Ibnu Taimiyyah BUKAN ulama SALAF namun ulama KHALAF
Ibnu Taimiyyah BUKAN ulama SALAF (terdahulu) namun ulama KHALAF (kemudian) karena wafat 728 H artinya Beliau hidup di atas 300 Hijriah
Begitupula Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) maupun Adz Dzahabi (w 748 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Ibnu Taimiyyah tidak pernah mengklaim diri sebagai ulama Hanbali.
Dalam bukunya berjudul Araddu ‘ala al-Hululiyyah wa al-Ittihadiyyah, Ibnu Taimiyyah mengungkapkan keinginannya untuk membersihkan pemikiran-pemikiran yang taqlid dan mengembangkan perlunya membuka kembali pintu ijtihad.
Para ulama terdahulu tidak mengelompokkan Ibnu Taimiyyah sebagai ahli istidlal atau fuqaha (ahli fiqih) namun sebagai ahli hadits dan itupun bukan penghafal hadits namun ahli hadits kitab alias ahli (membaca) hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri.
Mereka sendiri yang mengatakan bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah (W 728 H) adalah seorang yang mendalami ilmu agama secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri seperti contoh informasi dari kalangan mereka sendiri pada http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Begitupula seberapapun banyaknya guru atau seberapapun panjangnya rantai sanad guru (sanad ilmu) dari ahli (membaca) hadits, Albani yang dikenal sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” maka tidak akan berarti atau berguna karena Beliau lebih banyak mendalami ilmu agama, berpendapat dan berfatwa dari balik perpustakaan alias secara otodidak (shahafi) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana contoh informasi dari kalangan pengikutnya sendiri pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
Ahli (membaca) hadits, Albani mengakui bahwa Beliau adalah ahli hadits kitab bukan penghafal hadits.
Dalam ilmu Musthalah Hadits jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status haditsnya adalah dlaif, bukan perawi sahih
Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh ahli (membaca) hadits Albani yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadits) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan.
Jadi yang dimaksud oleh mereka dengan julukan atau pengakuan sebagai “ahli hadits” adalah ahli (membaca) hadits secara shahafi (otodidak) bukan ahli hadits sesungguhnya yang menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya secara turun temurun sehingga tersambung kepada lisannya Rasulullah.
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Begitupula ahli hadits berbeda dengan ahli istidlal seperti para fuqaha (ahli fiqih) .
Ahli hadits tidak berhak untuk bertindak sebagai fuqaha.
Oleh karenanya tidak ditemukan penisbatan nama mazhab kepada nama seorang ahli hadits.
Ahli hadits hanyalah menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya kemudian mengumpulkan, meneliti dan menyampaikan dalam kitab-kitab hadits atau menyusunnya berdasarkan nama perawi sehingga menjadi kitab-kitab musnad atau menyusunnya berdasarkan klasifikasi masalah sehingga menjadi kitab-kitab sunan.
Contoh perbedaan di antara dua Ibnu Hajar yakni Ibnu Hajar Al ‘Asqalani adalah ahli hadits dari mazhab Syafi’i sedangkan Ibnu Hajar al-Haitami adalah seorang fuqaha dari mazhab Syafi’i sehingga berhak berpendapat atau berfatwa.
Ibnu Hajar al-Haitami, sebelum umur 20 tahun, Beliau sudah diminta para gurunya untuk mengajar dan memberi fatwa di Mesir. Beliau berhak berfatwa karena menguasai berbagai ilmu antara lain tafsir, hadis, ilmu kalam, fikih, ushul fiqh, ilmu waris, ilmu hisab, nahwu, sharaf, ilmu ma’ani, ilmu bayan, ilmu manthiq dan lain lain.
Syaikhul Islam Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami al-Makki al-Syafi’i dalam kitabnya Al Fatawa Al Haditsiyah ketika ditanya tentang perkataan Sufyan bin Uyainah,
الحديث مضلة إلا الفقهاء
Hadits itu menyesatkan kecuali untuk para fuqaha (ahli fiqih)
Beliau mencontohkan hadits yang dapat menyesatkan adalah hadits berbunyi “yanzilu Rabbuna…..” yang jika dipahami secara dzahir (makna dzahir / literal) dapat menimbulkan pemahaman tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk).
ولا يعرف معنى هذه إلا الفقهاء بخلاف من لايعرف إلا مجرد الحديث ، فإنه يضل فيه كما وقع لبعض متقدمي الحديث . بل ومتأخريهم ، كابن تيمية وأتباعه
Beliau mengatakan bahwa, “tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fiqih. Berbeda dengan mereka yang hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya.
وبهذا يعلم فضل الفقهاء المستبطين على المحدثين غير المستنبطين .
Dari sini, dapat diketahui keutamaan para ahli fiqih yang memiliki pemahaman dibandingkan dengan para ahli hadits yang tidak memiliki pemahaman.
Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran adalah salah seorang guru dari Imam Syafi’i. Beliau adalah salah seorang Tabi’ut Tabi’in tsiqoh yang sempat bertemu sekitar 87 Tabi’in, dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H
Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas, mencontohkan hadits yang dapat menyesatkan bagi ahli (membaca) hadits adalah hadits Nuzul yakni,
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Berikut contoh KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah (W 728H) yakni pemahaman atau pendapatnya terhadap hadits Nuzul sebagaimana yang disampaikan oleh ulama mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah)
**** awal kutipan ****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘arsy-Nya dan Allah turun ke langit dunia.
**** akhir kutipan ****
Perkataan atau pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah bahwa “Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” tentu bukanlah pemahaman para Sahabat atau Salafush Sholeh namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan menjelaskan hadits Nuzul.
Tidak ada satupun ulama yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa hadits nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah.
FITNAH terhadap Salafush Sholeh timbul AKIBAT Ibnu Taimiyyah (W 728 H) MENISBATKAN atau tepatnya MELABELKAN metode pemahamannya atau MAZHABNYA selalu dengan MAKNA DZAHIR sebagai mazhab atau manhaj salaf sebagaimana fatwanya dalam Majmu Fatawa 4/149
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR
***** akhir kutipan *****
Bahkan disebarluaskan dongeng atau tepatnya fitnah bahwa Imam Asy’ari melalui 3 marhalah kehidupan atau 3 fase pemikiran yakni fase ketiga / terakhir adalah mengikuti MAZHABNYA Ibnu Taimiyyah.
Ibnu Taimiyyah dikabarkan masih sempat bertaubat kepada Allah Ta’ala sebelum Beliau wafat dipenjara sehingga Beliau belum sempat menulis kitab-kitab untuk mengkoreksi kekeliruannya akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN Ibnu Taimiyyah dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) adalah SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan mengingkari makna majaz (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115).
Begitupula Ibnu Taimiyyah dalam Al Iman hal 94 berkata,
***** awal kutipan *****
“maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk metafor (majaz) dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur’an tidak ada bentuk metafor.
Bahkan pembagian bahasa kepada hakekat dan metafor adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.
***** akhir kutipan ****
Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) murid dari Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)
Jadi oleh karena Ibnu Taimiyyah (W 728 H) BUKAN MAZHAB atau MANHAJ Salaf NAMUN MAZHAB atau MANHAJ MAKNA DZAHIR maka termasuk firqah MUJASSIMAH.
Imam Ibnu Abdissalam (W 660 H / 1262 M ) yang memperoleh laqob (julukan/gelar) Izzuddin yang artinya Kebanggaan Agama dalam kitabnya “Qawa’idul Ahkam fi Mashalihul Anam” cetakan “Al-Maktabah Al-Husainiyah” Mesir tahun 1353 H / 1934 M juz 2 halaman 195 mencontohkan BID’AH HARAM yakni BID’AH SAYYIAH (BURUK) atau BID’AH TERLARANG dalam perkara akidah (i’tiqod) adalah firqah (golongan) MUJASSIMAH, Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan MENOLAK mereka termasuk BID’AH yang WAJIB.
Firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA MENTERJEMAHKAN dan MEMAHAMI ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah secara hissi (inderawi / materi / fisikal) atau secara hakikat (makna hakikat) yakni MAKNA DZAHIR dari suatu lafadz SEHINGGA mereka terjerumus MEN-JISM-KAN Allah Ta’ala.
Mereka mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat-sifat jism (benda/fisikal) seperti mengisbatkan (menetapkan) anggota badan, arah atau tempat, ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya dan sifat fisikal lainnya.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah).
Mereka mengatakan,
***** awal kutipan *****
Apa yang dikatakan oleh Ad Darimi memang begitulah faktanya bahwa memang yang di atas langit LEBIH DEKAT kepada Allah secara hisssi (materi / fisikal) dari pada yang di bumi. Adapun kedekatan kala sujud maka itu adalah kedekatan maknawi”
****** akhir kutipan *****
Ad Darimi yang mereka ikuti pendapatnya adalah Utsman bin Sa’id Ad-Darimi (w 280 H) BUKANLAH Ad Darimi ulama besar ahli hadits terkemuka yang telah menulis kitab Sunan ad Darimi yakni Abdullah ibn Abdul Rahman ad-Darimi (w 255H)
Mereka ada juga yang berkeyakinan bahwa Tuhan tidak bertempat NAMUN berada di arah atas karena menurut mereka tempat itu masih alam sedangkan Tuhan itu di luar alam.
Berikut kutipan tulisan mereka,
****** awal kutipan ******
Tidak betul, sudah dijelaskan para ulama salaf bahwa memang zat Allah itu di arah atas, tapi mereka memang tidak menamakan itu semua tempat karena Allah itu di luar alam sehingga tak berlaku lagi tempat di luar alam karena tempat itu masih alam.
***** akhir kutipan ******
Jadi mereka berkeyakinan Tuhan berada di arah atas dan di atas Arsy ada yang namanya “bukan tempat”.
Adapula yang lain menamakannya makan ‘adami dan kalau diartikan adalah “tempat ketiadaan”
Ironisnya keyakinan (i’tiqod/akidah) mereka tentang adanya “bukan tempat” atau “tempat ketiadaan” (makan ‘adami) dinisbatkan atau dilabeli sebagai keyakinan ulama salaf
Padahal istilah “bukan tempat” atau makan ‘adami (tempat ketiadaan) tidak pernah dikatakan oleh Salafush Sholeh karena tidak ada dalam Al Qur’an maupun Hadits.
Jadi pada kenyataannya mereka yang hidup pada zaman now (sekarang) atau zaman khalaf (kemudian) yakni dari kalangan modernis (lawan dari tradisionalis atau salaf) NAMUN mengaku-ngaku mengikuti Salaf (terdahulu) dan menisbatkan sebagai salafi serupa dengan firqah Karramiyah yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Karram (W 255 H) beraqidah MUJASSIMAH.
Imam Ibnu Hajar Haitami mengatakan bahwa mereka (al karramiyyah) percaya bahwa Tuhan adalah Dzatnya menetap di atas Arsy, menempel dan beristirahat di atasnya, dan kemudian turun setiap sepertiga malam terakhir ke langit dunia dan kemudian kembali ke tempatnya saat fajar.
Imam Asy Syahrastani (W 578) Rahimahullah mengatakan :
نص أبو عبد الله على أن معبوده على العرش استقرارا، وعلى أنه بجهة فوق ذاتا وقال بعضهم: امتلأ العرش به، وصار المتأخرون منهم إلى أنه تعالى بجهة فوق، وأنه محاذ للعرش وقال محمد بن الهيصم: إن بينه وبين العرش بعدا لا يتناهى، وإنه مباين للعالم بينونة أزلية
Abu Abdillah (Ibnu Karram) menjelaskan bahwa yang dia sembah menetap di atas ‘Arsy dan bahwasanya Dzatnya ada di arah atas dan sebagian Karramiyah berkata, “Arsy penuh dengan Dzat ALLAH.” namun orang-orang belakangan dari mereka berpendapat bahwa ALLAH Ta’ala di arah atas, Dia lurus dengan ‘Arsy dan Muhammad Bin Al-Haisham (imam kedua Karramiyah) berkata bahwa sesungguhnya antara ALLAH dan antara ‘Arsy ada jarak yang tak terhingga dan sesungguhnya ALLAH terpisah dari alam dengan jarak yang Azali. (Al-Milal Wa An-Nihal : 1/109)
Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib telah mengingatkan bahwa “Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir (maksudnya kufur dalam i’tiqod) karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda (seperti arah maupun tempat) dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi).
Ibnu Taimiyyah menisbatkan kepada mazhab atau manhaj Salaf itu MENOLAK atau MENGINGKARI TAFWIDH MAKNA.
Ibnu Taimiyyah (W 728 H) berkata,
فتبين أن قول أهل التفويض الذين يزعمون أنهم متبعون للسنة والسلف من شر أقوال أهل البدع والإلحاد
“Maka menjadi jelaslah bahwa ucapan para penganut Tafwidh yang menyangka dirinya mengikuti sunnah, adalah merupakan sejelek-jelek ucapan ahli bid’ah dan ahli ilhad.” (Dar’ut Ta’arudhil Aqli Wan Naqli : 1/115)
Begitupula ulama mereka, Shalih Al-Fauzan lahir 1354 H mengatakan :
السلف لم يكن مذهبهم التفويض ، وإنما مذهبهم الإيمان بهذه النصوص كما جاءت ، وإثبات معانيها التي تدلُّ عليها على حقيقتها ووضعها اللغوي ، مع نفي التَّشبيه عنها ؛ كما قال تعالى : (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ)
“Para salaf tidak menganut madzhab Tafwidh, akan tetapi madzhab mereka adalah mengimani dalil ini apa adanya. Serta menetapkan makna yang dikandung oleh dalil itu berdasarkan hakikat asli dan makna asli bahasa disertai penolakan terhadap penyerupaan Allah dengan makhluknya, sebagaimana firman Allah ta’ala : Tidak ada yang semisal dengan Allah, dan Dia adalah dzat yang Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura : 11).” (Al-Muntaqa Min Fatawa Shalih Al-Fauzan : 1/52).
Sedangkan ulama panutan mereka, Abdul Aziz ar Rajihi (bukan ulama Salaf karena lahir tahun 1360 H) berkata, “Tafwidh al-makna bukan merupakan madzhab Ahlussunah wal Jama’ah, melainkan mereka menerapkan tafwidh al kaifiyyah.” (Syarh al Hamawiyyah)
Jadi oleh karena MAZHAB mereka atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR maka mereka menolak atau mengingkari PILIHAN TAFWIDH MAKNA maupun PILIHAN takwil dengan MAKNA MAJAZ.
Mereka memilih yang dinamakan oleh mereka sebagai TAFWIDH KAIFIYAH yakni mereka MENGITSBATKAN (MENETAPKAN) sifat-sifat Allah sesuai LAFADZNYA dengan MAKNA DZAHIR dan kaifiyahnya (bagaimananya / caranya / bentuknya) TIDAK SERUPA dengan kaifiyahnya makhlukNya dan oleh karena kaifiyahnya (bagaimananya / caranya / bentuknya) tidak diketahui maka kaifiyahnya diserahkan kepada Allah.
Dengan mereka mengatakan kaifiyah tidak diketahui dan kaifiyah diserahkan kepada Allah maka mereka justru MENETAPKAN ada kaifiyah bagi Allah namun mereka menyerahkannya kepada Allah.
Mereka menerapkan tafwidh kaifiyah salah satunya karena mereka menisbatkan atau menyandarkan sebagai perkataan Imam Malik adalah
الكيف مجهول
Al-kayf majhuul
Mereka mengatakan bagaimananya / caranya / bentuknya tidak diketahui dan diserahkan bagaimananya / caranya / bentuknya kepada Allah Ta’ala
Sedangkan Syaikh Sa’id Al Kamali dalam video pada https://www.youtube.com/watch?v=2lsX-tbB1Ms menyampaikan bahwa Imam Malik mengatakan
الكيف غير معقول
“Al-Kayf ghayr maquul”
Begitupula Al Hafizh Al Baihaqi dalam karyanya berjudul al asma wa ash shifat hal 408 meriwayatkan dari Abdullah ibn Wahb bahwa Imam Malik mengatakan
الكيف غير معقول
“Al-Kayf ghayr maquul”
Al Kaif (sifat makhluk / benda) tidak masuk akal ditujukan kepada Allah artinya TIDAK ADA kaifiyah bagi Allah.
Hal ini serupa yang disampaikan oleh Imam Asy’ari dalam Al Ibanah dengan istilah atau konsep
بلا كيف
“Bila Kayf”, Tanpa Kaif bagi Allah.
Istilah atau konsep “Bila Kayf” inilah contoh yang dihilangkan pada upaya pemalsuan kitab Al Ibanah
Al Kaif hanya ditujukan kepada membagaimanakan (kaifiyah) sifat makhluk / benda yakni sesuatu yang dapat dindera.
Contohnya kata putih yang meskipun seluruhnya punya keserupaan sebagai putih, tetapi selalu berbeda tingkatan kadar putihnya sehingga bisa ditanyakan bagaimana putihnya, apakah seputih salju atau seputih tulang sebagaimana yang dijelaskan oleh KH. Abdul Wahab Ahmad pada http://islam.nu.or.id/post/read/118720/definisi-kaifiyah-dalam-pembahasan-sifat-allah
Jadi jelaslah tidak ada istilah atau konsep tafwidh kaifiyah yakni ada kayf bagi Allah namun diserahkan kepada Allah karena Imam Malik berkata “Al-Kayf ghair maquul” “Al Kayf, bagaimana tidak ada bagi-Nya” dan Imam Asy’ari berkata “Bila Kayf”, Tanpa Kaif bagi Allah.
Begitupula Imam sayyidina Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah berkata,
سيدنا علي رضي الله عنه :” إن الذي أين الأين لا يقال له أين وإن الذي كيف الكيف لا يقال له كيف” (رواه أبو المظفر الإسفراييني في كتابه في التبصير في الدين / ص: 98)
“Sesungguhnya yang menciptakan aina (tempat) tidak boleh dikatakan baginya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk / benda) tidak boleh dikatakan baginya bagaimana” (diriwayatkan oleh Abu Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)
Sedangkan Salafush Sholeh pada umumnya membiarkan khabar-khabar tersebut yakni membiarkan ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah sebagaimana datangnya maksudnya MENGITSBATKAN (MENETAPKAN) berdasarkan LAFADZNYA dan menafikan makna secara bahasa artinya tidak menetapkan atau tidak memilih makna dzahir atau makna majaz dan TAFWIDH, menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Salafush Sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir”
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh, dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.
Jadi boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti Yadullah yang artinya Tangan Allah dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala
Begitupula boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti istiwa yang artinya bersemayam (yang mempunyai makna dzahir dan makna majaz) dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala
Para ulama terdahulu telah menjelaskan bahwa “Sesungguhnya pada dasarnya teks-teks itu HARUS DIPAHAMI dalam MAKNA DZAHIRNYA jika itu dimungkinkan NAMUN jika tidak memungkinkan contohnya karena jika dipahami dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat yang tidak layak (tidak patut) bagiNya maka PILIHANNYA ada dua yakni,
PILIHAN PERTAMA adalah TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala yang disebut juga TAFWIDH ba’da TAKWIL IJMALI.
PILIHAN KEDUA menyimpulkan dan menetapkan bahwa berarti teks-teks tersebut bukan dalam makna dzahirnya tetapi dalam MAKNA MAJAZ (metaforis atau makna kiasan) yang disebut juga TAKWIL TAFSHILI yakni TAKWIL yang sesuai dengan KAIDAH-KAIDAH atau TATA BAHASA Arab itu sendiri karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3).
TAKWIL IJMALI dan TAKWIL TAFSHILI bukanlah BERTENTANGAN atau KONTRADIKSI namun hanyalah sebuah PILIHAN.
Berikut cara mudah memahami TAKWIL IJMALI dan TAKWIL TAFSHILI.
Bagi si A, gadis itu cantik bagaikan bulan.
Si A berkata “sore itu bulan masuk ke warung makan” .
TAKWIL IJMALI, “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tetapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam karena mustahil masuk warung makan. Oleh karenanya saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah yang mengetahuinya
TAKWIL TAFSHILI, “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam karena mustahil masuk warung makan, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.
Salafush Sholeh tentu bukan tidak mengetahui makna dzahirnya namun ulama salaf dan khalaf sepakat untuk memalingkan lafaz mutasyabihat yakni lafaz dengan banyak makna yang terkait sifat-sifat Allah Ta’ala dari makna dzahirnya karena jika dipaksakan dimaknai dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat yang tidak patut (tidak layak) bagi Allah atau sifat yang mustahil bagi Allah Ta’ala.
Perbedaan keduanya hanya terjadi pada masalah apakah diberikan maknanya sesuai kaidah-kaidah bahasa Arab ataupun tidak diberi makna tetapi diserahkan maknanya kepada Allah Ta`ala sendiri.
Ulama salaf lebih memilih untuk tidak menentukan (menetapkan) salah satu dari beberapa makna yang mungkin diterapkan pada nash tersebut dan menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Sedangkan para ulama khalaf, dikarenakan pada masa mereka sudah berkembang ahli bid’ah yang mensifati Allah dengan sifat makhluk, maka mereka menafsirkan nash mutasyabihat tersebut dengan makna yang layak bagi Allah yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab sendiri.
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”
Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah memalingkan atau mengalihkan dari makna dzahir sebuah lafaz / ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal.
Alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni
1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.
2. Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Quran.
Al Imam Ibn al Jawzi mencontohkan Tsa’labah berkata:
وَاذْكُرَا الله فِي جَنْبِي
Wadzkura Allah fi Janbi
Bukan berarti,
”Sebutlah nama Allah pada pinggangku”
Namun bermakna
“aku perintahkan sebutlah nama Allah”
Jadi firman Allah Ta’ala, yaa hasrotanaa alaa maa farrothnaa fii janbillaahi (QS Az Zumar [39] : 56)
Bukan bermakna ”Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam pinggang Allah”
Namun bermakna ”Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam mentaati perintah-Nya”.
Begitupula tidak ada umat Islam yang mengingkari Allah Ta’ala di atas Arsy namun bagi masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Quran, mereka pada umumnya mengetahui bahwa,
Fawqo ditujukan kepada Allah arti sebenarnya HANYALAH “di atas” BUKANLAH “(berada) di atas”
Begitupula fis sama’ ditujukan kepada Allah arti sebenarnya HANYALAH “di langit” BUKANLAH (berada) di (atas) langit.
Jadi ungkapan yang artinya “di atas” maupun “di langit” BUKANLAH dalam pengertian arah atau tempat bagi Allah Ta’ala NAMUN untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah dalam pengertian,
علوّ المرتبة
Uluww al-Martabah (derajat yang tinggi)
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, (Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy, Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat) (QS. Al Mukmin [40] : 15)
Al-Imam Ibn Jahbal (W 733 H) dalam risalah Fi Nafy al-Jihah dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 9, h. 47. memuat bantahan keras terhadap Ibn Taimiyah (W 728 H) yang mengatakan bahwa Allah berada atau bertempat di atas arsy.
****** awal kutipan ******
… bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Khalifah Fawq as-Sulthan wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya: “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan: “Jalasa Fulan Fawq Fulan”, maka artinya: “Si fulan yang pertama kedudukannya di atas si fulan yang kedua”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilmu Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu kedudukannya di atas amal”.
Contoh makna ini dalam firman Allah: “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqa Ba’dlin Darajat” (QS. Az-Zukhruf: 32), artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain.
****** akhir kutipan ******
Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an menuliskan tentang pemahaman fawq pada hak Allah, sebagai berikut:
“…antara lain sifat fawqiyyah, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa ‘Ibadih” (QS. Al-An’am: 18), dan firman-Nya: “Yakhafuna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Makna fawq dalam ayat ini bukan dalam pengertian arah atas. Makna fawq dalam ayat tersebut sama dengan makna fawq dalam firman Allah yang lain tentang perkataan Fir’aun: “Wa Inna Fawqahum Qahirun” (QS. Al-A’raf: 127), bahwa pengertiannya bukan berarti Fir’aun berada di atas pundak Bani Isra’il, tapi dalam pengertian ia menguasai Bani Isra’il”.
Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah berkata
***** awal kutipan *****
Makna “فوق ” , “fawq” bukanlah dalam pengertian tempat karena adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawq pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala , wa huwa al-qaahiru fawqa ‘ibaadihi
Jika yang dimaksud fawq dalam pengertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya – Apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?
***** akhir kutipan ******
Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “فلان فوق فلان ”; artinya; “derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B) ketika menjelaskan dari firman Allah Ta’ala, “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa ‘Ibadih” (QS. Al-An’am: 61) firqah mujassimah menyimpulkan bahwa secara indrawi Allah berada di arah atas.
***** awal kutipan ****
Mereka lupa bahwa pengertian “fawq”, “فوق ” dalam makna indrawi (makna dzahir) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja.
Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “علوّ المرتبة ”; “derajat yang tinggi”.
***** akhir kutipan ****
Begitupula Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa secara tekstual (dipahami dengan MAKNA DZAHIR) , dasar kata fiis sama’i dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”, padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun sebagaimana penjelasannya yang termuat dalam kitabnya berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih ketika mencontohkan ayat-ayat al-Qur’an yang seringkali disalahpahami oleh firqah atau kaum MUJASSIMAH seperti firman Allah Ta’ala
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
aamintum man fiis samaa-i (QS Al Mulk [67]:16)
Berikut kutipan penjelasannya
***** awal kutipan *****
Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi (makna dzahir) seperti ini, karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit (bisa jadi sama besar, lebih besar, atau lebih kecil dari langit itu sendiri)
Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
***** akhir kutipan ******
Dengan kitabnya tersebut Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi MEMBERSIHKAN segala tuduhan buruk atau FITNAH terhadap Imam Ahmad bin Hanbal bahwa Beliau memahami “apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya” SELALU dengan MAKNA DZAHIR.
Imam al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid; “Al Kirmani berkata, مَنْ فِى السَّمَاءِ makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian dalam arti kemuliaan atau keagungan Dzat dan sifat-Nya.“
Oleh karenanya terhadap firmanNya pada (QS Al Mulk [67]:16) para mufassir (ahli tafsir) telah sepakat menyisipkan “(berkuasa)” agar tidak dipahami “berada” atau “bertempat” sehingga menafsirkannya menjadi,
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?
Berikut kutipan dari tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1129, juz 29, Al Mulk [67]:16
***** awal kutipan ******
a-amintum, (Apakah kalian merasa aman) dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara tashil
man fiis samaa-i, (terhadap kekuasaan Allah yang di langit) yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang di langit
an yakhsifa, (bahwa Dia akan menjungkir balikkan) berkedudukan menjadi badal dari lafaz man
bikumul ardha fa-idzaa hiya tamuuru, (bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang) menjadi gempa dan menindih kalian
****** akhir kutipan ******
Dalam majalah al-Azhar yang diterbitkan oleh para ulama al-Azhar pada edisi Muharram tahun 1357 H dalam pembahasan tafsir surat al-A’la, menuliskan sebagai berikut:
“al-A’la adalah salah satu sifat Allah. Yang dimaksud dengan al-‘uluww dalam hal ini adalah dalam pengertian keagungan, menguasai, dan ketinggian derajat, bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah maha suci dari arah dan tempat”.
Jadi ungkapan “serahkan sama yang di atas” BUKAN dalam pengertian TEMPAT atau ARAH ataupun JARAK NAMUN maksudnya adalah “Uluww al-Martabah”, “علوّ المرتبة ”; “derajat yang tinggi” untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami ‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj telah mengingatkan bahwa Ibnu Taimiyyah itu telah MENGHINA atau DURHAKA kepada Allah Ta’ala KARENA mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat benda seperti arah dan tempat maupun mensifatkan Allah Ta’ala dengan anggota-anggota badan seperti tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya.
***** awal kutipan *****
Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan.
Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji.
Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”
***** akhir kutipan *****
Berdasarkan pernyataan Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan yakni ditetapkan kufur dalam i’tiqod oleh banyak ulama maka perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Beliau.
Contohnya ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah MENGINGATKAN bahwa AMBIL YANG BAIK dan TINGGALKAN YANG BURUK dari Ibnu Taimiyyah
*** awal kutipan ***
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه
“Meskipun demikian, beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
*** akhir kutipan ****
PERTANYAANNYA siapakah yang menghidupkan kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah dan menyodorkan kitab-kitab Beliau setelah wafat lebih dari 350 tahun kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) yang memahami Al Qur’an dan Hadits juga secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
PERTANYAAN ini perlu disampaikan karena para ulama terdahulu justru telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.
Contohnya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjadikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah : 203)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 116)
Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari meneruskan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri firqah Wahabi dan penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6
******* awal kutipan *******
Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”
Maka wajib menanggalkan/menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
****** akhir kutipan *******
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakan Ibnu Taimiyyah di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.
7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:
– Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar
– Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah
– Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al Anam
– An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi ath-Thalaq al Mu’allaq
– Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi Masa-il alAyman wa ath-Thalaq
– at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq
– Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.
8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti dijelaskan dalam:
– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali (W 762 H).
11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.
12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam Rasulullah.
13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.
15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.
16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua risalahnya:
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalahath-Thalaq.
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah az-Ziyarah.
17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-Radd ‘Ala ibn Taimiyah..
18. Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)
19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk memenjarakannya.
20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam dua risalahnya : – Bayan Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab. – An-Nashihah adz-Dzahabiyyah
21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al Muhith.
22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).
23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.
24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-Tawarikh.
25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala Munkir az-Ziyarah.
26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan Al-Barahin as- Sathi’ah karya Al ’Azami.
27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq
28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.
29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H) dalam : Bayan Musykil al Ahadits al Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.
30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al Isyarah Bi Thuruq Hadits az-Ziyarah
31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-ilah al Makkiyyah.
32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah
33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al Imam Ahmad.
34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).
35. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam risalahnya Ar-Radd ‘Ala Ibnu
36. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.
37. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.
38. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul an-Nashir fi Raddi Khabath ‘Ali ibn Nashir.
39. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968 H), beliau mencela Ibnu Taimiyah.
40. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.
41.Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah Manaqib ash- Shalihin.
Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar