Pemahaman mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm mengatakan
***** awal kutipan ****
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyah adalah orang-orang yang sering mengganggap semua orang salah yang benar hanya mereka saja karena mereka merasa atau mengaku berpegang Al Qur’an dan As Sunnah namun permasalahannya mereka bermazhab dzhahiriyah yakni memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman selalu berdasarkan makna dzahir.
Bahkan salah seorang ulama panutan mereka yakni Al Albani meyakini bahwa orang boleh berpegang pada panggilan hatinya terhadap Al Qur’an dan As Sunnah walaupun menyelisihi pendapat Imam Mazhab yang empat selama dia tidak mengetahuinya, sebagaimana dialog antara Syaikh al Buthi bersama Al Albani, contohnya termuat pada http://www.piss-ktb.com/2013/09/2799-mengkritisi-madzhab-panggilan-hati.html?m=0
***** awal kutipan *****
Syaikh al-Buthi berkata: Ada seorang pemuda yang baru saja memeluk agama Islam, la sama sekali tak mengetahui pendldlkan agama Islam, Laiu ia membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla, yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana pun kamu menghadap, dsitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (Rahmat-Nya) lagi) Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah 115).
Pemuda tersebut lalu beranggapan bahwa setiap orang yang hendak shalat boleh menghadap ke arah mana saja sebagaimana dttunjukkan oleh dzahirnya redaksi ayat Al-Quran Itu. Kemudian ia mendengar bahwa keempat imam madzhab telah bersepakat bahwa seorang yang shalat harus menghadap Ka’bah. la sadar, para imam mempunyal dalil untuk masalah ini, hanya saja ia belum mendapatlnya.
Apakah yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut sewaktu la hendak mengerjakan shalat? Apakah cukup dengan menglkutl panggilan hatinya karena la telah menemukan ayat Al-Qur’an tersebut, atau ia harus menglkutl pendapat para imam yang berbeda dengan pemahamannya?
Albani menjawab : Cukup dengan menglkuti panggilan hatinya.
Syaikh al-Buthi : Meskipun dengan menghadap ke arah timur misalnya? Apakah shalatnya dianggap sah?
Albani menjawab : Ya, karena ia wajib menglkuti panggilan hatinya
Syaikh al-Buthi berkata: Andai kata panggilan hati pemuda itu mengilhaml dlrinya sehingga ia merasa tidak apa-apa berbuat zina dengan istri tetangganya, memenuhi perutnya dengan khamar dan merampas harta manusla tanpa hak, apakah Allah akan memberlkan syafa’at kepadanya lantaran panggilan hatinya itu?
(Terdiam sejenak, lalu berkata): AlBani: Sebenarnya contoh-contoh yang Tuan tanyakan hanyalah khayalan dan tidak ada buktinya.
Syaikh al-Buthi berkata: Bukan khayalan atau dugaan semata-mata, bahkan selalu terjadl hal se-perti itu ataupun lebih aneh lagi. Bagaimana tidak begitu, seorang pemuda yang tak punya kelayakan pengetahuan tentang Islam, Al-Qur’an dan sunnah, kemudian membaca sepotong ayat Al-Qur’an yang ia pahami menurut apa adanya. la kemudian berpendapat boleh saja shalat menghadap ke arah mana saja meskipun ia tahu bahwa shalat harus menghadap kiblat. Pada kasus Ini apakah Anda tetap berpendirian bahwa shalatnya sah karena manganggap cukup dengan bisikan hati nurani atau panggilan jiwa si pemuda tersebut? Di samping itu, menurut Anda, bisikan hati, panggiian jiwa, dan kepuasan moril dapat memutuskan segala urusan (dijadikan sumber untuk mangeluarkan hukum). Kenyataan ini jelas bertantangan dengan prinsip Anda bahwa manusia terbagi atas tiga kelompok: mujtahid, muqallid, dan muttabi’.
Albani berkata: Semestinya pemuda itu membahas dan meneliti. Apakah ia tidak mambaca hadits atau ayat lainnya?
Syaikh al-Buthi berkata: la tidak memiliki cukup bahan untuk mambahas sebagaimana halnya Anda ketika membahas ihwal masalah talak. ia tak sempat membaca ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah kiblat selain di atas. Dalam hal ini apakah ia tetap harus mengikuti bisikan hatinya dengan meninggalkan ljma’ para ulama?
Albani berkata: Memang seharusnya begitu kalau ia tidak mampu membahas dan menganalisis. Baginya cukuplah berpegang pada hasil pikirannya sendiri dan ia tidaklah salah.
Syaikh al-Buthi berkata: Ucapan Anda ini amat sangat berbahaya dan mengejutkan. Kami akan siarkan.
Albani berkata: silakan Tuan menyiarkan pendapat saya dan saya tidak takut.
Syaikh al-Buthi berkata: Bagalmana Anda akan takut kepada saya sedangkan Anda tldak takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ? Sesungguhnya dengan ucapan tersebut Anda telah membuang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mangetahuf – OS-An Nahi: 43.
Albani berkata: Tuan, para imam tidaklah ma’shum – terpelihara dari kesalahan. Bolehkah ia (si muallaf) meninggalkan yang ma’shum (Maksudnya meninggalkan nash-nash agama sepertl Al Qur’an dan hadlts Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) dan berpegang pada orang yang tidak ma’shum?
Syaikh al-Buthi berkata: “yang terpelihara dari kesalahan adalah makna yang hakiki yang dikehendaki Allah Azza wa Jaila daiam firman-Nya, yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat”. Akan tetapi pemahaman pemuda yang jauh sekali dari pendidikan Islam sama sekali tidak ma’shum.
Jadi masalahnya ialah perbandingan antara dua pemahaman, yaitu pemahaman atau pemikiran seorang pemuda yang jahil dengan pemahaman atau pemikiran para Imam mujtahiddln, yang keduanya tidak ma’shum. Perbedaannya hanyalah yang satu terlalu jahil dan yang satu lagi sangat dalam ilmunya.
Albani berkata: Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membebaninya melebihi kemampuannya.
Kemudian Syaikh al-Buthi mengajukan analogi lainnya.
Syaikh al-Buthi berkata: “tolong jawab pertanyaan ini. Seseorang mempunyai anak kecil yang sedang saklt panas. Menurut saran semua dokter yang ada di kota Itu, la harus diberi obat khusus dan mereka melarang orangtua anak tersebut untuk mengobatinya dengan antlbiotik. Mereka pun telah memberi tahu kepada orangtua si anak bahwa, sekiranya saran ini dilanggar, mungkin saja Itu menyebabkan kematian si anak.
Suatu ketika si orangtua membaca selebaran brosur kesehatan dan manemukan keterangan bahwa antibiotik terkadang bermanfaat untuk mengobati saklt panas. Berdasarkan isi selebaran itu, orangtua tersebut tidak memperhatikan lagi saran dokter. Dengan panggilan hatinya, ia merawat anaknya dengan antibiotik hingga mangakibatkan kematian si anak, Dengan tindakan ini, apakah orangtua tersebut berdosa atau tidak?
Albani menjawab: Saya kira, masalah itu lain dengan masalah ini dan maksudnya pun berbeda dengan persoalan yang sedang kita bicarakan.
Syaikh al-Buthi berkata: “Masalah ini pada hakikatnya sama dengan hal yang tengah kita bicarakan. Coba Anda perhatikan. Orangtua tersebut sudah mendengarkan ijma (kesepakatan) para dokter, sebagaimana pemuda tadi juga telah mendengar ijma’ para ulama. Akan tetapi lantaran tak tahu landasan dan teori-teori medis dunia kedokteran, orangtua itu bepegang pada brosur kesehatan yang ia baca dan hatinya kemudian condong padanya, sebagalmana pemuda tersebut melaksanakan panggilan hatinya.
Albani berkata: Tuan, Al-Quran adalah nur (cahaya). Nur AI-Qur’an tidak dapat disamakan dengan yang lain.
Syaikh al-Buthi berkata: Apakah pantulan cahaya Al-Qur’an itu dapat dipahami oleh setiap yang membaca Al-Qur’an dengan pemahaman yang tepat sebagaimana yang dlkehendakl Allah Subhanahu wa Ta’ala? Kalau begitu, apa bedanya antara ahli ilmu dan yang bukan ahli ilmu dalam menerima cahaya Al-Qur’an?
Albani berkata : Panggilan hati adalah yang paling asas/pokok,
Syaikh al-Buthi : Orangtua tersebut telah melaksanakan panggilan hatinya hingga menyebabkan kematian anaknya. Apakah ada pertanggungjawaban bagl orangtua itu baik dari segi syari’at maupun tuntunan hukum?
Albani berkata : Dia tidak dituntut apa-apa.
Syaikh al-Buthi berkata: Dengan pernyataan Anda seperti ini, saya kira diskusi ini kita cukupkan saja sampai di sini. Sudah putus jalan untuk mempertemukan pendapat kami dengan Anda. Dengan Jawaban Anda yang sangat ganjil itu, cukuplah kiranya kalau Anda telah kaluar dari ijma’ kaum muslimin.
***** akhir kutipan *****
Pemahaman Al Albani dalam dialog di atas bahwa tidak masalah jika orang-orang berpendapat selama berpegang pada Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri walaupun seorang mualaf, kemungkinannya terkait pula dengan keyakinan mereka terhadap orang yang membaca atau mendengar Al Qur’an dan Kalam Allah.
Berikut keyakinan mereka terhadap orang yang membaca atau mendengar Al Qur’an dan Kalam Allah sebagaimana ulama panutan bagi mereka yang diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yakni Ibnu Taimiyah yang selalu berpegang pada nash secara dzahir.
Ibnu Taimiyyah meyakini bahwa Allah berbicara dengan huruf dan suara dan bahwa Allah kadang berbicara dan kadang diam. (Risalah fi Shifat al Kalam 51, 54, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah 1/221, Muwafaqah Sharih al Ma’qul Li Shahih al Manqul 2/143,151, 4/107, Majmu’ al Fatawa 6/160, 234, 5/556-557, Majmu’ah Tafsir 311)
Al-Faqîh Syamsuddin Muhammad ibn Adlan asy-Syafi’i (w 749 H), salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah juga menyampaikan bahwa Ibnu Taimiyah meyakini sifat Kalam Allah berupa huruf dan suara
Berikut contoh tulisan dari pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah yang bersumber dari http://muslimah.or.id/aqidah/al-quran-adalah-kalam-allah-bukan-makhluk-bagian-1.html dan tulisan senada pada http://www.islam-qa.com/id/10153
***** awal kutipan *****
Kalam Allah adalah sifat yang haqiqi yang ditetapkan selayaknya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan terdiri dari huruf dan suara, dengan cara yang dikehendaki-Nya, kapan Dia berkehendak, dan dapat didengarkan oleh siapa yang dikehendaki-Nya, sebagaimana Musa ‘alaihis salam mendengarnya tanpa perantara, begitu juga Jibril ‘alaihis salam dan para malaikat serta rasul yang Allah Ta’ala izinkan untuk dapat mendengarkannya.
Dalil-dalil yang menunjukkan akan hal ini terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah, diantaranya
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb-nya telah berfirman (langsung) kepadanya (Musa) “ (QS. Al-A’raf: 143)
Ayat di atas menjadi dalil bahwasanya Kalam Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa Kalam Allah ditujukan kepada individu tertentu, bukan kepada yang lain, sesuai dengan yang Dia Kehendaki.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “ (Ingatlah), ketika Allah berfirman: Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku “ (QS. Ali Imran: 55)
Ayat di atas berisi perkataan Allah Ta’ala kepada ‘Isa ‘alaihis salam yang menunjukkan bahwa Kalam Allah adalah huruf, karena suatu perkataan yang bisa didengar pasti di dalamnya terdiri dari huruf.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami untuk bercakap-cakap. “ (QS. Maryam: 52)
Ayat ini menunjukkan bahwa Kalam Allah berupa suara, sebagaimana dipahami oleh akal bahwa nida’ (panggilan dengan suara keras) dan munajat (ucapan dengan nada lembut) pasti berupa suara yang dapat didengar.
Dalil dari as-sunnah diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Unais dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :
“Allah mengumpulkan para makhluk pada hari kiamat dalam keadaan telanjang, tanpa alas kaki, belum dikhitan, dan tidak berpakaian, kemudian Allah memanggil mereka dengan suara yang terdengar oleh orang yang jauh, sebagaimana orang yang dekat mendengarnya: “Sayalah Sang Raja, Sayalah Yang Membuat Perhitungan. “ (HR. Ahmad & Al-Bukhari)
Kalam Allah adalah sifat dzatiyyah ditinjau dari segi jenisnya, artinya sejak dulu Allah memliki sifat berfirman, meskipun Allah belum berfirman kepada Musa atau makhluk-Nya yang lain. Dan sifat berfirman bukan merupakan suatu hal yang baru terjadi setelah sebelumnya tidak ada.
Di samping itu, Kalam Allah juga merupakan sifat fi’liyyah ditinjau dari segi kekhususan Allah berbicara dengan makhluk-Nya yang Dia kehendaki, dimana sebelumnya Allah tidak berbicara kepadanya.
***** akhir kutipan ******
Mereka tampaknya tidak membedakan antara Al Qur’an dengan bacaan Al Qur’an
Kalam Allah (Kalam Allah ad-Dzati) adalah qadim, tanpa permulaan dan tanpa penghabisan, serta tidak menyerupai sifat kalam yang ada pada makhluk.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)
Sifat kalam pada makhluk berupa huruf-huruf, suara dan bahasa.
Adapun Sifat Kalam Allah (Kalam Allah ad-Dzati) bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa karena huruf, suara maupun bahasa adalah makhluk (diciptakan)
Oleh sebab itu kita tidak percaya bahwa kalam Allah ada permulaannya, atau kalamNya itu adalah suatu tindakan seperti pembicaraan kita, karena dengan hal itu berarti Allah butuh kepada selainNya untuk menciptakan kalamNya supaya menjadi sempurna.
Suatu ketidaksempurnaan jika kalamNya untuk mengungkapkan apa yang diketahuiNya itu berupa serial (kata-kata berurutan, perkataan satu demi satu, atau perkataan dengan huruf atau suara), karena kalam yang terdiri dari ekspresi serial itu pasti memiliki awal dan akan ada penundaan (dimensi waktu) dalam menginformasikan semua yang diketahuiNya.
Contoh dalam “Bismillah”, misalnya “i” ada setelah datang “b”, sehingga ketika anda mengatakan Bismillah, suara “i” hanya menjadi ada setelah ketidak adaan “b”
Pada hakikatnya kita tidak boleh mengimani sifat Allah yang dipengaruhi atau dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu.
Allah Azza wa Jalla dengan sifat kalamNya tidak membutuhkan atau tidak dipengaruhi atau dibatasi kepada ciptaanNya seperti dimensi ruang dan waktu.
Kalam yang terdiri dari suara dan huruf adalah kalam ciptaan, karena alasan ini seseorang tidak boleh mengatakan bahwa sifat kalam Allah yang kekal adalah huruf dan suara, karena Allah berfirman yang artinya: “tidak ada sesuatu yang menyerupai Dia” (QS Asy Syuura [53]:11)
Oleh karenanya ketika dikatakan “Al-Qur’an tidak diciptakan” atau “Al Qur’an bukan makhluk” maksudnya adalah mengacu pada sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah ad-Dzati) yang bukan suara ataupun huruf.
Dengan kata lain, kalimat dalam kitab Al-Qur’an itu atau bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) mengacu pada pada apa yang terkandung dari apa yang Allah katakan dengan sifat kalamNya atau dengan kata lain kalimat kitab Al-Qur’an itu atau bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) tersebut adalah ungkapan (ibarah) dari Kalam Allah al-Dzati yang bukan suara, bukan huruf-huruf, dan bukan bahasa.
Imam Abu Hanifah (150 H) mengatakan “Kami berbicara dengan alat dan huruf sedangkan Allah Ta’ala berbicara tanpa alat dan huruf, sedangkan huruf itu makhluk dan kalamullah bukanlah makhluk “. (Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Akbar,al-Washiyyah, al-Alim w al-Muta’allim dan lainnya)
Al-Imam al-Isfiraini (w 418 H) mengatakan : “Dan hendaknya kamu mengetahui bahwa sesungguhnya kalam Allah itu tidaklah dengan huruf dan suara karena huruf dan suara mengandung bolehnya pendahuluan dan pengakhiran, yang demikian itu mustahil bagi Allah yang Maha Qadim “. (at-Tafsir fiddin : 102)
Imam Al-Qurthubi mengatakan : “ Fasal. Hadits “ Maka diserukan dengan suara “, dijadikan hujjah oleh orang yang berkata Allah berbicara dengan huruf dan suara, sungguh Maha Suci Allah sesuci-sucinya dari apa yang diucapkan kaum mujassimah dan pengingkar, sesungguhnya nida (seruan) yang dinisbatkan kepada Allah diartikan seruan sebagian malaikat muqarrabin Allah dengan izin dan perintah-Nya “. (at-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah : 338)
Komentar imam Qurthubi ini memang benar dan terbukti benar.
Berikut hadits-hadits sahih yang menjelaskan seruan-seruan malaikat Allah yang berseru atas perintah Allah :
1. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda : “ Ketika aku melewati, berserulah seorang penyeru (munaadin) : “ Aku berlakukan kewajibanku dan Aku ringankan atas hambaku “. (HR. Bukhari, Manaqib al-Anshar bab al-Mi’raj : 3035)
Hadits ini juga disebutkan oleh imam Bukhari dalam bab Dzikrul Malaikah (penyebutan malaikat) dalam sahihnya dengan lafadz Nuudia (diserukan).
2. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda : “ Sesungguhnya Allah Ta’aala membiarkan hingga berlalu separuh malam kemudian memerintahkan penyeru untuk berkata : “ Apakah ada orang yang mau berdoa, maka akan dikabulkan, adakah orang yang meminta ampunan, maka akan diampuni, adakah orang yang meminta, maka akan diberikan “. (HR. An-Nasai, disahihkan oleh Abu Muhammad Abdul Haq)
3. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda : “ Jika Allah berbicara dengan wahyu, maka penduduk langit mendengar sesuatu, maka jika hati mereka takut dan suara menjadi tenang, mereka mengetahui bahwa itu adalah kebenaran. Dan mereka berseru : “ Apa yang Tuhan kalian katakan ? “, Mereka menjawab: “ Kebenaran “. (HR. Bukhari)
Hadits-hadits ini menjadi tafsir dari hadits yang menyebutkan lafadz suara tersebut, sehingga yang dimaksud berseru dengan suara adalah seruan malaikat atas izin dan perintah Allah.
Sedangkan Al-Qur’an dalam pengertian lafazh-lafazh yang diturunkan (al-Lafzh al-Munazzal), yang ditulis dengan tinta di antara lebaran-lembaran kertas (al-Maktub Bain al-Masha-hif), yang dibaca dengan lisan (al-Maqru’ Bi al-Lisan), dan dihafalkan di dalam hati (al-Mahfuzh Fi ash-Shudur) adalah berupa bahasa Arab, tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca. Tentulah huruf, suara maupun bahasa adalah makhluk (diciptakan) sehingga Al-Qur’an dalam pengertian al-Lafzh al-Munazzal maka ia adalah makhluk (diciptakan).
Begitupula pada hari kiamat kelak, Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia dan jin.
Allah akan memperdengarkan Kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka.
Mereka akan memahami dari kalam Allah tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan segala apa yang mereka yakini ketika mereka hidup di dunia.
Mereka akan memahami dari kalam Allah yang bukan huruf dan suara sehingga tidak diperlukan penterjemah
Rasulullah bersabda: “Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada penterjemah antara dia dengan Allah”. (HR. al-Bukhari)
Mereka akan memahami dari kalam Allah yang bukan huruf dan suara, tanpa penterjemah, dan yang tidak dipengaruhi dimensi ruang dan waktu.
Allah Azza wa Jalla akan menghisab seluruh hamba-Nya dalam waktu yang sangat singkat sebagaimana firmanNya yang artinya “dan Dia Allah yang menghisab paling cepat (QS Al An’am [6]:62]
Seandainya Allah menghisab mereka dengan suara, susunan huruf, dan dengan bahasa, maka Allah akan membutuhkan waktu beratus-ratus ribu tahun untuk menyelesaikan hisab tersebut, karena makhluk Allah sangat banyak.
Jelaslah seandainya Kalam Allah berupa suara, huruf, dan bahasa maka dalam menghisab semua makhluk tersebut Allah akan membutuhkan kepada waktu yang sangat panjang. Karena dalam penggunaan huruf-huruf dan bahasa jelas membutuhkan kepada waktu.
Huruf berganti huruf, kemudian kata menyusul kata, dan demikian seterusnya. Dan bila demikian maka maka berarti Allah bukan sebagai Asra’ al-Hasibin (Penghisab yang paling cepat), tapi sebaliknya; Abtha’ al-Hasibin (Penghisab yang paling lambat). Tentunya hal ini mustahil bagi Allah.
Al-Imam al-Mutakallim Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi menuliskan sebagai berikut:
“Asy-Syaikh al-Imam Abu Ali al-Hasan ibn Atha’ pada tahun 481 H ketika ditanya sebuah permasalahan berkata: Sesungguhnya huruf-huruf itu dalam penggunaannya saling mendahuli satu atas lainnya. Pergantian saling mandahului antara huruf seperti ini tidak dapat diterima oleh akal jika terjadi pada Allah yang maha Qadim. Sebab pengertian bahwa Allah maha Qadim adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan, sementara pergantian huruf-huruf dan suara adalah sesuatu yang baharu (huduts) yang memiliki permulaan; tidak Qadim.
Kemudian seluruh sifat-sifat Allah itu Qadim; tanpa permulaan, termasuk sifat Kalam-Nya. Seandainya Kalam Allah tersebut berupa huruf-huruf dan suara maka berarti pada kalam-Nya tersebut terjadi pergantian antara satu huruf dengan lainnya, antara satu suara dengan suara lainnya, dan bila demikian maka Dia akan disibukan oleh perkara tersebut. Padahal Allah tidak disibukan oleh satu perkara atas perkara yang lain.
Jadi yang dimaksud Al Qur’an bukan makhluk adalah mengacu pada sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah ad-Dzati) yang bukan suara ataupun huruf. Sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah ad-Dzati) adalah qadim, tanpa permulaan dan tanpa penghabisan
Sedangkan yang dimaksud bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) , yang ditulis dengan tinta di antara lebaran-lembaran kertas (al-Maktub Bain al-Masha-hif), yang dibaca dengan lisan (al-Maqru’ Bi al-Lisan), dan dihafalkan di dalam hati (al-Mahfuzh Fi ash-Shudur) adalah berupa bahasa Arab, tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca adalah ungkapan (ibarah) dari pada sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah al-Dzati) yang bukan suara, bukan huruf-huruf, dan bukan bahasa.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman bahwa kalam Allah yang kekal (Kalam Allah al-Dzati) yang bukan suara, bukan huruf-huruf dapat sampai kepada ciptaanNya dalam tiga cara yakni
1. Perantaraan wahyu
2. Di balik tabir
3. Wahyu perantaraan malaikat Jibril
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (QS As Syuura [42]:51)
Lafaz atau bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) berasal dari Allah Azza wa Jalla yang merupakan ungkapan (ibarah) dari pada sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah al-Dzati) yang bukan suara, bukan huruf-huruf yang disampaikan perantaraan malaikat Jibril alaihi sallam dan pada umumnya disampaikan tidak diperdengarkan oleh malaikat Jibril melainkan langsung ke dalam hati manusia sehingga langsung dapat dipahami bukan proses panca indera atau akal pikiran atau pemahaman manusia.
Allah memerintahkan Malaikat Jibril mengambil apa yang tercatat di Lauhul Mahfuz untuk diturunkan kepada nabi-nabiNya. Maka Malaikat Jibril menurunkan seperti mana yang diperintahkan oleh Allah kepada nabi-nabi yang diberikan kitab.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril alaihi salam) ke dalam hatimu (Muhammad shallallahu alaihi wasallam) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas (QS Asy Syu’araa [26]:192-195)
“Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur’an) ke dalam hatimu (Muhammad shallallahu alaihi wasallam) dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (QS Al Baqarah [2]:97)
Kalam Allah yang kekal (Kalam Allah al-Dzati) yang bukan suara, bukan huruf-huruf dapat sampai kepada ciptaanNya di balik tabir dalam arti seorang dapat menerima dan memahami kalam Allah akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya sebagaimana yang dialami oleh Nabi Musa alaihis salam di bukit Thursina ataupun Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada peristiwa Mi’raj ketika menerima perintah sholat 5 waktu.
Kalam Allah lainnya sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam perantaraan wahyu langsung ke dalam hatinya dan tidak melalui malaikat Jibril sehingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan kepada umatnya dengan lafaznya sendiri seperti hadits Rasulullah maupun perkataan Rasulullah yang dinisbatkan kepada Allah yang disebut dengan hadits Qudsi.
Kalam Allah lainnya sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam perantaraan wahyu langsung ke dalam hatinya sebagaimana riwayat berikut
****** awal kutipan *****
Ketika diantara wanita itu terdapat Juwairiyah, putri kepala Qabilah Bani Musthaliq, maka Rasul shallallahu alaihi wassalam tidak tega menjadikan putri Raja Qabilah itu sebagai budak. Rasul shallallahu alaihi wassalam memerintahkan agar menahan Juwairiyah untuk tidak diperbudak, maka ayahnya datang untuk memohon pada Rasul shallallahu alaihi wassalam agar putrinya dibebaskan, ia membawa uang dan dua ekor unta untuk menebus putrinya, namun ditengah jalan ia ragu, dan membatalkan dua ekor untanya dan ditinggal di tengah jalan lalu menghadap Rasul shallallahu alaihi wassalam
Ketika sampai pada Rasul shallallahu alaihi wassalam maka ia berkata : wahai Muhammad, aku ingin menebus putriku dengan uang ini, maka Rasul shallallahu alaihi wasallam bersabda : kau kemanakan dua ekor unta yang sudah kau niatkan juga untuk menebusnya?, maka Harits (ayah Juwairiyah) kaget, maka ia bersyahadat dan masuk islam.
****** akhir kutipan ******
Dengan demikian harus dibedakan antara al-Lafzh al-Munazzal dan al-Kalam adz-Dzati. Sebab apa bila tidak dibedakan antara dua perkara ini, maka setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an akan mendapatkan gelar “Kalimullah” sebagaimana Nabi Musa alaihi salam yang telah mendapat gelar “Kalimullah”.
Tentu hal ini menjadi rancu dan tidak dapat diterima. Padahal, Nabi Musa mendapat gelar “Kalimullah” adalah karena beliau pernah mendengar al-Kalam adz-Dzati yang bukan berupa huruf, bukan suara dan bukan bahasa.
Seandainya setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an mendapat gelar “Kalimullah” seperti gelar Nabi Musa alaihi salam maka berarti tidak ada keistimewaan sama sekali bagi Nabi Musa alaihi salam yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah” tersebut.
Dalam al-Qur’an Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Dan apa bila seseorang dari orang-orang musyrik meminta perlidungan darimu (wahai Muhammad) maka lindungilah ia hingga ia mendengar Kalam Allah”. (QS. at-Taubah: 6).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam untuk memberikan perlidungan kepada seorang kafir musyrik yang diburu oleh kaumnya, jika memang orang musyrik ini meminta perlindungan darinya. Artinya, Orang musyrik ini diberi keamanan untuk hidup di kalangan orang-orang Islam hingga ia mendengar Kalam Allah. Setelah orang musyrik tersebut diberi keamanan dan mendengar Kalam Allah, namun ternyata ia tidak mau masuk Islam, maka ia dikembalikan ke wilayah tempat tinggalnya.
Dalam ayat ini, yang dimaksud bahwa orang musyrik tersebut “mendengar Kalam Allah” adalah mendengar bacaan kitab al-Qur’an yang berupa lafazh-lafazh dalam bentuk bahasa Arab (al-Lafzh al-Munazzal), bukan dalam pengertian mendengar al-Kalam adz-Dzati. Sebab jika yang dimaksud mendengar al-Kalam adz-Dzati maka berarti sama saja antara orang musyrik tersebut dengan Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah”. Dan bila demikian maka berarti orang musyrik tersebut juga mendapatkan gelar “Kalimullah”, persis seperti Nabi Musa. Tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar