Penggali sumur menurut mereka adalah profesi yang dapat menjauhkan dari Tuhan
Orang-orang yang meneruskan KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah (W 728H) sebelum bertaubat dan menjadi rujukan bagi paham Wahabi (WAHABISME) yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206H) MENGINSPIRASI sebuah dialog atau percakapan antara mbah Lalar dengan kang Bangkak yang meyakini (beri’tiqod) bahwa Tuhan nya di arah atas atau bertempat di langit
“Mau kemana kang Bangkak pagi pagi sudah membawa cangkul “ sapa mbah Lalar yang bikin kaget kang Bangkak
“Mau menggali sumur mbah“ jawab kang Bangkak
“Kenapa engkau melakukan hal hal yang dapat menjauhkan mu dari Tuhan?” ucap mbah Lalar sambil tersenyum.
“Maksudnya bagaimana mbah?” Kang Bangkak mulai bingung
“Bukankah Tuhan mu ada di langit? “
“Iya, lantas?”
“Kenapa engkau menggali sumur ? Bukankah itu bisa menjauhkan mu dari langit?
“Haaaa ?!?” Kang Bangkak pun langsung pergi dengan wajah sewot.
Kang Bangkak adalah salah satu contoh dari mereka yang mengikuti Ad Darimi yang berkata bahwa uluw Allah adalah Allah berada di atas. Artinya, yang naik ke atas LEBIH DEKAT JARAKNYA kepada Allah. Yang berada di langit lebih dekat kepada Allah daripada yang di bumi. Yang berada di langit ketujuh lebih dekat kepada Allah daripada yang berada di langit bawahnya (Syarah kitab at Tauhid min Shahih al Bukhari juz 2 hal 461)
Ad Darimi yang dimaksud BUKANLAH Ad Darimi ulama besar ahli hadits terkemuka yang telah menulis kitab Sunan ad Darimi yakni Abdullah ibn Abdul Rahman ad-Darimi (w 255H) NAMUN Utsman bin Sa’id Ad-Darimi (w 280 H) sebagaimana contoh info dari http://manhaj-ahlussunnah.blogspot.com/2013/01/biografi-utsman-bin-said-ad-darimi.html
Mereka mengatakan adz-Dzahabi (w 748 H) memujinya, akan tetapi Beliau memberikan catatan atas sikap ghuluwnya Utsman ad-Darimi :
وفي كتابه بحوث عجيبة مع المريسي يبالغ فيها في الإثبات ، والسكوت عنها أشبه بمنهج السلف في القديم
“Dan di dalam kitabnya terdapat pembahasan-pembahasan yang unik bersama al-Marisi, ia berlebihan di dalam itsbat, sedangkan diam darinya (ayat shifat) lebih serupa dengan manhaj salaf terdahulu “. (Al-‘Uluw : 195)
Adz Dzahabi adalah murid dan pengagum Ibnu Taimiyyah (W 728 H) sebagaimana contoh kabar dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Imam_adz-Dzahabi
Sedangkan kitab aqidah Utsman Ad Darimi adalah salah satu diantara yang paling direkomendasikan untuk diikuti oleh Ibn Taimiyah dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah (w 751 H).
Contohnya Utsman bin Sa’id Ad-Darimi mengatakan “Dan jika Allah benar-benar berkehendak bertempat di atas sayap seekor nyamuk maka dengan sifat kuasa-Nya dan keagungan sifat ketuhanan-Nya Dia mampu untuk melakukan itu, dengan demikian maka terlebih lagi untuk menetap di atas arsy” . (Kitab An-Naqdl, h. 85) sebagaimana yang dikutip pada http://hafizhandasah.blogspot.com/2010/06/siapakah-ad-darimi-al-mujassim.html
Sedangkan Ibnu Taimiyyah (W 728 H) yang menjadi rujukan bagi paham Wahabi (Wahabisme) yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (1206 H) dalam kitabnya, Naqdzu Ta’sisi Al-Jahmiyah. Juz 1 Hal. 568 menyepakati perkatan Utsman bin Sa’id Ad Darimi,
قَدْ شَاءَ لا سْتَقَرَّ عَلَى ظَهْرِ بَعُوْضَةٍ فَاسْتقَلَّتْ بِهِ بِقُدْرَتِهِ وَلَطْفِ رُبُوْبِيَّتِهِ
Kalau seandainya Allah berkehendak maka Dia akan menempat di atas punggung nyamuk, dan nyamuk itu akan kuat mengangkatnya dengan kekuasaan-Nya dan pengaturan-Nya yang menjadikan nyamuk seperti itu, apalagi Arsy yang begitu Besar.
Rasulullah ketika menjelaskan kepada para Sahabat tentang peristiwa Isra Mi’raj dengan TEGAS MELARANG para Sahabat berkeyakinan bahwa Rasulullah diangkat hingga ke Sidratul Muntaha dikatakan LEBIH DEKAT JARAKNYA kepada Allah Ta’ala dibandingkan Nabi Yunus yang berada di dalam perut ikan besar yang kemudian dibawa hingga ke kedalaman lautan sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/01/21/larang-arah-dan-tempat/
Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani atau yang biasa dipanggil Abuya dalam kitab karyanya yang berjudul “Wahuwa bi al’ufuq al-a’la” dan telah diterjemahkan oleh penerbit Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam” menjelaskan
***** awal kutipan *****
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Meskipun Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi Beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah Ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maha suci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada Rasulullah, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu”.
Jadi kembalinya Rasulullah kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan Beliau di hadapan penduduk langit dan Beliau adalah makhluk Allah yang paling utama.
Pengertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya Beliau diatas Buraq oleh Allah Ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat Beliau tanpa menggunakan buraq.
***** akhir kutipan *****
Jadi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bermunajat di Sidratul Muntaha, Nabi Musa alaihissalam bermohon di lembah Thursina, umat Islam berdoa di Baitullah ataupun umat Islam berdoa di Masjid bukan berarti Allah Ta’ala berada atau bertempat di tempat hambaNya bermunajat atau berdoa.
Begitupula Al Imam Al Hafizh Suyuthi menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala yang ARTINYA “Naiklah malaikat-malaikat dan Jibril kepada-Nya MAKNANYA adalah naik ke tempat turun bagi perintahNya di langit . (Tafsir Al-Jalalain, QS Al-Ma’arij [70] :4)
Tempat turun bagi perintahNya bukan berarti tempat bagi Allah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat.
Allah Ta’ala berfirman bahwa Allah Maha Tinggi dalam makna ketinggian derajat-Nya
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, (Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy, Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat) (QS. Al Mukmin [40] : 15)
Begjtupula dalam majalah al-Azhar yang diterbitkan oleh para ulama al-Azhar pada edisi Muharram tahun 1357 H dalam pembahasan tafsir surat al-A’la, menuliskan sebagai berikut:
“al-A’la adalah salah satu sifat Allah. Yang dimaksud dengan al-‘uluww dalam hal ini adalah dalam pengertian keagungan, menguasai, dan ketinggian derajat, bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah maha suci dari arah dan tempat”.
Jadi “Allah di atas Arsy” maupun ungkapan “serahkan sama Yang di atas” BUKAN dalam pengertian ARAH, BATASAN, JARAK ataupun TEMPAT NAMUN maksudnya adalah,
علوّ المرتبة
Uluww al-Martabah artinya
derajat yang tinggi untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
Orang-orang yang mengatakan atau berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala BERBATAS dengan Arsy AKIBAT MENTAKWIL ISTAWA dengan ISTAQARRA yang artinya BERTEMPAT atau MENETAP TINGGI di atas Arsy atau BERADA di arah atas secara hissi (inderawi / materi / fisikal) menurut Hujjatul Islam Imam Al Ghazali dalam Misykat Al Anwar ADALAH orang-orang yang belum dapat memandang Allah Ta’ala dengan hatinya (ain bashirah) AKIBAT mereka TERHIJAB oleh cahaya yang bercampur dengan KEGELAPAN KHAYALI
***** awal kutipan *****
Sebab, kata mereka sesuatu yang tidak dinisbahkan ke suatu arah dan tidak dapat dilukiskan sebagai “di luar alam dunia” atau “di dalamnya”, menurut mereka, sama saja dengan “tidak ada” karena tidak dapat dikhayalkan.
Orang-orang seperti ini tidak mengetahui bahwa persyaratan dasar sesuatu yang ma’qûl (dapat dicerna oleh akal) ialah kemungkinannya untuk melampaui segenap arah dan ruang.
***** akhir kutipan *****
Mereka memang ada juga yang berkeyakinan bahwa Tuhan tidak bertempat NAMUN berada di arah atas karena menurut mereka tempat itu masih alam sedangkan Tuhan itu di luar alam.
Berikut kutipan tulisan mereka,
****** awal kutipan ******
Tidak betul, sudah dijelaskan para ulama salaf bahwa memang zat Allah itu di arah atas, tapi mereka memang tidak menamakan itu semua tempat karena Allah itu di luar alam sehingga tak berlaku lagi tempat di luar alam karena tempat itu masih alam.
***** akhir kutipan ******
Jadi mereka berkeyakinan Tuhan berada di arah atas dan di atas Arsy ada yang namanya “bukan tempat”.
Adapula yang lain menamakannya makan ‘adami dan kalau diartikan adalah “tempat ketiadaan”
Ironisnya keyakinan (i’tiqod/akidah) mereka tentang adanya “bukan tempat” atau “tempat ketiadaan” (makan ‘adami) dinisbatkan atau dilabeli sebagai keyakinan ulama salaf
Padahal istilah “bukan tempat” atau makan ‘adami (tempat ketiadaan) tidak pernah diriwayatkan oleh Salafush Sholeh karena tidak ada dalam Al Qur’an maupun Hadits.
Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata
من زعمأن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود
”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud (TERBATAS) maka ia telah JAHIL yakni TIDAK MENGENAL Tuhan Sang Pencipta.” (Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73)
Jadi orang-orang yang MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN ISTAWA Allah sebagai BERTEMPAT sehingga mereka seolah-olah MEMENJARAKAN Allah Ta’ala BERBATAS dengan Arsy adalah mereka yang JAHIL yakni BELUM MENGENAL Allah (makrifatullah) dengan sebenar keagungan-Nya.
Oleh karenanya perkara aqidah sebaiknya didahulukan karena tidak sah ibadah jika belum mengenal Allah (makrifatullah)
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali berkata:
لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”.
Artinya, awal beragama adalah mengenal Allah (makrifatullah) dan tujuan akhir beragama adalah menyaksikan Allah (makrifatullah) dengan hati (ain bashirah).
Oleh karenanya SEJAK DINI sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai SARANA untuk MENGENAL Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/02/12/20-sifat-beserta-dalilnya/
Begitupula 20 sifat wajib bagi Allah dipergunakan sebagai pedoman dan batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) tentang sifat-sifat Allah.
Imam Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi asy-Syaf’i (W 465 H) atau yang dikenal dengan Imam Al Qusyairi dalam Lata’if al-Isyarat mengingatkan bahwa,
Langit maupun arsy dalam makna dzahir atau secara hissi (materi/fisikal) arah atas (jihah) adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk
Sedangkan langit, arsy dalam makna majaz atau secara maknawi adalah terkait melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi.
Syaikh Ibnu Athaillah berkata dalam Al Hikam bahwa “Tuhanmu tidak terhijab. Yang terhijab adalah pandanganmu sehingga engkau tidak dapat memandang-Nya. Kalau Dia terhijab berarti Dia tertutupi oleh sesuatu. Jika Dia tertutup sesuatu, berarti wujud-Nya terbatas. Segala yang terbatas adalah lemah, sedang Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendakiNya untuk dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah).
قَالَ رَأَى مُحَمَّدٌ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِقَلْبِهِ
Ibnu Abbas radhiyallhuanhu berkata; Muhammad melihat Rabb-nya ‘Azza wa Jalla dengan hatinya (HR Muslim 257 atau Syarh Shahih Muslim 176, HR Tirmidzi 3203)
Haditsnya dapat dibaca secara daring (online) pada https://hadits.in/muslim/257
Malaikat Jibril ketika menampakkan sebagai seseorang berpakaian putih bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah IHSAN itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (makrifatullah), maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Haditsnya bisa dibaca secara daring (online) pada http://hadits.in/muslim/11
Jadi jika seseorang bermakrifat yakni dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) atau pengawasan Allah tertanam di hatinya karena BERKEYAKINAN bahwa “Allah Ta’ala itu dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak” maka setiap akan bersikap atau berbuat sesuatu ia selalu mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar.
Sikap dan perilaku seperti itulah yang membentuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang IHSAN.
Langkah-langkah agar berahlak baik adalah untuk membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) sampai titik hitam (dosa) pada hati menghilang berganti bintik cahaya, sehingga tidak ada yang menghijabi antara diri dengan Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla dekat dan dapat disaksikan (dipandang) dengan hati sehingga tercapailah muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin/sholihin) maka diperolehlah kenyataan Tuhan (TAJALLI).
Tajalliyat adalah tersingkapnya hijab yang membatasi manusia dengan Allah, sehingga nyata dan terang cahaya dan kebesaran Allah dalam jiwa. Dengan mudah jiwa akan menerima nur ilahi berupa hidayah dan ma’unah dari Allah untuk senantiasa bersikap terpuji dan berakhlak mulia dalam hidup sehari-hari.
Manusia terhalang atau menghijabi dirinya sehingga tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya adalah karena dosa mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seandainya bukan karena setan menyelimuti jiwa anak cucu Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” (HR Ahmad)
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Jadi tidak semua manusia dapat memandang Allah dengan hatinya
Orang kafir itu tidak dapat memandang Allah Ta’ala dengan hatinya karena TERHIJAB atau tertutup dari cahaya hidayah oleh KEGELAPAN sesat.
Ahli maksiat tidak dapat memandang Allah Ta’ala dengan hatinya karena TERHIJAB atau tertutup dari cahaya taqwa oleh KEGELAPAN alpa
Ahli Ibadahpun boleh terjadi tidak dapat memandang Allah dengan hatinya karena TERHIJAB atau tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh KEGELAPAN memandang ibadahnya
Para ulama Allah mengatakan bahwa salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
Oleh karenanya orang-orang yang BERAKHLAK BURUK seperti mereka yang terjerumus KESOMBONGAN dan MENOLAK kebenaran BERKAITAN dengan akhlak buruk mereka kepada Allah Ta’ala yakni orang-orang yang ‘Aashin (DURHAKA) kepada Allah karena mereka “menjauhkan” Allah Ta’ala dengan menetapkan arah (jihah) atau tempat bagi Allah di atas Arsy AKIBAT mereka belum dapat memandang Allah dengan hatinya (ain bashirah).
Mereka yang “menjauhkan” Allah adalah orang-orang yang BERTAMBAH ILMUNYA namun SEMAKIN JAUH dari Allah Ta’ala karena mereka TERJERUMUS KESOMBONGAN dan MENOLAK KEBENARAN
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Ibnu Taimiyyah BUKAN ulama SALAF (terdahulu) namun ulama KHALAF (kemudian) karena wafat 728 H artinya Beliau hidup di atas 300 Hijriah.
Begitupula Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) maupun Adz Dzahabi (w 748 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Jadi mereka tentu tidak bertemu dengan Salaf karena tidak semasa kehidupannya sehinga mereka tidak mendapatkan pemahaman Salaf yang sesungguhnya.
FITNAH terhadap Salafush Sholeh timbul AKIBAT Ibnu Taimiyyah (W 728 H) MENISBATKAN atau tepatnya MELABELKAN MAZHABNYA atau METODE PEMAHAMANNYA SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENGINGKARI atau MELARANG TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ sebagai MAZHAB atau MANHAJ Salaf sebagaimana fatwanya dalam Majmu Fatawa 4/149
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR
***** akhir kutipan *****
Bahkan disebarluaskan dongeng atau tepatnya fitnah bahwa Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari (W 324 H atau yang lain mengatakan 330 H) melalui 3 marhalah kehidupan atau 3 fase pemikiran yakni fase ketiga (terakhir) mengikuti MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENGINGKARI atau MELARANG TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ serupa dengan MAZHAB Ibnu Taimiyyah (W 728 H) yang DILABELI sebagai MAZHAB atau MANHAJ SALAF
Ibnu Taimiyyah dikabarkan masih sempat bertaubat kepada Allah Ta’ala sebelum Beliau wafat dipenjara sehingga Beliau belum sempat menulis kitab-kitab untuk mengkoreksi kekeliruannya akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN Ibnu Taimiyyah dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan mengingkari makna majaz (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115).
Begitupula Ibnu Taimiyyah dalam Al Iman hal 94 berkata,
***** awal kutipan *****
“maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk metafor (majaz) dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur’an tidak ada bentuk metafor.
Bahkan pembagian bahasa kepada hakekat dan metafor adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.
***** akhir kutipan ****
Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) murid dari Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)
Jadi TIMBULNYA KERUSAKAN seperti orang awam terjerumus KEKUFURAN dalam perkara i’tiqod akibat TERKELABUI oleh penisbatan atau tepatnya PELABELAN SALAFI maupun ATSARI.
Mereka membeli atau memiliki kitab-kitab hadits dan mereka membaca hadits-hadits dimana dalam hadits tercantum sanad hadits yakni nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in lalu dikatakan oleh mereka bahwa mereka mengikuti PEMAHAMAN Salafush Sholeh dan DILABELI MAZHAB SALAF atau MANHAJ SALAF
Apa yang disampaikan dari hadits-hadits yang dibaca oleh mereka adalah PEMAHAMAN MEREKA sendiri BUKAN PEMAHAMAN Salafush Sholeh.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri yakni PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami mencontohkan hadits yang dapat menyesatkan bagi ahli (membaca) hadits adalah hadits Nuzul yakni,
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan bahwa,
ولا يعرف معنى هذه إلا الفقهاء بخلاف من لايعرف إلا مجرد الحديث ، فإنه يضل فيه كما وقع لبعض متقدمي الحديث . بل ومتأخريهم ، كابن تيمية وأتباعه
“tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fiqih. Berbeda dengan mereka yang hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya.
Berikut kutipan contoh pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah (W 728 H) sebelum bertaubat ketika membaca hadits Nuzul sebagaimana yang disampaikan oleh ulama mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah)
**** awal kutipan ****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam.
***** akhir kutipan *****
Ibnu Taimiyyah terjerumus MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN nuzul dengan mengatakan bahwa
“Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG”
Begitupula ini adalah sebuah contoh KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah dalam perkara i’tiqod karena tidak pernah disabdakan Rasulullah maupun diriwayatkan oleh Salafush Sholeh.
Tidak ada satupun ulama yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa hadits nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah.
Begitupula Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat mengatakan
– Tuhan BERTEMPAT di atas Arsy, maka keduanya ini memiliki BENTUK dan BATASAN (Muwafaqat Sharih al Ma’qul j.2 h 29)
– Tuhan BERTEMPAT di langit dan dia diliputi dan DIBATASI oleh langit (Muwafaqat Sharih al Ma’qul j.2 h 30)
– Nabi Muhammad DIDUDUKAN oleh Allah di atas Arsy bersama-Nya (Majmu Fatawa juz 4, hal.374) dan contoh kajiannya dalam video pada https://youtu.be/XKdvshNOcow
Bahkan ada pula pula mereka mengatakan bahwa Tuhan yang BERTEMPAT di atas Arsy berambut keriting dan memiliki pantat jika bergeser terdengarlah darinya suara ‘Kret Kret’ seperti suara yang biasa keluar dari kursi yang masih baru
Hal ini terungkap dalam tulisan mereka yang sempat diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf
Contoh kabar pertaubatan Ibnu Taimiyyah pada https://www.dutaislam.com/2016/07/ini-proses-persidangan-taubatnya-ibnu-taimiyah-yang-berbelit-belit.html
Begitupula sifat keterpisahan bagi Allah Ta’ala dengan makhluk BUKANLAH menjauh secara hissi (materi / fisikal) dalam pengertian batasan, arah, jarak maupun tempat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu al-Fatawa, juz 2, hal.126.
Para ulama terdahulu seperti Syekh Ibnu Khaldun (808 H) dalam kitab Târîkh-nya menjelaskan
***** awal kutipan ******
وأمّا المعنى الآخر للمباينة، فهو المغايرة والمخالفة
Adapun makna keterpisahan (mubayanah) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk adalah perbedaan dan ketidaksamaan
فيقال: البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويّته ووجوده وصفاته
Maka dikatakan bahwa Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya dalam hal Dzat, hakikat, keberadaan dan sifat-sifatnya.
***** akhir kutipan *****
Jadi pengertian keterpisahan (mubayanah) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk adalah Allah ba’in ‘an al-khalq yakni Allah Ta’ala TERPISAH dalam makna BERBEDA dari makhluk-makhluk-Nya
Contohnya kalau makhlukNya seperti manusia itu dekat BERSENTUH dan jauh BERJARAK
Sedangkan Allah Ta’ala itu dekat TIDAK BERSENTUH dan jauh TIDAK BERJARAK sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat (QS Al Baqarah [2] : 186)
Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam “Maqalatul Islamiyin” jilid I hal 281 dengan JELAS dan TEGAS menuliskan apa yang telah disepakati oleh para ahlus sunnah,
أنهم يقولون: إن البارىء ليس بجسم ولا محدود ولا ذي نهاية
Mereka (ahlus sunnah) berkata, “Sesungguhnya Allah bukan jism, tidak berhadd (TIDAK TERBATAS) dan TIDAK BERJARAK”
Begitupula Imam Abul Wahid At Tamimi (W 410 H) ulama yang paling dekat zamannya dengan Imam Ahmad membawakan riwayat Imam Ahmad di dalam kitab Beliau “I’tiqad Imam Al Munabbal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal hal 38;
والله تعالى لم يلحقه تغير ولا تبدل ولا يلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش
“Dan Allah Ta’ala tidak mengalami perubahan dan TIDAK TERBATAS oleh hadd, baik sebelum Allah menciptakan Arsy, maupun setelah Allah menciptakan Arsy”.
Hal serupa disampaikan oleh Imam al Baihaqi (W 458 H) mengingatkan bahwa
من فوق السماء علی معنی نفي الحد عنه
Dzat di atas langit berdasarkan makna MENAFIKAN BATAS (al hadd) darinya.
Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari dalam kitab Al Ibanah menegaskan bahwa istawa Allah di atas Arsy
بلا كيف ولا استقرار
Tanpa kaifa (sifat makhluk/benda) dan bukan dalam pengertian istiqrar (bertempat/menetap tinggi).
Jadi BUKAN Allah (berada) di atas Arsy atau ISTAQARRA (bertempat/menetap tinggi) di atas Arsy.
NAMUN Allah di atas Arsy BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA yakni tanpa sifat-sifat makhluk/benda seperti arah (jihah), jarak, ruang, waktu, berbatas (al hadd) dengan arsy sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/01/02/bila-kaifa/
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 menyampaikan pandangan para ulama terdahulu terhadap kebid’ahan Ibnu Taimiyyah (W 728 H) sebagaimana yang dinformasikan pada http://as-suhaime.blogspot.com/2014/07/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al.html
****** awal kutipan ******
فمنهم من نسبه إلى التجسيم لما ذكر في العقيدة الحموية والواسطية وغيرهما من ذلك كقوله: إن اليد والقدم والساق والوجه صفات حقيقية لله، وأنه مستو على العرش بذاته، فقيل له: يلزم من ذلك التحيز والانقسام. فقال: أنا لا أسلم أن التحيز والانقسام من خواص الأجسام. فالذم بأنه يقول بتحيز في ذات الله.
Ada sebagian kelompok yang menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya:
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy DENGAN Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki BATASAN dan bagian,
MAKA ia menjawab, “ Aku tidak setuju BATASAN dan bagian termasuk kekhushusan jisim (sifat benda /fisikal)
Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan BATASAN bagi Dzat Allah.
****** akhir kutipan ******
Begitupula dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami ‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj telah menyampaikan bahwa Ibnu Taimiyyah itu telah MENGHINA atau DURHAKA kepada Allah Ta’ala KARENA mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat benda seperti arah dan tempat maupun mensifatkan Allah Ta’ala dengan anggota-anggota badan seperti tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya.
***** awal kutipan *****
Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan.
Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji. –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”
***** akhir kutipan *****
Dalam kitab yang sama, Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengingatkan bahwa Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan oleh banyak ulama terdahulu dalam arti ditetapkan kufur dalam i’tiqod
Contohnya seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’.
Jadi perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Ibnu Taimiyyah (W 728 H) karena begitu besarnya kerusakan dalam perkara i’tiqod akibat orang awam terkelabui dengan label mazhab atau manhaj Salaf
Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah (W 728 H) MENGINGATKAN bahwa AMBIL YANG BAIK dan TINGGALKAN YANG BURUK dari Ibnu Taimiyyah
*** awal kutipan ***
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه
“Meskipun demikian, beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
*** akhir kutipan ****
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakan Ibnu Taimiyyah di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Selain qodhi empat mazhab di atas, masih banyak ulama empat mazhab lainnya yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/02/07/ulama-bantah-ibnu-taimiyyah/
Istilah WAHABI (WAHABISME) juga digunakan untuk orang-orang yang SECARA TERANG-TERANGAN melanggar larangan Rasulullah yakni mereka yang memahami atau “kembali” kepada Al Qur’an dan Hadits TAQLID BUTA mengikuti Ibnu Taimiyyah (W 728 H) yakni secara SHAHAFI (otodidak) menurut akal pikiran mereka sendiri dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan mengingkari MAKNA MAJAZ seperti contoh informasi dari kalangan mereka sendiri pada http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya.
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Begitupula seberapapun banyaknya guru atau seberapapun panjangnya rantai sanad guru (sanad ilmu) dari ahli (membaca) hadits, Albani yang dikenal sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” maka tidak akan berarti (berguna) karena Beliau lebih banyak mendalami ilmu agama, berpendapat dan berfatwa dari balik perpustakaan alias secara otodidak (shahafi) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana contoh informasi dari kalangan pengikutnya sendiri pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
Ada seseorang bertanya kepada Albani: “Apakah anda ahli hadits (muhaddits)?”
Albani menjawab: “Ya!”
Ia bertanya: “Tolong riwayatkan 10 hadits kepada saya beserta sanadnya!”
Albani menjawab: “Saya bukan ahli hadits penghafal, saya ahli hadits kitab.”
Orang tadi berkata: “Saya juga bisa kalau menyampaikan hadits ada kitabnya.”
Lalu Albani terdiam. (dari Syaikh Abdullah al-Harari dalam Tabyin Dlalalat Albani 6)
Jadi ahli (membaca) hadits, Albani mengakui bahwa Beliau adalah ahli hadits kitab bukan penghafal hadits.
Dalam ilmu Musthalah Hadits jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status haditsnya adalah dlaif, bukan perawi sahih
Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh ahli (membaca) hadits Albani yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadits) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan.
Jadi yang dimaksud oleh mereka dengan julukan atau pengakuan sebagai “ahli hadits” adalah ahli (membaca) hadits secara shahafi (otodidak) bukan ahli hadits sesungguhnya.
Ahli hadits sesungguhnya menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya secara turun temurun sehingga tersambung kepada para perawi Hadits yakni Tabi’ut Tabi’in, Tabi’in dan Sahabat yang mendapatkannya atau meriwayatkan dari lisannya Rasulullah dan kemudian mereka mengumpulkan, meneliti dan menyampaikan dalam kitab-kitab hadits. Mereka menyusunnya berdasarkan nama perawi sehingga menjadi kitab-kitab musnad atau menyusunnya berdasarkan klasifikasi masalah sehingga menjadi kitab-kitab sunan.
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Timbul PERTANYAAN siapakah yang menghidupkan kembali ajaran atau pemahaman (baca kebid’ahan) Ibnu Taimiyyah (W 728 H) dengan menyodorkan kitab-kitabnya setelah wafat lebih dari 450 tahun kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) sehingga diberi julukan “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyyah” yang juga memahami Al Qur’an dan Hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
PERTANYAAN ini perlu disampaikan karena para ulama terdahulu justru telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.
Contohnya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,
وإياك أن تصغي إلى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن قيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ إلهه هواه وأضله الله على علم ، وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعد الله
”Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim al Jawziyah dan orang selain mereka berdua yang telah menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan sesembahan dan disesatkan oleh Allah atas ilmu, yang Allah telah menutup telinga, hati dan penglihatannya. Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah? : (Al Fatawa Al Haditsiyah 1/480)
Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari, menolak dan menangkal ajaran atau pemahaman Wahabi sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6
******* awal kutipan *******
ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا،
Diantara mereka terdapat juga firqah yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي، وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن القيم وعبد الهادي
Mereka melaksanakan KEBID’AHAN Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي في رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الإعتقاد: وهذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا وخلفا، فكانوا وصمة وثلمة في المسلمين وعضوا فاسدا
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”
يجب قطعه حتى لا يعدى الباقي، فهو كالمجذوم يجب الفرار منهم، فإنهم فريق يلعبون بدينهم يذمون العلماء سلفا وخلفا
Maka wajib menanggalkan / menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
يقولون على الله الكذب وهم يعلمون
Mereka MENYEBARKAN KEBOHONGAN MENGENAI Allah, padahal mereka menyadari kebohongan tersebut.
***** akhir kutipan *******
Mereka menyebarluaskan kebohongan mengenai Allah Ta’ala sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/01/02/bohong-mengenai-allah/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar