasal dari orang-orang yang semula bermazhab Hanbali, tetapi Imam Ahmad bin Hanbal tidak berkeyakinan dan tidak beri’tiqod sebagaimana mereka.
Guru guru besar kaum Musyabbihah atau Mujassimah adalah
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdadial-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali. Beliau ini pengarangbuku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana diuraikan banyak tentang tasybihm yaitu keserupaan Tuhan dengan manusia.
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmadal-Baghdadi al-Hanbali, dikenal dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang kitab Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan bahwa “Aib yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air sebanyak air laut sekalipun”. Tampaknya cacat pahamnya terlalu besar.
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghunial-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang sebuah buku dalam usuluddin yangberjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan tajsim.
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahannya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf untuk menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama Hambali yang merupakan guru guru besar kaum Musyabbihah atau Mujassimah
Ibn al Jawzi berkata bahwa
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادمعلى صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata,mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki, sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”, mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu–dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan“Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
Jadi imam atau guru besar kaum musyabbihah adalah para ulama yang semula bermazhab Hanbali
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang aqidah mereka yang semula para pengikut Mazhab Hambali, apakah aqidah Imam Ahmad bin Hambal seperti aqidah mereka ?
Beliau menjawab: Aqidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah. Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau. Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh beliau dengan tuduhan yang Allah telah membersihkan beliaudarinya itu.
Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah ketika ditanya terkait firmanAllah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata “Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan”
Dalam kitab al-Washiyyah, Al-Imam Abu Hanifah menuliskan:“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung”
Aqidah Firaun yang mengatakan bahwa setiap yang ada harus bertempat. Memang sangat wajar bila seorang Fir’aun menyangka demikian, karenaia telah mengaku diri nya Tuhan, tentu dipikiran nya Tuhan Nabi Musa as jugaseperti diri nya, harus punya tempat yang jelas.
Akan tetapi yang sangat tidak wajar bila asumsi Fir’aun itu (setiap yang ada pasti punya tempat) datang dari seorang makhluk yang bertauhid dan percaya Tuhan berbeda dengan makhluk (semoga kita dijauhkan dari pemikiran Fir’aun).
Dari asumsi tersebut, Fir’aun mencoba meraba apa yang disampaikan oleh Nabi Musa as bahwa Nabi Musa as adalah utusan “Tuhan yang memiliki langit dan bumi”, tentu saja Fir’aun mempertanyakan di mana keberadaan Tuhan Nabi Musa itu, karena ia yakin “setiap yang ada pasti punya tempat”.
Dan pilihan yang ada cuma dua yakni di langit atau di bumi, bila di bumi tentu Nabi Musa as telah menunjukkannya, bila di langit bagaimana Nabi Musa as bisa tahu, bagaimana mendapatkan risalah nya,
Fir’aun yang telah termakan dengan asumsi nya yang salah, tidak percaya sesuatu yang ada tapi tanpa bertempat, walaupun seorang Tuhan tidak mungkin tidak bertempat, ia telah membuktikan kepada kaum nya bahwa tidak ada Tuhan lain di bumi selain dari dia, dan hanya satu tempat lagi yang belum ia buktikan yaitu di langit, sehingga ia perintahkan pembantu nya untuk membangun bangunan yang tinggi di atas gunung, agar ia bisa melihat Tuhan Nabi Musa as, sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran Surat Ghafir ayat 36-37:
“Dan berkatalah Fir`aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu[36] (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan nya Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”. Demikianlah dijadikan Fir`aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir`aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian [37]“.
Imam Ar-Razi berkata,”sesungguhnya mereka (musyabbihah) adalah orang-orang yang sangat bodoh,yang membuat mereka semakin lengkap dalam kehinaan dan kesesatan, oleh karena mereka telah menjadikan perkataan Fir’aun yang terlaknat, sebagai dalil mereka atas kebenaran agama mereka, sementara Nabi Musa as dalam memperkenalkan Tuhan,tidak pernah melebihkan dari menyebutkan sifat penciptaan, sebagaimana dalam surat Thoha :50 “Tuhan kita adalah yang memberikan tiap sesuatu bagi makhluk-Nya kemudian memberi petunjuk” dan sebagaimana dalam surat Asy-Syu’araayat 26, 28 “Tuhan kalian dan Tuhan bapak kalian yang terdahulu – Tuhan timur dan barat dan diantara kedua nya”. Maka nyatalah bahwa memperkenalkan Tuhan dengan keadaannya di langit adalah agama Fir’aun, dan memperkenalkan Tuhan dengan penciptaan dan makhluk adalah agama Nabi Musa as, Siapa yang berpendapat dengan yang pertama, adalah ia diatas agama Fir’aun, dan siapa yang berpendapat dengan yang kedua, adalah ia diatas agama Nabi Musa as, kemudian kita menjawab, kita tidak bisa menerima bahwa semua yang disebutkan Fir’aun tentang sifat Allah ta’ala karena ia pernah mendengar dari Nabi Musa as, tapi karena Fir’aun berada dalam keyakinan Musyabbihah, maka tentu ia berkeyakinan jika memang Tuhan ada, pasti Dia berada di langit, maka keyakinan Fir’aun ini sungguh datang dari diri nya, bukan karena mendengar dari Nabi Musa as, adapun perkataan Fir’aun “sungguh aku yakin Musa adalah pendusta” maka kita jawab, kemungkinan ketika Fir’aun mendengar Nabi Musa berkata “Tuhan langit dan bumi” lalu Fir’aun menyangka maksud Nabi Musa as bahwa Tuhan nya menetap di langit, sama seperti ungkapan “dia yang punya ini rumah” maksud nya dia tinggal di rumah itu. Ketika Fir’aun semakin yakin dengan sangkaan nya maka ia sebutkan asumsi nya, dan ini tidak jauh kemungkinan, karena Fir’aun adalah sangat bodoh sehingga mungkin menisbahkan asumsi demikian kepada nya, bila ada yang bilang tidak mungkin Fir’aun berasumsi demikian, itu karena asumsi tersebut layak dengan mereka, ketika mereka berada di atas agama Fir’aun, tentu mereka sangat menghargai ideologi Fir’aun itu, dan adapun alasan Musyabbihhah “sesungguhnya fitrah Fir’aun bersaksi bahwa Tuhan kalau Dia ada sungguh Dia berada di langit” maka kita jawab: kita tidak mengingkari bahwa fitrah kebanyakan manusia menyangka benar demikian, apa lagi orang yang kebodohan nya telah sampai ketingkat kebodohan Fir’aun, maka alasan fitrah tidak bisa menjadi alasan”. [Lihat Tafsir Ar-Razi,surat Ghafir : ayat 36-37 ]
Abu Mansur Al-Maturidi berkata : “Kaum Musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk) berpegang dengan dhohir ayat ini, mereka beralasan : Seandainya bukan karena Musa as telah menyebut dan memberitahu Fir’aun bahwa Tuhan di atas langit, sungguh Fir’aun tidak menyuruh Haman membangun bangunan agar ia dapat naik ke langit dan melihat Tuhan Nabi Musa as,sebagaimana Firman Allah menceritakan pernyataan Fir’aun [Al-La’in]. Tetapi kita menjawab : Tidak ada dalil bagi mereka, karena kemungkinan pernyataan Fir’aun tersebut sebagian dari kebohongan Fir’aun kepada kaum nya tentang Musa as”.[Lihat Tafsir Ta’wilat Ahlus Sunnah surat Ghafir ayat 37].
Nabi Musa alaihi salam tidak pernah mengatakan bahwa Tuhan berada atau bertempat di langit.
Firman Allah ta’ala yang artinya
Berkata Fir’aun: “Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa? (QS Thaahaa [20]:49)
Musa berkata: “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk (QS Thaahaa [20]:50)
“Dan Musa berkata: “Hai Fir’aun, sesungguhnya aku ini adalah seorang utusan dari Tuhan semesta alam” (QS Al A’raf [7]:104)
Fir’aun bertanya: “Siapa Tuhan semesta alam itu?”(QS Asy Syu’ara [26]:23)
Musa menjawab: “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian(orang-orang) mempercayai-Nya” (QS Asy Syu’ara [26]:24)
Musa berkata (pula): “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu” (QS Asy Syu’ara [26]:26)
Musa berkata: “Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal”. (QS Asy Syu’ara [26]:28)
al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyiral-Maliki, salah seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah, dalam karyanya berjudul al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa telah menuliskan pernyataan al-Imam Malik bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dalam karyanya tersebut, al-Imam Ibn al-Munayyir mengutip sebuah hadits, riwayat al-Imam Malik bahwa Rasulullah bersabda: “La Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta” (Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta). Dalam penjelasan hadits ini al-Imam Malik berkata bahwa Rasulullah secara khusus menyebut nabiYunus dalam hadits ini, tidak menyebut nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman aqidah tanzih, -bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah-. Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah arsy -ketika peristiwa Mi’raj-,sementara nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam-ketika beliau ditelan oleh ikan besar-, dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah sama saja. artinya satu dari lainnya tidak mempunyai jarak dan arah kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan “Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta”.
Dengan demikian, hadits ini oleh al-Imam Malik dijadikan salah satu dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah (Lihat penjelasanini dalam al-Muqtafa Fi syaraf al-Mustahafa. Perkataan Al-Imam Malik ini juga dikutip oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil. Demikian pula perkataan Al-Imam Malik ini dikutip oleh Al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadahal-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin).
Berikut penjelasan ulama yang sholeh dari kalangan keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki. Kami kutipkan dari terjemahan kitab beliau yang aslinya berjudul “Wahuwa bi al’ufuq al-a’la” diterjemahkan oleh Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam”
***** awal kutipan *****
Mi’raj dan Syubhat tempat bagi Allah (hal 284)
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaanarahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunusalaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh alBaghawi dan yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabidan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat beliau tanpa menggunakan buraq.
****** akhir kutipan ******
Mi’raj dan Arah (hal 286)
****** awal kutipan *****
Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahualaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wata’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilahkepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya.Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahualaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihis salam ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala. Karena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa AlQadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oleh hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihis salam menghempaskan dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah ta’ala memberitakan tentang dia.Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Iawahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihis salam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka“.
Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam diatas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu.
***** akhir kutipan *****
Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturidi: “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa mengangkat pandangan ke langit karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan seseorang bahwa Allah di dasar bumi karena ia meletakkan muka nya di bumi ketika Shalat dan lain nya, dan juga sama seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/barat karena ia menghadap ke arah tersebut ketika Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” [Kitab At-Tauhid – 75]
Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu karena Allah di langit,sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” [Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal :22]
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Ibnu Batthal berkata: sesungguhnya langit itu qiblat doa, sebagaimana Ka’bah itu qiblat Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika berdoa, karena sesungguhnya langit itu qiblat doa” [Ittihaf, jilid 2, hal 170]. kemudian Imam Al-Hafidh MurtadhaAz-Zabidi juga berkata: “Jika dipertanyakan, ketika adalah kebenaran itu mahasuci Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud mengangkat tangan dalam doa ke arah langit ? maka jawaban nya dua macam yang telah disebutkan oleh At-Thurthusyi :
Pertama: sesungguhnya angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap Ka’bah dalam Shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.
Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepadaMalaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang diangkat nya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi,manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-perkara mulia tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan kelangit, dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5,hal 244]
Mereka beri’tiqod (aqidah) bahwa Tuhan berada (bertempat) dilangit atau tepatnya di atas ‘Arsy , pada umumnya dikarenakan menjadikan hadits kisah budak Jariyah di dalam kitab Sahih Muslim yang diriwayatkan oleh Muawiyahbin al-Hakam as-Sulami sebagai landasan utama dalam i’tiqod.
Padahal pertanyaan “di mana” tidak layak ditujukan pada Allah ta’ala.
Imam Sayyidina Ali ra juga mengatakan yang maknanya:“Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya dimana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221:“Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-Nya: Di mana?.”
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang MahaTinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”.Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya,atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Hadits kisah budak Jariyah di dalam kitab Sahih Muslim yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami tidak bisa dijadikan landasan untuk i’tiqod karena pertanyaan “di mana” tidak patut disandarkan kepada Allah ta’ala
Hadits kisah budak Jariyah tidak diletakkan dalam bab tentang iman (i’tiqod) namun pada bab tentang sholat.
Hal pokok yang disampaikan oleh hadits terebut adalah pada bagian perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya,“Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia,karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”
Pada saat Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami meriwayatkan kisahbudak Jariyah, beliau dalam keadaan baru masuk Islam yang dapat diketahui dengan pernyataannya “Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang Islam”.
Jadi redaksi/matan kisah budak Jariyah adalah periwayatan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami secara pribadi yang kemungkinan besar masih dipengaruhi keyakinan (aqidah) kaum sebelumnya seperti paganisme , bahwa ‘alam Tuhan’ itu berada di langit, seiring dengan ‘alam dewa-dewa’ keyakinan nonmuslim.
Alam dewa dan alam Tuhan selalu dikaitkan dengan alam tinggi, yang dipersepsi berada di langit, dalam arti ruang yang sesungguhnya. Sehingga, kita sering mendengar cerita-cerita tentang ‘turunnya’ para dewa-dewi, bidadari, atau bahkan ‘Tuhan’ sendiri dari langit nun jauh di sana menuju ke Bumi. Keyakinan pagan adalah keyakinan yang menyembah dewa-dewi dan unsur-unsur alam. Di antaranya adalah keyakinan penyembah Matahari, Bintang, Bulan, penyembah api, penyembah pepohonan, gunung-gunung, dan lain sebagainya.
Pengaruh keyakinan bahwa “alam Tuhan” itu berada di langit mengakibatkan segelintir umat Islam berkeyakinan (beri’tiqod) Tuhan berada (bertempat) di langit (fis sama) atau di atas ‘Arsy (alal ‘Arsy) atau diatas Sidratul Muntaha atau berada di alam tinggi, di atas awan sana. Di langit seperti negeri dongeng jaman dahulu kala, yang tidak akan pernah anda temui ketika anda naik pesawat ruang angkasa sekalipun, baik dengan teknologi pesawat ruang angkasa pada masa kini maupun nanti.
Oleh karenanya ada di antara umat Islam yang berpendapat, untuk bertemu Allah kita harus mengarungi jarak ke langit, ke luar angkasa sana. Termasuk ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Mi’raj. Beliau datang ke Sidratul Muntaha itu dipersepsikan untuk bertemu Allah. Sebab, dalam persepsi mereka, Allah itu di langit, jauh dari kita dalam arti mempunyai jarak, ruang dan waktu.
Begitupula Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan untuk menanyakan kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi).
Tentang hadits pada matan kisah budak Jariyah, berkata Imam asy-Syafi’i–rahimahullah- :
واختلف عليه في إسناده ومتنه، وهو إن صحفكان النبي – صلى الله عليه وسلم – خاطبها على قَدرِ معرفتها، فإنها وأمثالها قبل الإسلامكانوا يعتقدون في الأوثان أنها آلهة في الأرض، فأراد أن يعرف إيمانها، فقال لها: أيناللَّه؟ حتى إذا أشارت إلى الأصنام عرف أنها غير مؤمنة، فلما قالت: في السماء، عرفأنها برئت من الأوثان، وأنها مؤمنة بالله الذي في السماء إله وفي الأرض إله، أو أشار،وأشارت إلى ظاهر ما ورد به الكتاب.
“Dan telah terjadi khilaf pada sanaddan matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia (hamba) dan kawan-kawan nya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanan nya, maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?” sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarahkepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”. [Lihat Kitab Tafsir Imam asy-Syafi’ipada surat al-Mulk -قال الله عزَّ وجلَّ: أَأَمِنْتُمْ مَنْفِي السَّمَاءِ
dan [Lihat Kitab Manaqib Imam Syafi’i jilid 1 halaman 597karangan Imam Baihaqqi, pada Bab
-ما يستدل به على معرفة الشَّافِعِي بأصولالكلام وصحة اعتقاده فيها- ]
Penjelasannya
واختلف عليه في إسناده ومتنه
“Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya”
Maksudnya : Khususnya pada matan (redaksi) hadits Jariyah telah banyak terjadi perbedaan pendapat ulama Hadits, baik dalam keshohihan sanad nya atau dalam matan nya, sepantasnya Hadits ini ditinggalkan bagi orang yang ingin beraqidah dengan aqidah yang selamat, karena ketidak-jelasan status Hadits ini.
وهو إن صح فكان النبي – صلى الله عليه وسلم– خاطبها على قَدرِ معرفتها
“dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya”
Maksudnya : Bila ternyata Hadits Jariyah itu benar Hadits Shohih, atau bagi orang yang menganggapnya sebagai Hadits Shohih, maka jangan di telan mentah-mentah, pahami dulu bagaimana maksud Nabi sesungguhnya dalam Hadits tersebut, Imam Syafi’i mengatakan bahwa maksud Nabi bertanya kepada hamba itu dengan pertanyaan “Dimana Allah” adalah bertanya menurut kemampuan kepahaman hamba tersebut, artinya Nabi bertanya “Siapa Tuhan nya” sebagaimana didukung oleh sanad dan matan dalam riwayat yang lain, Nabi tidak bermaksud menanyakan arah atau tempat keberadaan Allah.
فإنها وأمثالها قبل الإسلام كانوا يعتقدونفي الأوثان أنها آلهة في الأرض
“karena bahwa dia (hamba) dan kawan-kawan nya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi”
Maksudnya : Cara Rasulullah bertanya untuk mengetahui statusnya muslim atau non muslim dengan pertanyaan “Dimana Allah” adalah menyesuaikan dan mempertimbangkan keadaan hamba tersebut yang masih awam, karena mereka sebelum datang Islam, mereka menyembah dan meyakini bahwa berhala yang bertempat di bumi adalah Tuhan mereka, maka sesuailah keadaan tersebut dengan pertanyaan Nabi “Di mana Allah”. Sementara Allah tidak seperti Tuhan-Tuhan mereka yang bertempat.
فأراد أن يعرف إيمانها، فقال لها: أين اللَّه؟
“maka Nabi ingin mengetahui keimanannya, maka Nabi bertanya : Dimana Allah ?”
Maksudnya : Nabi bertanya “Dimana Allah” untuk mengetahui status keimanan hamba tersebut, artinya Rasul bertanya siapa Tuhan yang ia imani, Nabi tidak bermaksud bertanya di mana tempat berhala nya berada bila hamba itu seorang penyembah berhala, dan tidak bermaksud menanyakan di mana tempat Allah berada bila hamba tersebut percaya kepada Allah, tapi hanya menanyakan apakah ia beriman kepada Allah atau bukan.
حتى إذا أشارت إلى الأصنام عرف أنها غيرمؤمنة
“sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam”
Maksudnya : Mempertimbangkan keadaan orang-orang dimasa itu yang masih banyak menyembah berhala, maka ketika Rasul ingin mengetahui status hamba tersebut, Rasul bertanya dengan pertanyaan “Di mana Allah” agar mudah bagi nya menjawab bila ia penyembah berhala, maka ia menunjukkan tempat berhala yang ia sembah, dan otomatis diketahui bahwa ia bukan orang yang percaya kepada Allah.
فلما قالت: في السماء، عرف أنها برئت منالأوثان
“maka manakala ia menjawab : “Diatas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala”
Maksudnya : Ketika hamba itu menjawab “Di atas langit” maka Nabi mengetahui bahwa ia adalah bukan penyembah berhala, jawaban hamba ini juga tidak bisa dijadikan alasan bahwa Nabi mengakui “Allah berada (bertempat) diatas langit” karena tidak ada hubungan antara jawaban dan pertanyaan Nabi,seperti dijelaskan di atas bahwa maksud Nabi bertanya demikian adalah ingin mengetahui status hamba muslim atau non muslim, maka jawaban hamba ini dipahami sesuai dengan maksud dari pertanyaan, Nabi tidak menanyakan apakah ia beraqidah “Allah ada tanpa arah dan tempat” atau “Allah ada di mana-mana” atau “Allah berada (bertempat) di atas langit” atau lain nya, bukan itu masalah nya disini.
وأنها مؤمنة بالله الذي في السماء إله وفيالأرض إله
“dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi”
Maksudnya : Dan dari jawaban hamba tersebut dapat diketahui bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi. Allah di langit bukan berarti Allah berada (bertempat) di langit, dan Allah di bumi bukan berarti Allah berada (bertempat) di bumi atau di mana-mana, tapi Allah adalah Tuhan sekalian alam, baik di langit atau di bumi, makhluk dilangit bertuhankan Allah, dan makhluk di bumi juga bertuhankan Allah. Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS Az Zukhruf[43]:84]
أو أشار، وأشارت إلى ظاهر ما ورد به الكتاب
“atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”
Maksudnya : Imam Syafi’i berkata kemungkinan tanya-jawab Nabi dan hamba di atas tidak pernah ada, Nabi hanya mengisyarah tidak bertanya dengan kata-kata, dan hamba juga menjawab nya dengan isyarah tanpa kata, dan kata-kata di atas hanya berasal dari perawi atau pemilik hamba yang menceritakan kejadian tersebut, maka tidak mungkin sama sekali menjadikan Hadits Jariyah ini sebagai landasan dalam i’tiqod.
Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali , terhadap riwayat yang lain yang menerangkan bahwa budak wanita ini adalah seorang yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah Yang Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk langit. Dialog ini dilakukan oleh Rasul shallallahu alaihi wasallam karena para sahabat menyangka budak wanita sebagai seorang penyembah berhala di rumah-rumah penyembahan berhala. Rasul shallallahu alaihi wasallam ingin mengetahui kebenaran prasangka mereka terhadap keyakinan sang budak, maka sang budak memberitahukan kepada mereka keyakinannya bahwa sembahannya bukanlah berhala-berhala yang ada di rumah-rumah penyembahan berhala, sebagaimana yang disangkakan terhadapnya (Abu Hamid AlGhazali, Al Iqtishad Fie Al I`tiqad, Dar Al Bashair, Kairo, cet. ke I, 2009,Hal.: 245)
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab:Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu”