Mereka beribadah kepada sesuatu yang berada di atas Arsy seperti kitab Lauh Mahfudz
Buya Arrazy Hasyim membongkar upaya pemalsuan kitab Al Ibanah yakni seolah-olah Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari mengatakan dan meyakini Allah BERADA di atas Arsy sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video pada https://www.youtube.com/watch?v=QycLBubixTs
Padahal Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari dalam kitab Al Ibanah hal 102 menegaskan bahwa
وأنه مستو على عرشه بلا كيف ولا استقرار
Dan Sesungguhnya Dia Istiwa atas Arasy-Nya BILA KAIFA dan BUKAN dalam pengertian ISTIQRAR.
Jadi BUKAN Allah ISTAQARRA artinya berada, bertempat, menetap tinggi atau bahkan melayang tinggi di atas Arsy.
NAMUN Allah istawa atas Arsy BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA yakni tanpa sifat-sifat makhluk atau benda seperti arah (jihah), jarak, ruang, waktu, berbatas (al hadd) dengan arsy.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa Istawa Allah atas arsy bukan dalam pengertian tempat maupun arah.
Contohnya, pada akhirnya salah satu ustadz mereka tidak lagi keliru menterjemahkan dan memahami perkataan atau pendapat Syaikh Abdul Qadir Al Jilani bahwa Istawa Allah atas arsy bukan dalam pengertian tempat maupun arah (Al Ghunyah, Juz 1, 121-125) sebagaimana status atau tulisannya pada https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1720848964775207&id=100005503590633
Sedangkan para penerus KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah (W 728H) sebelum bertaubat mereka TAQLID mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah yang berkata,
ولله تعالى استواء على عرشه حقيقة
Dan Allah istiwa’ diatas arsy-Nya secara hakikat. (Majmu’ Fatawa 5/199 Cet. Dar ‘Alamil Kutub Riyadh)
Jadi mereka MENTERJEMAHKAN dan MEMAKNAI ‘alal ‘arsy istawa secara hakikat yakni MAKNA DZAHIR dari suatu lafadz seperti ISTAQARRA yang artinya BERADA di arah atas secara hissi (inderawi / materi / fisikal) atau BERTEMPAT atau MENETAP TINGGI atau bahkan MELAYANG TINGGI di atas arsy.
Mereka bahkan mengkafirkan umat Islam dengan cara memfitnah seolah-olah Imam Abu Hanifah MENTAKWIL (memaknai) ISTAWA dengan MAKNA DZAHIR seperti ISTAQARRA yang artinya berada, bertempat, menetap tinggi atau bahkan melayang tinggi di atas Arsy sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://rumaysho.com/933-di-manakah-allah-4.html
awal kutipan
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah MENETAP TINGGI di atas ‘Arsy”.
akhir kutipan
Padahal Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah).
Imam Abu Hanifah mengkafirkan atau menetapkan kufur dalam perkara i’tiqod adalah karena dua ungkapan atau pernyataan si penanya yakni
“Aku tidak mengetahui di mana Tuhanku, apakah Dia di langit ataukah di bumi?”
“Allah di atas ‘Arsy, dan aku tidak tahu arah ‘Arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”
Dengan kedua ungkapan atau pernyataan orang tersebut telah menetapkan adanya arah dan tempat bagi istiwa Allah sehingga menjadi kafir atau terjerumus kekufuran dalam i‘tiqod
Setiap yang berlaku arah dan tempat maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yang baharu (huduts).
Hal yang sama juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz.
Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan (kufur dalam i’tiqod) orang mengatakan dua ungkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198).
Begitupula para penerus KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah (W 728H) sebelum bertaubat, mereka menisbatkan atau menyandarkan sebagai perkataan Imam Malik adalah
الاستواء معلوم والكيف مجهول
Al Istiwa ma’lum wal kaifu majhul
“Istiwa itu maknanya diketahui dan kaifa tidak diketahui.” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah, 3/25)
Tentulah yang shahih dan diakui dalam mengutip dan menyampaikan perkataan atau pendapat Imam Malik adalah apa yang disampaikan oleh ulama mazhab Maliki
Contohnya ulama mazhab Maliki, Syaikh Sa’id Al Kamali dalam video pada https://www.youtube.com/watch?v=2lsX-tbB1Ms
Pada menit sekitar 15, Beliau menyampaikan bahwa Imam Malik berkata,
الاستواء معلوم والكيف غير معقول
Al Istiwa ma’lum wal kaifu ghairu ma’qul”
Al Istiwa maknanya diketahui NAMUN Kaifa (sifat makhluk atau benda) tidak masuk akal ditujukan bagi istiwa Allah.
Begitupiula Al Imam Al Hafizh al-Baihaqi yang meriwayatkan dari Abdullah ibn Wahb ketika orang itu bertanya “bagaimanakah Istawa Allah”, Imam Malik menjawab perkataan orang itu:
* awal kutipan ***’
“ar-Rahmân ‘Alâ al-’Arsy Istawâ sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena
الكيف غير معقول
“Al Kaifu ghairu maquul”
Kaifa (sifat makhluk atau benda) tidak masuk akal ditujukan bagi istiwa Allah. (Al-Baihaqi, al-Asmaa wa al-Sifaat, hal 408)
akhir kutipan
Sedangkan Imam Al-Lalika’i (W 416H) mempergunakan kata
“Al Istiwa Madzkur wal kaifu ghairu ma’qul” artinya
Al Istiwa telah disebutkan dalam Al Qur’an NAMUN Kaifa (sifat makhluk atau benda) tidak masuk akal ditujukan bagi istiwa Allah.
Kaifa hanya ditujukan kepada membagaimanakan (kaifiyyah) sifat makhluk / benda yakni sesuatu yang dapat dindera dengan mata kepala sebagaimana yang dijelaskan oleh Ustadz Abdul Wahab Ahmad pada http://islam.nu.or.id/post/read/118720/definisi-kaifiyah-dalam-pembahasan-sifat-allah
Imam Malik memerintahkan agar si penanya yang berbahasa Arab dikeluarkan dari majelisnya tentu BUKANLAH akibat orang itu TIDAK MENGETAHUI maknanya dan BUKAN pula akibat orang itu MENGINGKARI firman Allah Ta’ala, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa”
Namun KESALAHAN orang itu justru karena mengitsbatkan atau menetapkan kaifa (sifat makhluk atau benda) bagi istiwa Allah dan lalu mempertanyakan kaifiyyah (bagaimana) Istiwa bagi Allah Ta’ala
Asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan bahwa ketika orang itu bertanya kepada Imam Malik “bagaimanakah Istiwa Allah” sebenarnya orang tersebut sudah menetapkan adanya Kaifa (sifat makhluk atau benda) bagi (istawa) Allah sesuai makna dzahirnya yakni bertempat namun orang tersebut meragukan tentang kaifiyyah dari sifat bertempat bagi Allah karena itu ia bertanya kepada Imam Malik.
Ibnu Taimiyah (W 728H) beruntung masih diberikan kesempatan oleh Allah Ta’ala untuk bertaubat persis sebelum Beliau wafat di penjara ~ semoga Allah menerima taubatnya.
Semoga Allah memberikan petunjuk pula kepada para penerus KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah agar mereka dapat menyadari Aashin atau durhaka mereka kepada Allah sehingga sempat pula bertaubat sebelum ajal menjemput mereka.
Ibnu Taimiyah secara tidak langsung MENGGANTI sifat Allah dengan sifat makhluk atau benda adalah AKIBAT mazhab atau metode pemahamannya SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK takwil atau memaknai dengan MAKNA MAJAZ.
Contohnya Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat yang beraqidah TAJSIM serupa dengan firqah MUJASSIMAH sehingga Ibnu Taimiyah terjerumus Aashin atau durhaka kepada Allah seperti MENGGANTI kemuliaan dan keagungan sifat ISTAWA dengan sifat makhluk atau benda yakni sifat BERBATAS dengan Arsy
Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat mengatakan bahwa,
- Tuhan BERTEMPAT di atas Arsy, maka keduanya ini memiliki BENTUK dan BATASAN (Muwafaqat Sharih al Ma’qul j.2 h 29)
- Tuhan BERTEMPAT di langit dan dia diliputi dan DIBATASI oleh langit (Muwafaqat Sharih al Ma’qul j.2 h 30)
- Nabi Muhammad didudukan oleh Allah di atas ‘arsy bersama-Nya!” (Majmu Fatawa juz 4, hal.374)
Ketiga perkataan atau pendapat Ibnu Taimiyah tersebut dikutip dari tulisan mereka yang sempat diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf
Contoh kajian PERBEDAAN antara Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal dengan Mazhab Salafi Kontemporer (Salafi masa kini) tentang pengertian Rasulullah kelak didudukan di atas Arsy adalah terkait syafa’at Rasulullah bukan syubhat tempat dan arah bagi Allah Ta’ala dapat disaksikan dalam video pada https://youtu.be/XKdvshNOcow
Orang-orang yang mengatakan atau berkeyakinan atau beri’tiqod bahwa Allah Yang Maha Kuasa BERBATAS dengan Arsy adalah mereka yang terjerumus Aashin (durhaka) atau menghina Allah sehingga mereka belum dapat memandang Allah (makrifatullah) dengan hati mereka (ain bashirah)
Syaikh Ibnu Atha’illah as Sakandari (W 709H) berkata dalam Al Hikam bahwa “Tuhanmu tidak terhijab. Yang terhijab adalah pandanganmu sehingga engkau tidak dapat memandang-Nya. Kalau Dia terhijab berarti Dia tertutupi oleh sesuatu. Jika Dia tertutup sesuatu, berarti wujud-Nya terbatas. Segala yang terbatas adalah lemah, sedang Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam “Maqalatul Islamiyin” jilid I hal 281 dengan JELAS dan TEGAS menuliskan apa yang telah disepakati oleh para ahlus sunnah,
أنهم يقولون: إن البارىء ليس بجسم ولا محدود ولا ذي نهاية
Mereka (ahlus sunnah) berkata, “Sesungguhnya Allah BUKAN JISM, tidak berhadd (TIDAK TERBATAS) dan TIDAK BERJARAK”
Syaikh Abdul Qadir Al Jilani juga menafikan JISM dan HAD (batasan) bagi Allah Ta’ala dalam Al Ghunyah Juz 1 hal 121 bisa dibaca secara daring (online) pada https://al-maktaba.org/book/33369/113#p3
awal kutipan
ليس بجسم فيمس، ولا بجوهر فيحس، ولا عرض فيقضى، ولا ذي تركيب أو آلة وتأليف، أو ماهية وتحديد
“Allah BUKANLAH JISM sehingga tidak bisa disentuh, bukan pula JAUHAR sehingga tidak bisa diindera, bukan ‘ARADH sehingga bisa ditentukan, tidak juga berupa sesuatu yang mempunyai susunan, alat (organ), rangkaian, MATERI atau juga BATASAN”.
akhir kutipan
JAUHAR adalah SESUATU yang bertempat dengan dirinya sendiri (ma tahayyaza binafsihi), tidak bergantung pada bertempatnya sesuatu yang lain.
Sedangkan ‘ARADH adalah SESUATU yang bertempat dengan bertempatnya sesuatu yang lain (ma tahayyaza bi tahayyuzi ghairihi) sehingga dia tidak bisa berdiri sendiri.
Contoh kajiannya pada https://www.qureta.com/post/membedakan-jauhar-dengan-aradh
Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata
من زعمأن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود
”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mempunyai BATASAN (mahdud) maka dia telah JAHIL yakni TIDAK MENGENAL Sang Pencipta (Al Khaliq) yang berhak disembah” (Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73)
Jadi orang-orang yang terjerumus ‘Aashin (durhaka) kepada Allah yakni mereka yang seolah-olah MEMENJARAKAN Allah Ta’ala BERBATAS dengan Arsy adalah mereka yang JAHIL yakni BELUM MENGENAL Allah (makrifatullah) dengan sebenar keagungan-Nya.
Oleh karenanya perkara aqidah sebaiknya didahulukan karena tidak sah ibadah jika belum mengenal Allah (makrifatullah)
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali berkata:
لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang berhak disembah”.
Oleh karenanya SEJAK DINI sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai SARANA untuk MENGENAL Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits.
Begitupula 20 sifat wajib bagi Allah dipergunakan sebagai pedoman dan batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) tentang sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/02/12/20-sifat-beserta-dalilnya/
Begitupula sebaiknya janganlah menentang kehendak Allah yang memberikan dua pilihan cara dalam memahami ayat mutasyabihat yakni ayat dengan banyak makna terkait sifat Allah sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran [3] ayat ke 7.
PILIHAN PERTAMA sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami” (Q.S. Ali Imran [3] : 7)
Jadi BERIMANLAH sebagaimana lafadz-lafadznya seperti yad, ain, janbun, istawa, nuzul dan lain lainnya MENGIKUTI Salafus Sholeh pada umumnya (mayoritas), mereka MENGITSBATKAN atau MENETAPKAN berdasarkan LAFADZNYA bukan berdasarkan maknanya secara bahasa artinya tidak menetapkan atau tidak memilih makna dzahir atau makna majaz dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala yang disebut juga TAFWIDH ba’da TAKWIL IJMALI
Salafus Sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir”
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh, dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.
Begitupula Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari mengikuti Salafush Sholeh pada umumnya serupa dengan Imam Ahmad bin Hanbal yakni Beliau membiarkan dan mengitsbatkan (menetapkan) sebagaimana teks atau lafadz (ITSBAT LAFADZ) yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah, beriman dengannya serta membenarkannya,
بلا كيف ولا معنی
BILA KAIFA WALA MAKNA (tanpa kaifa dan tanpa makna) sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah (W. 620H) dalam kitab Lum’atul I’tiqad dan dapat disaksikan kajiannya dalam video pada https://www.youtube.com/watch?v=VBzWwpUovf4
Jadi boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti Yadullah yang artinya Tangan Allah dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala
Begitupula boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti istiwa yang artinya bersemayam yang mempunyai makna dzahir dan makna majaz dan lalu TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Ibnu Taimiyyah (W 728H) TERBUKTI tidak mengikuti Salafus Sholeh karena Beliau justru MENGINGKARI TAFWIDH dan MENGITSBATKAN atau MENETAPKAN berdasarkan MAKNA DZAHIR
Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat berkata,
فتبين أن قول أهل التفويض الذين يزعمون أنهم متبعون للسنة والسلف من شر أقوال أهل البدع والإلحاد
“Maka menjadi jelaslah bahwa ucapan para penganut Tafwidh yang menyangka dirinya mengikuti sunnah, adalah merupakan sejelek-jelek ucapan ahli bid’ah dan ahli ilhad.” (Dar’ut Ta’arudhil Aqli Wan Naqli : 1/115)
PILIHAN KEDUA sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab (orang-orang yang berakal) (Q.S. Ali Imran [3] : 7)
Jadi ALTERNATIF pilihannya dapat MENGIKUTI ulil albab dengan menggunakan akal bahwa jika dipahami dengan makna dzahir ada QARINAH atau petunjuk akan terjerumus mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat yang tidak layak (tidak patut) bagi-Nya maka dapat disimpulkan BUKANLAH dalam makna dzahir dan berarti diitsbatkan atau DITETAPKAN dalam MAKNA MAJAZ (metaforis atau makna kiasan) yang dinamakan TAKWIL TAFSHILI
Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan takwil atau menganugerahi hikmah (pengetahuan yang dalam) kepada siapa yang dikehendakiNya yakni kepada Ulil Albab (orang-orang yang berakal) sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Contohnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendoakan untuk Ibnu Abbas radhiyallahu anhu agar Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan takwil
اَللَّهُمَّ فَقِّهُّ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhuttakwil
Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam urusan agama dan ajarilah ia takwil Al Qur’an.
Jadi TAFWIDH MAKNA atau TAKWIL IJMALI dan TAKWIL TAFSHILI hanyalah SEBUAH PILIHAN bukan BERTENTANGAN atau KONTRADIKSI.
Berikut cara mudah memahami TAFWIDH MAKNA atau TAKWIL IJMALI dan TAKWIL TAFSHILI.
Bagi si A, gadis itu cantik bagaikan bulan.
Si A berkata “sore itu bulan masuk ke warung makan” .
TAFWIDH MAKNA atau TAKWIL IJMALI, “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tetapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam karena mustahil masuk warung makan. Oleh karenanya saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah yang mengetahuinya
TAKWIL TAFSHILI, “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam karena mustahil masuk warung makan, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.
Salafus Sholeh tentu bukan tidak mengetahui makna dzahirnya namun ulama Salaf yang hidup sebelum 300 H maupun ulama Khalaf yang hidup setelah 300 H TELAH SEPAKAT untuk MEMALINGKAN lafadz mutasyabihat yakni lafadz dengan banyak makna yang terkait sifat-sifat Allah Ta’ala dari makna dzahirnya JIKA dipaksakan DIMAKNAI dengan MAKNA DZAHIR akan TERJERUMUS memaknai sifat Allah dengan sifat makhluk atau benda sehingga mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat yang tidak patut atau tidak layak atau sifat yang mustahil bagi Allah Ta’ala.
Perbedaan keduanya hanya terjadi pada masalah apakah diberikan maknanya sesuai kaidah-kaidah bahasa Arab ataupun tidak diberi makna tetapi diserahkan maknanya kepada Allah Ta`ala sendiri.
Sedangkan para ulama khalaf, dikarenakan pada masa mereka sudah berkembang ahli bid’ah yang mensifati Allah dengan sifat makhluk atau benda, maka mereka menafsirkan nash mutasyabihat tersebut dengan makna yang layak bagi Allah yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab atau tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3)
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”
Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah memalingkan (mengalihkan) dari makna dzahir sebuah lafaz / ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni
- Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.
- Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Quran.
Contoh dalam masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Qur’an, mereka biasa menggunakan kata wajhun (wajah) dalam makna majaz (kiasan / metaforis) untuk mengungkapkan DIRI atau SOSOK seseorang demi memuliakannya.
Contohnya mereka untuk menghormati yang datang mengatakan,
jaa’a wajhul qoumi
telah datang wajah kaum.
Begitupula Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan firman Allah Ta’ala surat al-Qashash [28] ayat 88 menakwilkan ILLA WAJHAHU yang artinya kecuali wajah-Nya dengan إلا إياه kecuali Dia yakni kecuali Allah. (Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261)
Contoh lain, Imam Suyuthi dalam tafsir Jalalain
كل شيءٍ هالك إلا وجهه – إلا إياه
Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya yaitu إلا إياه kecuali Dia yakni kecuali Allah.
Sedangkan contoh Sahabat yang mentakwil ILLA WAJHAHU yang artinya kecuali wajah-Nya dengan ILLA MULKAHU artinya kecuali kekuasaan-Nya adalah Ibnu Abbas radhiyallahu anhu.
Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ketika menjelaskan firman Allah surat Al Qasas [28] ayat 88 berkata,
الا وجهه الا ما ابتغى به وجهه ويقال كل وجه متغير الا وجهه وكل ملك زاىل الا ملكه
(Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas), terbitan Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, 2011), hlm. 416)
Begitupula Imam Bukhari (W. 256H) yang hidup sebelum 300 H mentakwil ILLA WAJHAHU yang artinya kecuali wajah-Nya dengan ILLA MULKAHU artinya kecuali kekuasaan-Nya,
Imam Bukhari berkata,
كل شيء هالك الا وجهه الا ملكه
Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya yaitu kecuali kekuasaan-Nya
Imam Bukhari maupun Ibnu Abbas radhiyallahu anhu menakwil ILLA WAJHAHU yang artinya kecuali wajah-Nya dengan ILLA MULKAHU yang artinya kecuali kekuasaan-Nya untuk menunjukkan sifat Allah Maha Kekal.
Jadi sama saja ILLA WAJHAHU yang artinya kecuali wajah-Nya ditakwil kecuali Allah atau kecuali Diri-Nya atau kecuali Dia atau kecuali ILLA MULKAHU yang artinya kekuasaan-Nya yang serupa dengan sifat Qudrat (Berkuasa) dan merupakan salah satu dari sifat MA’ANI yang tujuh adalah qadim dan tidak akan binasa.
KESESATAN atau KEKELIRUAN orang-orang yang meneruskan KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah (W 728H) sebelum bertaubat adalah,
AKIBAT mereka NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA MENTERJEMAHKAN dan MEMAHAMI ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah secara hissi (inderawi / materi / fisikal) atau secara hakikat yakni mengitsbatkan atau menetapkan dengan MAKNA DZAHIR dari suatu lafadz dan MENGINGKARI MAKNA MAJAZ.
Dalam Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115, Ibnu Taimiyah termasuk yang mengingkari keberadaan MAKNA MAJAZ dalam Al Qur’an sebagaimana yang dikutip pada https://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Begitupula Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul Al Iman hal. 94 mengatakan,
awal kutipan
فهذا بتقدير أن يكون في اللغة مجاز ، فلا مجاز في القرآن ، بل وتقسيم اللغة إلى حقيقة ومجاز تقسیم مبتدع محدث لم ينطق به السلف
“maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk majaz (kiasan/metafor) dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur’an tidak ada bentuk majaz (kiasan/metafor).
Bahkan pembagian bahasa kepada hakikat (makna dzahir) dan majaz (kiasan/metafor) adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.
* akhir kutipan ****
Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) murid dari Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)
Jadi orang-orang yang hidup pada zaman now (sekarang) atau zaman khalaf NAMUN mereka mengaku dan menisbatkan sebagai Salafi dan mengaku pula sebagai kalangan modernis sehingga mereka dijuluki juga sebagai Salafi Kontemporer adalah orang-orang yang TERKELABUI oleh Ibnu Taimiyah yang MENISBATKAN MAZHAB atau METODE PEMAHAMANNYA SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ sebagai MAZHAB atau MANHAJ Salaf sebagaimana fatwanya dalam Majmu Fatawa 4/149
awal kutipan
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR
akhir kutipan
Bahkan disebarluaskan dongeng atau tepatnya fitnah bahwa Imam Asy’ari melalui 3 marhalah kehidupan atau 3 fase pemikiran yakni fase ketiga / terakhir adalah SERUPA dengan MAZHABNYA Ibnu Taimiyah SELALU dengan MAKNA DZAHIR.
Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa orang-orang yang KELIRU dalam berijtihad dan beristinbat karena MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR akan BERAKIBAT DUA macam KEKUFURAN yakni,
- KEKUFURAN dalam PERKARA FIQIH akibat mereka KELIRU memahami pernyataan atau ungkapan tawadhu (rendah hati) dari Imam Mazhab yang empat, seperti Imam Syafi’i yang berkata “apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku” sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/02/28/mereka-melarang-bermazhab/
- KEKUFURAN dalam PERKARA AKIDAH atau I’tiqod sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/02/27/kekufuran-dalam-perkara-itiqod/
Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa jika memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya SELALU dengan MAKNA DZAHIR maka akan terjerumus KEKUFURAN dalam perkara I’TIQOD.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Salah satu contoh mereka terjerumus KEKUFURAN dalam perkara I’TIQOD adalah mereka pada kenyataannya beribadah bukanlah kepada Allah namun mereka beribadah kepada sesuatu yang BERADA di atas Arsy seperti kitab Lauh Mahfudz.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda
لَمَّا قَضَى اللَّهُ الخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي
“Ketika Allah menentukan nasib manusia, Ia menulis di kitab-Nya yang berada di sisi-Nya di atas Arasy. Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.” (Musnad Ahmad 8346)
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkomentar
وَالْغَرَضُ مِنْهُ الْإِشَارَةُ إِلَى أَنَّ اللَّوْحَ الْمَحْفُوظَ فَوْقَ الْعَرْشِ
Hadits itu adalah mengisyaratkan bahwa Lauh mahfuzh BERADA di atas (fawqo) Arsy.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari, juz XIII, halaman 526)
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan lebih lanjut,
وَلَا مَحْذُورَ فِي إِجْرَاءِ ذَلِكَ عَلَى ظَاهِرِهِ لِأَنَّ الْعَرْشَ خَلْقٌ مِنْ خَلْقِ اللَّهِ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ أَيْ ذِكْرُهُ أَوْ عِلْمُهُ فَلَا تَكُونُ الْعِنْدِيَّةُ مَكَانِيَّةٌ بَلْ هِيَ إِشَارَةٌ إِلَى كَمَالِ كَوْنِهِ مَخْفِيًّا عَنِ الْخَلْقِ مَرْفُوعًا عَنْ حَيِّزِ إِدْرَاكِهِمْ
“Tak masalah memahami hadits tersebut secara dzahir (bahwa Lauh mahfuzh benar berada di atas Arasy) sebab sesungguhnya Arasy adalah salah satu makhluk dari makhluk-makhluk Allah. Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan “di sisi-Nya” adalah di sisi ilmu Allah. Jadi penyebutan sisi di sini bukanlah dalam makna tempat tetapi itu adalah isyarat bagi kesempurnaan Lauh mahfuzh yang tersembunyi dari makhluk dan tinggi terangkat dari batas pengetahuan mereka.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari, juz VI, halaman 291)
Jadi POKOK PERBEDAAN yang mendasar antara aqidah atau i’tiqod umat Islam pada umumnya dengan para PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah (W 728H) sebelum bertaubat ADALAH,
Mereka NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA MENTERJEMAHKAN dan MEMAHAMI ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah secara hissi (inderawi / materi / fisikal) atau SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENGINGKARI TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ sehingga mereka TERJERUMUS mengikuti firqah MUJASSIMAH.
Firqah MUJASSIMAH adalah mereka yang MEN-JISM-KAN Allah Ta’ala yakni mereka mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat-sifat jism atau sifat benda atau makhluk yakni sifat fisikal seperti mengisbatkan (menetapkan) arah atau tempat, ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya dan sifat fisikal lainnya maupun anggota badan
Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib mengatakan
قوم من هذه الأمة عند إقتراب الساعة كفارا يُنكرون خالقهم فيصفونه بالجسم والأعضاء
“Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir (maksudnya KUFUR dalam I’TIQOD) karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat JISIM (sifat benda atau makhluk yakni sifat fisikal seperti arah, ukuran, jarak, batasan maupun tempat) dan anggota-anggota badan.”
Para penerus KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat, mereka mengaku-ngaku mengikuti pendapat ulama Salaf yakni ulama yang hidup sebelum 300 hijriah
NAMUN pada kenyataannya mereka mengikuti ulama Salaf tokoh MUJASSIMAH seperti Muhammad Ibnu Karram (W 255 H) pelopor firqah KARRAMIYAH yang terpecah DUA KELOMPOK yakni,
KELOMPOK PERTAMA berkeyakinan Tuhan BERTEMPAT di atas Arsy dan
KELOMPOK KEDUA berkeyakinan Tuhan BERARAH yakni di arah atas arsy
Imam Asy Syahrastani (W 578 H) Rahimahullah mengatakan :
نص أبو عبد الله على أن معبوده على العرش استقرارا، وعلى أنه بجهة فوق ذاتا وقال بعضهم: امتلأ العرش به، وصار المتأخرون منهم إلى أنه تعالى بجهة فوق، وأنه محاذ للعرش وقال محمد بن الهيصم: إن بينه وبين العرش بعدا لا يتناهى، وإنه مباين للعالم بينونة أزلية
Abu Abdillah (Ibnu Karram) menjelaskan bahwa yang dia sembah menetap di atas ‘Arsy dan bahwasanya Dzatnya ada di arah atas dan sebagian Karramiyah berkata, “Arsy penuh dengan Dzat ALLAH.” namun orang-orang belakangan dari mereka berpendapat bahwa ALLAH Ta’ala di arah atas, Dia lurus dengan ‘Arsy dan Muhammad Bin Al-Haisham (imam kedua Karramiyah) berkata bahwa sesungguhnya antara ALLAH dan antara ‘Arsy ada jarak yang tak terhingga dan sesungguhnya ALLAH terpisah dari alam dengan jarak yang Azali. (Al-Milal Wa An-Nihal : 1/109)
Mereka memang ada juga yang berkeyakinan bahwa Tuhan tidak bertempat NAMUN berada di arah atas karena menurut mereka tempat itu masih alam sedangkan Tuhan itu di luar alam.
Berikut kutipan tulisan mereka,
awal kutipan
Tidak betul, sudah dijelaskan para ulama salaf bahwa memang zat Allah itu di arah atas, tapi mereka memang tidak menamakan itu semua tempat karena Allah itu di luar alam sehingga tak berlaku lagi tempat di luar alam karena tempat itu masih alam.
akhir kutipan *
Jadi mereka berkeyakinan Tuhan berada di arah atas dan di atas Arsy ada yang namanya “bukan tempat”.
Adapula yang lain menamakannya makan ‘adami dan kalau diartikan adalah “tempat ketiadaan”
Ironisnya keyakinan (i’tiqod/akidah) mereka tentang adanya “bukan tempat” atau “tempat ketiadaan” (makan ‘adami) dinisbatkan atau dilabeli sebagai keyakinan ulama salaf
Padahal istilah “bukan tempat” atau makan ‘adami (tempat ketiadaan) tidak pernah diriwayatkan oleh Salafus Sholeh karena tidak ada dalam Al Qur’an maupun Hadits.
Begitupula mereka mengikuti ulama Salaf tokoh mujassimah lainnya seperti Ad Darimi (W 280H) yang berkata bahwa uluw Allah adalah Allah berada di atas. Artinya, yang naik ke atas LEBIH DEKAT JARAKNYA kepada Allah. Yang berada di langit lebih dekat kepada Allah daripada yang di bumi. Yang berada di langit ketujuh lebih dekat kepada Allah daripada yang berada di langit bawahnya (Syarah kitab at Tauhid min Shahih al Bukhari juz 2 hal 461)
Mereka mengatakan,
awal kutipan
Apa yang dikatakan oleh Ad Darimi memang begitulah faktanya bahwa memang yang di atas langit LEBIH DEKAT kepada Allah secara hisssi (materi / fisikal) dari pada yang di bumi. Adapun kedekatan kala sujud maka itu adalah kedekatan maknawi”
akhir kutipan *
Ad Darimi yang dimaksud BUKANLAH Ad Darimi ulama besar ahli hadits terkemuka yang telah menulis kitab Sunan ad Darimi yakni Abdullah ibn Abdul Rahman ad-Darimi (w 255H) NAMUN Utsman bin Sa’id Ad-Darimi (w 280 H) sebagaimana contoh info dari https://kajianmedina.blogspot.com/2020/02/akidah-utsman-bin-said-ad-darimi.html
Sedangkan kitab aqidah Utsman Ad Darimi adalah salah satu diantara yang paling direkomendasikan untuk diikuti oleh Ibn Taimiyah dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah (w 751 H).
Contohnya Utsman bin Sa’id Ad-Darimi mengatakan “Dan jika Allah benar-benar berkehendak bertempat di atas sayap seekor nyamuk maka dengan sifat kuasa-Nya dan keagungan sifat ketuhanan-Nya Dia mampu untuk melakukan itu, dengan demikian maka terlebih lagi untuk menetap di atas arsy” . (Kitab An-Naqdl, h. 85) sebagaimana yang dikutip pada http://hafizhandasah.blogspot.com/2010/06/siapakah-ad-darimi-al-mujassim.html
Sedangkan Ibnu Taimiyah (W 728H) yang menjadi rujukan bagi paham Wahabi (Wahabisme) yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (1206 H) dalam kitabnya, Naqdzu Ta’sisi Al-Jahmiyah. Juz 1 Hal. 568 menyepakati perkatan Utsman bin Sa’id Ad Darimi,
قَدْ شَاءَ لا سْتَقَرَّ عَلَى ظَهْرِ بَعُوْضَةٍ فَاسْتقَلَّتْ بِهِ بِقُدْرَتِهِ وَلَطْفِ رُبُوْبِيَّتِهِ
Kalau seandainya Allah berkehendak maka Dia akan menempat di atas punggung nyamuk, dan nyamuk itu akan kuat mengangkatnya dengan kekuasaan-Nya dan pengaturan-Nya yang menjadikan nyamuk seperti itu, apalagi Arsy yang begitu Besar.
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dalam fatwa nomor 09 tahun 2014 dalam bidang aqidah menetapkan,
A. Mengimani bahwa zat Allah hanya di atas langit / Arasy adalah sesat dan menyesatkan.
B. Mengimani bahwa zat Allah terikat dengan waktu, tempat dan arah (berjihat) adalah sesat dan menyesatkan
C. Mengimani bahwa kalamullah itu berhuruf dan bersuara adalah sesat dan menyesatkan
Fatwa tersebut dapat dibaca secara daring (online) pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2016/02/fatwa-mpu-aceh-nomor-9-tahun-2014-tentang-pemahaman-pemikiran-pengamalan-dan-penyiaran-agama-islam-di-aceh.pdf
Begitupula pengertian AHLUS SUNNAH versi para penerus KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah (W 728H) sebelum bertaubat ADALAH,
AHLI (membaca) SUNNAH yakni AHLI (membaca) HADITS secara shahafi (otodidak) menurut akal pikiran mereka sendiri dan TAQLID mengikuti MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN Ibnu Taimiyah yakni SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK takwil atau memaknai dengan MAKNA MAJAZ.
Ada seseorang bertanya kepada Albani: “Apakah anda ahli hadits (muhaddits)?”
Albani menjawab: “Ya!”
Ia bertanya: “Tolong riwayatkan 10 hadits kepada saya beserta sanadnya!”
Albani menjawab: “Saya bukan ahli hadits penghafal, saya ahli hadits kitab.”
Orang tadi berkata: “Saya juga bisa kalau menyampaikan hadits ada kitabnya.”
Lalu Albani terdiam
(dari Syaikh Abdullah al-Harari dalam Tabyin Dlalalat Albani 6)
Ahli (membaca) hadits, Albani mengakui bahwa Beliau adalah ahli hadits kitab bukan penghafal hadits.
Dalam ilmu Musthalah Hadits jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status haditsnya adalah dlaif, bukan perawi sahih
Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh ahli (membaca) hadits Albani yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadits) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan.
Jadi yang dimaksud oleh mereka dengan julukan atau pengakuan sebagai “ahli hadits” adalah ahli (membaca) hadits secara shahafi (otodidak).
Sedangkan ahli hadits sesungguhnya menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya secara turun temurun sehingga tersambung kepada para perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari lisannya Rasulullah.
Ibnu Taimiyah tidak pernah mengklaim diri sebagai ulama Hambali yakni ulama yang bermazhab dengan Imam Ahmad bin Hanbal.
Dalam kitabnya Majmu Fatawa Juz 3 hal 229, Ibnu Taimiyah (W 728H) mengakui bahwa dalam beraqidah punya manhaj sendiri bukan bermanhaj Hambali ataupun yang lainnya
مَعَ أَنِّي فِي عُمْرِي إلَى سَاعَتِي هَذِهِ لَمْ أَدْعُ أَحَدًا قَطُّ فِي أُصُولِ الدِّينِ إلَى مَذْهَبٍ حَنْبَلِيٍّ وَغَيْرِ حَنْبَلِيٍّ، وَلَا انْتَصَرْت لِذَلِكَ، وَلَا أَذْكُرُهُ فِي كَلَامِي، وَلَا أَذْكُرُ إلَّا مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ سَلَفُ الْأُمَّةِ وَأَئِمَّتُهَا.
Sesungguhnya aku (Ibnu Taimiyah) sepanjang umurku hingga sekarang, aku tidak pernah mengajak seorangpun dalam masalah USHULUDDIN (AQIDAH) untuk mengikuti MAZHAB HAMBALI dan selainnya, aku tidak pernah membela kepada mazhab-mazhab tersebut dan tidak pernah menyebutkan (pendapat-pendapat mazhab tersebut) dalam perkataanku, dan aku juga tidak pernah menyebutkan (dalam masalah aqidah) kecuali perkara-perkara yang telah disepakati oleh Salaful Ummah dan para imamnya.
Bahkan Ibnu Taimiyah dalam bukunya yang berjudul Araddu ‘ala al-Hululiyyah wa al-Ittihadiyyah mengungkapkan keinginannya untuk membersihkan pemikiran-pemikiran yang taqlid mengikuti mazhab yang empat dan mengembangkan perlunya membuka kembali pintu ijtihad untuk siapa saja dan di mana saja.
NAMUN para ulama terdahulu mengelompokkan Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya sebagai ahli (membaca) hadits BUKAN sebagai ahli istidlal sebagaimana kompetensi para fuqaha (ahli fiqih).
Imam Ibnu Hajar al-Haitami mencontohkan hadits yang dapat menyesatkan bagi ahli (membaca) hadits adalah hadits Nuzul yakni,
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan bahwa,
ولا يعرف معنى هذه إلا الفقهاء بخلاف من لايعرف إلا مجرد الحديث ، فإنه يضل فيه كما وقع لبعض متقدمي الحديث . بل ومتأخريهم ، كابن تيمية وأتباعه
“tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fiqih. Berbeda dengan mereka yang hanya mengerti hadits saja, mereka TERSESAT dalam memahaminya, sebagaimana sebagian AHLI HADITS zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya.
وبهذا يعلم فضل الفقهاء المستبطين على المحدثين غير المستنبطين .
Dari sini, dapat diketahui keutamaan para ahli fiqih yang memiliki pemahaman dibandingkan dengan para ahli hadits yang tidak memiliki pemahaman.
Berikut kutipan contoh pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat ketika membaca hadits Nuzul sebagaimana yang disampaikan oleh ulama mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyah)
awal kutipan
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang MUHKAM (jelas dan dimaknai dengan makna dzahir) demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga MUHKAM.
akhir kutipan
Ibnu Taimiyah terjerumus MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN nuzul dengan mengatakan bahwa
“Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG”
Begitupula ini adalah sebuah contoh KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah dalam perkara i’tiqod karena tidak pernah disabdakan Rasulullah maupun diriwayatkan oleh Salafus Sholeh.
Tidak ada satupun ulama yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat arah dan tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa hadits nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah.
Paham Wahabi (WAHABISME) yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206H) yang juga seorang shahafi (otodidak) ADALAH paham atau ajaran yang meneruskan dan menyebarluaskan KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah (W 728H) sebelum bertaubat sehingga Beliau diberi julukan “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah” sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
awal kutipan
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
akhir kutipan
Timbul PERTANYAAN siapakah yang menghidupkan kembali ajaran atau pemahaman (baca kebid’ahan) Ibnu Taimiyah (W 728 H) dengan menyodorkan kitab-kitabnya setelah wafat lebih dari 450 tahun kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) karena para ulama terdahulu justru telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya.
Contohnya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,
وإياك أن تصغي إلى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن قيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ إلهه هواه وأضله الله على علم ، وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعد الله
”Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim al Jawziyah dan orang selain mereka berdua yang telah menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan sesembahan dan disesatkan oleh Allah atas ilmu, yang Allah telah menutup telinga, hati dan penglihatannya. Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah? : (Al Fatawa Al Haditsiyah 1/480)
Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari, menolak dan menangkal ajaran atau paham Wahabi (WAHABISME) yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6
awal kutipan
ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا،
Diantara mereka terdapat juga firqah yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي، وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن القيم وعبد الهادي
Mereka melaksanakan KEBID’AHAN Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي في رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الإعتقاد: وهذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا وخلفا، فكانوا وصمة وثلمة في المسلمين وعضوا فاسدا
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”
يجب قطعه حتى لا يعدى الباقي، فهو كالمجذوم يجب الفرار منهم، فإنهم فريق يلعبون بدينهم يذمون العلماء سلفا وخلفا
Maka wajib menanggalkan / menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
يقولون على الله الكذب وهم يعلمون
Mereka MENYEBARKAN KEBOHONGAN MENGENAI Allah, padahal mereka menyadari kebohongan tersebut.
akhir kutipan **
Jadi perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Ibnu Taimiyah (W 728H) karena begitu besarnya kerusakan dalam perkara i’tiqod akibat orang awam terkelabui dengan label mazhab atau manhaj Salaf.
Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyah MENGINGATKAN bahwa AMBIL YANG BAIK dan TINGGALKAN YANG BURUK dari Ibnu Taimiyah
awal kutipan
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه
“Meskipun demikian, beliau (Ibnu Taimiyah) adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
* akhir kutipan ****
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 menyampaikan pandangan para ulama terdahulu terhadap kebid’ahan Ibnu Taimiyah sebagaimana yang dinformasikan pada http://as-suhaime.blogspot.com/2014/07/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al.html
awal kutipan
فمنهم من نسبه إلى التجسيم لما ذكر في العقيدة الحموية والواسطية وغيرهما من ذلك كقوله:
Ada sebagian kelompok yang menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya:
إن اليد والقدم والساق والوجه صفات حقيقية لله،
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah,
وأنه مستو على العرش بذاته
dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy DENGAN Dzat-Nya.
فقيل له: يلزم من ذلك التحيز والانقسام.
Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki BATASAN dan BAGIAN,
فقال: أنا لا أسلم أن التحيز والانقسام من خواص الأجسام
MAKA ia menjawab, “ Aku tidak setuju BATASAN dan BAGIAN termasuk kekhushusan JISM (sifat benda / fisikal)
فالذم بأنه يقول بتحيز في ذات الله
Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyah mengatakan BATASAN bagi Dzat Allah.
akhir kutipan
Oleh karenanya Ibnu Taimiyah telah dikafirkan yakni ditetapkan kufur dalam perkara i’tiqod oleh banyak ulama terdahulu AKIBAT terjerumus ‘Aashin (durhaka) atau menghina Allah Ta’ala seperti contohnya mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat jism (sifat benda atau makhluk) seperti arah, berbatas dan tempat maupun anggota-anggota badan seperti wajah, mata, tangan, kaki, pinggang, betis dan lain sebagainya sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitabnya berjudul Hasyiyah Al ‘Allamah Ibn Hajar Al Haitami ‘Ala Syarh Al Idhah fi Manasik Al Hajj.
awal kutipan
Penghinaan Ibnu Taimiyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh (pengingkarannya terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah) oleh karena terhadap Allah saja dia melakukan penghinaan dengan menetapkan arah, tangan, kaki, mata dan lain sebagainya dari keburuk-keburukan yang sangat keji. Ibnu Taimiyah ini telah dikafirkan (ditetapkan kufur dalam perkara i’tiqod) oleh banyak ulama – semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilan-Nya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya yaitu mereka yang (masih) membela segala yang dipalsukan oleh Ibnu Taimiyah atas syari’at yang suci ini.
* akhir kutipan ****
Contoh ulama yang mengkafirkan yakni menetapkan Ibnu Taimiyah kufur dalam perkara i’tiqod adalah seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’.
Perbedaan pendapat atau furu’iyyah hanya dalam perkara fiqih bukan dalam perkara aqidah atau i’tiqod.
TIDAK ADA perbedaan pendapat dalam perkara akidah atau i’tiqod di antara mazhab yang empat karena KEKELIRUAN dalam perkara i’tiqod maka pasti akan terjerumus KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD.
Salah satu buktinya, akidah atau i’tiqod dari dua mazhab yang berbeda yakni akidah Imam Asy’ari (W 324 H atau 330 H) yang bermazhab Imam Syafi’i dan akidah Imam Maturidi (W 333 H) yang bermazhab Imam Hanafi telah disepakati sebagai dasar atau pedoman bagi akidah atau i’tiqod umat Islam pada umumnya.
Begitupula bukti lain bahwa dalam perkara aqidah atau i’tiqod bukanlah perkara furu’iyyah karena Ibnu Taimiyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dan kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyah adalah sesat dan menyesatkan.
Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakan Ibnu Taimiyah di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab, yaitu :
- Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
- Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
- Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
- Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Selain qodhi empat mazhab, masih banyak ulama lainnya yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/02/07/ulama-bantah-ibnu-taimiyyah/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar