Imam Ath Thabari mengatakan Maha Tinggi Allah adalah Maha Tinggi kekuasaan dan keagungan Raja dari segala raja
Mereka secara tidak langsung terjerumus memfitnah atau berdusta atas nama Imam Ath Thabari karena contohnya ketika mengutip dari kitab tafsir Imam Ath Thabari, mereka menterjemahkan dan memaknai Maha Tinggi Allah dengan menyisipkan kata dalam tanda kurung seperti (Yang Berada Tinggi) yang menunjukkan aqidah atau keyakinan yang berbeda dengan Imam Ath Thabari.
Padahal Imam Ath Thabari dalam kitab tafsirnya, seperti contohnya sebagaimana tangkapan layar (screenshot) di atas ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala surat Al Baqarah [2] ayat 29 melarang memaknai Al A’la dan Irtifa’a maupun istiwa Allah dalam makna dzahir karena akan terjerumus menetapkannya sebagai perbuatan Allah seperti berpindah (intiqal) dan berubah / menghilang (zawalun) yakni dari suatu keadaan ke keadaan lainnya.
Imam Ath Thabari menyampaikan ada orang lain yang memaknai firman Allah Ta’ala surat Al Baqarah ayat 29 adalah “mendatangi langit”
Imam Ath Thabari bertanya, jika demikian maknanya menurut anda, apakah sebelumnya Allah meninggalkan langit dan lalu mendatanginya?
Jika menjawab, bahwa maknanya bukan mendatangi (langit) secara perbuatan Allah tetapi pengaturan Allah.
Maka kami katakan kepadanya: demikian juga pemaknaan kami
فقل علا عليها علو ملك وسلطان
Maka katakanlah pengertian Maha Tinggi adalah Maha Tinggi kekuasaan dan keagungan Raja (dari segala raja).
لا علو انتقال وزوال
bukan tinggi berpindah (intiqal) dan berubah/menghilang (zawalun – dari suatu keadaan ke keadaan yang lain). (Tafsir Ath Thobari Jami’ul Bayan 1/430)
Contoh tangkapan layar (sreenshot) satu halaman 430 dari tafsir Ath Thabari dapat dilihat pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2022/01/tafsir-ath-thobari-al-baqarah-ayat-29-hal-430.png
Apa yang dikatakan oleh Imam Ath Thabari SESUAI dengan firman Allah Ta’ala bahwa Allah Maha Tinggi dalam makna ketinggian derajat-Nya atau kekuasaan-Nya yang menunjukkan keagungan Raja dari segala raja.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, (Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy, Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat) (QS. Al Mukmin [40] : 15)
Begitupula dalam majalah al-Azhar yang diterbitkan oleh para ulama al-Azhar pada edisi Muharram tahun 1357 H dalam pembahasan tafsir surat al-A’la, menuliskan sebagai berikut:
“al-A’la adalah salah satu sifat Allah. Yang dimaksud dengan al-‘uluww dalam hal ini adalah dalam pengertian keagungan, menguasai, dan ketinggian derajat, bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah maha suci dari arah dan tempat”
Jadi UNGKAPAN seperti, serahkan kepada “Yang di langit” atau “Yang di atas” SEBAIKNYA JANGANLAH dimaknai dengan MAKNA DZAHIR atau secara HISSI (inderawi / fisikal) dalam pengertian ARAH, BATASAN, JARAK ataupun TEMPAT,
NAMUN dimaknai dengan MAKNA MAJAZ dalam pengertian,
علوّ المرتبة
Uluww al-Martabah artinya
derajat yang tinggi untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah..
Begitupula jumhur ulama telah sepakat bahwa “tsumma Istawa Allah” yang artinya “lalu Allah istawa” maknanya bukanlah berpindah namun tertib atau kesinambungan dalam pemberitaan.
Contohnya Imam al-Qadli Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab berjudul Idlah ad-Dalil Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, hlm. 106-107 menuliskan
awal kutipan
Kemudian kata “tsumma” dalam firman-Nya: “Tsumma Istawa” BUKAN dalam pengertian “tertib atau berkesinambungan” dalam perbuatan-Nya, tetapi untuk memberikan paham tertib atau kesinambungan dalam pemberitaan, BUKAN dalam perbuatan-Nya.
akhir kutipan
Begitupula para ulama ahli bahasa mengatakan bahwa kata tsumma tidak hanya dipergunakan untuk susunan kejadian peristiwa.
Contohnya al-Imam al-Lughawiy al-Farra’ mengatakan bahwa kata tsumma terkadang digunakan dalam pengertian “al-waw”, artinya untuk tujuan susunan pemberitaan (Tartîb al-Ikhbar) dan tidak khusus hanya untuk susunan kejadian saja (Tartib al-Hushul).
Al Imam Al Hafidzh al Baihaqi dalam kitab al-Asma wa ash-Shifat hal. 411 menuliskan bahwa penggunaan kata tsumma pada asalnya adalah untuk susunan kejadian peristiwa (at-Tarakhkhî). Dan penggunaan tsumma dalam pengertian at-Tarakhkhî ini hanya terjadi pada perbuatan-perbuatan makhluk, karena setiap perbuatan makhluk itu pasti bersusunan (berkesinambungan) satu pekerjaan atas lainnya, ia tidak bisa mengerjakan berbagai pekerjaan dalam satu waktu. Hal ini karena perbuatan manusia dengan mempergunakan peralatan, seperti; tangan, kaki, dan lainnya. Juga dalam perbuatannya tersebut, manusia harus menyentuh objek dari apa yang diperbuatkannya. Ini berbeda dengan perbuatan Allah, Dia menciptakan segala makhluk-Nya bukan dengan peralatan, bukan dengan tangan, bukan dengan menyentuh, bukan dengan bergerak, dan bukan dengan segala sifat-sifat makhluk lainnya. Karena itu, penggunaan kata tsumma dalam ayat-ayat di atas bukan dalam pengertian susunan (berkesinambungan) dalam perbuatan-Nya, karena Allah Ta’ala tidak disibukan oleh satu perbuatan atas perbuatan lainnya.
Berikut kutipan komentar Imam Suyuthi dalam tafsir Jalalain ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala surat Al A’raf [7] ayat 54
إن ربكم الله الذي خلق السماوات والأرض في ستة أيام
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa”
***** awal kutipan *****
من أيام الدنيا، أي في قدرها لأنه لم يكن ثَمَّ شمس ولو شاء خلقهم في لمحة، والعدول عنه لتعليم خلقه التثبيت
menurut ukuran hari dunia atau yang sepadan dengannya, sebab pada zaman itu masih belum ada matahari. Akan tetapi jika Allah menghendakinya niscaya Ia dapat menciptakannya dalam sekejap mata, adapun penyebutan hal ini dimaksud guna mengajari makhluk-Nya agar tekun dan sabar dalam mengerjakan sesuatu
***** akhir kutipan *****
Al-Imam al-Qurthubi menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22)
Imam Syafi’i berkata
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia ada sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada Dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. (Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36).
Begitupula jumhur ulama telah sepakat bahwa sifat Maha Tinggi, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Kuasa dan termasuk sifat Kalam Allah adalah sifat Dzatiyah bukan sifat Fi’liyah.
Contohnya Imam Abu Hanifah dalam kitab Al Fiqhul Akbar hal. 16 mengatakan
اﻣﺎ اﻟﺬاﺗﻴﺔ ﻓﺎﻟﺤﻴﺎﺓ ﻭاﻟﻘﺪﺭﺓ ﻭاﻟﻌﻠﻢ ﻭاﻟﻜﻼﻡ ﻭاﻟﺴﻤﻊ ﻭاﻟﺒﺼﺮ ﻭاﻻﺭاﺩﺓ
Adapun sifat DZATIYAH diantaranya : Hidup, kuasa, ilmu, KALAM, mendengar, melihat dan berkehendak.
Sifat DZATIYAH adalah QADIM yakni tidak berlaku zaman atau tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu
Para ulama menjelaskan bahwa
الصفات الذاتية هي التي لم يزل ولا يزال متصفاً بها
Sifat DZATIYAH adalah sifat yang MELEKAT atau TIDAK TERPISAH dari diri-Nya sebagaimana yang telah Dia sifatkan.
Sedangkan sifat FI’LIYAH adalah sifat yang dinisbatkan pada Allah Ta’ala tetapi ia MELEKAT pada MAKHLUK dalam arti PERUBAHAN terjadi pada diri makhluk, bukan pada diri Allah Ta’ala.
Para ulama menjelaskan lebih lanjut bahwa perbedaan antara sifat DZATIYAH dan sifat FI’LIYAH adalah kelazimannya.
Dikatakan sifat DZATIYAH itu jika melazimkan Allah tidak boleh disifati dengan sifat lawannya.
Contoh sifat DZATIYAH hayyun (hidup), lawannya adalah mati, maka Allah tidak boleh disifati dengan sifat mati.
Dikatakan sifat FI’LIYAH itu jika melazimkan Allah boleh disifati dengan lawannya,
Contoh sifat FI’LIYAH Allah menghidupkan mahluk, lawannya adalah mematikan mahluk. Allah boleh dikatakan mematikan mahluk. Maka menghidupkan mahluk adalah sifat FI’LIYAH.
Begitupula sifat kalam Allah adalah sifat DZATIYAH bukan FI’LIYAH karena Allah tidak boleh disifati dengan sifat lawan dari kalam (berbicara), yaitu As Sukut (DIAM dari BICARA)
Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari berkata di dalam kitab Al Ibanah hal 66 juz 1 :
ﻭﻳﺴﺘﺤﻴﻞ أﻥ ﻳﻮﺻﻒ ﺭﺑﻨﺎ ﺟﻞ ﻭﻋﻼ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻌﻠﻢ.
Mustahil Rabb kita Jalla wa ‘Alaa disifati dengan sifat yang menyalahi ilmu.
ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻳﺴﺘﺤﻴﻞ ﺃﻥ ﻳﻮﺻﻒ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻜﻼﻡ ﻣﻦ اﻟﺴﻜﻮﺕ ﻭاﻵﻓﺎﺕ،
Dan sama seperti yang demikian, MUSTAHIL Rabb kita disifati dengan sifat yang menyalahi kalam seperti DIAM dari BICARA dan penyakit bisu.
Sedangkan Ibnu Taimiyah (W 728) sebelum bertaubat berkata dan meyakini bahwa Allah berbicara dengan huruf dan suara dan bahwa Allah KADANG BERBICARA dan KADANG DIAM. (lihat Risalah fi Shifat al-Kalam 51, 54, Majmu’ al-Fatawa 6/160, 234, 5/556-557)
Contoh penjelasan dari ustadz Abdul Wahab Ahmad tentang apakah Allah Ta’ala TERKADANG DIAM dapat dibaca pada https://islam.nu.or.id/post/read/109677/apakah-allah-bisa-diam-tak-berfirman-
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dalam fatwa nomor 09 tahun 2014 dalam bidang aqidah menetapkan,
A. Mengimani bahwa zat Allah hanya di atas langit / Arasy adalah sesat dan menyesatkan.
B. Mengimani bahwa zat Allah terikat dengan waktu, tempat dan arah (berjihat) adalah sesat dan menyesatkan
C. Mengimani bahwa kalamullah itu berhuruf dan bersuara adalah sesat dan menyesatkan
Fatwa tersebut dapat dibaca secara daring (online) pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2016/02/fatwa-mpu-aceh-nomor-9-tahun-2014-tentang-pemahaman-pemikiran-pengamalan-dan-penyiaran-agama-islam-di-aceh.pdf
Hanya firqah MUJASSIMAH yang memaknai Maha Tinggi Allah dalam pengertian arah maupun ukuran.
Pembesar mazhab Hambali, Imam Ibn al Jawzi al-Hanbali (597 H) yang MEMBERSIHKAN fitnah-fitnah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal (241 H) dengan kitabnya yang berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih pada hal 135 menuturkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal sebagai berikut:
كان أحمدُ لاَ يقولُ بالجهةِ للباري لأن الجهات تخلى عما سواها
Imam Ahmad tak mengatakan adanya arah bagi Allah sebab seluruh arah meniscayakan KEKOSONGAN dari arah selainnya (seperti kekosongan pada arah berlawanannya).”
Jadi jika mengitsbatkan atau menetapkan Allah Ta’ala BERBATAS dan BERADA di arah atas Arsy maka berarti KEKOSONGAN atau TIDAK ADA Allah Ta’ala di selain arah atas Arsy seperti arah berlawanannya yakni arah bawah Arsy.
Contoh terjemahan dari kitab Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih dapat diunduh (download) di https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
Berikut kutipan penjelasan pembesar mazhab Hambali, Al Imam Ibn al Jawzi ketika mencontohkan KEKELIRUAN firqah MUJASSIMAH dalam memahami firman Allah
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
aamintum man fiis samaa-i (QS Al Mulk [67]:16)
***** awal kutipan *****
Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna dzahirnya karena dasar kata fis sama’ dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”, padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun.
Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi seperti ini, karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit.
Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
***** akhir kutipan *****
Begitupula Al Imam al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid;
***** awal kutipan *****
“Al Kirmani berkata, مَنْ فِى السَّمَاءِ makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia dibanding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian dalam arti kemuliaan atau keagungan Dzat dan sifat-Nya.“
***** akhir kutipan *****
Begitupula TIDAK ADA mufassir (ahli tafsir) yang menterjemahkan atau menafsirkan firman Allah Ta’ala surat Al Mulk [67] ayat 16 dengan menyisipkan kata (BERADA) dan kata (ATAS) sehingga ARTINYA menjadi,
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (BERADA) di (ATAS) langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?”
Dari penjelasan para ulama di atas, arti sebenarnya fiis sama’i adalah “di langit” BUKANLAH “di (ATAS) langit”. Sedangkan Arsy berada di atas langit.
Oleh karenanya terhadap firmanNya pada (QS Al Mulk [67]:16) para mufassir (ahli tafsir) telah sepakat menyisipkan kata “(BERKUASA)” agar tidak dipahami dan disisipkan kata “(BERADA) ” atau “(BERTEMPAT)” sehingga menafsirkannya menjadi,
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (BERKUASA) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?
Berikut kutipan dari tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1129, juz 29, Al Mulk [67]:16
***** awal kutipan *****
a-amintum, (Apakah kalian merasa aman) dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara tashil
man fiis samaa-i, (terhadap kekuasaan Allah yang di langit) yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang di langit
***** akhir kutipan *****
Tafsir Jalalain dapat dibaca secara daring (online) pada https://ibnothman.com/quran/surat-al-mulk-dengan-terjemahan-dan-tafsir/2
Begitpula UNGKAPAN seperti “aku dinikahkan oleh Allah Ta’ala,
مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَوَاتٍ
“dari atas (FAWQO) langit ke tujuh” (HR Bukhari 6870 atau versi Fathul Bari 7420)
JANGANLAH DIMAKNAI dengan MAKNA DZAHIR atau secara hissi atau indrawi (jism/materi) dalam pengertian ARAH, BATASAN, JARAK ataupun TEMPAT.
NAMUN dimaknai dengan MAKNA MAJAZ dalam pengertian keagungan pernikahan tersebut karena diperintahkan oleh Allah Ta’ala dalam surat Al Ahzab [33] ayat 36 dan ayat 37.
Berikut kutipan penjelasan pembesar Mazhab Hambali, Imam Ibn al Jawzi ketika menjelaskan kekeliruan firqah MUJASSIMAH yang menyimpulkan bahwa secara indrawi atau secara fisikal Allah BERADA di arah atas berdalilkan firman Allah Ta’ala, “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa ‘Ibadihi” (QS. Al-An’am: 61)
****** awal kutipan *****
Dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan:
فلان فوق فلان
Fulan fawqa Fulan artinya derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)
Ungkapan ini BUKAN bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B)
Mereka lupa bahwa pengertian FAWQA dalam makna indrawi (makna dzahir) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja.
Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian,
علوّ المرتبة
Uluww al-Martabah artinya derajat yang tinggi
***** akhir kutipan *****
Begitupula Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah berkata
***** awal kutipan *****
Makna فوق fawqo bukanlah dalam pengertian tempat karena adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawqo pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala , wa huwa al-qaahiru fawqo ‘ibaadihi
Jika yang dimaksud fawqo dalam pengertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya – Apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?
***** akhir kutipan *****
Al-Imam Ibn Jahbal (W 733 H) dalam risalah Fi Nafy al-Jihah dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 9, h. 47. memuat BANTAHAN KERAS terhadap Ibn Taimiyah (W 728 H) yang mengatakan bahwa Allah berada atau bertempat di atas arsy.
***** awal kutipan *****
… bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Khalifah Fawq as-Sulthan wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya: “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan: “Jalasa Fulan Fawq Fulan”, maka artinya: “Si fulan yang pertama kedudukannya di atas si fulan yang kedua”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilmu Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu kedudukannya di atas amal”.
Contoh makna ini dalam firman Allah: “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqo Ba’dlin Darajat” (QS. Az-Zukhruf: 32), artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain.
***** akhir kutipan *****
Allah Ta’ala dan Rasulullah tidak pernah melarang takwil dengan ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat (nahwu, sharaf, balaghah) seperti takwil dengan makna majaz karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3)
Pada hakikatnya orang-orang yang melarang takwil secara tidak langsung MENGINGKARI Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan takwil atau menganugerahi hikmah (pengetahuan yang dalam) untuk dapat MENTAKWIL atau MEMAKNAI ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) terkait sifat Allah kepada siapa yang dikehendaki-Nya yakni kepada Ulil Albab (orang-orang yang berakal)
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripada ayat-ayat mutasyabihat) melainkan Ulil Albab (orang-orang yang berakal) (Q.S. Ali Imran [3] : 7)
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).
Contohnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendoakan untuk Ibnu Abbas radhiyallahu anhu agar Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan takwil
اَللَّهُمَّ فَقِّهُّ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhuttakwil
Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam urusan agama dan ajarilah ia takwil Al Qur’an.
atau doa Rasulullah lainnya,
Allahumma faqqihu fiddini, wa allimhu al hikmata at takwila qurana
Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alimkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al Qur’an (HR Ibnu Majah)
Mereka yang melarang takwil dengan MENYALAHGUNAKAN potongan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah” (Q.S. Al Imran [3] : 7)
Padahal potongan firman Allah Ta’ala tesebut justru DITUJUKAN kepada firqah MUJASSIMAH karena potongan firman Allah Ta’ala tersebut lanjutan dari firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (SELALU dengan MAKNA DZAHIR) untuk menimbulkan FITNAH dengan MENCARI-CARI TAKWILNYA, padahal tidak ada yang mengetahui TAKWILNYA melainkan Allah.” (Q.S. Al Imran [3] : 7)
Jadi Allah Ta’ala BUKAN MELARANG TAKWIL namun MELARANG “MENCARI-CARI TAKWIL” atau “mengada-ngada takwil” yakni MENTAKWIL atau MEMAKNAI TANPA ILMU seperti firqah MUJASSIMAH yakni orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka menimbulkan FITNAH.
Dalam kitab tafsir Jalalain, Imam Suyuthi ketika menafsirkan (Q.S. Al Imran [3] : 7) menjelaskan bahwa FITNAH berasal dari
لجهالهم بوقوعهم في الشبهات واللبس
kalangan orang-orang bodoh (TANPA ILMU) yang justru menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal yang syubhat dan kabur pengertiannya.
Jadi orang-orang yang terjerumus mengikuti firqah MUJASSIMAH adalah AKIBAT mereka MENGIKUTI ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka menimbulkan FITNAH yakni mereka menyebarluaskan KEBOHONGAN mengenai Allah Ta’ala SEPERTI mereka mengatakan Tuhan memiliki WAJAH tanpa KEPALA, dua mata, dua telinga, pinggang, betis, jari, dua tangan yang kedua-duanya kanan, dua kaki yang ditempatkan di kursi dan terkadang kakinya sebagai JARIHAH untuk membenamkan penghuni neraka dan SEMUA itu akan BINASA kecuali wajahnya.
Pembesar mazhab Hambali, Al Imam Ibn al Jawzi Al Hanbali ketika menyampaikan tentang firqah MUJASSIMAH bahwa mereka tidak mendapatkan nash / dalil shorih bahwa Allah memiliki kepala.
***** awal kutipan *****
Sementara tentang kepala mereka berkata, “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”
***** akhir kutipan *****
Perbedaan antara firqah MUSYABBIHAH dan firqah MUJASSIMAH adalah,
Firqah MUSYABBIHAH adalah orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk.
Sedangkan firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang MEN-JISM-KAN Allah Ta’ala karena mereka berakidah TAJSIM sehingga mereka mengganti sifat-sifat Allah dengan sifat JISM atau sifat makhluk (benda).
Mereka mensifati Allah atau memaknai sifat Allah secara hissi (indrawi atau fisikal) sehingga mereka mengitsbatkan (menetapkan) arah, tempat, ukuran, BATASAN seperti BERBATAS dengan Arsy dan sifat-sifat fisikal lainnya maupun anggota-anggota badan.
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321H) berkata:
تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ
“Maha suci Allah dari batas-batas, batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Begitupula Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah).
Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi menyampaikan NUBUAT dari Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib yang mengatakan bahwa KELAK,
قوم من هذه الأمة عند إقتراب الساعة كفارا يُنكرون خالقهم فيصفونه بالجسم والأعضاء
“Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir (maksudnya KUFUR dalam I’TIQOD) karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat JISIM (sifat benda atau makhluk yakni sifat fisikal seperti arah, ukuran, jarak, batasan maupun tempat) dan anggota-anggota badan.”
Salah satu contoh TOKOH MUJASSIMAH adalah ulama panutan atau rujukan bagi firqah Wahabi yakni Ibnu Taimiyah (W 728H) yang sebelum bertaubat memahami dan memaknai sifat ISTAWA Allah secara hakikat yakni berdasarkan MAKNA DZAHIRNYA dan menolak MAKNA MAJAZ yang DILABELI sebagai MAZHAB atau MANHAJ Salaf dan dinisbatkan sebagai Salafi.
Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat berkata,
ولله تعالى استواء على عرشه حقيقة
Dan Allah istiwa’ di atas arsy-Nya secara hakikat. (Majmu’ Fatawa 5/199 Cet. Dar ‘Alamil Kutub Riyadh)
Begitupula Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat mengatakan bahwa,
- Tuhan BERADA atau BERTEMPAT di atas Arsy, maka keduanya ini memiliki BENTUK dan BATASAN (Muwafaqat Sharih al Ma’qul j.2 h 29)
- Nabi Muhammad didudukan oleh Allah di atas ‘arsy bersama-Nya!” (Majmu Fatawa juz 4, hal.374)
Kedua perkataan atau pendapat Ibnu Taimiyah tersebut dikutip dari tulisan mereka yang sempat diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf
Contoh kajian PERBEDAAN antara Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal dengan Mazhab Salafi Kontemporer (Salafi masa kini) tentang pengertian Rasulullah kelak didudukan di atas Arsy adalah terkait syafa’at Rasulullah bukan syubhat tempat dan arah bagi Allah Ta’ala dapat disaksikan dalam video pada https://bit.ly/3mVBCBa
Jadi Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat BUKANLAH menyembah atau beribadah kepada Allah Ta’ala NAMUN menyembah atau beribadah kepada Al Mahdud yakni SESUATU yang BERBATAS dan BERADA di atas Arsy.
Rasulullah bersabda bahwa sesuatu yang BERBATAS dan BERADA di atas Arsy adalah kitab Lauh Mahfudz.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda
لَمَّا قَضَى اللَّهُ الخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي
“Ketika Allah menentukan nasib manusia, Ia menulis di kitab-Nya yang BERADA di sisi-Nya DI ATAS Arsy. Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.” (Musnad Ahmad 8346 atau HR Bukhari 6999 atau Fathul Bari 7554)
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/ahmad/8346
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkomentar
وَالْغَرَضُ مِنْهُ الْإِشَارَةُ إِلَى أَنَّ اللَّوْحَ الْمَحْفُوظَ فَوْقَ الْعَرْشِ
Hadits itu adalah mengisyaratkan bahwa Lauh mahfuzh BERADA di atas (fawqo) Arsy.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari, juz XIII, halaman 526)
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan lebih lanjut, “Tak masalah memahami hadits tersebut secara dzahir (bahwa Lauh mahfuzh benar berada di atas Arasy) sebab sesungguhnya Arasy adalah salah satu makhluk dari makhluk-makhluk Allah. Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan “di sisi-Nya” adalah di sisi ilmu Allah. Jadi penyebutan sisi di sini bukanlah dalam makna tempat tetapi itu adalah isyarat bagi kesempurnaan Lauh mahfuzh yang tersembunyi dari makhluk dan tinggi terangkat dari batas pengetahuan mereka.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari, juz VI, halaman 291)
Pada kenyataannya orang-orang yang hidup pada zaman NOW (sekarang) atau zaman Khalaf (kemudian) NAMUN mereka merasa atau mengaku-ngaku mengikuti Salaf (terdahulu) dan menisbatkan sebagai Salafi dan mengaku pula sebagai kalangan modernis sehingga mereka dijuluki juga sebagai Salafi Kontemporer adalah,
Orang-orang yang TERKELABUI atau TERKECOH oleh Ibnu Taimiyah yang MENISBATKAN MAZHAB atau METODE PEMAHAMANNYA SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK MAKNA MAJAZ sebagai MAZHAB atau MANHAJ Salaf sebagaimana fatwanya dalam Majmu Fatawa 4/149
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR
***** akhir kutipan *****
Begitupula disebarluaskan DONGENG atau tepatnya FITNAH bahwa Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari melalui 3 marhalah kehidupan atau 3 fase pemikiran dan fase ketiga / terakhir adalah mengikuti AHLUS SUNNAH.
Sedangkan pengertian AHLUS SUNNAH versi firqah WAHABI adalah AHLI (membaca) SUNNAH atau ahli (membaca) hadits secara SHAHAFI (otodidak) menurut akal pikiran sendiri mengikuti MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN Ibnu Taimiyah (W 728H) sebelum bertaubat yakni mereka memahami SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK MAKNA MAJAZ.
Ada seseorang bertanya kepada Albani: “Apakah anda ahli hadits (muhaddits)?”
Albani menjawab: “Ya!”
Ia bertanya: “Tolong riwayatkan 10 hadits kepada saya beserta sanadnya!”
Albani menjawab: “Saya bukan ahli hadits penghafal, saya ahli hadits kitab.”
Orang tadi berkata: “Saya juga bisa kalau menyampaikan hadits ada kitabnya.”
Lalu Albani terdiam
(dari Syaikh Abdullah al-Harari dalam Tabyin Dlalalat Albani 6)
Ahli (membaca) hadits, Albani mengakui bahwa Beliau adalah ahli hadits kitab bukan penghafal hadits.
Dalam ilmu Musthalah Hadits jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status haditsnya adalah dlaif, bukan perawi sahih
Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh ahli (membaca) hadits Albani yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadits) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan.
Jadi yang dimaksud oleh mereka dengan julukan atau pengakuan sebagai “ahli hadits” adalah ahli (membaca) hadits secara shahafi (otodidak).
Sedangkan ahli hadits sesungguhnya menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya secara turun temurun sehingga tersambung kepada para perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari lisannya Rasulullah.
Selain mereka bukanlah Salafi namun Shahafi (otodidak), merekapun TIDAK MENGIKUTI MAZHAB Imam Ahmad bin Hanbal (W 241H)
Ibnu Taimiyah tidak pernah mengklaim diri sebagai ulama Hambali yakni ulama yang bermazhab dengan Imam Ahmad bin Hanbal.
Dalam kitabnya Majmu Fatawa Juz 3 hal 229, Ibnu Taimiyah mengakui bahwa dalam beraqidah punya manhaj sendiri bukan bermanhaj Hambali ataupun yang lainnya
مَعَ أَنِّي فِي عُمْرِي إلَى سَاعَتِي هَذِهِ لَمْ أَدْعُ أَحَدًا قَطُّ فِي أُصُولِ الدِّينِ إلَى مَذْهَبٍ حَنْبَلِيٍّ وَغَيْرِ حَنْبَلِيٍّ، وَلَا انْتَصَرْت لِذَلِكَ، وَلَا أَذْكُرُهُ فِي كَلَامِي، وَلَا أَذْكُرُ إلَّا مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ سَلَفُ الْأُمَّةِ سَلَفُ الْأُمَّةِ وَأَئِمَّتُهَا.
Sesungguhnya aku (Ibnu Taimiyah) sepanjang umurku hingga sekarang, aku tidak pernah mengajak seorangpun dalam masalah USHULUDDIN (AQIDAH) untuk mengikuti MAZHAB HAMBALI dan selainnya, aku tidak pernah membela kepada mazhab-mazhab tersebut dan tidak pernah menyebutkan (pendapat-pendapat mazhab tersebut) dalam perkataanku, dan aku juga tidak pernah menyebutkan (dalam masalah aqidah) kecuali perkara-perkara yang telah disepakati oleh Salaful Ummah dan para imamnya.
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini:
***** awal kutipan *****
“Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi.
Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya SHAHAFI atau OTODIDAK, bukan orang alim.
Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah).
Ia disebut SHAHAFI yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10).
***** akhir kutipan *****
Ibnu Taimiyah dikenal sebagai seorang yang memahami atau “kembali” kepada Al Qur’an dan Hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana informasi dari kalangan mereka sendiri pada http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan *****
Ibn Taimiyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan *****
Begitupula seberapapun banyaknya guru atau seberapapun panjangnya rantai sanad guru (sanad ilmu) dari ahli (membaca) hadits, Albani (W 1420H) yang DIJULUKI sebagai “Ibnu Taimiyahnya Abad Keempat Belas” maka TIDAK AKAN berarti (berguna) karena Beliau lebih banyak mendalami ilmu agama, berpendapat dan berfatwa dari balik perpustakaan alias secara otodidak (shahafi) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana informasi dari kalangan mereka sendiri pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya
***** akhir kutipan *****
Ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206H) adalah juga seorang SHAHAFI yakni seorang yang mendalami ilmu agama secara otodidak menurut akal pikirannya sendiri yang MENGANGKAT KEMBALI KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah (W 728H) sebelum bertaubat SETELAH Ibnu Taimiyah wafat lebih dari 450 tahun sehingga diberi julukan “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah” sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206H) pendiri firqah Wahabi yang TAQLID mengikuti Ibnu Taimiyah (W 728H) maupun ulama pantutan mereka lainnya seperti Albani (w 1420H) adalah ulama Khalaf (kemudian) BUKAN ulama Salaf karena mereka hidup di atas tahun 300 hijriah sehingga mereka TIDAK BERTEMU dan tidak mendapatkan pemahaman Salafus Sholeh.
Mereka membeli atau memiliki kitab-kitab hadits dan mereka membaca hadits-hadits dimana dalam hadits tercantum sanad hadits yakni nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in lalu dikatakan oleh mereka bahwa mereka mengikuti PEMAHAMAN Salafus Sholeh dan DILABELI MAZHAB SALAF atau MANHAJ SALAF
Apa yang disampaikan dari hadits-hadits yang dibaca oleh mereka adalah PEMAHAMAN MEREKA sendiri BUKAN PEMAHAMAN Salafus Sholeh.
Sumbernya memang hadits-hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri yakni PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI dan KEKELIRUAN terjadi karena mereka TAQLID mengikuti MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat yakni SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK MAKNA MAJAZ.
Berikut kutipan contoh pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat ketika “MEMBACA” sabda Rasulullah atau hadits Nuzul sebagaimana yang dikutip dalam tulisan mereka pada https://mahadilmi.id/allah-turun-ke-langit-dunia/
***** awal kutipan *****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang MUHKAM (jelas dan dimaknai dengan makna dzahir) demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga MUHKAM.
***** akhir kutipan *****
Perkataan Ibnu Taimiyah tersebut disampaikan pula oleh ulama mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyah)
Pemahaman dan keyakinan Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa,
“Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” tentu BUKANLAH PEMAHAMAN Salafus Sholeh karena TIDAK PERNAH dikatakan oleh para Sahabat, Tabi’in maupun Tabi’ut Tabi’in dan inilah salah satu contoh KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah.
Tidak ada satupun ulama yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa hadits nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah.
Begitupula dengan perkataan atau keyakinannya bahwa,
“Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG”
MEMBUKTIKAN Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat BUKANLAH menyembah atau beribadah kepada Allah Ta’ala NAMUN menyembah atau beribadah kepada Al Mahdud yakni SESUATU yang BERBATAS dan BERADA di atas Arsy.
Begitupula TIDAK ADA satupun mufassir (ahli tafsir) yang menterjemahkan ISTAWA artinya BERADA sehingga firman Allah Ta’ala, “arrahmanu ‘alal’ arsy Istawa” (QS Thaha [20] : 5) ARTINYA Allah Ta’ala BERBATAS dan BERADA di atas Arsy.
Jadi Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat TERBUKTI beraqidah TAJSIM serupa dengan firqah MUJASSIMAH yakni MENGGANTI kemuliaan dan keagungan sifat ISTAWA Allah dengan sifat makhluk atau benda yakni sifat BERBATAS dengan Arsy.
Semua yang maujud (ada), baik itu yang nyata, gaib atau halus SELAIN Allah dinamakan ALAM yang terdiri dari JIRIM, JISIM, JAUHAR, ARADH sebagaimana contoh uraian pada https://santiers.wordpress.com/2021/07/05/arti-jisim-jirim-jauhar-dan-aradh/
***** awal kutipan *****
- Jisim adalah Jirim yang ukurannya berbentuk besar
- Jirim adalah setiap materi yang mengambil tempat atau ruang dan menjalani zaman.
- Jauhar ada dua. Ada Jauhar Fard dan Jauhar murokab.
Jauhar Fard (جوهر فرد) adalah Jirim terkecil yang tidak dapat dibagi atau dipecah-pecah lagi.
Contoh jauhar fard, sel terkecil yang ada pada suatu benda, misalkan sel darah dll.
Jauhar Murakkab (جوهر مركب) adalah susunan dari pada jauhar ia minimalnya ada dua jauhar fard untuk membentuk satu jirim.
Contoh jauhar murokab seperti tangan yang tersusun dari kulit,daging,tulang, dsb.
Dalam ilmu sains disebut seperti atom dan benda terkecil yang tak bisa di belah lagi
- Aradh, adalah suatu kondisi, keadaan atau ibarat yang mensifati kepada jirim, jisim dan jauhar.
Contoh aradh yaitu kalau dalam ilmu fikih: warna, bau dan rasa.
Aradh ini ia tidak dapat berdiri sendiri dari jisim karena aradh adalah sifat dan jisim sebagai yang disifatinya (maushuf).
Jisim tidak dapat menerima dua sifat ‘aradh yang berlawanan pada dirinya seperti bergerak dan diam pada waktu yang bersamaan. Hal ini mustahil menurut hukum akal. Tidak pula diam bersembunyi pada dalam gerak bila sedang diam, demikian juga sebaliknya.
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya BERADA di atas apapun seperti BERADA di atas Arsy sehingga BERBATAS (HAD / MAHDUD) dengan Arsy adalah sifat JISM yakni sifat makhluk atau benda.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa Istawa Allah atas arsy bukanlah dalam pengertian tempat maupun arah.
Contohnya Syaikh Abdul Qadir Al Jilani dalam Al Ghunyah Juz 1 hal 121 – 125 menjelaskan bahwa Istawa Allah atas arsy bukanlah dalam pengertian tempat maupun arah karena Allah bukanlah JISM dan tidak juga berupa sesuatu yang mempunyai BATASAN (mahdud) dan dapat dibaca pada https://al-maktaba.org/book/33369/113#p3
***** awal kutipan *****
ليس بجسم فيمس، ولا بجوهر فيحس، ولا عرض فيقضى، ولا ذي تركيب أو آلة وتأليف، أو ماهية وتحديد
“Allah BUKANLAH JISM sehingga tidak bisa disentuh, bukan pula JAUHAR sehingga tidak bisa diindera, bukan ‘ARADH sehingga bisa ditentukan, tidak juga berupa sesuatu yang mempunyai susunan, alat (organ), rangkaian, MATERI atau juga BATASAN”.
***** akhir kutipan *****
Begitupula Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam “Maqalatul Islamiyin” jilid I hal 281 dengan JELAS dan TEGAS menuliskan apa yang telah disepakati oleh para ahlus sunnah,
أنهم يقولون: إن البارىء ليس بجسم ولا محدود ولا ذي نهاية
Mereka (ahlus sunnah) berkata, “Sesungguhnya Allah BUKAN JISM, tidak mempunyai BATASAN (MAHDUD) dan TIDAK BERJARAK (NIHAYAH) “
Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata
من زعمأن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود
”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mempunyai BATASAN (mahdud) maka dia telah JAHIL yakni TIDAK MENGENAL Sang Pencipta (Al Khaliq) yang berhak disembah” (Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73)
Oleh karenanya perkara aqidah sebaiknya didahulukan karena tidak sah ibadah jika belum mengenal Allah (makrifatullah)
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali berkata:
لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang berhak disembah”.
Oleh karenanya SEJAK DINI sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama bersumber dari Al Qur’an dan Hadits yang dapat DIGUNAKAN sebagai SARANA untuk MENGENAL Allah dan sebagai PEDOMAN dan BATASAN untuk dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/02/12/20-sifat-beserta-dalilnya/
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 menyampaikan pokok-pokok PERMASALAHAN Ibnu Taimiyah
***** awal kutipan *****
فمنهم من نسبه إلى التجسيم لما ذكر في العقيدة الحموية والواسطية وغيرهما من ذلك كقوله:
Ada sebagian kelompok yang menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya:
إن اليد والقدم والساق والوجه صفات حقيقية لله،
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah,
وأنه مستو على العرش بذاته
dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy DENGAN Dzat-Nya.
فقيل له: يلزم من ذلك التحيز والانقسام.
Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki BATASAN dan BAGIAN,
فقال: أنا لا أسلم أن التحيز والانقسام من خواص الأجسام
MAKA ia menjawab, “ Aku tidak setuju BATASAN dan BAGIAN termasuk kekhushusan JISM (sifat benda / fisikal)
فالذم بأنه يقول بتحيز في ذات الله
Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyah mengatakan BATASAN bagi Dzat Allah.
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya para ulama terdahulu mengkafirkan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat dalam pengertian DITETAPKAN KUFUR dalam PERKARA I’TIQOD bukan dalam pengertian membatalkan keislamannya karena Ibnu Taimiyah terjerumus ‘Aashin (durhaka) atau menghina Allah Ta’ala seperti contohnya mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat jism (sifat benda atau makhluk) seperti arah, berbatas dan tempat maupun anggota-anggota badan seperti wajah, mata, tangan, kaki, pinggang, betis dan lain sebagainya sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitabnya berjudul Hasyiyah Al ‘Allamah Ibn Hajar Al Haitami ‘Ala Syarh Al Idhah fi Manasik Al Hajj.
***** awal kutipan *****
Penghinaan Ibnu Taimiyyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh (pengingkarannya terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah) oleh karena terhadap Allah saja dia melakukan penghinaan dengan menetapkan arah, tangan, kaki, mata dan lain sebagainya dari keburuk-keburukan yang sangat keji. Ibnu Taimiyyah ini telah dikafirkan (ditetapkan kufur dalam perkara i’tiqod) oleh banyak ulama – semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilan-Nya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya yaitu mereka yang (masih) membela segala yang dipalsukan oleh Ibnu Taimiyyah atas syari’at yang suci ini.
***** akhir kutipan *****
Contoh ulama yang mengkafirkan yakni menetapkan Ibnu Taimiyyah kufur dalam perkara i’tiqod adalah seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H).
Beliau mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’.
Jadi perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Ibnu Taimiyyah karena begitu besarnya kerusakan dalam perkara i’tiqod akibat orang awam terkelabui dengan label mazhab atau manhaj Salaf
Perbedaan pendapat atau furu’iyyah hanya dalam perkara fiqih bukan dalam perkara aqidah atau i’tiqod.
TIDAK ADA perbedaan pendapat dalam perkara akidah atau i’tiqod di antara mazhab yang empat karena KEKELIRUAN dalam perkara i’tiqod maka pasti akan terjerumus KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD.
Salah satu buktinya, akidah atau i’tiqod dari dua mazhab fiqih yang berbeda yakni akidah Imam Asy’ari (W 324 H atau 330 H) yang bermazhab Imam Syafi’i dan akidah Imam Maturidi (W 333 H) yang bermazhab Imam Hanafi telah disepakati sebagai dasar atau pedoman bagi akidah atau i’tiqod umat Islam pada umumnya.
Begitupula bukti lain bahwa dalam perkara aqidah atau i’tiqod bukanlah perkara furu’iyyah karena Ibnu Taimiyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dan kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyah adalah sesat dan menyesatkan.
Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakan Ibnu Taimiyah di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab, yaitu :
- Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
- Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
- Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
- Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Selain qodhi empat mazhab, masih banyak ulama lainnya yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/02/07/ulama-bantah-ibnu-taimiyyah/
Oleh karenanya para ulama terdahulu telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya.
Contohnya Al Imam Ibnu Hajar al Haitami dalam Fatawa Haditsiyah hal.203 berkata,
***** awal kutipan *****
وَ إِيَّاكَ أَنْ تُصْغِىَ إِلَى مَا فِى كُتُبِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ وَ تِلْمِيْذِهِ ابْنِ قَيِّمِ الْجَوْزِيَّةِ وَ غَيْرِهِمَا مِمَّنِ اتَّخَذَ إِلهَهُ هَوَاهُ وَ أَضَلَّهُ اللّهُ عَلَى عِلْمٍ وَ خَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَ قَلْبِهِ وَ جَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً
Dan janganlah kamu sekali-kali mendekati kitab-kitab karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya yaitu Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, dan orang-orang selain mereka berdua yang telah menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan, yang telah disesatkan oleh Allah atas ilmu mereka, yang Allah telah tutup telinga, hati, sekaligus penglihatan mereka.
فَمَنْ يَهْدِيْهِ مَنْ بَعَّدَ اللّهُ ؟؟
Maka siapakah yang bisa memberi petunjuk atas orang-orang yang telah dijauhkan Allah (dari rahmat-Nya) ??
وَ كَيْفَ تُجَاوِزُ هَؤُلَاءِ الْمُلْحِدُوْنَ الْحُدُوْدَ ، وَ تَعَدَّوُا الرُّسُوْمَ وَ خَرَقُوْا سِيَاجَ الشَّرِيْعَةِ وَالْحَقِيْقَةِ ؟
Dan (lihatlah) bagaimana mereka orang-orang mulhid ini melampaui batas, mereka menabrak aturan-aturan agama, dan merusak dinding (tatanan) syariat dan haqiqat
فَظَنُّوْا بِذَالِكَ أَنَّهُمْ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَ لَيْسُوْا كَذَالِكَ
lalu mereka menyangka bahwa mereka berada diatas petunjuk dari Tuhan mereka, padahal tidaklah demikian.
بَلْ هُمْ عَلَى أَسْوَأ الضَّلَالِ وَ أَقْبَحِ الْخِصَالِ وَ أَبْلَغِ الْمَقْتِ وَ الْخُسْرَانِ وَ أَنْهَى الْكَذِبِ وَ الْبُهْتَانِ ، فَخَذَلَ اللّهُ مُتَّبِعَهُمْ وَ طَهَّرَ الْأَرْضَ مِنْ أَمْثَالِهِمْ
Bahkan mereka berada pada kesesatan yang paling buruk, kegilaan yang paling parah, kerugian yang paling dalam, dan kedustaan yang paling besar. Semoga Allah menghinakan orang-orang yang mengikutinya, dan membersihkan bumi ini dari orang-orang semisal mereka”.
***** akhir kutipan *****
Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari, menolak dan menangkal ajaran atau paham Wahabi (WAHABISME) yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6
***** awal kutipan *****
ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا،
Diantara mereka terdapat juga firqah yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي، وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن القيم وعبد الهادي
Mereka melaksanakan KEBID’AHAN Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي في رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الإعتقاد: وهذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا وخلفا، فكانوا وصمة وثلمة في المسلمين وعضوا فاسدا
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”
يجب قطعه حتى لا يعدى الباقي، فهو كالمجذوم يجب الفرار منهم، فإنهم فريق يلعبون بدينهم يذمون العلماء سلفا وخلفا
Maka wajib menanggalkan / menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
يقولون على الله الكذب وهم يعلمون
Mereka MENYEBARLUASKAN KEBOHONGAN mengenai Allah, padahal mereka menyadari kebohongan tersebut.
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar